Setiap bulan ketujuh menurut Kalender
Tionghoa kita diingatkan untuk melakukan persembahyangan kepada sanak saudara
kita yang telah meninggal dan juga kepada arwah-arwah yang terlantar. Dengan
berpegang pada tradisi dan keyakinan tersebut, kita berasumsi bahwa mereka yang
telah mendahului kita, akan tetap hidup walaupun darah dan daging mereka telah
terurai atau sudah menjadi abu. Kita yakin jiwa atau aliran-kesadaran atau apa
pun sebutannya, akan terus hidup dengan masih memiliki identitas yang mereka
bawa dari kehidupan di dunia ini. Lalu kemana mereka yang kita kasihi ini
pergi?
Untuk mengetahui kemana almarhum atau
almarhumah itu pergi, kita mendapatkan jawabannya dari agama-agama yang banyak
dianut oleh penduduk dunia ini. Menurut kepercayaan dan tradisi Ibrahim, orang
mati pergi ke alam keberadaan tertentu setelah kematiannya; sebagaimana
ditentukan oleh Tuhan, atau penilaian ilahi lainnya, berdasarkan tindakan atau
kepercayaan mereka selama hidup. Sebaliknya, dalam agama-agama yang berasal
dari India, orang yang mati ini akan mengalami reinkarnasi atau tumimbal-lahir
yang berkelanjutan. Kelahiran-kembali yang baru ini ditentukan secara langsung
oleh tindakan individu tersebut di kehidupan yang sebelumnya. Jika individu
tersebut berupaya keras untuk tidak terlahir-kembali, ia telah mengenyam kebebasan yang
dinamakan mencapai moksa atau nirvāna.
Lalu apa nama kehidupan setelah kematian atau
dunia yang akan datang itu? Lazimnya orang menyebutnya sebagai akhirat, alam
baka, alam kematian, alam kubur, atau peristirahatan yang abadi. Dalam bahasa
Inggris dinamakan sebagai afterlife, life after death, atau hereafter. Pengetahuan perihal adanya
kelanjutan kehidupan setelah kematian, selain berasal dari ajaran agama, juga
berasal dari esoterikisme dan metafisika. Esoterikisme tidak lain pemikiran
filsafat mengenai evolusi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam Agama
Orang Tionghoa akhirat dinamakan juga Dunia Bawah. Dunia Bawah lekat dengan
makna "tersembunyi", "terpencil", dan dipenuhi dengan
"kegelapan". Dunia Bawah atau dalam istilah Inggris-nya Underworld atau Netherworld terletak di
bawah permukaan bumi, di Wilayah Kegelapan, juga dikenal sebagai Dìyù atau 地狱 (harfiah berarti "Daerah Gelap"). Dìyù ini juga
memiliki sebuah ibukota atau kotaraja yang bernama Yōudū atau 幽都(harfiah
bermakna "kotaraja gelap"), yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan. Bagaimana wujud atau penampakan Yōudū ini? Yōudū digambarkan
layaknya mirip dengan kotaraja Tiongkok zaman dahulu, seperti Chang'an
(sekarang dinamakan Xi'an), lengkap dengan tembok kota, istana, gedung
pengadilan, dan pemukiman penduduknya; hanya saja suasananya lebih gelap.
Meskipun keadaan dan suasananya suram, mau tidak mau sebagian besar orang yang
hidup di dunia ini akan menuju ke tempat ini jika mereka mati kelak. Hanya ada
segelintir orang yang bisa menghindarinya, yakni mereka yang tidak akan
mengalami kelahiran-kembali atau yang telah keluar dari roda-reinkarnasi.
Seperti juga
lazim terjadi pada suatu daerah, pasti ada pemimpin dan penguasa yang bertakhta
di sana. Penguasa utama wilayah ini adalah Yánluó Wáng (閻羅王) atau Dewa Yama. Nama Yánluó adalah transliterasi singkat bahasa Mandarin
dari istilah Sanskerta Yamarāja.
Menurut legenda, ia sering disamakan dengan Dewa Yama dalam agama Buddha, namun
sebenarnya Yánluó Wáng memiliki kisah tersendiri dan telah sekian lama dipuja
di Tiongkok Kuno. Di zaman dahulu maupun masa kini, Yán biasanya digambarkan
sebagai pria bertubuh besar dengan wajah merah cemberut, mata melotot, dan
janggut panjang. Dia mengenakan jubah tradisional berwarna gelap dan topi hakim
atau mahkota yang bertuliskan aksara "raja" (王). Sebagai
penghormatan kepada Yán, gambarnya dilukis pada mata uang Dunia Bawah, yang
mana biasanya uang itu dibakar setelah kita selesai melakukan persembahyangan.
Sekarang muncul
pertanyaan, mengapa harus ada Dìyù?
Menurut gagasan yang berkembang dari Taoisme, Buddhisme, dan agama tradisional
masyarakat Tiongkok, Dìyù adalah api
penyucian yang berfungsi untuk menghukum dan memperbarui roh dalam persiapan
untuk reinkarnasi ke tataran alam manusia atau alam yang lebih tinggi lagi. Api
penyucian atau Purgatory juga dikenal
dalam tulisan para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Heraclides. Dalam
kepercayaan agama orang Tionghoa dan Buddhisme-Tiongkok, kita dapat membantu
mempercepat proses pada sanak famili yang sedang berada dalam api penyucian
ini, dengan melakukan upacara kurban berupa pemberian sesembahan atas nama
mendiang yang sedang menderita kesusahan di sana.
Dengan begitu
dalam Dunia Bawah pasti ada seleksi untuk menentukan siapa yang harus menjalani
hukuman di api penyucian, dan berapa lama proses itu akan berlangsung. Di sana
yang terpenting adalah Pengadilan yang terbagi menjadi sepuluh dan api
penyucian yang lazim disebut Neraka. Neraka sendiri ada delapan-belas macam.
Konsep delapan-belas neraka dimulai pada masa dinasti Tang. Naskah Sutra
Buddhis tentang "Pertanyaan tentang Neraka" menyebutkan ada 134 alam
neraka, tetapi kemudian disederhanakan menjadi 18 tingkat. Dengan mandat Kaisar
Langit maka Penguasa Dìyù dipegang oleh Yánluó Wáng, yang mana ia
sendiri merangkap sebagai Raja Neraka yang ke-5.
Berikut nama
sepuluh Raja Kematian diberikan di sini beserta padanan konsep tingkat-tingkat
Neraka menurut Buddhisme, mulai dari yang pertama : (1) Raja Qin'guang, Jiang :
Kehidupan dan kematian serta nasib umat manusia; (2) Raja Chujiang, Li :
Sañjīva, Arbuda; (3) Raja Songdi, Yu : Kālasūtra, Nirarbuda; (4) Raja Wuguan,
Lü : Saṃghāta, Aṭaṭa; (5) Raja Yanluo, Bao : Raurava, Hahava; (6) Raja
Biancheng, Bi : Mahāraurava, Huhuva, dan Kota Arwah-arwah yang Tak-Berdosa;
(7) Raja Taishan, Dong : Tapana, Utpala;
(8) Raja Dushi, Huang : Pratāpana, Padma; (9) Raja Pingdeng, Lu : Avīci,
Mahāpadma; (10) Raja Zhuanlun, Xue : Mengirim jiwa-jiwa mereka untuk
ber-reinkarnasi.
Agar pengadilan
di Dunia Bawah bisa berlangsung dengan lancar, para Raja Kematian dibantu pula
oleh sejumlah bawahannya. Sepasang makhluk yang dinamakan Hēibái Wúcháng atau 黑白无常, atau Hak Bak Mo Seong, yang secara harfiah
bermakna "Ketidakkekalan Hitam dan Putih", adalah dua Dewa dalam
agama rakyat Tiongkok yang bertugas mengawal arwah orang mati ke Dunia Bawah.
Seperti namanya, mereka masing-masing berpakaian putih dan hitam. Sosok yang
berpakaian putih bernama "Penjaga Kefanaan Putih" atau dalam bahasa
Hokian dinamakan Tua Ya Pek. Ia digambarkan memiliki tubuh yang jangkung dan
kurus, sering tersenyum lebar, disertai mata melotot, dan lidah merah panjang
yang sedang terjulur keluar. Pada topinya tertulis: "Menjadi kaya setelah
bertemu denganku," "Menuai keberuntungan setelah bertemu
denganku," dan "Kamu harus pergi sekarang." Sedangkan
pasangannya yang berpakaian hitam dikenal sebagai "Penjaga Kefanaan
Hitam" disebut pula Di Ya Pek, divisualisasikan sebagai sosok yang yang
pendek dan gemuk. Ia memiliki wajah yang hitam dan galak serta mempunyai aura
yang menakutkan. Di topinya terdapat tulisan: "Kematian akan menghampiri
siapa pun yang menemuimu," "Perdamaian untuk seluruh dunia," dan
"Akan menangkapmu sekarang." Untuk memudahkan tugasnya Tua Ya Pek
membawa borgol dan Di Ya Pek dilengkapi dengan rantai besi.
Selain Hēibái Wúcháng, ada pula penjaga Dunia Bawah yang dinamakan
Pengawal Berkepala-Banteng (Niútóu atau 牛头) dan Pengawal Berwajah-Kuda (Mǎmiàn atau 马面). Seperti yang
ditunjukkan oleh namanya, keduanya memiliki tubuh seperti manusia, hanya saja
kepala dan wajah mereka yang mirip dengan banteng dan kuda. Dalam kasus-kasus
tertentu merekalah yang menjemput orang yang sudah mendekati ajalnya, lalu
mendekati orang yang dituju, menepuk dadanya, dan membawa arwahnya ke Dunia
Bawah. Selain mempunyai tugas mengawal arwah orang mati, baik itu menuju
pengadilan akhirat maupun mengantar orang kembali untuk ber-reinkarnasi,
keduanya juga bertugas sebagai kurir para Raja Neraka.
Seperti yang
disebutkan di atas orang yang telah mati di dunia ini arwahnya tidak dibiarkan
terlunta-lunta. Segera setelah kehidupannya berakhir dia akan segera dibawa ke
Dunia Bawah oleh pengawal raja neraka. Selanjutnya dia akan dihadapkan pada
raja neraka, dan diminta untuk mempertanggungjawabkan atas segala yang telah
dibuatnya selama hidupnya di dunia ini. Inilah yang dinamakan pengadilan
akhirat. Arwah tersebut dihadapkan pada Raja Neraka. Raja merangkap sebagai
Hakim Neraka digambarkan sedang memegang kuas di tangan kanannya dan sebuah buku
catatan di tangan kirinya. Tidak seperti sistem peradilan yang dianut di
Indonesia yang memerlukan jaksa penuntut, pada pengadilan Dunia Bawah jaksa itu
tidak diperlukan. Di dalam buku itu sudah tercatat nama setiap jiwa dan tanggal
kematian orang tersebut.
Pengadilan itu
berjalan lazimnya seperti yang terjadi di dunia manusia. Pria atau wanita yang berjasa akan diberi imbalan
kehidupan yang baik di masa depan, atau bahkan
dikembalikan ke dalam kehidupan mereka
sebelumnya. Laki-laki atau perempuan yang melakukan perbuatan tercela akan
dihukum dengan siksaan pada 18 neraka yang terdapat
di Dunia Bawah. Orang-orang yang bersalah akan
merasakan sakit dan penderitaan di berbagai neraka, sama seperti manusia hidup
ketika mereka mengalami siksaan di dunia ini. Penulis menghindari untuk
menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di Neraka, karena apa yang
digambarkan di sana cukup menyeramkan. Tentu menjadi tanda tanya berapa lama
orang yang bersalah akan mendekam di neraka Dunia Bawah itu. Jangka waktu yang dihabiskan
seseorang di Dìyù bisa lama bisa juga
sebentar – itu tergantung pada beratnya perbuatan jahat yang dilakukannya di
kehidupan yang sebelumnya.
Arwah orang saleh dan banyak melakukan
perbuatan bajik, setelah menghadapi pengadilan akhirat, akan ber-reinkarnasi ke
alam manusia kembali atau ke alam dewa. Demikian pula dengan arwah orang jahat
yang telah menyelesaikan masa hukuman mereka, bersiap-siap untuk menuju tahap
selanjutnya. Mereka akan menghadap Raja Neraka yang ke-10 atau Raja Xue Zhuanlun.
Buddhisme Theravada memiliki keyakinan bahwa tumimbal-lahir berlangsung
seketika, yakni makhluk hidup akan langsung dilahirkan-kembali menjadi makhluk
lain (kecuali mereka yang telah parinibbāna). Namun tidak demikian halnya
dengan pandangan agama orang Tionghoa: semua orang mati akan pergi dulu ke
Dunia Bawah sebelum dilahirkan-kembali.
Demikianlah menurut Mitologi Tiongkok,
ada Dewi Mèng Pó atau 孟婆 (secara harfiah "Nyonya
Meng"), yang bertugas di Dìyù,
menjelang para arwah memasuki Pengadilan ke-10. Nyonya Meng yang juga
dijuluki Dewi Pelupa,
selalu menyajikan sup di Jembatan Kelupaan
atau Jembatan Nai He (奈何桥). Dengan
menyantap sup ajaib ini akan menghapus
ingatan arwah-arwah yang melintasi jembatan,
sehingga mereka dapat ber-reinkarnasi ke
kehidupan berikutnya tanpa beban. Setelah mereka
meminum ramuan itu mereka akan mengalami amnesia instan dan permanen, yang
membuat semua ingatan tentang kehidupan lalu atau memori siksaan di neraka
menjadi lenyap.
Konon demi
mencapai tujuan ini, Nyonya Meng
mengumpulkan tumbuhan dari berbagai kolam dan sungai duniawi untuk membuat Teh
Lima Rasa Pelupa atau Mi-hun-t'ang. Setelah dibersihkan
melalui api-penyucian dari segala kesalahan yang diperbuatnya, arwah-arwah
dikirim melalui Raja Neraka ke-10. Para pengawal Dunia Bawah yakni para Hēibái Wúcháng, Niútóu, dan Mǎmiàn, ditugaskan kembali
untuk mengantar para arwah untuk dilahirkan kembali
dalam inkarnasi duniawi atau kedewaan yang
baru, sesuai dengan karma yang diperbuat dalam kehidupan mereka sebelumnya. Dan siklus itu pun berulang kembali.
sdjn/dharmaprimapustaka/210825
Tidak ada komentar:
Posting Komentar