MEMPERKENALKAN TRADISI PERIBADATAN AGAMA BUDDHA
Judul Buku: Ibadat dan Kebiasaan Buddhis
Pengarang : Piyadassi Thera
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 44 halaman
Ibadat dan
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di satu negara atau satu daerah bisa berbeda
jauh dengan negara atau daerah lainnya. Demikian juga dalam agama Buddha yang
memiliki tiga mazhab besar dan banyak sekte, ibadat dan kebiasaan yang
dilakukan oleh para pengikutnya sangatlah beragam. Di sini Piyadassi Thera
selaku pengarang esai singkat ini, mengupas tradisi khas Buddhis yang lazim
dilangsungkan di negaranya yakni Sri Lanka.
Dalam bagian
pembukaan pengarang telah mewanti-wanti bahwa Buddha bukanlah sesosok dewa
pencipta, satu reinkarnasi dewa, atau makhluk adibiasa lainnya, melainkan
seorang manusia yang telah mencapai tingkat mental dan intelektual yang
tertinggi. Dengan demikian bukan pada tempatnya jika seorang pengikutnya
melakukan doa atau permohonan kepadanya. Demikian juga rahib Buddhis bukanlah
penengah atau perantara yang menjembatani umat yang memohon sesuatu, untuk
diteruskan kepada ia yang memiliki "kekuasaan adiduniawi".
Sekarang jika
ada orang yang bertanya mengapa umat menyembah patung Buddha, bukankah sama
saja jika ia memohon kepada Buddha. Bisa juga orang berpendapat bahwa umat
Buddha adalah penyembah berhala, karena patung pun ikut disembah. Menurut
penulis, sesungguhnya tidak ada persembahyangan atau pemujaan kepada obyek mati
seperti itu. Di hadapan patung, benda itu hanya membantu mengingatkan umat
tentang keagungan Sang Guru, yang diwakili oleh patung itu. Kalau pun ada unsur
pemujaan, tindakan itu hanya sebentuk rasa terima kasih dan kekaguman kepada
sang pembabar kebenaran.
Perihal upacara
perkawinan yang diselenggarakan di vihara, orang luar juga sering salah
memahaminya. Mereka mengira pasangan pengantin disahkan dalam satu ikatan
perkawinan, dengan pengesahan oleh rahib Buddhis atau bhikkhu. Padahal menurut
pandangan agama Buddha, bukanlah tugas seorang bhikkhu untuk mengurusi perkara
duniawi umat awam. Seperti yang dicontohkan dalam esai ringkas ini, pasangan
pengantin di Sri Lanka biasanya mengundang beberapa orang bhikkhu untuk menerima
undangan makan siang beberapa hari sebelum dilakukan upacara perkawinan. Dengan
begitu pasangan pengantin ini memperoleh peluang untuk melakukan kebajikan.
Setelah makan siang, para bhikkhu yang diundang akan mendaraskan paritta suci
dan memberikan khotbah singkat tentang perkawinan yang bahagia.
Perihal
kematian, orang luar mengira jika seorang Buddhis meninggal dunia, jenazahnya pasti
dikremasikan. Padahal penulis menegaskan bahwa umat Buddha yang meninggal dunia
bisa dikremasikan atau dikuburkan. Pilihan mana yang akan diambil tergantung
pada keputusan keluarganya. Melihat kondisi perkotaan dewasa ini, yang mana
lahan pemakaman kian langka dan terbatas, maka kremasi dinilai memberikan
solusi yang lebih baik.
Yang perlu
diperhatikan di sini adalah jika salah seorang anggota keluarga kita sedang
menghadapi kematian atau baru saja meninggal dunia, maka yang harus diupayakan
adalah membuat kedamaian atau ketenangan pada batin orang yang akan atau baru
meninggal dunia itu. Caranya tidak lain membacakan paritta di samping
pembaringannya. Adalah lebih baik jika anggota Sangha turut membacakan
paritta-paritta suci. Dengan begitu akan mengkondisikan agar sanak saudara kita
itu dapat terlahir-kembali di alam yang menyenangkan.
Esai ini
ditutup dengan pembahasan tentang manfaat paritta-sutta juga mengenai
pentingnya umat memiliki buku paritta (yang disebut juga sebagai buku
perlindungan) di rumah mereka. Dengan mendengarkan atau membacakan paritta
disertai keyakinan yang mendalam dapat membuahkan kesejahteraan batin, yang
selanjutnya akan membawa pada kesembuhan dan pencegahan dari marabahaya. Tentu
saja untuk mendapatkan kesembuhan ada syarat-syarat lainnya yang mesti
dipenuhi.
Booklet ini baik dibaca untuk mereka yang baru
mengenal agama Buddha. Juga direkomendasikan pada mereka yang ingin memahami
tradisi peribadatan agama Buddha lebih lanjut.
resensibuku/ibadatdankebiasaanbuddhis-piyadassi/sdjn/191130