Rabu, 05 Oktober 2022

KWEE TEK HOAY DAN TRIDHARMA (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)


 

Dalam tulisan kali ini penulis akan bercerita mengenai Kwee Tek Hoay. Siapakah gerangan beliau ini? Beberapa di antara Anda mungkin telah pernah mendengar namanya. Ya, Kwee Tek Hoay atau dieja juga sebagai Guō Dé Huái (郭德懷, 31 Juli 1886 - 4 Juli 1951) adalah Bapak Tridharma Indonesia. Bagi saya sebagai generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964), Kwee Tek Hoay itu seangkatan dengan kakek saya, sedangkan bagi generasi anak-anak saya – yakni generasi millennials (kelahiran 1981-1996) – beliau itu orang yang seumur dengan kakek-buyut mereka. Dengan membaca sejarah perjalanan hidup Kwee Tek Hoay, kita sebetulnya sedang bernostalgia bersama kakek atau kekek-buyut kita, dalam menghadapi tantangan hidup di zaman itu.

 

Penulis akan menuturkan dahulu siapa itu ayah dan ibu Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay adalah putera bungsu Kwee Tjiam Hong dan Tan An Nio, dan dia masih memiliki satu kakak laki-laki sebagai anak tertua keluarga itu dan dua orang kakak perempuan. Kwee Tjiam Hong, sang ayah, berasal dari Tiongkok, Propinsi Fujian Dusun Lam An. Seperti orang-orang Tionghoa perantauan lainnya, mereka secara berkelompok meninggalkan tanah leluhur untuk mencari peruntungan baru di Tanah Jawa. Dikisahkan selama perjalanan dari kampung halamannya hingga ke perantauan, Kwee Tjiam Hong membawa sebuah patung yang merupakan replika tokoh yang bernama Kwee Seng Ong, yang konon selama hidupnya dipuja oleh rakyat daerah Tiongkok Selatan. Kwee Seng Ong disebut juga 郭神王 atau Guō Shén Wáng, yang bermakna bahwa dia itu seorang raja sekaligus orang suci. Setelah Kwee Seng Ong wafat, dia dipuja sebagai dewa di kuil-kuil yang banyak terdapat di Tiongkok Selatan. Tidak diketahui dengan pasti pada zaman kapan Kwee Seng Ong hidup, namun jika menilik marganya, Kwee Seng Ong juga merupakan leluhur dari Kwee Tjiam Hong.

 

Tentu Anda pembaca bertanya-tanya mengapa Kwee Tjiam Hong membawa-bawa patung dewa pelindung dalam perantauannya itu? Perjalanan dari Tiongkok Selatan menuju Tanah Jawa dengan kapal layar pada masa itu bukanlah pengembaraan tamasya, layaknya orang kaya menggunakan kapal pesiar yang nyaman dan menyenangkan, seperti yang  sering kita tonton di layar kaca. Ini adalah perjalanan laut yang memakan waktu berminggu-minggu dengan taruhan nyawa. Kapal layar yang ringkih sering diterjang badai ganas di tengah samudera yang tak-bertepi, yang bisa menenggelamkan wahana itu dalam sekejap. Belum lagi ancaman bajak laut di tengah lautan, yang mana mereka tidak segan-segan merampok atau membunuh para korbannya. Saat menghadapi datangnya marabahaya, para perantau hanya bisa pasrah bersimpuh di hadapan patung dewa, lalu mereka mempersembahkan dupa dan membakar kertas-uang, dengan mulut mereka berkomat-kamit melantunkan doa agar diberikan keselamatan.

 

Penulis mengambil kisah hidup Kwee Tek Hoay ini dari tulisan karya Visakha Gunadharma, yakni puteri beliau satu-satunya, dalam buku: 100 Tahun Kwee Tek Hoay, Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Dari tulisan Ibu Visakha itu tidak ada keterangan kapan Kwee Tjiam Hong tiba di Tanah Jawa. Tetapi dengan menghitung tahun kelahiran Kwee Tek Hoay, diperkirakan Tjiam Hong datang ke Hindia Belanda antara tahun 1860-1865. Adalah menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di Daratan Tiongkok pada masa itu. Ternyata di sana sedang terjadi huru-hara, yakni berlangsungnya Pemberontakan atau Revolusi Taiping, antara penguasa Dinasti Qīng () yang kaisarnya orang Manchu dengan 'Kerajaan Surgawi Taiping Han' yang dipimpin oleh etnis Hakka. Pemberontakan kemudian berkobar menjadi perang saudara, berlangsung dari tahun 1850 hingga 1864, dengan korban jiwa lebih dari 20 juta orang. Ini merupakan perang saudara yang paling berdarah dalam sejarah dunia. Meskipun di Tianjing (sekarang Nanjing) tentara pemberontak berhasil dikalahkan, Kekaisaran Qīng mulai melemah dan kehilangan pengaruhnya. Seperti yang biasa terjadi sejak zaman baheula hingga sekarang, peperangan besar di satu negeri menimbulkan kesengsaraan dan migrasi besar-besaran rakyatnya. Banyak warga mengungsi ke negara lain, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Fujian pada zaman itu.

 

Setelah berhasil menginjakkan kakinya di Tanah Jawa, Kwee Tjiam Hong menetap di Bogor. Pekerjaan sehari-harinya adalah pedagang obat-obatan herbal cina, yang dibawa secara rutin dari pedagang-pedagang yang mengimpor komoditi itu dari Tiongkok. Bersama dengan teman-temannya dia membuka toko obat cina dan ada pula dari mereka yang berprofesi sebagai sinshe atau tabib cina. Pada masa itu Bogor atau Buitenzorg masuk ke dalam Ommelanden yakni wilayah yang terdiri dari Batavia-Stad, Tangerang, Meester-Cornelis (Jatinegara), Krawang, dan Buitenzorg (sekarang setara dengan 'Jabodetabek'). Di samping Ommelanden, wilayah penting lain Hindia Belanda adalah Semarang dan Soerabaja. Sedangkan daerah di luar Jawa dan Madura disatukan sebagai Buitengewesten.

 

Sejak Belanda memasuki Nusantara, dimulai dari berkuasanya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie, 1602-1799), yang kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Belanda (1799-1942), mereka mulai menciptakan tatanan sosial berdasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku; dengan para elit Belanda berada di puncak hierarki dan bertempat tinggal terpisah, namun tetap berhubungan dengan penduduk pribumi atau bumiputera yang dijajah oleh mereka. Di samping itu ada golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang terdiri dari bangsa Tionghoa, Arab, Moor (dipanggil sebagai 'Keling'), dan Bengalis. Golongan Timur Asing mempunyai hak dan status yang lebih tinggi daripada penduduk bumiputera, dan biasanya tinggal dalam lingkungan kampung tersendiri, yang terpisah dari penduduk bumiputera. Kampung tersendiri ini berkembang menjadi Pecinan (Chineesche Kamp), Kampung Arab, Kampung Keling, dan sebagainya. Dari kalangan Timur Asing ini, golongan Tionghoa yang paling banyak mendapat perhatian karena peran sosial politik mereka yang khas dan jumlah mereka yang besar. Sebagai contohnya, berdasarkan sensus yang diadakan pada tahun 1895, Pemerintah Hindia Belanda mencatat penduduk Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo (sekarang Kalimantan Selatan dan Timur) berturut-turut terdiri dari: 598 orang kulit putih (0,07%), 4.525 orang Tionghoa (0,56%), 1.534 orang Arab (0.19%), 116 orang Timur Asing lainnya (0,01%), dan 803.013 orang Bumiputera (99,16%) (Sumber: Wikipedia). Mengapa pemerintah kolonial membagi-bagi wilayah pemukiman berdasarkan etnis dan kebangsaan? Karena akan mudah bagi mereka untuk mengawasinya, juga sesuai dengan tujuan politik devide et impera.

Guna menjalankan pemerintahan pada komunitas Timur Asing, Pemerintah Kolonial menunjuk orang dan kemudian membentuk badan, yang bertugas menjembatani elit kekuasan dengan rakyatnya. Pada abad ke-18 hingga abad ke-20 didirikan 'Dewan Tionghoa', lebih dikenal sebagai Kong Koan, yang memainkan peran penting dalam pemerintahan dan kegiatan sosial pada komunitas Tionghoa di Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Organisasi etnis semi-otonom ini bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial dalam mengelola komunitas Tionghoa, terutama dalam mengumpulkan pajak, menjalankan aturan pemerintah, dan menyelesaikan perselisihan. Dewan terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dan ditunjuk dengan cermat oleh gubernur jenderal. Petinggi atau perwira diberi gelar kuasi-militer – seperti luitenant, kapitein, dan majoor. Secara kolektif mereka dikenal sebagai perwira Tionghoa. Mereka dibantu oleh kepala lingkungan, sekretaris, juru tulis, dan kurir. Hanya orang Tionghoa kaya dari elit lokal yang memenuhi syarat untuk jabatan perwira. Oleh karena itu, keanggotaan dalam Dewan menjamin otoritas, pengaruh, dan juga prestise. Posisi yang lebih rendah seperti kepala lingkungan atau wijkmeester, sekretaris, atau juru tulis pun menarik, karena Dewan Tionghoa secara luas dianggap sebagai organisasi bergengsi.

 

Tak lama setelah Jan Pieterszoon Coen menetapkan Batavia sebagai markas Firma Hindia Timur Belanda atau VOC pada tahun 1619, Gubernur Jenderal menunjuk seorang saudagar kaya Tionghoa sebagai kepala desa pertama. Dia adalah Souw Beng Kong (1580-1644) dengan pangkat kapitein der Chineezen, yang bertanggung jawab atas komunitas kecil Tionghoa di kota yang baru ditaklukkan itu. Dari jajaran perwira Tionghoa di zaman kolonial ada beberapa yang terkenal. Di antaranya adalah Oei Tiong Ham (19-Nov-1866 - 6-Jun-1924), yang dijuluki sebagai 'Sang Raja Gula' dari Semarang dengan pangkat majoor-titulair der Chinezen; juga ada Tjong A Fie (1860-1921), seorang pengusaha dan bankir besar dari Medan yang pada tahun 1911 diangkat sebagai kapitein der Chineezen. Para perwira Tionghoa karena kekayaan dan jabatan mereka dikenal oleh orang zaman itu sebagai Tjabang Atas, yang setara dengan golongan bangsawan Tionghoa. Para perwira itu memilih menantu dari kalangan Tjabang Atas pula, dengan maksud mengamankan kekayaan dan pangkat mereka. Politik kolonial yang mengisolasi golongan Tionghoa dan Timur Asing dengan warga bumiputera, dan kebijakan pilih kasih inilah; yang sebenarnya menyuburkan kecemburuan dan antipati komunitas bumiputera terhadap komunitas Tionghoa, bahkan sentimen negatif ini berlangsung hingga hari ini.

 

Kita kembali kepada Kwee Tjiam Hong, yang mulai berniaga obat-obatan herbal. Selain itu Tjiam Hong yang rajin dan mempunyai naluri bisnis yang baik mulai membuka usaha lain, seperti toko tekstil dan bergerak pula di bidang ekspedisi. Selain didukung oleh semangat kerja keras dan keuletan, para pengusaha Tionghoa pada masa itu terkenal dengan semangat gotong royongnya di antara sesama pedagang perantauan. Kwee Tjiam Hong membentuk sebuah Kongsi yang anggota-anggotanya terdiri dari teman-teman dekatnya. Kwee Tjiam Hong juga termasuk orang yang dermawan; dia secara berkala mengirim uang ke sanak saudaranya yang masih tinggal Di Tiongkok. Dia juga membantu pendirian sebuah kuil di dusun kelahirannya dan membantu korban bencana banjir. Beberapa tahun setelah usahanya berjalan lancar, Tjiam Hong yang masih berstatus perjaka muda mulai berpikir untuk berkeluarga. Pilihannya jatuh pada Tan Ay Nio, puteri satu keluarga besar dan terpandang di Bogor. Tan Ay Nio ini berbeda latar belakang dengan suaminya. Jika Kwee Tjiam Hong merupakan seorang Totok yang sehari-harinya berbicara bahasa Hokkian dan masih membiarkan kuncir di rambutnya tumbuh panjang sebagai kesetiaan pada kekaisaran Tiongkok, Tan Ay Nio adalah seorang Tionghoa Peranakan yang sudah tiga generasi menetap di Hindia Belanda, dan dia lebih banyak berbahasa Melayu walaupun dia juga paham bahasa Hokkian. Nyonya Kwee Tjiam Hong ini pun sehari-hari memakai pakaian tradisional baju kurung gaya Melayu. Pasangan suami isteri ini meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, namun keduanya akur dalam membina rumah tangga.

 

Kwee Tek Hoay dilahirkan di Bogor pada 31 Juli 1886 sebagai anak bungsu, dan walaupun dia anak paling bontot dia tidak dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dia lebih dekat dengan ibunya dan mereka berdua bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Dia jarang bertemu dengan ayahnya karena Kwee Tjiam Hong seharian sibuk mengurus bisnisnya. Sejak kecil Kwee Tek Hoay sering diajak ayahnya pergi beribadah ke kelenteng setiap Ce It dan Cap Go atau saat bulan mati dan bulan purnama. Menginjak usia delapan tahun atau pada tahun 1894, dia dimasukkan ke sekolah Tionghoa dengan pengantar bahasa Hokkian. Konon kabarnya sekolah itu berada di dalam sebuah ruangan di rumah-abu leluhur, tempat ayahnya sering berkumpul dengan anggota kongsi lainnya. Menurut referensi yang penulis dapatkan, sebelum pergantian abad menuju tahun 1900 belum ada sekolah formal di Hindia Belanda. Jadi sekolah yang diikuti oleh Kwee Tek Hoay kecil adalah sekolah informal yang pada masa itu dinamakan Gie Oh. Karena sekolah itu memakai bahasa pengantar Hokkian, Kwee Tek Hoay kecil tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh gurunya, sehingga dia kerap membolos. Kita tidak tahu apakah Kwee Tek Hoay sempat masuk sekolah formal setelah dia menginjak usia belasan tahun, walaupun anak ini sebenarnya memiliki kemampuan belajar yang tinggi. Tetapi yang jelas Kwee kecil mampu membaca dan menulis huruf Latin, menguasai dengan baik bahasa Melayu, dan bisa berhitung; satu keterampilan yang dimiliki oleh anak yang berpendidikan sekolah rakyat menurut ukuran zaman itu.

 

Di sini kita bisa melihat sosok seorang ayah yang keras dan memegang teguh tradisi Tiongkok Kuno dan menganjurkan anak-anaknya untuk belajar bahasa Hokkian saja. Namun justru si bungsu membangkang dan memberontak terhadap perintah ayahnya. Diam-diam si bungsu Kwee membaca buku-buku Melayu dengan diam-diam, misalnya dengan menyembunyikan dirinya di dalam sebuah peti besar. Salah satu kesenangannya di masa kanak-kanak dan remajanya adalah membaca buku, sampai ia dijuluki si kutu buku. Meskipun tidak menempuh ilmu di bangku sekolah formal, Kwee Tek Hoay mengambil les privat tata buku, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Tidak ada penjelasan sampai di mana kemampuannya dalam berbahasa Hokkian dan menulis aksara Mandarin. Dia juga senang mengarang sejak masih bersekolah, lalu di masa remajanya dia mengembangkan bakatnya di bidang jurnalistik. Kedua orang tuanya tidak mengetahui bakatnya dalam bidang tulis-menulis, karena sepengetahuan mereka dia cukup rajin membantu mereka berjualan di toko, dan dia pun sudah pandai berdagang.

 

Setelah Kwee Tek Hoay menginjak usia 19 tahun, ayah dan ibunya mulai memikirkan untuk mengawinkan putera bungsunya ini. Ibunya menaruh minat pada keluarga Tan Kie Lam yang berpangkat kapitein Tionghoa di Bogor. Tan Kie Lam memiliki seorang cucu perempuan yang bernama Oei Hiang Nio. Pada waktu itu Nyonya Kwee Tjiam Hong cukup dikenal di Buitenzorg sebagai pedagang wanita yang jujur dan berhormat. Di antara Nyonya Kwee dan Tan Kie Lam sudah saling mengenal, dan hal itu memudahkan baginya melamar Oei Hiang Nio untuk dijadikan menantunya. Jadi dalam mengatur perjodohan itu tidak diperlukan lagi mak comblang. Kwee Tek Hoay setuju saja dinikahkan dengan seorang perempuan peranakan namun dengan dua syarat. Pertama, dia harus melihat dulu wajah calon isterinya sebelum kedua orang tuanya melamar. Kedua, dia meminta gadis yang akan dinikahinya tidak buta huruf. Sebenarnya Kwee Tek Hoay telah mengenal Kapitein Tan Kie Lam dengan baik. Kwee Tek Hoay pernah bertukar pikiran dengan tokoh terhormat itu dan turut membantu kegiatan sosial komunitas Tionghoa di Buitenzorg. Perlu Pembaca ketahui pada masa itu anak gadis keluarga terhormat biasanya dipingit, dan mereka tidak diizinkan bebas bergaul dengan kaum pria. Mereka dikawinkan setelah kedua orang tua calon mempelai menyatakan persetujuannya. Jadi dalam kebanyakan kasus para gadis baru dipertemukan dengan calon suaminya pada saat acara lamaran berlangsung, bahkan ada pasangan yang baru bertemu saat akan dinikahkan. Tentu saja ini kondisi yang tidak menguntungkan bagi para wanita lajang karena mereka seolah-olah membeli kucing dalam karung; jika lelaki yang melamarnya berkenan di hatinya mereka beruntung, sebaliknya, mereka lebih banyak kecewa dan hanya bisa pasrah. Kwee Tek Hoay yang nakal, setelah mengetahui bahwa dia bakal dijodohkan dengan Oei Hiang Nio, dia mulai mencari tahu kemudian memata-matai calon tunangannya itu. Dia akhirnya mengetahui bahwa Oei Hiang Nio secara berkala berkunjung ke sebuah gereja Kristen, dan dia berkali-kali secara diam-diam menantinya di depan gereja untuk memandang wajah calon isterinya. Barulah setelah mereka menikah, Kwee Tek Hoay mengakui perbuatannya kepada isterinya; he he he! Keduanya menikah pada bulan Februari 1906, dua-belas hari sebelum Tahun Baru Imlek.

 

Setelah menikah Kwee Tek Hoay tetap meneruskan pekerjaan utamanya yakni berdagang. Belakangan dia memiliki sebuah toko serba ada yang dinamakan 'Toko KTH'. Dia melatih isterinya berdagang dan mengurus keuangan toko tersebut. Dalam hal ini tampak suaminya lebih senang jika isterinya membantu mendampinginya dalam berniaga, ketimbang hanya memasak dan mengurus rumah tangga. Oei Hiang Nio pun menjadi sesosok ibu yang cukup sibuk, karena dia harus membagi waktunya untuk membantu kegiatan toko dan mengurus rumah tangga. Kelak ketika Kwee Tek Hoay mapan berprofesi sebagai penulis, Oei Hiang Nio pun bertugas membaca dan memberikan saran atas tulisan suaminya sebelum dipublikasikan. Banyak orang – termasuk anaknya sendiri – mengatakan bahwa Kwee Tek Hoay sungguh beruntung mempunyai isteri seperti Oei Hiang Nio. Sebagai anak yang banyak dipengaruhi oleh budaya Tionghoa Totok dari ayahnya, Kwee Tek Hoay justru bersikap moderat dan dia sering menggandeng isterinya ke pertemuan atau menghadiri jamuan makan, sesuatu hal yang sebenarnya masih dianggap kurang wajar menurut tradisi masa itu. Ternyata Kwee Tek Hoay sudah lebih maju dari orang sezamannya, yang umumnya memperlakukan isteri mereka untuk tinggal di rumah saja.

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221005

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar