"Sampurasun
wilujeng rancag tina acara Seren Taun ... " (Selamat datang di acara
Seren Taun ...). Demikianlah sambutan pembawa acara pada sebuah hajatan besar
di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, beberapa tahun silam, jauh sebelum pandemi
meluluhlantakkan negeri ini. Seren Taun adalah sebuah perayaan, satu ritual
tahunan penting, yang diadakan oleh warga Kesatuan Adat Kasepuhan Ciptagelar di
lembah pegunungan Halimun. Perayaan Seren Taun berasal dari zaman Kerajaan
Pajajaran, yang tercatat menyelenggarakan acara serupa pada tahun 1368 M. Acara
keagamaan seperti ini kembali digelar secara besar-besaran pada awal tahun
2000-an, setelah absen 36 tahun sejak tahun 1970.
Seren Taun digelar selama beberapa hari,
siang dan malam, dimulai sejak tanggal 18 Rayagung hingga puncaknya pada
tanggal 22 bulan terakhir sistem penanggalan Sunda. Kala ini berlangsung di
musim kemarau antara Agustus akhir sampai awal Oktober. Bukti keseriusan
panitia pada perhelatan akbar tahunan ini ditandai dengan mulai bersoleknya
Dusun Ciptagelar dengan hiasan janur dan umbul-umbul, serta pameran hasil
kerajinan masyarakat setempat. Tamu yang datang setiap tahunnya pada lima hari
perayaan ini mencapai ribuan orang, bahkan pernah mencapai sekitar 15 ribu
orang. Mereka bukan saja berasal dari Kabupaten Sukabumi, tetapi juga datang
dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada pengunjung dari mancanegara.
Penyelenggara paling tidak sudah menyediakan dua ekor kerbau, satu drum minyak
sayur, beberapa karung gula, dan tidak terhitung jumlah ayam hidup, kelapa,
gula merah, kopi, sayur mayur, dan buah-buahan. Semua yang hadir pada perayaan
itu bebas makan dan minum aneka hidangan yang disediakan secara gratis. Adalah
pantang bagi tuan rumah jika membiarkan para tamu sampai kelaparan. Hebatnya,
seluruh keperluan upacara disiapkan secara swadaya dari hasil mengumpulkan
iuran kolektif dari warga.
Pagelaran hajatan itu dipusatkan di seputar
alun-alun Kasepuhan, dengan Imah Gede
sebagai gedung berkumpulnya para tetua adat. Bukan saja ritual adat yang
diselenggarakan di tempat itu, panggung pertunjukan wayang golek pun digelar di
dekatnya. Di sisi lainnya lantunan lagu populer penyanyi pongdut (jaipong-dangdut), hampir tak putus semalam suntuk,
menemani warga yang berkerumun sambil berjoget mengusir hawa dingin pegunungan
yang menggigit.
Masyarakat Ciptagelar secara turun-temurun
memegang teguh budaya agraris, dengan tanaman padi mendapatkan kedudukan yang
sangat terhormat. Segala aktivitas yang penting disesuaikan dengan ritme
kalender siklus padi. Misalnya ada upacara Ngaseuk
yakni membuat lubang di sawah untuk memasukkan benih. Selanjutnya ada Sapang Jadian Pare, yang dilangsungkan
seminggu setelah Ngaseuk, yakni
melakukan persembahyangan meminta restu kepada Bumi untuk ditanami. Kemudian
ada Pare Nyiram, bertepatan saat
tanaman padi mengeluarkan bunga, dilakukan upacara agar padi tumbuh tanpa
gangguan hama. Masih ada beberapa upacara lagi, dan siklus ini usai saat puncak
perayaan Seren Taun, dengan ritual Ngadieukeun,
yaitu menaruh padi ke dalam Leuit
atau Lumbung. Tidak seperti pertanian intensifikasi, setelah panen raya sawah
diistirahatkan sampai musim tanam berikutnya, sehingga serbuan hama bisa
dihindari. Dan dengan hasil padi yang melimpah, beras yang diperoleh cukup
untuk mereka makan sendiri, serta tidak lagi diperlukan jual-beli padi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, padi
adalah sumber daya alam yang paling berharga. Dalam kepercayaan Sunda Kuno yang
dilandasi ajaran Hindu, penting bagi kita untuk menempatkan keberadaan padi
dalam konsep kosmos. Sebagai sumber daya kehidupan, padi dipersonifikasikan
sebagai sesosok Dewi, yang menjelma menjadi Nyi
Pohaci Sanghyang Asri (dalam tradisi Jawa dia dinamakan "Dewi
Sri"). Dia adalah Dewi Padi dan Kesuburan serta diwujudkan sebagai Pare Ambu (Padi Ibu). Pasangannya
adalah Kuwera, Dewa Kemakmuran
dan digambarkan sebagai Pare Abah
(Padi Ayah). Dalam perayaan Seren Taun dilantunkan kidung nyanyian yang tidak
lain sebuah undangan, agar Nyi Pohaci
Sanghyang Asri turun ke bumi, untuk memberkati bulir padi yang sedang
dipanen dan merestui kumpulan bibit padi yang akan ditanam pada tahun
mendatang.
Perayaan panen raya, seperti yang digelar
secara besar-besaran oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, adalah contoh
yang paling dekat yang bisa kita saksikan dari sekian banyak festival panen
yang terjadi di seantero dunia. Seiring dengan makin berkurangnya pengaruh
budaya agraris dalam masyarakat modern, banyak tradisi perayaan panen yang
telah punah tergilas oleh pragmatisme mekanisasi pertanian. Festival panen umumnya menampilkan pesta, yang
dihadiri keluarga maupun publik, dengan makanan yang diambil dari
tanaman yang matang sekitar waktu panen.
Makan, bersenang-senang, kontes, pawai kendaraan
berhias hasil bumi, serta pagelaran
musik dan tarian, adalah fitur umum dari
festival panen di seluruh dunia.
"Panen" berasal
dari kata Inggris-Kuno hærfest yang berarti "musim gugur", yakni periode antara Agustus hingga
November. "Panen" juga berarti
kegiatan menuai, mengumpulkan, serta menyimpan
biji-bijian dan produk tumbuhan lainnya selama
musim gugur. Masa ini adalah waktu yang paling menentukan dalam kehidupan
masyarakat agraris di negeri empat musim,
ketika kesuksesan adalah masalah hidup atau mati yang sesungguhnya. Panen yang sukses akan memastikan bahwa seluruh komunitas dapat diberi
makan yang cukup sepanjang bulan-bulan musim
dingin, yang tidak
memungkinkan orang untuk berkegiatan cocok-tanam. Oleh karena itu tidak
mengherankan, bahwa musim
gugur juga merupakan waktu yang diliputi
oleh kuatnya kepercayaan takhyul. Panen berhasil
akan banyak perayaan, sebaliknya jika gagal muncul kekhawatiran mereka tidak berhasil menyenangkan kekuatan supranatural
yang selama ini melindungi mereka.
Kebudayaan zaman kuno memberi tempat yang
terhormat dalam merayakan festival
panen. Bersyukur atas karunia itu, mereka biasanya
mempersembahkan upeti kepada dewi dan dewa mereka dalam bentuk buah, biji-bijian, atau
daging yang pertama kali dipanen. Sebuah pesta sering diadakan untuk
merayakannya, dengan seluruh komunitas diundang untuk berpartisipasi. Bangsa Romawi mengadakan pesta untuk menghormati
Ceres, Dewi Sereal.
Orang Yunani memberi penghormatan kepada Dewi Demeter. Dan
orang Mesir Kuno mendirikan patung Min, Dewa Tumbuh-tumbuhan dan Kesuburan,
di ladang yang dipanen. Penting bagi orang-orang ini untuk berterima kasih
kepada Dewi atau Dewa
atas kemurahan hati mereka, karena menggelontorkan
panen yang melimpah, serta memberkati kembali kegiatan bercocok-tanam di
tahun mendatang.
Perayaan panen di Asia Timur
termasuk Festival Pertengahan Musim Gugur,
salah satu pesta panen yang paling tersebar
luas di dunia. Peringatan ini diadakan pada
tanggal 15 bulan 8 kalender lunar, dan puncak
perayaan bertepatan dengan munculnya
bulan purnama di malam hari. Dalam kalender Gregorian festival musim panen ini jatuh
mulai pertengahan September hingga awal
Oktober. Festival ini dirayakan terutama oleh orang-orang Tionghoa dan Vietnam, namun festival serupa seperti Chuseok diadakan di Korea dan Tsukimi dilangsungkan di
Jepang. Masyarakat Tiongkok telah merayakan festival panen
sejak zaman Dinasti Shang (± 1600 - 1046 SM), meskipun peringatan ini mulai
dipopulerkan pada awal pemerintahan Dinasti Tang (618–907 M). Legenda
menceritakan bagaimana Kaisar Xuanzong dari Tang Agung mulai mengadakan
perayaan formal di istananya setelah menjelajahi Istana Bulan.
Berbicara mengenai bulan tentu kita
masih ingat kisah-kisah tentang kue bulan yang berasal dari legenda yang
berbeda-beda. Kue yang dibuat dengan kulit luar yang keras dari bahan tepung,
kemudian diisikan ke dalamnya pasta bijih teratai atau pasta kacang merah
memang berbentuk bundar, sengaja dibuat untuk keperluan sembahyang festival
panen. Pada malam terang bulan itu orang mempersembahkan kue itu ke hadapan
altar nenek moyang dan para dewata. Dalam budaya Tionghoa, bentuk bulat sang
rembulan melambangkan kelengkapan dan reuni. Dengan demikian, berbagi dan makan
kue bulan bundar di antara anggota keluarga selama minggu-festival itu
menandakan kelengkapan dan kesatuan keluarga. Bagian penting dari merayakan pesta
panen ini adalah dengan membawa lentera yang terang benderang, lentera yang
menyala di menara, atau lentera langit yang terbang mengambang di angkasa.
Secara tradisional, lentera telah digunakan untuk melambangkan kesuburan, dan
berfungsi terutama sebagai dekorasi dan mainan.
Pesta Panen pertama di Dunia Baru atau
di Benua Amerika, tercatat dalam sejarah diadakan pada tahun 1621. Peristiwa
itu dikenal sebagai hari Thanksgiving
pertama, dan menjadi cikal bakal perayaan festival panen di Amerika Serikat,
yang sekarang diperingati di seluruh negeri dan resmi dinyatakan sebagai hari
libur. Alkisah pada bulan November tahun itu sekelompok orang yang merupakan
penjelajah dari Dunia Lama atau Eropa, merayakan pesta panen jagung pertama
selama tiga hari. Peristiwa itu terjadi menjelang musim dingin yang ganas, dan
mereka berhasil bertahan hidup setelah mendapatkan bantuan dari salah satu suku
Indian, penduduk asli Benua Amerika. Sekarang masih menjadi kontroversi
sejarah, seperti apakah pelaksanaan festival panen yang pertama itu. Kini
penduduk Amerika merayakan Thanksgiving
dengan menghidangkan daging kalkun (sejenis unggas besar), kentang tumbuk, saus
cranberry, dan pai-labu.
Pada zaman kita perayaan pesta panen
telah kehilangan esensi makna yang sesungguhnya. Pada zaman dahulu festival
panen memiliki nilai-nilai keagamaan atau spiritual, dengan ritual inti berupa
persembahan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para Dewi / Dewa atau
Sang Maha Pencipta, atas karunia dan berkah yang telah diberikan. Di banyak rumah tangga Amerika, perayaan Thanksgiving hanya
diartikan sebagai hari libur dan menyantap kalkun. Di kalangan orang Tionghoa
festival pertengahan musim gugur hanya diartikan sebagai ritual makan kue-bulan
dan pesta makan. Seyogianya peringatan festival panen di masa kini bertumpu
pada semangat
bersyukur dan berbagi hasil panen dengan seluruh komunitas. Dan bahkan lebih
penting lagi berbagi kepada mereka yang membutuhkan, tetap menjadi tema sentral
perayaan kontemporer.
sdjn/dharmaprimapustaka/211020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar