Dalam tulisan kali ini penulis akan
bercerita mengenai Kwee Tek Hoay. Siapakah gerangan beliau ini? Beberapa di
antara Anda mungkin telah pernah mendengar namanya. Ya, Kwee Tek Hoay atau
dieja juga sebagai Guō Dé Huái (郭德懷, 31 Juli 1886
- 4 Juli 1951) adalah Bapak Tridharma Indonesia. Bagi saya sebagai generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964), Kwee
Tek Hoay itu seangkatan dengan kakek saya, sedangkan bagi generasi anak-anak
saya – yakni generasi millennials
(kelahiran 1981-1996) – beliau itu orang yang seumur dengan kakek-buyut mereka.
Dengan membaca sejarah perjalanan hidup Kwee Tek Hoay, kita sebetulnya sedang
bernostalgia bersama kakek atau kekek-buyut kita, dalam menghadapi tantangan
hidup di zaman itu.
Penulis akan menuturkan dahulu siapa
itu ayah dan ibu Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay adalah putera bungsu Kwee Tjiam
Hong dan Tan An Nio, dan dia masih memiliki satu kakak laki-laki sebagai anak
tertua keluarga itu dan dua orang kakak perempuan. Kwee Tjiam Hong, sang ayah,
berasal dari Tiongkok, Propinsi Fujian
Dusun Lam An. Seperti orang-orang
Tionghoa perantauan lainnya, mereka secara berkelompok meninggalkan tanah
leluhur untuk mencari peruntungan baru di Tanah Jawa. Dikisahkan selama
perjalanan dari kampung halamannya hingga ke perantauan, Kwee Tjiam Hong
membawa sebuah patung yang merupakan replika tokoh yang bernama Kwee Seng Ong,
yang konon selama hidupnya dipuja oleh rakyat daerah Tiongkok Selatan. Kwee
Seng Ong disebut juga 郭神王 atau Guō Shén Wáng, yang
bermakna bahwa dia itu seorang raja sekaligus orang suci. Setelah Kwee Seng Ong
wafat, dia dipuja sebagai dewa di kuil-kuil yang banyak terdapat di Tiongkok
Selatan. Tidak diketahui dengan pasti pada zaman kapan Kwee Seng Ong hidup,
namun jika menilik marganya, Kwee Seng Ong juga merupakan leluhur dari Kwee
Tjiam Hong.
Tentu Anda pembaca bertanya-tanya mengapa
Kwee Tjiam Hong membawa-bawa patung dewa pelindung dalam perantauannya itu?
Perjalanan dari Tiongkok Selatan menuju Tanah Jawa dengan kapal layar pada masa
itu bukanlah pengembaraan tamasya, layaknya orang kaya menggunakan kapal pesiar
yang nyaman dan menyenangkan, seperti yang
sering kita tonton di layar kaca. Ini adalah perjalanan laut yang
memakan waktu berminggu-minggu dengan taruhan nyawa. Kapal layar yang ringkih
sering diterjang badai ganas di tengah samudera yang tak-bertepi, yang bisa
menenggelamkan wahana itu dalam sekejap. Belum lagi ancaman bajak laut di
tengah lautan, yang mana mereka tidak segan-segan merampok atau membunuh para
korbannya. Saat menghadapi datangnya marabahaya, para perantau hanya bisa
pasrah bersimpuh di hadapan patung dewa, lalu mereka mempersembahkan dupa dan
membakar kertas-uang, dengan mulut mereka berkomat-kamit melantunkan doa agar
diberikan keselamatan.
Penulis mengambil kisah hidup Kwee Tek
Hoay ini dari tulisan karya Visakha Gunadharma, yakni puteri beliau
satu-satunya, dalam buku: 100 Tahun Kwee
Tek Hoay, Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1989. Dari tulisan Ibu Visakha itu tidak ada keterangan kapan
Kwee Tjiam Hong tiba di Tanah Jawa. Tetapi dengan menghitung tahun kelahiran
Kwee Tek Hoay, diperkirakan Tjiam Hong datang ke Hindia Belanda antara tahun 1860-1865.
Adalah menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di Daratan Tiongkok pada masa
itu. Ternyata di sana sedang terjadi huru-hara, yakni berlangsungnya
Pemberontakan atau Revolusi Taiping, antara penguasa Dinasti Qīng (清) yang kaisarnya orang Manchu dengan 'Kerajaan Surgawi
Taiping Han' yang dipimpin oleh etnis Hakka. Pemberontakan kemudian berkobar
menjadi perang saudara, berlangsung dari tahun 1850 hingga 1864, dengan korban
jiwa lebih dari 20 juta orang. Ini merupakan perang saudara yang paling
berdarah dalam sejarah dunia. Meskipun di Tianjing
(sekarang Nanjing) tentara
pemberontak berhasil dikalahkan, Kekaisaran Qīng mulai melemah dan kehilangan
pengaruhnya. Seperti yang biasa terjadi sejak zaman baheula hingga sekarang,
peperangan besar di satu negeri menimbulkan kesengsaraan dan migrasi
besar-besaran rakyatnya. Banyak warga mengungsi ke negara lain, untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Fujian pada zaman itu.
Setelah berhasil menginjakkan kakinya
di Tanah Jawa, Kwee Tjiam Hong menetap di Bogor. Pekerjaan sehari-harinya
adalah pedagang obat-obatan herbal cina, yang dibawa secara rutin dari
pedagang-pedagang yang mengimpor komoditi itu dari Tiongkok. Bersama dengan
teman-temannya dia membuka toko obat cina dan ada pula dari mereka yang
berprofesi sebagai sinshe atau tabib
cina. Pada masa itu Bogor atau Buitenzorg
masuk ke dalam Ommelanden yakni
wilayah yang terdiri dari Batavia-Stad, Tangerang, Meester-Cornelis
(Jatinegara), Krawang, dan Buitenzorg (sekarang setara dengan 'Jabodetabek'). Di
samping Ommelanden, wilayah penting
lain Hindia Belanda adalah Semarang dan Soerabaja. Sedangkan daerah di luar
Jawa dan Madura disatukan sebagai Buitengewesten.
Tak lama setelah Jan Pieterszoon Coen
menetapkan Batavia sebagai markas Firma Hindia Timur Belanda atau VOC pada tahun 1619, Gubernur Jenderal
menunjuk seorang saudagar kaya Tionghoa sebagai kepala desa pertama. Dia adalah
Souw Beng Kong (1580-1644) dengan pangkat kapitein
der Chineezen, yang bertanggung jawab atas komunitas kecil Tionghoa di kota
yang baru ditaklukkan itu. Dari jajaran perwira Tionghoa di zaman kolonial ada
beberapa yang terkenal. Di antaranya adalah Oei Tiong Ham (19-Nov-1866 - 6-Jun-1924),
yang dijuluki sebagai 'Sang Raja Gula' dari Semarang dengan pangkat majoor-titulair der Chinezen; juga ada Tjong
A Fie (1860-1921), seorang pengusaha dan bankir besar dari Medan yang pada
tahun 1911 diangkat sebagai kapitein der
Chineezen. Para perwira Tionghoa karena kekayaan dan jabatan mereka dikenal
oleh orang zaman itu sebagai Tjabang Atas,
yang setara dengan golongan bangsawan Tionghoa. Para perwira itu memilih
menantu dari kalangan Tjabang Atas
pula, dengan maksud mengamankan kekayaan dan pangkat mereka. Politik kolonial
yang mengisolasi golongan Tionghoa dan Timur Asing dengan warga bumiputera, dan
kebijakan pilih kasih inilah; yang sebenarnya menyuburkan kecemburuan dan
antipati komunitas bumiputera terhadap komunitas Tionghoa, bahkan sentimen
negatif ini berlangsung hingga hari ini.
Kita kembali kepada Kwee Tjiam Hong,
yang mulai berniaga obat-obatan herbal. Selain itu Tjiam Hong yang rajin dan
mempunyai naluri bisnis yang baik mulai membuka usaha lain, seperti toko
tekstil dan bergerak pula di bidang ekspedisi. Selain didukung oleh semangat
kerja keras dan keuletan, para pengusaha Tionghoa pada masa itu terkenal dengan
semangat gotong royongnya di antara sesama pedagang perantauan. Kwee Tjiam Hong
membentuk sebuah Kongsi yang
anggota-anggotanya terdiri dari teman-teman dekatnya. Kwee Tjiam Hong juga
termasuk orang yang dermawan; dia secara berkala mengirim uang ke sanak
saudaranya yang masih tinggal Di Tiongkok. Dia juga membantu pendirian sebuah
kuil di dusun kelahirannya dan membantu korban bencana banjir. Beberapa tahun
setelah usahanya berjalan lancar, Tjiam Hong yang masih berstatus perjaka muda
mulai berpikir untuk berkeluarga. Pilihannya jatuh pada Tan Ay Nio, puteri satu
keluarga besar dan terpandang di Bogor. Tan Ay Nio ini berbeda latar belakang
dengan suaminya. Jika Kwee Tjiam Hong merupakan seorang Totok yang sehari-harinya berbicara bahasa Hokkian dan masih
membiarkan kuncir di rambutnya tumbuh panjang sebagai kesetiaan pada kekaisaran
Tiongkok, Tan Ay Nio adalah seorang Tionghoa Peranakan yang sudah tiga generasi
menetap di Hindia Belanda, dan dia lebih banyak berbahasa Melayu walaupun dia juga
paham bahasa Hokkian. Nyonya Kwee Tjiam Hong ini pun sehari-hari memakai
pakaian tradisional baju kurung gaya Melayu. Pasangan suami isteri ini meskipun
memiliki latar belakang yang berbeda, namun keduanya akur dalam membina rumah
tangga.
Kwee Tek Hoay dilahirkan di Bogor pada
31 Juli 1886 sebagai anak bungsu, dan walaupun dia anak paling bontot dia tidak dimanjakan oleh kedua
orang tuanya. Dia lebih dekat dengan ibunya dan mereka berdua bercakap-cakap
dalam bahasa Melayu. Dia jarang bertemu dengan ayahnya karena Kwee Tjiam Hong
seharian sibuk mengurus bisnisnya. Sejak kecil Kwee Tek Hoay sering diajak
ayahnya pergi beribadah ke kelenteng setiap Ce
It dan Cap Go atau saat bulan
mati dan bulan purnama. Menginjak usia delapan tahun atau pada tahun 1894, dia
dimasukkan ke sekolah Tionghoa dengan pengantar bahasa Hokkian. Konon kabarnya
sekolah itu berada di dalam sebuah ruangan di rumah-abu leluhur, tempat ayahnya
sering berkumpul dengan anggota kongsi lainnya. Menurut referensi yang penulis dapatkan,
sebelum pergantian abad menuju tahun 1900 belum ada sekolah formal di Hindia
Belanda. Jadi sekolah yang diikuti oleh Kwee Tek Hoay kecil adalah sekolah
informal yang pada masa itu dinamakan Gie
Oh. Karena sekolah itu memakai bahasa pengantar Hokkian, Kwee Tek Hoay
kecil tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh gurunya, sehingga dia kerap
membolos. Kita tidak tahu apakah Kwee Tek Hoay sempat masuk sekolah formal
setelah dia menginjak usia belasan tahun, walaupun anak ini sebenarnya memiliki
kemampuan belajar yang tinggi. Tetapi yang jelas Kwee kecil mampu membaca dan
menulis huruf Latin, menguasai dengan baik bahasa Melayu, dan bisa berhitung;
satu keterampilan yang dimiliki oleh anak yang berpendidikan sekolah rakyat
menurut ukuran zaman itu.
Di sini kita bisa melihat sosok seorang
ayah yang keras dan memegang teguh tradisi Tiongkok Kuno dan menganjurkan
anak-anaknya untuk belajar bahasa Hokkian saja. Namun justru si bungsu
membangkang dan memberontak terhadap perintah ayahnya. Diam-diam si bungsu Kwee
membaca buku-buku Melayu dengan diam-diam, misalnya dengan menyembunyikan
dirinya di dalam sebuah peti besar. Salah satu kesenangannya di masa
kanak-kanak dan remajanya adalah membaca buku, sampai ia dijuluki si kutu buku. Meskipun tidak menempuh ilmu
di bangku sekolah formal, Kwee Tek Hoay mengambil les privat tata buku, bahasa
Belanda, dan bahasa Inggris. Tidak ada penjelasan sampai di mana kemampuannya
dalam berbahasa Hokkian dan menulis aksara Mandarin. Dia juga senang mengarang
sejak masih bersekolah, lalu di masa remajanya dia mengembangkan bakatnya di
bidang jurnalistik. Kedua orang tuanya tidak mengetahui bakatnya dalam bidang
tulis-menulis, karena sepengetahuan mereka dia cukup rajin membantu mereka
berjualan di toko, dan dia pun sudah pandai berdagang.
Setelah Kwee Tek Hoay menginjak usia 19
tahun, ayah dan ibunya mulai memikirkan untuk mengawinkan putera bungsunya ini.
Ibunya menaruh minat pada keluarga Tan Kie Lam yang berpangkat kapitein Tionghoa
di Bogor. Tan Kie Lam memiliki seorang cucu perempuan yang bernama Oei Hiang
Nio. Pada waktu itu Nyonya Kwee Tjiam Hong cukup dikenal di Buitenzorg sebagai pedagang wanita yang
jujur dan berhormat. Di antara Nyonya Kwee dan Tan Kie Lam sudah saling
mengenal, dan hal itu memudahkan baginya melamar Oei Hiang Nio untuk dijadikan
menantunya. Jadi dalam mengatur perjodohan itu tidak diperlukan lagi mak
comblang. Kwee Tek Hoay setuju saja dinikahkan dengan seorang perempuan
peranakan namun dengan dua syarat. Pertama, dia harus melihat dulu wajah calon
isterinya sebelum kedua orang tuanya melamar. Kedua, dia meminta gadis yang
akan dinikahinya tidak buta huruf. Sebenarnya Kwee Tek Hoay telah mengenal
Kapitein Tan Kie Lam dengan baik. Kwee Tek Hoay pernah bertukar pikiran dengan
tokoh terhormat itu dan turut membantu kegiatan sosial komunitas Tionghoa di Buitenzorg. Perlu Pembaca ketahui pada
masa itu anak gadis keluarga terhormat biasanya dipingit, dan mereka tidak
diizinkan bebas bergaul dengan kaum pria. Mereka dikawinkan setelah kedua orang
tua calon mempelai menyatakan persetujuannya. Jadi dalam kebanyakan kasus para
gadis baru dipertemukan dengan calon suaminya pada saat acara lamaran
berlangsung, bahkan ada pasangan yang baru bertemu saat akan dinikahkan. Tentu
saja ini kondisi yang tidak menguntungkan bagi para wanita lajang karena mereka
seolah-olah membeli kucing dalam karung; jika lelaki yang melamarnya berkenan
di hatinya mereka beruntung, sebaliknya, mereka lebih banyak kecewa dan hanya
bisa pasrah. Kwee Tek Hoay yang nakal, setelah mengetahui bahwa dia bakal
dijodohkan dengan Oei Hiang Nio, dia mulai mencari tahu kemudian memata-matai
calon tunangannya itu. Dia akhirnya mengetahui bahwa Oei Hiang Nio secara
berkala berkunjung ke sebuah gereja Kristen, dan dia berkali-kali secara
diam-diam menantinya di depan gereja untuk memandang wajah calon isterinya.
Barulah setelah mereka menikah, Kwee Tek Hoay mengakui perbuatannya kepada
isterinya; he he he! Keduanya menikah pada bulan Februari 1906, dua-belas hari
sebelum Tahun Baru Imlek.
Setelah menikah Kwee Tek Hoay tetap
meneruskan pekerjaan utamanya yakni berdagang. Belakangan dia memiliki sebuah
toko serba ada yang dinamakan 'Toko KTH'.
Dia melatih isterinya berdagang dan mengurus keuangan toko tersebut. Dalam hal
ini tampak suaminya lebih senang jika isterinya membantu mendampinginya dalam
berniaga, ketimbang hanya memasak dan mengurus rumah tangga. Oei Hiang Nio pun
menjadi sesosok ibu yang cukup sibuk, karena dia harus membagi waktunya untuk
membantu kegiatan toko dan mengurus rumah tangga. Kelak ketika Kwee Tek Hoay
mapan berprofesi sebagai penulis, Oei Hiang Nio pun bertugas membaca dan
memberikan saran atas tulisan suaminya sebelum dipublikasikan. Banyak orang –
termasuk anaknya sendiri – mengatakan bahwa Kwee Tek Hoay sungguh beruntung
mempunyai isteri seperti Oei Hiang Nio. Sebagai anak yang banyak dipengaruhi
oleh budaya Tionghoa Totok dari
ayahnya, Kwee Tek Hoay justru bersikap moderat dan dia sering menggandeng
isterinya ke pertemuan atau menghadiri jamuan makan, sesuatu hal yang
sebenarnya masih dianggap kurang wajar menurut tradisi masa itu. Ternyata Kwee
Tek Hoay sudah lebih maju dari orang sezamannya, yang umumnya memperlakukan
isteri mereka untuk tinggal di rumah saja.
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/221005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar