Minggu, 11 September 2022

PERAYAAN PANEN RAYA


 


"Sampurasun wilujeng rancag tina acara Seren Taun ... " (Selamat datang di acara Seren Taun ...). Demikianlah sambutan pembawa acara pada sebuah hajatan besar di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, beberapa tahun silam, jauh sebelum pandemi meluluhlantakkan negeri ini. Seren Taun adalah sebuah perayaan, satu ritual tahunan penting, yang diadakan oleh warga Kesatuan Adat Kasepuhan Ciptagelar di lembah pegunungan Halimun. Perayaan Seren Taun berasal dari zaman Kerajaan Pajajaran, yang tercatat menyelenggarakan acara serupa pada tahun 1368 M. Acara keagamaan seperti ini kembali digelar secara besar-besaran pada awal tahun 2000-an, setelah absen 36 tahun sejak tahun 1970.

 

Seren Taun digelar selama beberapa hari, siang dan malam, dimulai sejak tanggal 18 Rayagung hingga puncaknya pada tanggal 22 bulan terakhir sistem penanggalan Sunda. Kala ini berlangsung di musim kemarau antara Agustus akhir sampai awal Oktober. Bukti keseriusan panitia pada perhelatan akbar tahunan ini ditandai dengan mulai bersoleknya Dusun Ciptagelar dengan hiasan janur dan umbul-umbul, serta pameran hasil kerajinan masyarakat setempat. Tamu yang datang setiap tahunnya pada lima hari perayaan ini mencapai ribuan orang, bahkan pernah mencapai sekitar 15 ribu orang. Mereka bukan saja berasal dari Kabupaten Sukabumi, tetapi juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada pengunjung dari mancanegara. Penyelenggara paling tidak sudah menyediakan dua ekor kerbau, satu drum minyak sayur, beberapa karung gula, dan tidak terhitung jumlah ayam hidup, kelapa, gula merah, kopi, sayur mayur, dan buah-buahan. Semua yang hadir pada perayaan itu bebas makan dan minum aneka hidangan yang disediakan secara gratis. Adalah pantang bagi tuan rumah jika membiarkan para tamu sampai kelaparan. Hebatnya, seluruh keperluan upacara disiapkan secara swadaya dari hasil mengumpulkan iuran kolektif dari warga.

 

Pagelaran hajatan itu dipusatkan di seputar alun-alun Kasepuhan, dengan Imah Gede sebagai gedung berkumpulnya para tetua adat. Bukan saja ritual adat yang diselenggarakan di tempat itu, panggung pertunjukan wayang golek pun digelar di dekatnya. Di sisi lainnya lantunan lagu populer penyanyi pongdut (jaipong-dangdut), hampir tak putus semalam suntuk, menemani warga yang berkerumun sambil berjoget mengusir hawa dingin pegunungan yang menggigit.

 

Masyarakat Ciptagelar secara turun-temurun memegang teguh budaya agraris, dengan tanaman padi mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat. Segala aktivitas yang penting disesuaikan dengan ritme kalender siklus padi. Misalnya ada upacara Ngaseuk yakni membuat lubang di sawah untuk memasukkan benih. Selanjutnya ada Sapang Jadian Pare, yang dilangsungkan seminggu setelah Ngaseuk, yakni melakukan persembahyangan meminta restu kepada Bumi untuk ditanami. Kemudian ada Pare Nyiram, bertepatan saat tanaman padi mengeluarkan bunga, dilakukan upacara agar padi tumbuh tanpa gangguan hama. Masih ada beberapa upacara lagi, dan siklus ini usai saat puncak perayaan Seren Taun, dengan ritual Ngadieukeun, yaitu menaruh padi ke dalam Leuit atau Lumbung. Tidak seperti pertanian intensifikasi, setelah panen raya sawah diistirahatkan sampai musim tanam berikutnya, sehingga serbuan hama bisa dihindari. Dan dengan hasil padi yang melimpah, beras yang diperoleh cukup untuk mereka makan sendiri, serta tidak lagi diperlukan jual-beli padi.


Hari masih pagi saat puncak acara akan berlangsung hari itu. Bunyi rentetan petasan terdengar bersahutan dari alun-alun tanda dimulainya perayaan Seren Taun. Di tengah alun-alun sepuluh orang wanita berkebaya hitam terlihat memukul-mukul lesung dengan alu menciptakan bunyi-bunyian berirama. Ribuan warga dan tamu memadati pinggir alun-alun, seolah tak sabar ingin menyaksikan kemeriahan festival tahunan itu. Sementara itu rombongan debus, baris kolot, dayang-dayang, dan perkusi dogdog lonjor mengiringi barisan rengkong yang memikul padi berjalan menyusuri pesawahan. Mereka menuju lumbung padi milik Kasepuhan, yang bernama "Leuit Si Jimat", yang terletak di alun-alun. Prosesi yang meriah ini diiringi pembacaan mantra melalui pantun seloka, sebagai ungkapan syukur atas restu karuhun (yakni leluhur) dan alam semesta, yang telah memberikan berkah yang berlimpah kepada masyarakat Ciptagelar.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, padi adalah sumber daya alam yang paling berharga. Dalam kepercayaan Sunda Kuno yang dilandasi ajaran Hindu, penting bagi kita untuk menempatkan keberadaan padi dalam konsep kosmos. Sebagai sumber daya kehidupan, padi dipersonifikasikan sebagai sesosok Dewi, yang menjelma menjadi Nyi Pohaci Sanghyang Asri (dalam tradisi Jawa dia dinamakan "Dewi Sri"). Dia adalah Dewi Padi dan Kesuburan serta diwujudkan sebagai Pare Ambu (Padi Ibu). Pasangannya adalah Kuwera, Dewa Kemakmuran dan digambarkan sebagai Pare Abah (Padi Ayah). Dalam perayaan Seren Taun dilantunkan kidung nyanyian yang tidak lain sebuah undangan, agar Nyi Pohaci Sanghyang Asri turun ke bumi, untuk memberkati bulir padi yang sedang dipanen dan merestui kumpulan bibit padi yang akan ditanam pada tahun mendatang.

 

Perayaan panen raya, seperti yang digelar secara besar-besaran oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, adalah contoh yang paling dekat yang bisa kita saksikan dari sekian banyak festival panen yang terjadi di seantero dunia. Seiring dengan makin berkurangnya pengaruh budaya agraris dalam masyarakat modern, banyak tradisi perayaan panen yang telah punah tergilas oleh pragmatisme mekanisasi pertanian. Festival panen umumnya menampilkan pesta, yang dihadiri keluarga maupun publik, dengan makanan yang diambil dari tanaman yang matang sekitar waktu panen. Makan, bersenang-senang, kontes, pawai kendaraan berhias hasil bumi, serta pagelaran musik dan tarian, adalah fitur umum dari festival panen di seluruh dunia.

 

"Panen" berasal dari kata Inggris-Kuno hærfest yang berarti "musim gugur", yakni periode antara Agustus hingga November. "Panen" juga berarti kegiatan menuai, mengumpulkan, serta menyimpan biji-bijian dan produk tumbuhan lainnya selama musim gugur. Masa ini adalah waktu yang paling menentukan dalam kehidupan masyarakat agraris di negeri empat  musim, ketika kesuksesan adalah masalah hidup atau mati yang sesungguhnya. Panen yang sukses akan memastikan bahwa seluruh komunitas dapat diberi makan yang cukup sepanjang bulan-bulan musim dingin, yang tidak memungkinkan orang untuk berkegiatan cocok-tanam. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa musim gugur juga merupakan waktu yang diliputi oleh kuatnya kepercayaan takhyul. Panen berhasil akan banyak perayaan, sebaliknya jika gagal muncul kekhawatiran mereka tidak  berhasil menyenangkan kekuatan supranatural yang selama ini melindungi mereka.

 

Kebudayaan zaman kuno memberi tempat yang terhormat dalam merayakan festival panen. Bersyukur atas karunia itu, mereka biasanya mempersembahkan upeti kepada dewi dan dewa mereka dalam bentuk buah, biji-bijian, atau daging yang pertama kali dipanen. Sebuah pesta sering diadakan untuk merayakannya, dengan seluruh komunitas diundang untuk berpartisipasi. Bangsa Romawi mengadakan pesta untuk menghormati Ceres, Dewi Sereal. Orang Yunani memberi penghormatan kepada Dewi Demeter. Dan orang Mesir Kuno mendirikan patung Min, Dewa Tumbuh-tumbuhan dan Kesuburan, di ladang yang dipanen. Penting bagi orang-orang ini untuk berterima kasih kepada Dewi atau Dewa atas kemurahan hati mereka, karena menggelontorkan panen yang melimpah, serta memberkati kembali kegiatan bercocok-tanam di tahun mendatang.

 

Perayaan panen di Asia Timur termasuk Festival Pertengahan Musim Gugur, salah satu pesta panen yang paling tersebar luas di dunia. Peringatan ini diadakan pada tanggal 15 bulan 8 kalender lunar, dan puncak perayaan bertepatan dengan munculnya bulan purnama di malam hari. Dalam kalender Gregorian festival musim panen ini jatuh mulai pertengahan September hingga awal Oktober. Festival ini dirayakan terutama oleh orang-orang Tionghoa dan Vietnam, namun festival serupa seperti Chuseok diadakan di Korea dan Tsukimi dilangsungkan di Jepang. Masyarakat Tiongkok telah merayakan festival panen sejak zaman Dinasti Shang (± 1600 - 1046 SM), meskipun peringatan ini mulai dipopulerkan pada awal pemerintahan Dinasti Tang (618–907 M). Legenda menceritakan bagaimana Kaisar Xuanzong dari Tang Agung mulai mengadakan perayaan formal di istananya setelah menjelajahi Istana Bulan.

 

Berbicara mengenai bulan tentu kita masih ingat kisah-kisah tentang kue bulan yang berasal dari legenda yang berbeda-beda. Kue yang dibuat dengan kulit luar yang keras dari bahan tepung, kemudian diisikan ke dalamnya pasta bijih teratai atau pasta kacang merah memang berbentuk bundar, sengaja dibuat untuk keperluan sembahyang festival panen. Pada malam terang bulan itu orang mempersembahkan kue itu ke hadapan altar nenek moyang dan para dewata. Dalam budaya Tionghoa, bentuk bulat sang rembulan melambangkan kelengkapan dan reuni. Dengan demikian, berbagi dan makan kue bulan bundar di antara anggota keluarga selama minggu-festival itu menandakan kelengkapan dan kesatuan keluarga. Bagian penting dari merayakan pesta panen ini adalah dengan membawa lentera yang terang benderang, lentera yang menyala di menara, atau lentera langit yang terbang mengambang di angkasa. Secara tradisional, lentera telah digunakan untuk melambangkan kesuburan, dan berfungsi terutama sebagai dekorasi dan mainan.

 

Pesta Panen pertama di Dunia Baru atau di Benua Amerika, tercatat dalam sejarah diadakan pada tahun 1621. Peristiwa itu dikenal sebagai hari Thanksgiving pertama, dan menjadi cikal bakal perayaan festival panen di Amerika Serikat, yang sekarang diperingati di seluruh negeri dan resmi dinyatakan sebagai hari libur. Alkisah pada bulan November tahun itu sekelompok orang yang merupakan penjelajah dari Dunia Lama atau Eropa, merayakan pesta panen jagung pertama selama tiga hari. Peristiwa itu terjadi menjelang musim dingin yang ganas, dan mereka berhasil bertahan hidup setelah mendapatkan bantuan dari salah satu suku Indian, penduduk asli Benua Amerika. Sekarang masih menjadi kontroversi sejarah, seperti apakah pelaksanaan festival panen yang pertama itu. Kini penduduk Amerika merayakan Thanksgiving dengan menghidangkan daging kalkun (sejenis unggas besar), kentang tumbuk, saus cranberry, dan pai-labu.

 

Pada zaman kita perayaan pesta panen telah kehilangan esensi makna yang sesungguhnya. Pada zaman dahulu festival panen memiliki nilai-nilai keagamaan atau spiritual, dengan ritual inti berupa persembahan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para Dewi / Dewa atau Sang Maha Pencipta, atas karunia dan berkah yang telah diberikan. Di banyak rumah tangga Amerika, perayaan Thanksgiving hanya diartikan sebagai hari libur dan menyantap kalkun. Di kalangan orang Tionghoa festival pertengahan musim gugur hanya diartikan sebagai ritual makan kue-bulan dan pesta makan. Seyogianya peringatan festival panen di masa kini bertumpu pada semangat bersyukur dan berbagi hasil panen dengan seluruh komunitas. Dan bahkan lebih penting lagi berbagi kepada mereka yang membutuhkan, tetap menjadi tema sentral perayaan kontemporer.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar