Minggu, 11 September 2022

DUNIA BAWAH




Setiap bulan ketujuh menurut Kalender Tionghoa kita diingatkan untuk melakukan persembahyangan kepada sanak saudara kita yang telah meninggal dan juga kepada arwah-arwah yang terlantar. Dengan berpegang pada tradisi dan keyakinan tersebut, kita berasumsi bahwa mereka yang telah mendahului kita, akan tetap hidup walaupun darah dan daging mereka telah terurai atau sudah menjadi abu. Kita yakin jiwa atau aliran-kesadaran atau apa pun sebutannya, akan terus hidup dengan masih memiliki identitas yang mereka bawa dari kehidupan di dunia ini. Lalu kemana mereka yang kita kasihi ini pergi?

 

Untuk mengetahui kemana almarhum atau almarhumah itu pergi, kita mendapatkan jawabannya dari agama-agama yang banyak dianut oleh penduduk dunia ini. Menurut kepercayaan dan tradisi Ibrahim, orang mati pergi ke alam keberadaan tertentu setelah kematiannya; sebagaimana ditentukan oleh Tuhan, atau penilaian ilahi lainnya, berdasarkan tindakan atau kepercayaan mereka selama hidup. Sebaliknya, dalam agama-agama yang berasal dari India, orang yang mati ini akan mengalami reinkarnasi atau tumimbal-lahir yang berkelanjutan. Kelahiran-kembali yang baru ini ditentukan secara langsung oleh tindakan individu tersebut di kehidupan yang sebelumnya. Jika individu tersebut berupaya keras untuk tidak terlahir-kembali, ia telah mengenyam kebebasan yang dinamakan mencapai moksa atau nirvāna.

 

Lalu apa nama kehidupan setelah kematian atau dunia yang akan datang itu? Lazimnya orang menyebutnya sebagai akhirat, alam baka, alam kematian, alam kubur, atau peristirahatan yang abadi. Dalam bahasa Inggris dinamakan sebagai afterlife, life after death, atau hereafter. Pengetahuan perihal adanya kelanjutan kehidupan setelah kematian, selain berasal dari ajaran agama, juga berasal dari esoterikisme dan metafisika. Esoterikisme tidak lain pemikiran filsafat mengenai evolusi manusia dan makhluk hidup lainnya.

 

Dalam Agama Orang Tionghoa akhirat dinamakan juga Dunia Bawah. Dunia Bawah lekat dengan makna "tersembunyi", "terpencil", dan dipenuhi dengan "kegelapan". Dunia Bawah atau dalam istilah Inggris-nya Underworld atau Netherworld  terletak di bawah permukaan bumi, di Wilayah Kegelapan, juga dikenal sebagai Dìyù atau  地狱 (harfiah berarti "Daerah Gelap"). Dìyù ini juga memiliki sebuah ibukota atau kotaraja yang bernama Yōudū atau 幽都(harfiah bermakna "kotaraja gelap"), yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Bagaimana wujud atau penampakan Yōudū ini? Yōudū digambarkan layaknya mirip dengan kotaraja Tiongkok zaman dahulu, seperti Chang'an (sekarang dinamakan Xi'an), lengkap dengan tembok kota, istana, gedung pengadilan, dan pemukiman penduduknya; hanya saja suasananya lebih gelap. Meskipun keadaan dan suasananya suram, mau tidak mau sebagian besar orang yang hidup di dunia ini akan menuju ke tempat ini jika mereka mati kelak. Hanya ada segelintir orang yang bisa menghindarinya, yakni mereka yang tidak akan mengalami kelahiran-kembali atau yang telah keluar dari roda-reinkarnasi.

 

Seperti juga lazim terjadi pada suatu daerah, pasti ada pemimpin dan penguasa yang bertakhta di sana. Penguasa utama wilayah ini adalah Yánluó Wáng (閻羅王) atau Dewa Yama. Nama Yánluó adalah transliterasi singkat bahasa Mandarin dari istilah Sanskerta Yamarāja. Menurut legenda, ia sering disamakan dengan Dewa Yama dalam agama Buddha, namun sebenarnya Yánluó Wáng memiliki kisah tersendiri dan telah sekian lama dipuja di Tiongkok Kuno. Di zaman dahulu maupun masa kini, Yán biasanya digambarkan sebagai pria bertubuh besar dengan wajah merah cemberut, mata melotot, dan janggut panjang. Dia mengenakan jubah tradisional berwarna gelap dan topi hakim atau mahkota yang bertuliskan aksara "raja" (). Sebagai penghormatan kepada Yán, gambarnya dilukis pada mata uang Dunia Bawah, yang mana biasanya uang itu dibakar setelah kita selesai melakukan persembahyangan.

 

Sekarang muncul pertanyaan, mengapa harus ada Dìyù? Menurut gagasan yang berkembang dari Taoisme, Buddhisme, dan agama tradisional masyarakat Tiongkok, Dìyù adalah api penyucian yang berfungsi untuk menghukum dan memperbarui roh dalam persiapan untuk reinkarnasi ke tataran alam manusia atau alam yang lebih tinggi lagi. Api penyucian atau Purgatory juga dikenal dalam tulisan para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Heraclides. Dalam kepercayaan agama orang Tionghoa dan Buddhisme-Tiongkok, kita dapat membantu mempercepat proses pada sanak famili yang sedang berada dalam api penyucian ini, dengan melakukan upacara kurban berupa pemberian sesembahan atas nama mendiang yang sedang menderita kesusahan di sana.

 

Dengan begitu dalam Dunia Bawah pasti ada seleksi untuk menentukan siapa yang harus menjalani hukuman di api penyucian, dan berapa lama proses itu akan berlangsung. Di sana yang terpenting adalah Pengadilan yang terbagi menjadi sepuluh dan api penyucian yang lazim disebut Neraka. Neraka sendiri ada delapan-belas macam. Konsep delapan-belas neraka dimulai pada masa dinasti Tang. Naskah Sutra Buddhis tentang "Pertanyaan tentang Neraka" menyebutkan ada 134 alam neraka, tetapi kemudian disederhanakan menjadi 18 tingkat. Dengan mandat Kaisar Langit maka Penguasa Dìyù dipegang oleh Yánluó Wáng, yang mana ia sendiri merangkap sebagai Raja Neraka yang ke-5.

 

Berikut nama sepuluh Raja Kematian diberikan di sini beserta padanan konsep tingkat-tingkat Neraka menurut Buddhisme, mulai dari yang pertama : (1) Raja Qin'guang, Jiang : Kehidupan dan kematian serta nasib umat manusia; (2) Raja Chujiang, Li : Sañjīva, Arbuda; (3) Raja Songdi, Yu : Kālasūtra, Nirarbuda; (4) Raja Wuguan, Lü : Saṃghāta, Aṭaṭa; (5) Raja Yanluo, Bao : Raurava, Hahava; (6) Raja Biancheng, Bi : Mahāraurava, Huhuva, dan Kota Arwah-arwah yang Tak-Berdosa; (7)  Raja Taishan, Dong : Tapana, Utpala; (8) Raja Dushi, Huang : Pratāpana, Padma; (9) Raja Pingdeng, Lu : Avīci, Mahāpadma; (10) Raja Zhuanlun, Xue : Mengirim jiwa-jiwa mereka untuk ber-reinkarnasi.

 

Agar pengadilan di Dunia Bawah bisa berlangsung dengan lancar, para Raja Kematian dibantu pula oleh sejumlah bawahannya. Sepasang makhluk yang dinamakan Hēibái Wúcháng atau 黑白无常, atau Hak Bak Mo Seong, yang secara harfiah bermakna "Ketidakkekalan Hitam dan Putih", adalah dua Dewa dalam agama rakyat Tiongkok yang bertugas mengawal arwah orang mati ke Dunia Bawah. Seperti namanya, mereka masing-masing berpakaian putih dan hitam. Sosok yang berpakaian putih bernama "Penjaga Kefanaan Putih" atau dalam bahasa Hokian dinamakan Tua Ya Pek. Ia digambarkan memiliki tubuh yang jangkung dan kurus, sering tersenyum lebar, disertai mata melotot, dan lidah merah panjang yang sedang terjulur keluar. Pada topinya tertulis: "Menjadi kaya setelah bertemu denganku," "Menuai keberuntungan setelah bertemu denganku," dan "Kamu harus pergi sekarang." Sedangkan pasangannya yang berpakaian hitam dikenal sebagai "Penjaga Kefanaan Hitam" disebut pula Di Ya Pek, divisualisasikan sebagai sosok yang yang pendek dan gemuk. Ia memiliki wajah yang hitam dan galak serta mempunyai aura yang menakutkan. Di topinya terdapat tulisan: "Kematian akan menghampiri siapa pun yang menemuimu," "Perdamaian untuk seluruh dunia," dan "Akan menangkapmu sekarang." Untuk memudahkan tugasnya Tua Ya Pek membawa borgol dan Di Ya Pek dilengkapi dengan rantai besi.

 

Selain Hēibái Wúcháng, ada pula penjaga Dunia Bawah yang dinamakan Pengawal Berkepala-Banteng (Niútóu atau ) dan Pengawal Berwajah-Kuda (Mǎmiàn atau ). Seperti yang ditunjukkan oleh namanya, keduanya memiliki tubuh seperti manusia, hanya saja kepala dan wajah mereka yang mirip dengan banteng dan kuda. Dalam kasus-kasus tertentu merekalah yang menjemput orang yang sudah mendekati ajalnya, lalu mendekati orang yang dituju, menepuk dadanya, dan membawa arwahnya ke Dunia Bawah. Selain mempunyai tugas mengawal arwah orang mati, baik itu menuju pengadilan akhirat maupun mengantar orang kembali untuk ber-reinkarnasi, keduanya juga bertugas sebagai kurir para Raja Neraka.

 

Seperti yang disebutkan di atas orang yang telah mati di dunia ini arwahnya tidak dibiarkan terlunta-lunta. Segera setelah kehidupannya berakhir dia akan segera dibawa ke Dunia Bawah oleh pengawal raja neraka. Selanjutnya dia akan dihadapkan pada raja neraka, dan diminta untuk mempertanggungjawabkan atas segala yang telah dibuatnya selama hidupnya di dunia ini. Inilah yang dinamakan pengadilan akhirat. Arwah tersebut dihadapkan pada Raja Neraka. Raja merangkap sebagai Hakim Neraka digambarkan sedang memegang kuas di tangan kanannya dan sebuah buku catatan di tangan kirinya. Tidak seperti sistem peradilan yang dianut di Indonesia yang memerlukan jaksa penuntut, pada pengadilan Dunia Bawah jaksa itu tidak diperlukan. Di dalam buku itu sudah tercatat nama setiap jiwa dan tanggal kematian orang tersebut.

 

Pengadilan itu berjalan lazimnya seperti yang terjadi di dunia manusia. Pria atau wanita yang berjasa akan diberi imbalan kehidupan yang baik di masa depan, atau bahkan dikembalikan ke dalam kehidupan mereka sebelumnya. Laki-laki atau perempuan yang melakukan perbuatan tercela akan dihukum dengan siksaan pada 18 neraka yang terdapat di Dunia Bawah. Orang-orang yang bersalah akan merasakan sakit dan penderitaan di berbagai neraka, sama seperti manusia hidup ketika mereka mengalami siksaan di dunia ini. Penulis menghindari untuk menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di Neraka, karena apa yang digambarkan di sana cukup menyeramkan. Tentu menjadi tanda tanya berapa lama orang yang bersalah akan mendekam di neraka Dunia Bawah itu. Jangka waktu yang dihabiskan seseorang di Dìyù bisa lama bisa juga sebentar – itu tergantung pada beratnya perbuatan jahat yang dilakukannya di kehidupan yang sebelumnya.

 

Arwah orang saleh dan banyak melakukan perbuatan bajik, setelah menghadapi pengadilan akhirat, akan ber-reinkarnasi ke alam manusia kembali atau ke alam dewa. Demikian pula dengan arwah orang jahat yang telah menyelesaikan masa hukuman mereka, bersiap-siap untuk menuju tahap selanjutnya. Mereka akan menghadap Raja Neraka yang ke-10 atau Raja Xue Zhuanlun. Buddhisme Theravada memiliki keyakinan bahwa tumimbal-lahir berlangsung seketika, yakni makhluk hidup akan langsung dilahirkan-kembali menjadi makhluk lain (kecuali mereka yang telah parinibbāna). Namun tidak demikian halnya dengan pandangan agama orang Tionghoa: semua orang mati akan pergi dulu ke Dunia Bawah sebelum dilahirkan-kembali.

 

Demikianlah menurut Mitologi Tiongkok, ada Dewi Mèng Pó atau 孟婆 (secara harfiah "Nyonya Meng"), yang bertugas di Dìyù, menjelang para arwah memasuki Pengadilan ke-10. Nyonya Meng yang juga dijuluki Dewi Pelupa, selalu menyajikan sup di Jembatan Kelupaan atau Jembatan Nai He (奈何桥). Dengan menyantap sup ajaib ini akan menghapus ingatan arwah-arwah yang melintasi jembatan, sehingga mereka dapat ber-reinkarnasi ke kehidupan berikutnya tanpa beban. Setelah mereka meminum ramuan itu mereka akan mengalami amnesia instan dan permanen, yang membuat semua ingatan tentang kehidupan lalu atau memori siksaan di neraka menjadi lenyap.

 

Konon demi mencapai tujuan ini, Nyonya Meng mengumpulkan tumbuhan dari berbagai kolam dan sungai duniawi untuk membuat Teh Lima Rasa Pelupa atau Mi-hun-t'ang. Setelah dibersihkan melalui api-penyucian dari segala kesalahan yang diperbuatnya, arwah-arwah dikirim melalui Raja Neraka ke-10. Para pengawal Dunia Bawah yakni para Hēibái Wúcháng, Niútóu, dan Mǎmiàn, ditugaskan kembali untuk mengantar para arwah untuk dilahirkan kembali dalam inkarnasi duniawi atau kedewaan yang baru, sesuai dengan karma yang diperbuat dalam kehidupan mereka sebelumnya. Dan siklus itu pun berulang kembali.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210825

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar