Rabu, 07 September 2022

HUANGDI



Tulisan kita kali ini menyoroti zaman yang mungkin tidak mudah terbayangkan oleh kita, yakni kita akan menuju ke masa tiga milenium sebelum Masehi. Perjalanan kita akan menelusuri peradaban Tiongkok Kuno, yang juga telah dicoba untuk diteliti oleh para ahli arkeologi.

 

Tiga milenium atau tiga ribu tahun sebelum Masehi, artinya lima ribu tahun yang lampau, seperti apa keadaan nenek moyang kita pada zaman itu? Kala itu ditandai dengan perubahan dari Zaman Batu-Tua (Paleotikum) ke Zaman Batu-Muda (Neolitikum), yaitu periode prasejarah ketika umat manusia berada dalam masa transisi dari kelompok pemburu-pengumpul kecil yang nomaden, menuju ke pemukiman pertanian dan membentuk peradaban yang lebih maju. Berlangsung sekitar 2,5 juta tahun, Zaman Batu-Tua berakhir sekitar 5.000 tahun yang lalu ketika manusia di Timur Dekat memasuki Zaman Batu-Baru. Serta dalam selang waktu yang tidak berbeda jauh, manusia di berbagai belahan bumi memasuki Zaman Neolitikum.

 

Manusia purba hidupnya dihabiskan sebagai pemburu-pengumpul, yakni mereka menggantungkan pencahariannya dengan berburu hewan dan menangkap ikan, juga mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan, sayuran liar, dan hasil hutan lainnya. Revolusi Neolitik atau Revolusi Hijau dimulai sekitar tahun 10.000 seb.M. di Fertile Crescent, wilayah berbentuk bumerang di Timur Tengah, tempat manusia pertama kali bertani. Revolusi ini juga menandai transisi dalam sejarah manusia dari kelompok pemburu-pengumpul yang kecil dan nomaden ke pemukiman pertanian dan peradaban awal yang lebih tinggi. Tak lama setelah itu, manusia Zaman Batu-Lama di belahan dunia lain juga mulai mempraktikkan pertanian. Peradaban dan kota tumbuh dari inovasi Revolusi Neolitik. Manusia purba melakukan pekerjaan bercocok tanam secara tidak sengaja. Untaian gandum liar, misalnya, jatuh ke tanah dan pecah ketika bijih-bijihnya sudah matang. Bulir-bulir gandum itu kemudian dikumpulkan dan setelah diolah dan dipanggang, bisa dikonsumsi menjadi roti sederhana. Buah-buahan yang mereka makan bijinya dibuang ke sekeliling pemukiman mereka, lalu tumbuh menjadi pohon besar, dan akhirnya bisa menghasilkan buah sejenis yang tinggal mereka petik. Demikian pula halnya dengan sayuran liar dan umbi-umbian, ternyata bisa dibudidayakan di dekat tempat tinggal mereka.

 

Ternak pertama dijinakkan dari hewan yang diburu manusia Neolitik untuk diambil dagingnya. Babi domestik dibiakkan dari babi hutan, sedangkan kambing berasal dari Ibex persia. Hewan ternak pertama juga termasuk domba dan lembu, berasal dari Mesopotamia antara 10.000 dan 13.000 tahun yang lalu. Kerbau dan yak didomestikasi di Tiongkok, India, dan Tibet. Dengan adanya hewan peliharaan yang bertenaga kuat, memungkinkan mereka dimanfaatkan untuk mengolah tanah, sementara susu dan daging mereka menambah variasi makanan manusia. Setelah itu hewan liar lainnya, seperti kuda, keledai, dan unta berhasil dijinakkan – sekitar tahun 4.000 seb.M. – saat manusia mengembangkannya untuk mengangkut barang, melakukan perjalanan jauh, dan memulai aktivitas perdagangan. Adanya binatang peliharaan juga membawa dampak negatif yakni menyebarkan penyakit menular, seperti cacar, influenza, dan campak; yang menyebar dari hewan ke manusia.

 

Selain manusia mulai membudidayakan tanaman dan membiakkan hewan untuk makanan, mereka juga membentuk pemukiman permanen. Dengan demikian gaya hidup nomaden pun semakin berkurang. Orang-orang pun mulai hidup bersama dalam komunitas. Dari segi alat yang diciptakan, manusia purba yang dulunya hanya bisa membuat perkakas dari batu, tulang, atau kayu; sekarang manusia neolitik mampu mengolah logam untuk dijadikan alat kerja, berbagai bejana, dan senjata. Mulanya manusia neolitik menambang tembaga, kemudian mereka mengenal perunggu yakni campuran logam tembaga dan timah, dan akhirnya besi. Selain mampu memanfaatkan logam, mereka sejak dulu juga pandai mengolah tanah liat untuk dijadikan tembikar.

 

Di Tiongkok Kuno zaman neolitikum itu ditandai dengan munculnya Empat Shì (四氏, Sì Shì), yang turut serta menciptakan dunia yang beradab ini. Keempat anggota tersebut adalah Yǒucháo-shì (有巢氏), Suìrén-shì (燧人氏), Fúxī-shì (伏羲氏), dan Shénnóng-shì (神農氏). Daftar ini kadang-kadang meluas ke satu anggota lagi menjadi Nǚwā-shì (女媧氏), membuat Lima Shì (五氏, Wǔ Shì). Shì () di sini berarti klen, atau keluarga (marga), atau suku. Dikisahkan Suìrén mengajarkan orang untuk menggesek-gesekkan kayu, sehingga terpercik loncatan bunga api, yang selanjutnya dapat membuat api. Dengan adanya api orang dapat membuat penerangan di malam hari dan mampu pula mengusir binatang buas. Yǒucháo mengajarkan orang untuk membangun rumah dari kayu, sehingga orang bisa meninggalkan goa atau naungan alami lainnya. Setelah jumlah orang bertambah, Shénnóng mencoba memperkenalkan berbagai jenis rumput, untuk menemukan tanaman yang cocok dalam memenuhi pangan masyarakat.

 

Tiongkok Kuno zaman neolitikum dalam buku-buku sejarah diberi periodisasi mulai dari 3162 seb.M. hingga 2070 seb.M. Tahun 2070 seb.M. menandai satu era yakni Dinasti Xià (夏朝, Xià Cháo), yang memerintah hingga 1600 seb.M. Zaman neolitikum diperintah oleh Tiga Maharaja dan Lima Kaisar. Zaman Tiga Maharaja mendahului Zaman Lima Kaisar.

 

Zaman Tiga Maharaja atau 三皇 (Sānhuáng, Ingg. Three Sovereigns), ditandai oleh tiga penguasa. Di sini pun ada enam sampai tujuh versi yang tidak sama, tergantung siapa penulis sejarahnya. Agar tidak membingungkan Anda para pembaca, penulis mengacu pada pendapat Sejarawan Agung dari masa Dinasti Han, yakni Sīmǎ Qiān (). Tiga Maharaja ini adalah 伏羲(Fúxī) atau 太昊 (Tàihào) sebagai Maharaja Surgawi atau 天皇 (Tiānhuáng). Kemudian 女媧 (Nǚwā) atau Maharaja Bumi atau 地皇 (Dehuáng). Dan yang terakhir adalah 神農 (Shénnóng) sebagai Maharaja Tai atau 泰皇 (Tàihuáng).

 

Zaman Lima Kaisar atau 五帝 (Wǔdì, Ingg. Five Emperors), ditandai oleh lima penguasa. Di sini pun ada lebih dari enam versi yang tidak sama, dan kembali penulis akan merujuk pada pendapat Sīmǎ Qiān. Lima kaisar ini adalah 黃帝 atau Huángdì, yang jika diterjemahkan dikenal sebagai Kaisar Kuning. Kemudian disusul berturut-turut oleh Kaisar Zhuānxū (顓頊), Kaisar Kù (), Kaisar Yáo (), dan Kaisar Shùn ().

 

Tiga Maharaja dikatakan orang sebagai dewa-raja atau setengah dewa, yang menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk meningkatkan kehidupan masyarakat; pula memberikan pengetahuan dan keterampilan penting kepada mereka. Lima Kaisar digambarkan sebagai orang bijak yang memiliki karakter moral yang tinggi. Mereka hidup sampai usia tua dan memerintah selama masa periode perdamaian yang panjang itu. Tiga Maharaja dianggap berasal dari berbagai identitas, seperti yang ditulis dalam naskah-naskah sejarah Tiongkok yang terkadang memiliki versi yang berbeda. Para penguasa ini dikatakan telah membantu rakyatnya, antara lain memperkenalkan penggunaan api, mengajarkan orang bagaimana membangun rumah, serta menciptakan tata cara bertani. Léi Zǔ (嫘祖), isteri Huángdì, berjasa sebagai orang yang pertama kali mengajarkan cara membudidayakan ulat sutera dan mewarnai pakaian. Penemuan obat-obatan, kalender, dan aksara Mandarin juga berasal dari Lima Kaisar. Setelah era mereka berakhir, Yǔ Agung (大禹, Dà Yǔ) mendirikan Dinasti Xià.

 

Selanjutnya perhatian kita akan lebih tertuju kepada Huángdì atau Kaisar Kuning. Menurut teori modern yang berakar pada akhir abad ke-19, Kaisar Kuning dianggap sebagai nenek moyang orang Huáxià atau 華夏. Makam Kaisar Kuning terletak di Provinsi Shaanxi, dan dipakai sebagai patokan karena adanya tradisi memperingati makam leluhur. Diceritakan bahwa ayah Huángdì adalah Shǎo Diǎn (少典) dan ibunya adalah Fù Bǎo (附寶). Kaisar Kuning memiliki empat isteri. Isteri pertamanya Léi Zǔ dari Xīlíng memberinya dua putera. Tiga isteri lainnya adalah istri keduanya Fēng Léi (), isteri ketiga Tóng Yú (彤魚) dan isteri keempat Mó Mǔ (嫫母). Kaisar memiliki total 25 putera, dengan 14 di antaranya memulai nama keluarga dan klen mereka sendiri. Yang tertua adalah Shǎo Hào (少昊), dan yang kedua adalah Chāng Yì (昌意), yang tinggal di tepi Sungai Yǎlóng (砻江, Yǎlóng Jiāng). Ketika Kaisar Kuning meninggal, dia digantikan oleh putera dari Chāng Yì, Zhuān Xū (顓頊). Zhuān Xū ini juga merupakan salah satu dari Lima Kaisar.

 

Dikisahkan pada saat Kaisar Kuning masih muda, dia dan Kaisar Yán atau Yándì (炎帝) adalah sama-sama pemimpin suku atau gabungan dua suku di dekat Sungai Kuning. Kaisar Yán berasal dari daerah yang berbeda di sekitar Sungai Jiang, yang oleh sebuah karya geografis yang disebut Shuijingzhu diidentifikasi sebagai sungai di dekat Qishan di tanah air Zhou. Kedua kaisar hidup di masa peperangan. Pada saat itu Kaisar Yán terbukti tidak mampu mengendalikan kekacauan di wilayah kekuasaannya. Lalu berkat bantuan Kaisar Kuning yang turut mengangkat senjata, keduanya berhasil menunjukkan dominansinya atas berbagai faksi yang bertikai. Belakangan Kaisar Kuning menjadi penguasa tunggal atas wilayah itu. Kaisar Kuning diyakini hidup selama lebih dari seratus tahun, sebelum akhirnya wafat. Dua makam kemudian dibangun di dalam Mausoleum Kaisar Kuning di Shaanxi, di samping yang lainnya di Henan, Hebei, dan Gansu.

 

Kaisar Kuning menurut beberapa sumber kuno dianggap menjadi teladan kebijaksanaan, dan kebetulan dia hidup dalam zaman keemasan. Dia dikatakan telah memimpikan sebuah kerajaan yang ideal, yang penduduknya hidup tenang dan hidup selaras dengan hukum alam, serta memiliki kebajikan yang luar biasa seperti yang dianut oleh paham Taoisme Purba. Saat terbangun dari mimpinya, Sang Kaisar berusaha menanamkan kebajikan ini di kerajaannya sendiri, untuk memastikan ketertiban dan kemakmuran di antara penduduknya.

 

Begitu berkharismanya sosok Kaisar Kuning ini, sehingga orang Tionghoa modern menyebut diri mereka sebagai 'Keturunan Yán dan Kaisar Kuning'. Jika Anda membaca kisah Kaisar Kuning ini dalam kepustakaan Tiongkok, susah sekali mendapatkan cerita kehidupan Huángdì sebagai manusia. Banyak cerita yang mengaitkan bahwa Kaisar Kuning adalah sesosok dewa (shén) dalam Agama Orang Tionghoa. Misalnya dalam naskah Dinasti Hàn, Kaisar Kuning juga disebut sebagai 'Dewa Kuning' (黃神 Huángshén). Catatan tertentu menafsirkannya sebagai inkarnasi dari 'Dewa Kuning dari Biduk Utara' (黄神北斗, Huángshén Běidǒu).

 

Mungkin sebagian dari Pembaca bertanya mengapa Huángdì dinamakan Kaisar Kuning? Huángdì menaklukkan wilayah yang luas di sepanjang Sungai Kuning atau 黄河 (Huánghé). Kata sifat 'kuning' menggambarkan warna abadi air berlumpur di hilir sungai, yang muncul dari tanah (loess) yang terbawa ke hilir. Warna kuning dan posisi sentralnya di Tiongkok dikaitkan dengan arah mata angin tradisional. Karena sukunya menghormati kebajikan bumi, dia diberi gelar 'Kaisar Kuning', mengikuti warna kuning-bumi, simbol pertanian. Kemudian dia menyatukan tiga suku besar di daerah Sungai Kuning dan Sungai Yangtze dan menjadi pemimpin semua suku di Dataran Tengah.

 

Kaisar Kuning 'berasal dari esensi Dewa Kuning'. Sebagai dewa kosmologis, Kaisar Kuning dikenal sebagai 'Kaisar Agung dari Puncak Tengah' atau 中岳大帝 (Zhōngyuè Dàdì). Huángdì dimasukkan ke dalam lingkup kosmologikal dari Lima Fase , yang mana warna kuning mewakili bumi, naga, dan bagian tengah. Hubungan warna-warna dengan berbagai dinasti disebutkan dalam Lüshi Chunqiu (Ensiklopedi Tiongkok kuno, akhir abad ketiga seb.M.), dengan masa kekuasaan Huangdi dianggap diatur oleh bumi. Menurut ajaran Nabi Kǒng Zǐ, Xiāntiān wǔdì 先天五帝 (Lima Kaisar Bawaan),susunan selengkapnya adalah sebagai berikut: Qīngdì 青帝 atau Kaisar Hijau yang berkuasa di Timur; Chìdì 赤帝 atau Kaisar Merah yang berkuasa di Selatan; Báidì 白帝 atau Kaisar Putih di Barat; Hēidì 黑帝 atau Kaisar Hitam di Utara; dan Huángdì 黄帝 atau Kaisar Kuning di Tengah. Pandangan kosmologis yang serupa, kita temukan pula dalam konsep 'Lima Dhyani Buddha' atau 'Lima Tathāgata' (五方佛, Wǔfāng Fú, Ingg. Buddha of the Five Directions), yang juga diyakini oleh penganut mazhab Mahayana dan Tantrayana.

 

Sepanjang sejarah, beberapa penguasa dan dinasti mengklaim (atau diklaim) sebagai keturunan Kaisar Kuning. Sīmǎ Qiān menampilkan Huángdì sebagai nenek moyang dari dua penguasa legendaris Yáo dan Shùn, serta menelusuri berbagai garis keturunan dari Huángdì hingga pendiri Dinasti Xià, Shāng, dan Zhōu. Dia mengklaim bahwa Liú Bāng, kaisar pertama Dinasti Hàn, adalah keturunan Huángdì. Selanjutnya jauh beberapa abad kemudian, sebagian besar keluarga bangsawan Tionghoa juga mengklaim bahwa mereka masih merupakan keturunan dari Huángdì. Kepercayaan seperti ini sudah mapan terjadi di Zaman Táng dan Sòng, ketika ratusan klen mengklaim bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Huángdì. Pendukung teori ini memakai alasan yang diutarakan oleh Sīmǎ Qiān, bahwa 25 putera Huángdì diberi 14 nama keluarga atau marga yang berbeda, dan bahwa nama keluarga ini telah terdiversifikasi menjadi semua nama keluarga Tionghoa. Bahkan banyak orang Tionghoa perantauan di manca negara juga menganggap diri mereka sebagai keturunan langsung dari Kaisar Kuning.

 

Begitu besar pengaruh Huángdì dalam Kebudayaan Tionghoa, yang juga turut memperkuat nasionalisme bangsa Tiongkok. Sebagai penutup penulis perlu menyebutkan, bahwa era Huángdì dijadikan sebagai acuan kalender Tiongkok; yang menandakan sebegitu tuanya peradaban Tiongkok itu, yang lahir sejak fajar purbakala hingga zaman kita ini. Setiap melewati Tahun Baru Imlek, tahun penanggalan Tionghoa bertambah satu. Pada Tahun Baru Imlek 2022 ini tahun Tionghoa sudah menunjuk pada Tahun 2573 Kongzili atau 4721 Huángdì. Angka 2573 ini dihitung sejak era Kǒng Zǐ, dan 4721 dihitung dari masa hidup Huángdì. Pemerintahan tradisional Huángdì berlangsung dari 2698 - 2598 seb.M., dan saat Huángdì naik tahta itu dihitung sebagai awal Kalender Tionghoa, yang mana kalender tersebut masih kita pakai sampai sekarang.

                                                      

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220906

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar