Minggu, 01 Desember 2019

MASIH PERLUKAH DITULIS BUKU RIWAYAT HIDUP SANG BUDDHA?

MASIH PERLUKAH DITULIS BUKU RIWAYAT HIDUP SANG BUDDHA?


Judul Buku: Riwayat Hidup Sang Buddha, Menurut Kanon Pali
Pengarang : Bhikkhu Namamoli
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 888 halaman




Entah sudah berapa banyak buku tentang riwayat hidup Sang Buddha telah disusun dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda. Memang riwayat kehidupan Sang Buddha merupakan cerita yang tidak pernah habis untuk dibahas, karena ada saja sisi yang menarik untuk diceritakan ulang. Satu buku yang kita miliki di rumah yang menceritakan kehidupan Buddha, walaupun dibaca berulang kali pun tidak pernah membosankan.

Begitu juga dengan buku yang baru diterbitkan oleh Dharma Prima Niaga, yang disusun oleh almarhum Bhikkhu Nanamoli. Sebagian isi buku ini pernah diterbitkan oleh Majalah Buddhis dwimingguan Buddha Jayanti (Colombo, 1954-1956), yakni ditulis menjelang perayaan 2.500 tahun wafatnya Sang Buddha. Dua ribu lima ratus tahun adalah setengah dari lima ribu tahun. Seperti yang diramalkan oleh Sang Buddha sendiri, ajarannya hanya akan berlangsung 5.000 tahun. Jadi persis pada periode pertengahannya merupakan titik indikator yang menentukan, apakah ajarannya akan hidup-kembali atau akan semakin terpuruk.

Sekarang apa keunikan buku karangan Bhikkhu Nanamoli ini? Buku ini disusun dari petikan-petikan yang terdapat pada Kanon Pali, yakni yang tercantum pada Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Seperti yang kita ketahui, penyusunan naskah dalam masing-masing kitab Tipitaka tidak disusun berdasarkan kronologinya. Jadi jika kita ingin merangkai riwayat kehidupan Buddha dari sejak kelahiran hingga kemangkatannya, petikan-petkan itu mesti dicomot dari kitab yang berbeda-beda.

Agar didapatkan jalan cerita yang enak dibaca, pengarang merangkainya berdasarkan narasi dari beberapa pihak. Untuk maksud tersebut dalam buku ini ada pembagian peran dalam menyusun cerita, yakni pembawa cerita pertama, pembawa cerita kedua, suara pertama, suara kedua, dan penembang. Pembawa cerita pertama adalah orang yang mengerti kejadian dalam Kanon dan berasal dari masa kini, sedangkan pembawa cerita kedua tidak lain pengarang buku komentar Tipitaka. Suara pertama adalah orang yang mengulang pembacaan Sutta Pitaka di Pasamuan Agung yang pertama, yakni Y.M. Ananda. Suara kedua tidak lain orang yang mengulang pembacaan Vinaya Pitaka di Pasamuan yang sama, yakni Y.M. Upali. Sedangkan penembang adalah orang yang membawakan epik ringkas atau epik pendek.

Buku ini terbagi menjadi enam belas bab, yakni: (1) Kelahiran dan Tahun-tahun Awal, (2) Perjuangan Menuju Pencerahan, (3) Sesudah Pencerahan, (4) Tersebarnya Dhamma, (5) Dua Siswa Utama. (6) Anathapindika, Penopang Si Miskin, (7) Pembentukan Sangha Bhikkhuni, (8) Pertengkaran di Kosambi, (9) Akhir dari Dua Puluh Tahun Pertama, (10) Periode Tengah, (11) Sang Tokoh, (12) Ajaran, (13) Devadatta, (14) Usia Tua, (15) Tahun Terakhir, dan (16) Pasamuan Agung Pertama.

Seperti yang kita ketahui, penuturan dalam Kanon memuat banyak pengulangan frasa dan kalimat. Demikian pula dalam naskah yang terdapat pada buku ini, meskipun sudah banyak pengulangan yang dihilangkan. Sesuai dengan naskah aslinya, penyebutan istilah Pali juga telah diminimalisir. Sebutan Bhagava telah diganti menjadi Yang Terberkahi, Tathagata menjadi Yang Sempurna, dan masih banyak lagi. Walaupun demikian dalam Indeks buku ini istilah Pali masih dicantumkan. Penerjemah pun turut menambahkan "Daftar Kata Indonesia-Inggris-Pali" pada bagian akhir buku.

Buku ini dilengkapi pula dengan “Daftar Rujukan ke Kanon Pali”, yang memudahkan para mahasiswa atau para penulis untuk mencari satu petikan yang dirujuk ke Kanon Pali. Istilah kunci dalam bahasa Pali pun sudah diberikan dan banyak pula yang diterangkan secara panjang lebar dalam catatan kaki oleh pengarang sendiri dan oleh para editor, yakni Y.M. Bhikkhu Nyanaponika dan Y.M. Bhikkhu Bodhi.

Buku ini dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang terbiasa membaca Sutta Pali atau mereka yang ingin mencari fakta kehidupan Sang Buddha dari sumber-sumber yang paling tua dan paling otentik. Juga cocok bagi pembaca yang tertarik mempelajari riwayat kehidupan Sang Buddha guna membandingkannya dari buku-buku yang serupa.

Kekurangan dari buku ini adalah keterangan dari pengarang, yang termuat dalam catatan kaki. Seringkali pengarang menurunkan satu akar kata Pali dengan begitu mendetil dan membandingkannya dengan akar kata Pali lainnya. Kemudian apa yang ingin dijelaskan oleh pengarang terkadang tidak mudah dipahami oleh para pembacanya.


resensibuku/riwayathidupsangbuddha-bhikkhunanamoli/sdjn/191201

Sabtu, 30 November 2019

MEMPERKENALKAN TRADISI PERIBADATAN AGAMA BUDDHA


MEMPERKENALKAN TRADISI PERIBADATAN AGAMA BUDDHA




Judul Buku: Ibadat dan Kebiasaan Buddhis
Pengarang : Piyadassi Thera
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 44 halaman


Ibadat dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di satu negara atau satu daerah bisa berbeda jauh dengan negara atau daerah lainnya. Demikian juga dalam agama Buddha yang memiliki tiga mazhab besar dan banyak sekte, ibadat dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pengikutnya sangatlah beragam. Di sini Piyadassi Thera selaku pengarang esai singkat ini, mengupas tradisi khas Buddhis yang lazim dilangsungkan di negaranya yakni Sri Lanka.

Dalam bagian pembukaan pengarang telah mewanti-wanti bahwa Buddha bukanlah sesosok dewa pencipta, satu reinkarnasi dewa, atau makhluk adibiasa lainnya, melainkan seorang manusia yang telah mencapai tingkat mental dan intelektual yang tertinggi. Dengan demikian bukan pada tempatnya jika seorang pengikutnya melakukan doa atau permohonan kepadanya. Demikian juga rahib Buddhis bukanlah penengah atau perantara yang menjembatani umat yang memohon sesuatu, untuk diteruskan kepada ia yang memiliki "kekuasaan adiduniawi".

Sekarang jika ada orang yang bertanya mengapa umat menyembah patung Buddha, bukankah sama saja jika ia memohon kepada Buddha. Bisa juga orang berpendapat bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala, karena patung pun ikut disembah. Menurut penulis, sesungguhnya tidak ada persembahyangan atau pemujaan kepada obyek mati seperti itu. Di hadapan patung, benda itu hanya membantu mengingatkan umat tentang keagungan Sang Guru, yang diwakili oleh patung itu. Kalau pun ada unsur pemujaan, tindakan itu hanya sebentuk rasa terima kasih dan kekaguman kepada sang pembabar kebenaran.

Perihal upacara perkawinan yang diselenggarakan di vihara, orang luar juga sering salah memahaminya. Mereka mengira pasangan pengantin disahkan dalam satu ikatan perkawinan, dengan pengesahan oleh rahib Buddhis atau bhikkhu. Padahal menurut pandangan agama Buddha, bukanlah tugas seorang bhikkhu untuk mengurusi perkara duniawi umat awam. Seperti yang dicontohkan dalam esai ringkas ini, pasangan pengantin di Sri Lanka biasanya mengundang beberapa orang bhikkhu untuk menerima undangan makan siang beberapa hari sebelum dilakukan upacara perkawinan. Dengan begitu pasangan pengantin ini memperoleh peluang untuk melakukan kebajikan. Setelah makan siang, para bhikkhu yang diundang akan mendaraskan paritta suci dan memberikan khotbah singkat tentang perkawinan yang bahagia.

Perihal kematian, orang luar mengira jika seorang Buddhis meninggal dunia, jenazahnya pasti dikremasikan. Padahal penulis menegaskan bahwa umat Buddha yang meninggal dunia bisa dikremasikan atau dikuburkan. Pilihan mana yang akan diambil tergantung pada keputusan keluarganya. Melihat kondisi perkotaan dewasa ini, yang mana lahan pemakaman kian langka dan terbatas, maka kremasi dinilai memberikan solusi yang lebih baik.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah jika salah seorang anggota keluarga kita sedang menghadapi kematian atau baru saja meninggal dunia, maka yang harus diupayakan adalah membuat kedamaian atau ketenangan pada batin orang yang akan atau baru meninggal dunia itu. Caranya tidak lain membacakan paritta di samping pembaringannya. Adalah lebih baik jika anggota Sangha turut membacakan paritta-paritta suci. Dengan begitu akan mengkondisikan agar sanak saudara kita itu dapat terlahir-kembali di alam yang menyenangkan.

Esai ini ditutup dengan pembahasan tentang manfaat paritta-sutta juga mengenai pentingnya umat memiliki buku paritta (yang disebut juga sebagai buku perlindungan) di rumah mereka. Dengan mendengarkan atau membacakan paritta disertai keyakinan yang mendalam dapat membuahkan kesejahteraan batin, yang selanjutnya akan membawa pada kesembuhan dan pencegahan dari marabahaya. Tentu saja untuk mendapatkan kesembuhan ada syarat-syarat lainnya yang mesti dipenuhi.

Booklet ini baik dibaca untuk mereka yang baru mengenal agama Buddha. Juga direkomendasikan pada mereka yang ingin memahami tradisi peribadatan agama Buddha lebih lanjut.


resensibuku/ibadatdankebiasaanbuddhis-piyadassi/sdjn/191130

Jumat, 29 November 2019

MEMBEDAH DHAMMAPADA


MEMBEDAH DHAMMAPADA




Judul Buku: Dhammapada Pesan Dari Zaman Kuno Yang Tetap Membumi
Pengarang : Bhikkhu Bodhi
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 44 halaman


Kitab suci Tipitaka yang jika dituangkan dalam bentuk buku akan memuat jumlah halaman yang banyak sekali. Maka ada pikiran dari orang yang berpandangan praktis, bagaimana kalau kita membaca ringkasannya saja. Ringkasan itu ada pada Dhammapada, yang merupakan kumpulan 423 syair yang elok. Tentu saja pendapat ini berlebihan, tetapi seperti yang dikemukakan oleh Bhikkhu Bodhi, pengarang esai ini, terdapat keberagaman ajaran yang sedemikian luasnya di dalam Dhammapada.

Keberagaman ajaran dalam syair-syair Dhammapada yang bernas dan intuitif, menurut pengarang, juga diikuti oleh ketidakkonsistenan yang dapat membingungkan pembaca yang pengertiannya masih dangkal. Misalnya ada banyak syair yang memberikan kiat agar praktik-praktik tertentu dijalankan, yang mampu membawa mereka ke surga. Sementara di syair yang lain, Sang Buddha mencela para siswanya yang mendambakan surga serta sebaliknya memuji mereka yang tidak berselera terhadap surga. Bagi pembaca yang bersangkutan mungkin mereka berpendapat bahwa ajaran Sang Buddha penuh dengan kontradiksi.

Guna mengatasi kesalahan persepsi seperti itu Bhikkhu Bodhi memberikan satu kutipan yang berasal dari kitab Udana: "Seperti samudera luas yang hanya memiliki satu rasa, yakni rasa asin; demikian juga Dhamma dan Vinaya hanya memiliki satu rasa, yakni rasa kebebasan." Jadi meskipun ada keberagaman dalam makna dan perumusannya, ajaran Buddha semuanya cocok bersama-sama membentuk sistem yang koheren sempurna, yakni seluruhnya merupakan satu kesatuan dari sasaran terakhirnya. Sasaran terakhir itu adalah kebebasan atau vimutti.

Untuk memahami bagaimana Dhammapada secara keseluruhan berkontribusi pada sasaran tertingginya, pengarang memberikan satu skematisme yang terdiri dari empat tingkat instruksi. Keempat tingkat instruksi ini terbagi menjadi dua tingkat perintah yang bersifat duniawi. Sedangkan dua tingkat perintah berkaitan dengan transendensi, yang terbagi lagi menjadi tingkat jalan dan tingkat buah.

Tingkat pertama dinamakan "Kebaikan Manusia Sekarang dan Disini", ditujukan pada kebutuhan untuk menetapkan kesejahteraan umat manusia serta kebahagiaan dalam ranah hubungan pribadi yang langsung terlihat. Patut digarisbawahi pengarang mengemukakan kebahagiaan itu diantaranya menghilangkan konflik, yang mana konflik membawa pada penderitaan yang masif pada individu, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan.

Tingkat kedua adalah "Kebaikan Dalam Kehidupan-kehidupan Yang Akan Datang". Kebaikan pada tingkat kedua ini serupa dengan kebaikan tingkat pertama, dengan kebahagiaan yang akan menyertainya tidak terbatas di alam kehidupan yang kelihatan, namun jauh ke masa depan yang tak terbayangkan dalam perjalanan lanjutan individu yang bersangkutan mengarungi samsara.

Selanjutnya tingkat yang ketiga tidak lain "Jalan Menuju Kebaikan Akhir", menjelaskan kerangka teori bagi cita-cita untuk menggapai kebebasan akhir. Kebaikan akhir ini berkaitan dengan disiplin praktik yang dapat membawa cita-cita ini pada realisasinya, yakni pelaksanaan Jalan Mulia Beruas Delapan.

Kemudian pada tingkat yang keempat adalah "Sasaran yang Tertinggi" merupakan buah yang akan diperoleh setelah merampungkan tingkat yang ketiga. Tingkat keempat adalah perayaan dan sambutan kegembiraan dari mereka yang telah memperoleh buah sang jalan dan memenangkan sasaran yang terakhir.

Esai dalam booklet ini patut dibaca oleh mereka yang ingin mengkaji lebih jauh pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari Dhammapada, dipandang dari kerangka ajaran Sang Buddha secara keseluruhan. Walaupun esai ini tidak mengeksplorasi seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam Dhammapada, pembaca yang ingin melakukan penelitian yang lebih mendalam dapat memulainya dengan memanfaatkan pedoman yang diberikan oleh Bhikkhu Bodhi.


resensibuku/dhammapadapesandarizamankunoyangtetapmembumi-bhikkhubodhi/sdjn/191129


Kamis, 28 November 2019

SANG GURU YANG UNIK KARENA AJARANNYA


SANG GURU YANG UNIK KARENA AJARANNYA






Judul Buku: Sang Buddha, Guru Yang Tiada Duanya
Pengarang : Francis Story
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 36 halaman


Umat Buddha sering disuguhi cerita tentang kehidupan Sang Buddha, yang mana kisah kelahiran dan masa mudanya banyak diwarnai oleh keajaiban atau hal-hal gaib, yang bagi kita sebagai orang modern hal-hal seperti itu sulit diterima oleh akal sehat. Umat boleh saja percaya atas kebenaran cerita-cerita tadi atau boleh juga menganggapnya hanya sebagai sekedar cerita fiksi. Keunikan Sang Buddha tidaklah tergantung pada keajaiban-keajaiban, tetapi pada fakta kisah hidupnya yang biasa dan lumrah, dan di atas segalanya pada kebenaran ajarannya yang bisa direalisasikan. Demikian dikatakan oleh Francis Story, pengarang esai ini.

Kebenaran ajarannya didasarkan pada pengalaman yang telah dijalaninya sendiri. Sang Buddha tidak pernah mengatakan ajarannya dengan kata-kata: mungkin, kira-kira, bisa jadi, atau seandainya. Pandangan benar yang tanpa cacat membuatnya memahami dengan tepat selagi ia menyampaikan ajarannya secara jitu kepada orang-orang yang berbeda latar belakangnya. Inilah keterampilan yang dinamakan parihariya atau ajaran yang ajaib, yang menyiratkan keajaiban sejati Sang Buddha.

"Dalam kesehariannya Sang Guru menggunakan bahasa yang biasa dipergunakan sehari-hari oleh para pendengarnya. Jika berhadapan dengan orang yang terpelajar, ia akan melanjutkannya ke bahasa yang lebih sulit sesuai dengan kemampuan mereka. Kepada mayoritas orang ia akan menyampaikan pedoman moral sederhana, yang diilustrasikan dengan ceritera jenaka yang hidup dan dipertegas dengan nasihat-nasihat yang lebih serius." (hal. 22)

"Kepada kelompok yang kritis ia akan memberikan kebenaran filosofis, lalu mendiskusikannya bersama mereka berbagai aliran pemikiran, serta akhirnya menarik kesimpulan dari diskusi itu. Untuk sebagian orang ia memakai ironi yang halus tetapi meresap maknanya, yang mampu menanggalkan dalih-dalih takhyul kaum brahmana. Dalam dialog seperti itu kita bisa menyaksikan manifestasi pikiran yang cerdas dan berbudaya, yang selalu siap menyerasikan dengan apa yang baik dan benar dimana pun hal tersebut ditemukan. Serta pada saat yang sama juga realistik tak gentar ketika dipertentangkan dengan khayalan atau kefanatikan." (hal. 22-23)

Dengan keterampilannya bercerita, Francis Story mengupas riwayat Sang Buddha dengan lugas dan apa adanya. Ia juga dengan jitu menggambarkan makna Kesunyataan Mulia yang pertama dan yang kedua, dengan melirik dan memandangnya dari kacamata orang modern. Ditegaskannya pula bahwa di zaman sekarang ini, jika mata hati kita terbuka, kita akan melihat dengan jelas Kebenaran Mulia ini

Tulisan ini mampu memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan serta dianjurkan untuk dibaca oleh para pembaca pemula, kalangan guru agama Buddha, mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha, dan para dharmaduta.


resensibuku/sangbuddhaguruyangtiadaduanya-francisstory/sdjn/191128


Rabu, 27 November 2019

MENGAPA AJARAN BUDDHA BISA MENJADI AGAMA BESAR DI DUNIA?

MENGAPA AJARAN BUDDHA BISA MENJADI AGAMA BESAR DI DUNIA?




Judul Buku: Sang Buddha dan Ajarannya, Dua Pelajaran Buddha Dhamma
Pengarang : Bhikkhu Bodhi
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 56 halaman


Jika kita mencoba untuk merenungkan bagaimana satu ajaran yang diperkenalkan oleh seorang guru kepada orang-orang di lingkungannya, lalu seiring berjalannya waktu, ajaran itu mampu mempengaruhi pola pikir dan pandangan hidup masyarakatnya; maka patut dipertanyakan guru dengan model seperti apa dan atau ajaran apa yang membuatnya sukses. Demikian juga jika kita mau mencari tahu kesuksesan agama-agama besar yang dianut oleh umat manusia selama berabad-abad, kita mesti mempelajari dan menyelidikinya lebih lanjut.

Demikianlah satu pendekatan untuk memahami mengapa agama Buddha mampu menjadi satu agama besar di dunia, telah dicoba untuk dijabarkan oleh Bhikkhu Bodhi dalam booklet ini. Seperti yang diutarakan oleh pengarang dalam pembukaannya, walaupun sekarang Buddha Dhamma telah kehilangan banyak penganutnya di dunia Timur, Dhamma tumbuh subur di dunia Barat dan sedang mencari akar yang kokoh di beberapa negera di bumi belahan Barat.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, dengan karakternya yang damai, non-dogmatik, dan toleran, Dhamma begitu mudahnya beradaptasi dengan budaya asli dan praktik keagamaan yang masih tertanam erat dalam keseharian penduduk lokal. Selanjutnya berangsur-angsur Dhamma pada gilirannya menghidupi budaya baharu dan menjadi pandangan dunia.

Orang awam yang baru mengenal agama Buddha dengan keragaman sekte-sektenya, dibikin bingung jika mereka mengamati kulit luar agama ini, yang sungguh berbeda satu dengan yang lain. Dalam esai kali ini, Bhikkhu Bodhi mampu menggambarkan secara ringkas tiga aliran besar agama Buddha yang ada sekarang ini, yakni Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Dikatakannya Buddhisme Theravada bersifat seremonial dan ramah, sedangkan Buddhisme Mahayana ditandai dengan bhakti dan bersifat kontemplatif, serta Buddhisme Vajrayana penuh dengan ritualisme dan bersifat misterius. Jika kita hanya melihat kulit luarnya, kita sulit mencari benang merah yang mengikat praktik-praktik keagamaan diantara sekte-sekte buddhis tersebut. Walaupun demikian, jika ajaran-ajaran itu digali lebih dalam semuanya sesungguhnya berasal dari sumber yang sama.

Lebih jauh dikatakan oleh pengarang, daya tarik Dhamma bukanlah semata-mata karena ajarannya saja atau karena semata ada pada sosok pendirinya. Kisah hidup Buddha tidak lain suatu rangkaian pelajaran yang membentuk dan membawa kita kepada butir-butir ajarannya yang esensial. Jadi dalam kehidupan pribadinya, orang dan pesannya melebur bersama dalam satu kesatuan yang tak-terpisahkan. Refleksi kehidupan Buddha dijelaskan dengan eloknya dalam buku ini, yang sekaligus menunjukkan keterampilan pengarang untuk menguraikan dan menyajikannya kepada para pembacanya.

Pada bagian selanjutnya pengarang menceritakan misi Sang Buddha, yang di tanah kelahirannya terbukti memikat banyak pengikutnya. Setelah ditelaah, pengarang yakin bahwa keberhasilan Buddha Dhamma sejalan dengan seruan masa kini, yang dapat dipahami secara prinsipil oleh dua faktor. Yang pertama adalah sasaran ajarannya dan yang kedua adalah fitur-fitur karakteristik ajarannya.

Booklet ini mampu memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan bagi mereka yang telah memiliki pengertian yang memadai tentang agama Buddha. Bagus sebagai bahan bacaan tambahan bagi para guru agama Buddha, mahasiswa sekolah tinggi agama Buddha, dan para dharmaduta.

Satu hal yang patut kami pertanyakan ada pada bagian akhir esai ini. Pengarang menambahkan dua kisah dalam kehidupan Buddha, yang bercerita tentang Angulimala dan Kisagotami. Jika melihat alur pembahasan tentang Sang Buddha dan Ajarannya, penambahan dua kisah ini terasa janggal. Dengan menghilangkan kedua kisah tersebut, seharusnya anak judul "Dua Pelajaran Buddha Dhamma" pada judul booklet ini sebetulnya bisa dihilangkan.


resensibuku/sangbuddhadanajarannya-bhikkhubodhi/sdjn/191127



Selasa, 26 November 2019

LOKASI PEZIARAHAN UMAT BUDDHA


LOKASI PEZIARAHAN UMAT BUDDHA





Judul Buku: Empat Tempat Suci Agama Buddha
Pengarang : Piyadassi Thera
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 36 halaman




Tulisan berupaya esai ringkas dalam bentuk buku-mini alias booklet memiliki keuntungan maupun kerugiannya sendiri. Buku-mini sebagai materi cetak biasanya digunakan sebagai buku tipis berisi panduan yang akan menyampaikan dan menjelaskan ide atau gagasan tentang topik tertentu kepada pembacanya. Dibandingkan buku, buku-mini memberikan kesan ringan, ringkas, tidak bertele-tele, dan murah. Kekurangannya, pasti isi atau informasi yang terdapat di dalamnya tidak bisa sebanyak dan sekaya jika dibandingkan buku pada umumnya.

Buddhist Publication Society yang berkedudukan di Sri Lanka telah sejak awal menerbitkan buku-mini dalam seri penerbitan The Wheel dan The Bodhi Leaves. Kali ini kita akan membahas salah satu edisi The Bodhi Leaves, yang berjudul "Empat Tempat Suci Agama Buddha".

Seperti yang diamanatkan sendiri oleh Sang Buddha menjelang kemangkatannya, ada empat lokasi yang dirujuk untuk diziarahi oleh para pengikutnya. Keempat lokasi itu masing-masing: (1) Tempat kelahiran pangeran Siddhartha, (2) Tempat bodhisattva Gotama mencapai pencerahan agung, (3) Tempat Sang Buddha mengajarkan Dharma untuk pertama kalinya, dan (4) Tempat wafatnya Sang Buddha.

Dalam esai singkat kali ini Y.M. Piyadassi menceritakan secara singkat cuplikan episode kehidupan Buddha Gotama, yang berkaitan dengan empat peristiwa agung tersebut. Selain episode empat peristiwa agung, pengarang juga menceritakan dilakukannya prosesi-kerajaan yang dilakukan oleh Kaisar Asoka  (seorang raja dan penguasa besar dalam sejarah India), mulai dari tempat kelahiran Sang Buddha hingga ke beberapa tempat sakral yang tersebar di seantero negeri.

Pengarang menceritakan tugu batu Asoka yang menandai tempat kelahiran Buddha, yakni Lumbini. Tugu batu itu merupakan sebuah prasasti yang memiliki ukiran 93 buah karakter kuno, yang isinya tulisan bahwa Asoka pernah berkunjung ke sana dan ia membangun selasar dinding batu dan sebuah tugu. Ia juga menaikkan status desa kelahiran Sang Buddha itu. Di Bodh-Gaya, tempat Sang Buddha mencapai pencerahan agung, Asoka mendirikan pula pagar batu di sekeliling pohon bodhi yang keramat. Namun sayangnya pagar batu itu telah lama hilang. Di tempat Sang Buddha membabarkan ajarannya untuk yang pertama kali, yakni di Sarnath, Asoka mendirikan sebuah tiang batu yang megah. Tiang batu ini mempunyai kepala singa yang elok dan sekarang bagian tugu batu ini disimpan di Museum di kota Sarnath, serta kepala singa ini dijadikan lambang negara India merdeka. Terakhir di Kusinara, tempat wafatnya Sang Buddha, dikisahkan bahwasanya Asoka pernah mendirikan sebuah stupa agung. Namun sayangnya keberadaan stupa ini masih gelap dan sedang dalam upaya pencarian.

Buku-mini ini dianjurkan untuk dibaca bagi pembaca yang baru mengenal agama Buddha. Juga bagus dijadikan bacaan tambahan bagi siswa sekolah. Selain itu direkomendasikan pula menjadi koleksi bagi para guru agama Buddha dan dharmaduta sebagai bahan referensi.

Kekurangan buku ini menurut penilaian kami terlalu singkat. Semestinya dengan isi halaman yang sama, penulis bisa mengeksplorasi tulisan yang lebih banyak, sehingga isi satu booklet ini bisa menceritakan artikel tentang satu tempat suci agama Buddha (bukan keempatnya sekaligus) dengan lebih panjang-lebar, sehingga isinya akan lebih menarik bagi para pembacanya.


resensibuku/empattempatsuciagamabuddha-piyadassi/sdjn/191126


Senin, 25 November 2019

APAKAH ADA MAHAPARINIRVANA SUTRA?


APAKAH ADA MAHAPARINIRVANA SUTRA?







Judul Buku: Warisan Sang Buddha yang Terakhir,
Terjemahan dari Tipitaka Mandarin
Editor : Khantipalo Bhikkhu
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 52 halaman


"Warisan Sang Buddha yang Terakhir dikenal oleh sebagian kalangan sebagai "Buddha Pacchimovada Parinibbana Sutta", yang saat ini hanya tersisa terjemahannya dalam bahasa Mandarin. Naskah aslinya dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta sudah lama hilang. Sutra ini disusun oleh orang India yang bernama Acarya Kumarajiva. Selanjutnya dari bahasa Mandarin, sutra ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beruntunglah kita bahwasanya terjemahan bahasa Inggrisnya yang terdiri dari tiga versi masih ada.

Atas upaya Y.M. Bhikkhu Khantipalo (sebagai Editor) telah disusun kembali sutra ini sehingga menjadi buku kecil, yang kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dharma Prima Pustaka. Editor telah menulis ulang sutra ini dan memberikan istilah padanannya dalam bahasa Pali. Beliau pun telah memberikan satu pengantar yang begitu bagus, hingga buku kecil ini lebih mudah dipahami oleh para pembacanya. Pengertian tertentu diberikan sebagai tambahan keterangan dalam tanda-kurung dan catatan-kaki. Pada bagian terakhir beliau menambahkan adanya kesejajaran pada penutup sutra ini dengan frasa yang terdapat pada Mahaparinibbana Sutta (yang berasal dari kitab suci Digha Nikaya).

Jika kita membaca Buddha Pacchimovada Parinibbana Sutta ini, maka nama yang cocok untuk diberikan adalah Parinirvana Sutra, karena sutra ini dibabarkan persis pada malam terakhir sebelum Sang Buddha mencapai parinirvana. Justru Mahaparinibbana Sutta yang terkenal itu menceritakan kejadian sekitar satu tahun terakhir kehidupan Sang Buddha hingga sisa jasmaninya diperabukan dan reliknya dibagi-bagikan. Muatan terbesar sutra ini berisi nasihat yang penting yang semestinya dijalankan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni, jadi pantaslah sutra ini disebut sebagai warisan terakhir dari Sang Guru.

Bagian awal buku ini bercerita "Tentang Pengembangan Kebajikan di Dunia Ini" yang terbagi menjadi tujuh butir, yakni: (1) Nasihat dalam Merawat Sila, (2) Nasihat pada Pengendalian Batin dan Tubuh, (3) Nasihat Tentang Mengambil Makanan Secukupnya, (4) Nasihat Tentang Tidur, (5) Nasihat untuk Menahan Diri dari Kemarahan dan Keinginan-jahat, (6) Nasihat untuk Menahan Diri dari Kesombongan dan Rasa Hina, dan (7) Nasihat tentang Sanjungan. Ketujuh nasihat ini ditujukan untuk rahib buddis atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian, tetapi nasihat No. 1, 3, 5, 6, dan 7, juga relevan untuk dilatih oleh umat perumah tangga. Jadi ada baiknya kita sering membaca ulang sutra ini, merenungkannya, dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bagian berikutnya sutra ini berturut-turut: "Tentang Keuntungan bagi Manusia Agung Yang Pergi Menjadi Petapa Tak-berumah", "Daya Upaya Sendiri", dan "Tentang Menghapuskan Semua Keraguan". Isi sutra ini cukup ringkas dan padat serta menghabiskan tempat hanya sebanyak 33 halaman saja.


resensibuku/warisansangbuddhayangterakhir-khantipalo/sdjn/191125


Minggu, 24 November 2019

KATEKISMUS BUDDHIS, APA PULA ITU?


KATEKISMUS BUDDHIS, APA PULA ITU?





Judul Buku: Katekismus Buddhis
Pengarang : Henry Steel Olcott
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 200 halaman


Buku ini ditulis menjelang perpindahan abad ke-19 menuju abad ke-20 dengan sasaran pembaca para siswa sekolah Buddhis di Sri Lanka.  Patut diketahui pada masa itu Sri Lanka masih dijajah oleh Inggris. Kondisi penduduk asli Sinhala berada di jurang keterpurukan, karena pelecehan atas ras, warna kulit, budaya, dan agama leluhur mereka. Olcott adalah satu dari beberapa orang Barat yang bersimpati pada perjuangan orang Sinhala dalam memperjuangkan nasib bangsa mereka. Bermula dari kecintaannya pada Teosofi, Olcott terpincut oleh ajaran agama Buddha. Belakangan Olcott juga yang memprakarsai pendirian sekolah-sekolah Buddhis di Sri Lanka. Namanya pun harum di kalangan rakyat di sana dan ia dianggap sebagai pahlawan.

Bicara mengenai Olcott berarti berbicara tentang buku kecilnya "Buddhist Catechism" (diterjemahkan: "Katekismus Buddhis"). Dengan meniru format Katekismus Nasrani, Olcott dengan penuh antusiasme menyusun sebuah buku yang diperuntukkan bagi siswa-siswi sekolah. Untuk mendapatkan otorisasi, Olcott bergantung pada H. Sumangala, seorang bhikkhu kepala dengan bakat penguasaan kitab suci Tipitaka yang luar biasa dan merupakan tokoh yang paling dihormati pada zaman itu di Sri Lanka. Katekismus Buddhis ini diterbitkan dalam beberapa edisi dan beberapa puluh kali pencetakan ulang.

Kita perlu membahas terlebih dahulu apa yang dinamakan katekismus itu. Katekismus adalah satu ringkasan dari suatu ajaran yang diperuntukkan untuk mengajarkan doktrin agama, yang diperuntukkan bagi anak-anak maupun orang dewasa, yang biasanya diajarkan sebelum orang itu dibaptis atau dipermandikan. Katekismus lazim diciptakan dalam konteks pengajaran agama Nasrani. Selama ini dikenal ada Katekismus Katolik, Katekismus Kristen, Katekismus Lutheran, dan sebagainya. Bila dirunut asal usulnya (lihat Catechism, Wikipedia), format katekismus bermula dari mazhab Epikurus di zaman Yunani Kuno.

Katekismus lebih umum disajikan dalam format kumpulan pertanyaan yang kemudian diikuti dengan jawabannya, serta dimaksudkan untuk dihafalkan. Mungkin orang bertanya, katekismus itu mengacu pada budaya Nasrani, jika ada Katekismus Buddhis apa pula itu? Adalah Olcott yang pertama kalinya memperkenalkan bentuk pengajaran agama Buddha dengan metode yang telah diwesternisasikan. Contoh tanya-jawab dalam katekismus:

P : Apa sebutan bagi laki-laki buddhis yang berkeluarga?
J : Seorang Upasaka

P : Sebutkan sekali lagi kapan Pangeran Siddhartha dilahirkan?
J : Enam ratus dua puluh tiga tahun sebelum Masehi.

Katekismus Buddhis terbagi menjadi lima bab, berturut-turut isinya: (1) Riwayat Hidup Sang Buddha, (2) Dharma atau Ajaran, (3) Sangha, (4) Kebangkitan dan Penyebaran Buddha Dharma, serta (5) Buddha Dharma dan Ilmu Pengetahuan.

Pada bab pertama pengarang mulai memperkenalkan bagaimana seorang menjadi buddhis, lalu dilanjutkan dengan dengan riwayat hidup Sang Buddha mulai dari saat kelahirannya sampai waktu kemangkatannya. Bab kedua membahas konsep bodhisattva dan kebudhaan, empat kesunyataan mulia, nirvana, karma, kelahiran-kembali, alam kehidupan, tiga perlindungan, pancasila-buddhis, kitab suci Tipitaka, obyek pemujaan buddhis, serta berbagai kebajikan yang bisa dijalankan oleh perumah-tangga buddhis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selanjutnya dibahas apa yang dimaksud jiwa dan skhandha dalam agama Buddha, sepuluh belenggu, serta hukum sebab dan akibat. Pada bab ketiga diceritakan apa perbedaan rahib buddhis dengan rohaniwan agama lain, sepuluh sila dan 250 sila beserta garis besarnya, pelantikan dan kehidupan seorang samanera, kehidupan seorang bhikkhu, meditasi apa yang dilakukan oleh seorang bhikkhu dalam hidup kebiaraannya,

Pada bab keempat pengarang menceritakan bagaimana Dharma yang lentur, toleran, dan membawa kebahagiaan pada banyak orang menyebar dengan damai ke seantero penjuru India. Semuanya memuncak sekitar tiga abad setelah wafatnya Sang Buddha, yakni ketika seorang kaisar agung yang bernama Ashoka memimpin anak benua India. Selanjutnya dikisahkan bagaimana Dharma menyebar ke Sri Lanka, Afganistan, wilayah Asia Tengah, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang, dan Asia Tenggara, bahkan pengaruhnya sampai ke Yunani. Pada bab kelima dibahas bagaimana Dharma memiliki semangat yang sama dengan ilmu pengetahuan. Berikutnya diceritakan bagaimana Sang Buddha memiliki sinar tubuh atau aura yang kuat, yang mana aura ini bisa ditemukan pula memancar dari tubuh manusia biasa. Terakhir dibahas bagaimana kekuatan pikiran mampu menciptakan apa yang orang awam menyebutnya sebagai mukjizat,

Pada bagian Apendiks, Olcott memaparkan empat belas butir kesepakatan ajaran agama Buddha antara mazhab Agama Buddha Aliran Utara dengan mazhab Agama Buddha Aliran Selatan, yang merupakan kesepakatan dari para pemuka agama Buddha dari berbagai negara-buddhis zaman itu. Kesepakatan yang dicapai pada tahun 1891 itu sebetulnya merupakan prestasi yang luar biasa jika melihat kondisi perkembangan agama Buddha yang memprihatinkan pada masa itu.

Penulis melihat buku ini bagus dipakai sebagai buku bacaan tambahan untuk mata pelajaran agama Buddha di tingkat SLTP dan SMA/SMK. Juga bisa menjadi referensi tambahan bagi para guru agama Buddha di sekolah umum.

Kekurangan buku ini terletak pada catatan kaki yang terlalu panjang dan bertele-tele dalam menjelaskan pandangan pengarang, misalnya tentang individualitas atau kepribadian dilihat dari sudut pandang Buddhism. Hal mana sebenarnya tidak begitu bermanfaat untuk para pembaca, yang hanya memerlukan penjelasan yang ringkas dan jelas. Juga dimasukkannya istilah Pali untuk menjelaskan satu ajaran tertentu serta penggunaan istilah Sanskerta untuk melengkapi doktrin yang lain dalam satu buku kecil, malahan membuat bingung siswa yang baru mengenal agama Buddha.


resensibuku/katekismusbuddhis-olcott/sdjn/191124


Sabtu, 23 November 2019

JALAN BARU MEMAHAMI FALSAFAH BUDDHIS


JALAN BARU MEMAHAMI FALSAFAH BUDDHIS





Judul Buku: Katekismus Buddhis, Pengantar Ajaran Buddha Gotama
Pengarang : Subhadra Bhikshu (Friedrich Zimmermann)
Penerbit : Dharma Prima Niaga
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman : 190 halaman


Buku ini ditulis ketika ajaran Buddha Gotama baru dikenal oleh masyarakat Barat. Mengambil format tanya-jawab, Friedrich Zimmermann sang pengarang mengikuti langkah pendahulunya Henry S. Olcott, dengan memberikan nama judul buku yang sama. Buku ini terbagi menjadi empat bab, berturut-turut isinya (1) Pendahuluan, (2) Sang Buddha, (3) Dhamma, dan (4) Sangha. Pada bab pertama Zimmermann mampu menjelaskan secara jelas apa itu agama Buddha dan bagaimana menjadi seorang Buddhis, rumusan tiga bimbingan, beserta makna yang terkandung di dalamnya.

Pada bab kedua pengarang menceritakan riwayat hidup Sang Buddha secara ringkas, dengan berpedoman pada Kanon Pali, yakni Kitab Suci Tipitaka. Ia juga menjelaskan konsep kehidupan petapa, asketisme, ajaran kamma dan tumimbal-lahir, keberadaan dewa, tiga pertanda yang khas Buddhis (menjadi tua, sakit, dan mengalami kematian), serta pencerahan; yang mana semuanya itu merupakan konsep-konsep yang asing bagi orang Barat pada masa itu. Zimmermann juga berupaya membandingkan episode kehidupan Buddha Gotama dengan sosok Jesus, pendiri agama Nasrani. Ia mencontohkan saat Sang Buddha dirayu oleh Mara dengan peristiwa ketika Jesus digoda oleh Iblis; juga paralelisasi antara kisah-kisah Buddhis dalam cerita Jataka dengan riwayat hidup Jesus seperti yang dituturkan oleh para rasulnya.

Pada bab ketiga yang mana ajaran Buddha mengambil porsi terbesar pada pembahasan buku ini, dijelaskan Dhamma berdasarkan filosofi Buddha. Dengan bertitik tolak pada para Buddha sang pencerah dunia ini dijelaskan keberadaan samsara, hukum-hukum Kesunyataan, dan Nibbana. Selanjutnya pengarang menyajikan berbagai pertanyaan tentang kamma dan dikaitkan dengan keberadaan makhluk-makhluk di alam semesta. Kemudian dilanjutkan dengan tuntunan moralitas bagi umat awam maupun para bhikkhu. Setelah itu pengarang masih membahas kategori perbuatan baik dan buruk beserta implikasi akibatnya, dengan memuat berbagai persoalan yang sering diwacanakan oleh umat awam. Tanya-jawab ini berlangsung cukup panjang hingga mencakup 26 buah pertanyaan.

Pengarang juga membahas masalah individualitas dilihat dari pandangan Buddha Dhamma disertai penjelasan tentang lima khandha, satu ajaran yang cukup sulit dimengerti oleh para pemula. Zimmermann juga masih membahas perbandingan antara agama Buddha dengan agama lainnya seperti pertobatan dan penebusan dosa, sejauh mana keyakinan terhadap Sang Buddha mampu menyelamatkan seseorang setelah kematiannya, sikap seorang Buddhis terhadap mereka yang berbeda keyakinan dengannya, sikap pasif seorang Buddhis, fungsi sembahyang dan pelaksanaan ritus keagamaan lainnya, serta anggapan sikap pesimistis ajaran Buddha dan bantahannya.

Bab terakhir Katekismus Buddhis ini membahas persaudaraan para bhikkhu dan bhikkhuni, syarat menjadi anggota Sangha, penahbisan dari status seorang siswa menjadi rahib penuh, dan sekilas mengenai kehidupan bhikkhu dan aturan vinaya.

Pembaca yang baru mengenal agama Buddha dianjurkan untuk membaca buku ini. Dengan penjelasan yang runtut dan disertai dengan alasan yang mendasarinya, pembaca diajak memahami realitas kehidupan ini menurut pemikiran dan filsafat Buddhis. Dari sana pembaca diajak untuk berkontemplasi tentang kehidupan ini dan selanjutnya dapat memahami bagaimana seseorang sampai memilih jalan kehidupannya sebagai seorang rahib atau petapa. Inilah kunci memahami pikiran orang-orang yang menganut keyakinan seperti ini. Dengan begitu pembaca dapat melihat ajaran Buddha yang sesungguhnya, seperti yang diamanatkan oleh pengarangnya. Bagi para pembaca pemula, disarankan untuk membaca dan mencernanya sedikit demi sedikit, sambil direnungkan apakah ajaran yang diwartakan di dalamnya sesuai dengan pengalaman hidup si pembaca.

Buku ini disusun dengan apik disertai petikan-petikan yang bernas ditambah susunan kalimat yang elok, namun bukan berarti tanpa kekurangan. Dari 170 pasangan tanya-jawab dalam buku ini ada 93 buah catatan-kaki, berarti lebih dari separuh tanya-jawab yang ada itu membutuhkan keterangan satu catatan-kaki. Untunglah catatan-kaki diletakkan tidak jauh dari pertanyaan dan jawabannya. Jadi pembaca mesti jeli membaca kandungan yang terdapat pada bagian tanya-jawab dengan catatan kakinya. Catatan kaki mengacu pada kutipan dari kitab suci atau pendapat pengarang sendiri. Inilah mungkin kekurangan dari buku ini: catatan kakinya terlalu banyak.


resensibuku/katekismusbuddhis-subhadra/sdjn/191123