Tulisan kita kali ini menyoroti zaman
yang mungkin tidak mudah terbayangkan oleh kita, yakni kita akan menuju ke masa
tiga milenium sebelum Masehi. Perjalanan kita akan menelusuri peradaban
Tiongkok Kuno, yang juga telah dicoba untuk diteliti oleh para ahli arkeologi.
Tiga milenium atau tiga ribu tahun
sebelum Masehi, artinya lima ribu tahun yang lampau, seperti apa keadaan nenek
moyang kita pada zaman itu? Kala itu ditandai dengan perubahan dari Zaman
Batu-Tua (Paleotikum) ke Zaman Batu-Muda (Neolitikum), yaitu periode prasejarah
ketika umat manusia berada dalam masa transisi dari kelompok pemburu-pengumpul
kecil yang nomaden, menuju ke pemukiman pertanian dan membentuk peradaban yang
lebih maju. Berlangsung sekitar 2,5 juta tahun, Zaman Batu-Tua berakhir sekitar
5.000 tahun yang lalu ketika manusia di Timur Dekat memasuki Zaman Batu-Baru.
Serta dalam selang waktu yang tidak berbeda jauh, manusia di berbagai belahan
bumi memasuki Zaman Neolitikum.
Manusia purba hidupnya dihabiskan
sebagai pemburu-pengumpul, yakni mereka menggantungkan pencahariannya dengan
berburu hewan dan menangkap ikan, juga mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan,
sayuran liar, dan hasil hutan lainnya. Revolusi Neolitik atau Revolusi Hijau
dimulai sekitar tahun 10.000 seb.M. di Fertile Crescent, wilayah berbentuk
bumerang di Timur Tengah, tempat manusia pertama kali bertani. Revolusi ini
juga menandai transisi dalam sejarah manusia dari kelompok pemburu-pengumpul
yang kecil dan nomaden ke pemukiman pertanian dan peradaban awal yang lebih tinggi.
Tak lama setelah itu, manusia Zaman Batu-Lama di belahan dunia lain juga mulai
mempraktikkan pertanian. Peradaban dan kota tumbuh dari inovasi Revolusi
Neolitik. Manusia purba melakukan pekerjaan bercocok tanam secara tidak
sengaja. Untaian gandum liar, misalnya, jatuh ke tanah dan pecah ketika
bijih-bijihnya sudah matang. Bulir-bulir gandum itu kemudian dikumpulkan dan
setelah diolah dan dipanggang, bisa dikonsumsi menjadi roti sederhana.
Buah-buahan yang mereka makan bijinya dibuang ke sekeliling pemukiman mereka,
lalu tumbuh menjadi pohon besar, dan akhirnya bisa menghasilkan buah sejenis
yang tinggal mereka petik. Demikian pula halnya dengan sayuran liar dan
umbi-umbian, ternyata bisa dibudidayakan di dekat tempat tinggal mereka.
Ternak pertama dijinakkan dari hewan
yang diburu manusia Neolitik untuk diambil dagingnya. Babi domestik dibiakkan
dari babi hutan, sedangkan kambing berasal dari Ibex persia. Hewan ternak
pertama juga termasuk domba dan lembu, berasal dari Mesopotamia antara 10.000
dan 13.000 tahun yang lalu. Kerbau dan yak didomestikasi di Tiongkok, India,
dan Tibet. Dengan adanya hewan peliharaan yang bertenaga kuat, memungkinkan
mereka dimanfaatkan untuk mengolah tanah, sementara susu dan daging mereka
menambah variasi makanan manusia. Setelah itu hewan liar lainnya, seperti kuda,
keledai, dan unta berhasil dijinakkan – sekitar tahun 4.000 seb.M. – saat
manusia mengembangkannya untuk mengangkut barang, melakukan perjalanan jauh,
dan memulai aktivitas perdagangan. Adanya binatang peliharaan juga membawa
dampak negatif yakni menyebarkan penyakit menular, seperti cacar, influenza,
dan campak; yang menyebar dari hewan ke manusia.
Selain manusia mulai membudidayakan
tanaman dan membiakkan hewan untuk makanan, mereka juga membentuk pemukiman
permanen. Dengan demikian gaya hidup nomaden pun semakin berkurang. Orang-orang
pun mulai hidup bersama dalam komunitas. Dari segi alat yang diciptakan,
manusia purba yang dulunya hanya bisa membuat perkakas dari batu, tulang, atau
kayu; sekarang manusia neolitik mampu mengolah logam untuk dijadikan alat
kerja, berbagai bejana, dan senjata. Mulanya manusia neolitik menambang
tembaga, kemudian mereka mengenal perunggu yakni campuran logam tembaga dan
timah, dan akhirnya besi. Selain mampu memanfaatkan logam, mereka sejak dulu
juga pandai mengolah tanah liat untuk dijadikan tembikar.
Di Tiongkok Kuno zaman neolitikum itu
ditandai dengan munculnya Empat Shì (四氏, Sì Shì), yang
turut serta menciptakan dunia yang beradab ini. Keempat anggota tersebut adalah
Yǒucháo-shì (有巢氏), Suìrén-shì (燧人氏), Fúxī-shì (伏羲氏), dan Shénnóng-shì
(神農氏). Daftar ini
kadang-kadang meluas ke satu anggota lagi menjadi Nǚwā-shì (女媧氏), membuat Lima Shì (五氏, Wǔ Shì). Shì (氏) di sini berarti klen, atau keluarga
(marga), atau suku. Dikisahkan Suìrén mengajarkan orang untuk
menggesek-gesekkan kayu, sehingga terpercik loncatan bunga api, yang selanjutnya
dapat membuat api. Dengan adanya api orang dapat membuat penerangan di malam
hari dan mampu pula mengusir binatang buas. Yǒucháo mengajarkan orang untuk
membangun rumah dari kayu, sehingga orang bisa meninggalkan goa atau naungan
alami lainnya. Setelah jumlah orang bertambah, Shénnóng mencoba memperkenalkan
berbagai jenis rumput, untuk menemukan tanaman yang cocok dalam memenuhi pangan
masyarakat.
Tiongkok Kuno zaman neolitikum dalam
buku-buku sejarah diberi periodisasi mulai dari 3162 seb.M. hingga 2070 seb.M.
Tahun 2070 seb.M. menandai satu era yakni Dinasti Xià (夏朝, Xià Cháo), yang memerintah hingga 1600
seb.M. Zaman neolitikum diperintah oleh Tiga Maharaja dan Lima Kaisar. Zaman
Tiga Maharaja mendahului Zaman Lima Kaisar.
Zaman Tiga Maharaja atau 三皇 (Sānhuáng, Ingg. Three Sovereigns), ditandai oleh tiga
penguasa. Di sini pun ada enam sampai tujuh versi yang tidak sama, tergantung
siapa penulis sejarahnya. Agar tidak membingungkan Anda para pembaca, penulis
mengacu pada pendapat Sejarawan Agung dari masa
Dinasti Han, yakni Sīmǎ Qiān (司马迁). Tiga
Maharaja ini adalah 伏羲(Fúxī) atau 太昊 (Tàihào) sebagai Maharaja
Surgawi atau 天皇 (Tiānhuáng). Kemudian 女媧 (Nǚwā) atau Maharaja Bumi
atau 地皇 (Dehuáng). Dan yang
terakhir adalah 神農 (Shénnóng) sebagai Maharaja Tai atau 泰皇 (Tàihuáng).
Zaman Lima Kaisar atau 五帝 (Wǔdì, Ingg. Five Emperors), ditandai oleh lima penguasa. Di sini pun ada lebih
dari enam versi yang tidak sama, dan kembali penulis akan merujuk pada pendapat
Sīmǎ Qiān. Lima kaisar ini adalah 黃帝 atau Huángdì, yang jika diterjemahkan
dikenal sebagai Kaisar Kuning. Kemudian disusul berturut-turut oleh Kaisar Zhuānxū (顓頊), Kaisar Kù (嚳), Kaisar Yáo (堯), dan Kaisar Shùn (舜).
Tiga Maharaja dikatakan orang sebagai
dewa-raja atau setengah dewa, yang menggunakan kemampuan yang mereka miliki
untuk meningkatkan kehidupan masyarakat; pula memberikan pengetahuan dan
keterampilan penting kepada mereka. Lima Kaisar digambarkan sebagai orang bijak
yang memiliki karakter moral yang tinggi. Mereka hidup sampai usia tua dan
memerintah selama masa periode perdamaian yang panjang itu. Tiga Maharaja
dianggap berasal dari berbagai identitas, seperti yang ditulis dalam
naskah-naskah sejarah Tiongkok yang terkadang memiliki versi yang berbeda. Para
penguasa ini dikatakan telah membantu rakyatnya, antara lain memperkenalkan
penggunaan api, mengajarkan orang bagaimana membangun rumah, serta menciptakan
tata cara bertani. Léi Zǔ (嫘祖), isteri Huángdì, berjasa sebagai orang
yang pertama kali mengajarkan cara membudidayakan ulat sutera dan mewarnai
pakaian. Penemuan obat-obatan, kalender, dan aksara Mandarin juga berasal dari
Lima Kaisar. Setelah era mereka berakhir, Yǔ
Agung (大禹, Dà Yǔ) mendirikan Dinasti
Xià.
Selanjutnya perhatian kita akan lebih
tertuju kepada Huángdì atau Kaisar Kuning. Menurut teori modern yang berakar
pada akhir abad ke-19, Kaisar Kuning dianggap sebagai nenek moyang orang Huáxià
atau 華夏. Makam Kaisar Kuning terletak di Provinsi Shaanxi, dan dipakai sebagai
patokan karena adanya tradisi memperingati makam leluhur. Diceritakan bahwa ayah Huángdì adalah Shǎo Diǎn (少典) dan ibunya adalah Fù Bǎo (附寶).
Kaisar Kuning memiliki empat isteri. Isteri pertamanya Léi Zǔ dari Xīlíng
memberinya dua putera. Tiga isteri lainnya adalah istri keduanya Fēng Léi (封嫘), isteri ketiga Tóng Yú (彤魚) dan isteri keempat Mó Mǔ (嫫母). Kaisar memiliki
total 25 putera, dengan 14 di antaranya memulai nama keluarga dan klen mereka
sendiri. Yang tertua adalah Shǎo Hào (少昊), dan yang kedua adalah Chāng Yì (昌意), yang tinggal di tepi Sungai Yǎlóng (雅砻江, Yǎlóng Jiāng). Ketika Kaisar Kuning meninggal, dia digantikan oleh
putera dari Chāng Yì, Zhuān Xū (顓頊). Zhuān Xū ini juga merupakan salah satu dari Lima
Kaisar.
Dikisahkan pada saat Kaisar Kuning
masih muda, dia dan Kaisar Yán atau Yándì (炎帝) adalah
sama-sama pemimpin suku atau gabungan dua suku di dekat Sungai Kuning. Kaisar Yán
berasal dari daerah yang berbeda di sekitar Sungai Jiang, yang oleh sebuah
karya geografis yang disebut Shuijingzhu diidentifikasi sebagai sungai di dekat
Qishan di tanah air Zhou. Kedua kaisar hidup di masa peperangan. Pada saat itu
Kaisar Yán terbukti tidak mampu mengendalikan kekacauan di wilayah
kekuasaannya. Lalu berkat bantuan Kaisar Kuning yang turut mengangkat senjata,
keduanya berhasil menunjukkan dominansinya atas berbagai faksi yang bertikai.
Belakangan Kaisar Kuning menjadi penguasa tunggal atas wilayah itu. Kaisar
Kuning diyakini hidup selama lebih dari seratus tahun, sebelum akhirnya wafat.
Dua makam kemudian dibangun di dalam Mausoleum Kaisar Kuning di Shaanxi, di
samping yang lainnya di Henan, Hebei, dan Gansu.
Kaisar Kuning menurut beberapa sumber kuno dianggap
menjadi teladan kebijaksanaan, dan kebetulan dia hidup dalam zaman keemasan. Dia dikatakan telah memimpikan sebuah kerajaan yang
ideal, yang penduduknya hidup tenang dan hidup selaras dengan hukum alam, serta
memiliki kebajikan yang luar biasa seperti yang dianut oleh paham Taoisme Purba. Saat terbangun dari mimpinya, Sang Kaisar berusaha
menanamkan kebajikan ini di kerajaannya sendiri, untuk memastikan ketertiban
dan kemakmuran di antara penduduknya.
Begitu berkharismanya sosok Kaisar
Kuning ini, sehingga orang Tionghoa modern menyebut diri mereka sebagai 'Keturunan
Yán dan Kaisar Kuning'. Jika Anda membaca kisah Kaisar Kuning ini dalam
kepustakaan Tiongkok, susah sekali mendapatkan cerita kehidupan Huángdì sebagai
manusia. Banyak cerita yang mengaitkan bahwa Kaisar Kuning adalah sesosok dewa
(shén) dalam Agama Orang Tionghoa. Misalnya dalam naskah
Dinasti Hàn, Kaisar Kuning juga
disebut sebagai 'Dewa Kuning' (黃神 Huángshén). Catatan
tertentu menafsirkannya sebagai inkarnasi dari 'Dewa Kuning dari Biduk Utara' (黄神北斗, Huángshén
Běidǒu).
Mungkin sebagian dari Pembaca bertanya mengapa Huángdì
dinamakan Kaisar Kuning? Huángdì menaklukkan wilayah yang luas di sepanjang
Sungai Kuning atau 黄河 (Huánghé). Kata sifat 'kuning' menggambarkan warna abadi air berlumpur di hilir
sungai, yang muncul dari tanah (loess)
yang terbawa ke hilir. Warna kuning dan posisi sentralnya di Tiongkok dikaitkan
dengan arah mata angin tradisional. Karena sukunya menghormati kebajikan bumi,
dia diberi gelar 'Kaisar Kuning', mengikuti warna kuning-bumi, simbol pertanian.
Kemudian dia menyatukan tiga suku besar di daerah Sungai Kuning dan Sungai
Yangtze dan menjadi pemimpin semua suku di Dataran Tengah.
Kaisar Kuning 'berasal dari esensi Dewa
Kuning'. Sebagai dewa kosmologis, Kaisar Kuning dikenal sebagai 'Kaisar Agung
dari Puncak Tengah' atau 中岳大帝 (Zhōngyuè Dàdì). Huángdì dimasukkan ke dalam lingkup kosmologikal dari Lima
Fase , yang mana warna kuning mewakili bumi, naga, dan bagian
tengah. Hubungan warna-warna dengan berbagai dinasti disebutkan
dalam Lüshi Chunqiu (Ensiklopedi
Tiongkok kuno, akhir abad ketiga seb.M.), dengan masa kekuasaan Huangdi
dianggap diatur oleh bumi. Menurut ajaran Nabi Kǒng Zǐ, Xiāntiān wǔdì 先天五帝 (Lima Kaisar Bawaan),susunan selengkapnya adalah sebagai
berikut: Qīngdì 青帝 atau Kaisar Hijau yang
berkuasa di Timur; Chìdì 赤帝 atau Kaisar Merah yang berkuasa di Selatan; Báidì 白帝 atau Kaisar Putih di Barat;
Hēidì 黑帝 atau Kaisar Hitam di Utara;
dan Huángdì 黄帝 atau Kaisar Kuning di Tengah. Pandangan kosmologis yang serupa,
kita temukan pula dalam konsep 'Lima Dhyani Buddha' atau 'Lima Tathāgata' (五方佛, Wǔfāng Fú, Ingg. Buddha of the
Five Directions), yang juga diyakini oleh penganut mazhab Mahayana dan
Tantrayana.
Sepanjang sejarah, beberapa penguasa dan dinasti
mengklaim (atau diklaim) sebagai keturunan Kaisar Kuning. Sīmǎ Qiān menampilkan Huángdì sebagai nenek moyang
dari dua penguasa legendaris Yáo dan Shùn, serta menelusuri berbagai garis keturunan dari Huángdì
hingga pendiri Dinasti Xià, Shāng, dan Zhōu. Dia mengklaim bahwa Liú
Bāng, kaisar pertama Dinasti Hàn, adalah keturunan Huángdì. Selanjutnya jauh
beberapa abad kemudian, sebagian besar keluarga bangsawan Tionghoa juga
mengklaim bahwa mereka masih merupakan keturunan dari Huángdì. Kepercayaan
seperti ini sudah mapan terjadi di Zaman Táng dan Sòng, ketika ratusan klen
mengklaim bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Huángdì. Pendukung teori
ini memakai alasan yang diutarakan oleh Sīmǎ Qiān,
bahwa 25 putera Huángdì diberi 14 nama keluarga atau marga yang berbeda, dan
bahwa nama keluarga ini telah terdiversifikasi menjadi semua nama keluarga Tionghoa.
Bahkan banyak orang Tionghoa perantauan di manca negara juga menganggap diri
mereka sebagai keturunan langsung dari Kaisar Kuning.
Begitu besar pengaruh Huángdì dalam Kebudayaan Tionghoa, yang juga turut
memperkuat nasionalisme bangsa Tiongkok. Sebagai penutup penulis perlu
menyebutkan, bahwa era Huángdì dijadikan sebagai acuan kalender Tiongkok; yang
menandakan sebegitu tuanya peradaban Tiongkok itu, yang lahir sejak fajar
purbakala hingga zaman kita ini. Setiap melewati Tahun Baru Imlek, tahun
penanggalan Tionghoa bertambah satu. Pada Tahun Baru Imlek 2022 ini tahun
Tionghoa sudah menunjuk pada Tahun 2573 Kongzili atau 4721 Huángdì. Angka 2573
ini dihitung sejak era Kǒng Zǐ, dan 4721 dihitung
dari masa hidup Huángdì. Pemerintahan tradisional Huángdì berlangsung
dari 2698 - 2598 seb.M., dan saat Huángdì naik tahta itu dihitung sebagai awal
Kalender Tionghoa, yang mana kalender tersebut masih kita pakai sampai
sekarang.
sdjn/dharmaprimapustaka/220906
Tidak ada komentar:
Posting Komentar