Rabu, 21 September 2022

TOBAT



Dalam sebuah grup Facebook yang saya ikuti, terkadang ada anggota grup yang mengajukan pertanyaan, dengan harapan agar anggota grup lainnya dapat menanggapi; bahkan si penanya bersyukur jika ada di antara mereka dapat memberikan jawaban yang tepat. Ini dia pertanyaan yang diajukan oleh seorang anggota dalam grup Buddhisme, Konghucu, dan Taoisme. "Saya telah berbuat kesalahan yang serius. Bagaimana caranya saya dapat bertobat, dengan membuat pengakuan di tempat ibadah, di hadapan rokhaniwan yang bertugas di sana?"

 

Di bawah postingan itu sudah muncul beberapa tanggapan dan jawaban dari beberapa anggota grup yang lain. Ada seseorang yang menjawab: "Hal itu tidak perlu dilakukan." Yang lain menanggapi: "Boleh dilakukan di depan patung Buddha atau rupang Dewa, namun cukup diutarakan dalam hati saja." Ada juga yang mengutarakan pendapatnya: "Tradisi itu hanya ada di lingkup agama tetangga. Tapi membuat pengakuan dosa tidak lazim dilakukan di lingkungan kepercayaan kita."

 

Sebelum kita membicarakan 'tobat' ini lebih jauh, kita telisik dulu apa makna di balik kata ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 'tobat' berarti (1) sadar dan menyesal akan dosa (yakni atas perbuatan yang salah dan jahat) serta berniat memperbaiki perbuatan dan tingkah laku itu; (2) kembali kepada agama atau ajaran yang benar. Kata 'tobat' sendiri berasal dari bahasa Arab taubat, yang berakar dari kata ta-ba yang bermakna 'kembali' atau 'pulang'. Dalam bahasa Inggris tobat dinamakan repent. Jadi pertobatan adalah tindakan meninjau kembali perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukannya, diikuti penyesalan-penyesalan terhadap kesalahan atau penyimpangan itu, disertai komitmen untuk memperbaikinya di masa depan,

 

Salah satu contoh pertobatan yang paling terkenal bisa pembaca lihat pada sebuah buku yang berjudul Confessiones (artinya 'Pengakuan'), sebuah otobiografi yang ditulis oleh Santo Agustinus dari Hippo. Buku ini aslinya dalam bahasa Latin, dan ditulis pada kurun waktu antara tahun 397 sampai 400 M. Isinya menceritakan masa muda Santo Agustinus yang penuh dosa, lalu pertobatannya menjadi seorang Kristen. Otobiografi ini belakangan menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Nasrani dan pula diakui sebagai satu sastra dunia. Jadi Anda pembaca yang berminat atas karya sastra ini bisa mencarinya di internet dalam terjemahan bahasa Inggrisnya: The Confessions of St. Augustine).

 

Pengakuan atas segala khilaf dan kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang, yang disusul oleh tekad untuk menghindarinya di masa depan, memang tidak dilakukan atau dipertunjukkan dalam ritual-ibadah Buddhisme, Ruisme, dan Taoisme. Namun bukan berarti tidak ada pertobatan dalam ketiga ajaran tersebut. Kisah tentang perjalanan hidup seorang umat awam yang awalnya diisi dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, yang kemudian diakuinya sebagai kesalahan atau ketidakpatutan, lalu ada niat dan upaya yang keras untuk memperbaikinya; bisa kita simak dan pelajari dari kepustakaan ajaran-ajaran tersebut. Berikut ini penulis pilih satu kisah nyata yang berasal dari Buddhisme Theravada.

 

Kejadian ini terjadi ketika Buddha kita masih hidup, yakni pada tahun kedua-puluh setelah pencerahannya. Saat itu Sang Guru sedang bermukim di Sāvatthī, seorang penjahat telah muncul dalam wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala. Penjahat itu memiliki julukan 'Angulimāla', yang bermakna 'Si Kalung-Jari'. Dia adalah seorang pembunuh, dengan tangan yang berlumuran darah, penebar kekerasan dan teror, serta beringas terhadap semua makhluk. Desa-desa, kota-kota, dan beberapa wilayah, telah dihancurkan olehnya. Dia membunuh orang dengan membabi-buta, dan alih-alih merampas harta benda korbannya, dia hanya mengambil jari-telunjuk orang yang diincarnya untuk kemudian dijadikan kalung yang akan dikenakannya di lehernya.

 

Siang itu setelah menyantap makan siangnya Yang Terberkahi setelah mengenakan jubah luarnya dan membawa mangkuk-sedekahnya, pergi ke jalan tempat Angulimāla berada. Para penggembala, petani, dan orang-orang yang berlalu lalang melihat Yang Terberkahi melintas, mereka memberitahukannya, "jangan mengambil jalan ini, bhikkhu. Di sebelah sana ada penjahat yang bernama Angulimāla. Rombongan orang berjumlah sepuluh, dua-puluh, tiga-puluh, bahkan hingga empat-puluh orang pun masih jatuh ke tangan Angulimāla. Walaupun diperingatkan, Yang Terberkahi tetap berlalu dengan berdiam diri. Setelah maju melangkah untuk kedua kalinya kejadiannya berulang, dan Sang Guru tetap melanjutkan perjalanannya. Demikian juga kejadiannya berulang hingga ketiga kalinya.

 

Melihat ada seorang petapa datang dari kejauhan, sang penjahat berpikir, "sungguh mengherankan. Orang-orang bahkan dalam kelompok empat-puluh pun masih tidak bisa lolos dari tanganku. Namun sekarang rahib itu datang sendirian tanpa ada orang yang mendampinginya. Mungkin sudah nasibnya, hidup petapa itu akan berakhir hari ini. Mengapa aku tidak merenggut nyawa si rahib malang ini?"

 

Sambil memegang pedang dan tamengnya serta merentangkan busur panah dan menyiapkan sarung anak panahnya, Angulimāla mengejar Yang Terberkahi. Kemudian Sang Guru menyalurkan kemampuan adibiasa-nya sedemikian, sehingga walaupun Angulimāla berlari sekencang apa pun, dia tidak dapat mengejar orang yang diincarnya. Padahal Sang Guru berjalan dengan melangkah seperti biasa. Angulimāla pun berpikir, "sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya. Atau aku bisa mengejar kuda, kereta, atau rusa, dan aku bisa menyusulnya. Tetapi sekarang meskipun aku berlari secepat yang aku bisa, aku tidak mampu mendekati si rahib yang berjalan dengan melangkah seperti biasa."

 

Angulimāla pun berhenti dan berteriak kepada Yang Terberkahi: "Berhenti, Rahib! Berhenti, Rahib!" Sang Guru menjawab: "Aku telah berhenti, Angulimāla. Engkau juga berhentilah." Sang pembunuh kejam kebingungan, lalu dia bertanya, "bagaimana jadinya engkau telah berhenti, dan aku justru belum?" Sang Guru menjawab, "Angulimāla, aku telah berhenti untuk selamanya. Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk hidup. Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala yang hidup. Itulah mengapa aku telah berhenti, dan engkau belum."

 

Angulimāla pun sadar, Sang Guru jauh-jauh datang ke rimba belantara itu guna menyelamatkannya. Pikirnya: "Oh, telah begitu lama, kutunggu seorang bijaksana yang dapat kumuliakan. Sesungguhnya sejak lama aku ingin melepaskan segala kejahatan ini." Setelah memutuskan apa yang akan diperbuatnya ke depan, sang penjahat keji itu pun mengambil pedang dan senjata lainnya. Lalu dia melemparkannya ke celah jurang yang dalam. Sekarang sang penjahat tertunduk dan bersimpuh-sujud di kaki Yang Terberkahi. Selanjutnya dia memohon untuk ditahbiskan sebagai siswanya. "Marilah, bhikkhu," jawab Yang Terberkahi: "Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna. Jalani kehidupan suci hingga berakhirnya penderitaan secara tuntas."

 

Penulis tidak ingin berpanjang-panjang meneruskan kisah Angulimāla selanjutnya setelah menjalani hidup kebhikkhuan, hingga akhirnya dia mencapai tingkat kesucian tertinggi. Kisah ini menggambarkan bagaimana seorang penjahat dan teroris yang bengis, kemudian berbalik seratus-delapan-puluh derajat, dengan bertobat secara total setelah menjadi murid Buddha. Kisah hidupnya menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan memperlihatkan kehebatan Sang Buddha sebagai seorang guru.

 

Tekad Angulimāla untuk meninggalkan cara hidupnya yang lama, yang menuju kepada kesesatan dan kehancuran, tentu tidak sama dengan pertobatan yang dijalankan oleh orang kebanyakan. Kita sering mendengar cerita di masyarakat, bagaimana seorang mantan narapidana setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, lalu berkeinginan untuk bertobat. Namun banyak di antara mereka yang cuma berjanji, yang dengan berlalunya waktu lupa akan ikrar yang pernah dia ucapkan, kemudian mengulangi kembali kesalahan yang diperbuatnya pada masa kehidupannya yang lalu. Kasus serupa itu banyak terjadi dalam penyalahgunaan psikotropika. Setelah tertangkap basah dan dihukum bui, sang narapidana bahkan bersumpah tidak akan menyentuh barang haram itu lagi. Bilangnya dia telah insyaf dan bertobat, tetapi memang lidah tak bertulang. Selang beberapa lama kemudian dia mulai ketagihan lagi mengkonsumsi narkotika. Jadi apa pantas orang seperti ini dikatakan telah bertobat?

 

Meskipun pertobatan dalam agama yang berasal dari India dan Tiongkok tidak ditekankan dalam ritual keagamaan, tetapi dalam lingkup terbatas pertobatan itu tetap dilakukan. Seperti pepatah yang menyebutkan: to err is human atau "berbuat salah itu manusiawi", selama orang itu belum mencapai pencerahan, dia akan tetap terbelenggu oleh kekotoran batin. Di negara-negara yang penduduknya menganut Buddhisme Theravada, komunitas bhikkhu-nya pada saat bulan purnama di bulan Ashvin, mengadakan perayaan sebagai peringatan berakhirnya masa Vassa yang telah berlangsung selama tiga bulan. Pada kesempatan itu yang dinamakan sebagai Pavāranā, setiap bhikkhu harus hadir menghadap Sangha, dengan kewajiban mengakui penyimpangan dan kesalahannya yang telah dilakukannya selama tiga bulan masa Vassa.

 

Dalam Buddhisme Mahāyāna, salah satu syair pertobatan yang paling umum digunakan untuk refleksi adalah Syair Pertobatan Samantabhadra yang diambil dari Bab 40 Sutra Hiasan Bunga atau 華嚴經 (Huá yán jīng), yang merupakan bagian dari Avataṃsaka Sūtra. Isi dari (Chàn huǐ) atau 'Pertobatan' itu diungkapkan dalam puisi berikut ini:

 

(Wǎng xī suǒ zào zhū è yè),

Semua karma buruk yang telah kulakukan sejak dulu kala,

: (Jiē yóu wú shǐ tān chēn chī);

Yang berasal dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan) yang tak-berawal;

(Cóng shēn yǔ yì zhī suǒ sheng),

Yang tersalurkan lewat tubuh-jasmani, ucapan, dan pikiran,

( qiè zuì zhàng jiē chàn huǐ).

Atas semua tindakan buruk ini, aku menyatakan penyesalan dan bertobat.

 

Di samping menyadari, menyesal, dan bertobat, seyogianya diikuti tekad kuat untuk memperbaiki diri sendiri. Dalam khazanah ajaran Taoisme, dikenal ajaran Xiū Dào (修道). Xiū () dalam kamus bahasa Mandarin bermakna memperbaiki atau merevisi diri – secara fisik, mental, dan karakter – menuju Dào (Sang Jalan), sehingga tercapai keselarasan yang abadi-sempurna. Xiū dào bukanlah upaya tunggal, melainkan proses perbaikan terus menerus; proses menyucikan batin dari kurang-bersih menjadi bersih, atau usaha yang berkelanjutan membuang kejahatan dan penyimpangan, sekaligus kembali ke Jalan yang benar.

 

Begitu pentingnya Dào atau Sang Jalan ini, seperti diutarakan pada butir 8 Kitab Tài shàng gǎn yīng piān ( ) yang berbunyi: "  (Shì dào zé jìn), 退 (Fēidào zé tuì)", yang artinya: "Jika itu adalah Dào, masukilah. Jika itu bukan Dào, tinggalkanlah." Nasihat itu mengajarkan bahwa untuk merevisi diri harus berpedoman pada ajaran Dào. Walaupun sesungguhnya kita tahu bahwa :

 

(Zhīdào yì), 信 道 难 (Xìndào nán)

Mengenal Dào itu gampang, tetapi percaya kepada Dào itu sulit.

知 道 易 (Zhīdào yì), 行 道 更 难 (Xíngdào gèng nán)!

Giliran sudah percaya Dào, tetapi melaksanakan Dào ternyata lebih susah lagi!

 

Namun kita harus tetap teguh dalam keyakinan bahwa seseorang kalau ingin hidup sejahtera, panjang umur, dan selamat dari segala marabahaya, maka harus selalu berpedoman pada kalimat:

(Yī ‘dào’ ér xíng);

Selalu melakukan perbuatan sesuai dengan Sang Jalan

(Duàn è xiàng shàn).

Selalu menjauhi kejahatan dan senantiasa berusaha menggapai kebajikan.

 

Harus bisa berkeyakinan sampai:

(Níng shǒu shàn ér sǐ);

Lebih baik mati gara-gara mempertahankan kebajikan,

(Bù wéi è ér sheng).

Daripada hidup dengan berbuat kejahatan.

 

Kutipan-kutipan terakhir itu sebenarnya ingin menegaskan bahwa xiū dào atau merevisi diri adalah pertobatan yang sesungguhnya, yang lebih sesuai diikuti oleh orang-orang yang mengikuti kepercayaan dari India dan Tiongkok, atau agama dan kepercayaan dari Timur.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220921


Tidak ada komentar:

Posting Komentar