Rabu, 12 Oktober 2022

KWEE TEK HOAY DAN TRIDHARMA (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)



Pada tulisan yang lalu kita telah membahas sekilas kehidupan Kwee Tek Hoay dan siapa orang tuanya. Tulisan kali ini mencoba menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa sampai terbentuknya Tridharma, oleh Sang Pendiri Kwee Tek Hoay.

 

Kejadian besar apa yang terjadi pada permulaan abad ke-20 di Hindia Belanda dan negara lainnya? Coba kita lihat kutipan berikut ini: "Sejak 1910, saya menjabat sebagai majoor der Chineezen. Saya telah mencurahkan bakat dan kemampuan saya yang terbatas ini untuk kepentingan masyarakat. Sebagai seorang pejabat, saya mewakili warga sebangsa saya di luar negeri (maksudnya di luar Tiongkok Daratan yakni di Hindia Belanda, penulis), dan selama ini saya telah memenuhi tugas saya dengan pengabdian yang tinggi. Ketika saya dipromosikan di Kantor ini, kerusuhan sosial menggoyang dunia. Di negara leluhur kami terjadi revolusi yang menggulingkan rezim otokratis, dan di Jawa generasi muda memberontak melawan tatanan lama. Konfrontasi antara tua dan muda memiliki dampak yang sangat besar pada masyarakat. Namun dengan segala kerendahan hati, saya berani mengatakan bahwa saya, dengan bantuan staf saya, telah berhasil menjaga keamanan dan ketertiban; sehingga semua warga kami dapat hidup dengan damai."

 

Fragmen ini diambil dari panel-panel Kong Koan yang pernah menghiasi dinding bangunan Dewan Tionghoa di Batavia. Sekarang panel kayu bertuliskan huruf kanji ini dapat ditemukan di Institut Sinologi Universitas Leiden. Fragmen di atas diambil dari sebuah panel kayu yang bertuliskan tahun 1918 atas perintah mayor Tionghoa terakhir di Batavia, Khouw Kim An (2-Jun-1875 - 6-Sep-1945). Ketika Khouw diangkat sebagai perwira Tionghoa, dia melihat bahwa dunia sedang berubah. Pada awal abad itu, cengkeraman Imperium Belanda atas Nusantara semakin intensif. Pada tahun 1911 Kekaisaran Qīng digulingkan oleh kelompok anti-kekaisaran, dan peristiwa itu sekaligus mengakhiri pemerintahan dinasti yang telah berlangsung selama ribuan tahun di Tiongkok. Di Hindia Belanda lahir gerakan-gerakan yang dipelopori kaum bumiputera dan tokoh Tionghoa, yang menantang tatanan mapan yang telah berlangsung selama tiga-ratus tahun. Kita yang mempelajari sejarah Nusantara pasti ingat Pergerakan Boedi Oetomo yang muncul pada tahun 1908. Di tengah perkembangan penting ini, Dewan Tionghoa (Kong Koan) Batavia berjuang untuk bertahan, sebagai lembaga utama kepemimpinan komunitas bagi penduduk Tionghoa di kota pesisir Jawa Barat ini.

 

Sebelumnya telah disebutkan bahwa komunitas Tionghoa adalah kelompok Timur Asing terbesar di Hindia Belanda, dan setelah tahun 1911 ada lebih banyak orang Tionghoa yang datang ke Nusantara. Apalagi setelah dibukanya perkebunan karet dan tembakau, imigran dari Tiongkok Daratan mulai mendatangi daerah di luar Jawa. Para pendatang atau perantau ini biasanya adalah lelaki muda dan kelompok imigran ini tidak membawa perempuan. Setelah para perantau ini berhasil dan mampu menafkahi dirinya sendiri, mereka mulai mencari pasangan. Jadi mereka mengawini perempuan bumiputera, dan anak-anak mereka dinamakan 'peranakan'. Di Malaysia dan Singapura kaum peranakan ini disebut babah dan nyonya. Golongan peranakan ini telah beradaptasi dengan bahasa dan budaya masyarakat Nusantara, dan mereka telah kehilangan kemampuannya untuk berbicara dan menulis dalam bahasa leluhurnya. Sebaliknya para imigran yang baru datang ini disebut totok atau sebagian orang menyebutnya singkeh, adalah orang kelahiran Tiongkok Daratan yang masih melestarikan bahasa dan budaya negara leluhurnya. Jika dua kelompok ini disatukan, mereka belum tentu akur. Peranakan mengejek kaum totok sebagai golongan kolot, tidak tahu adat kesopanan, dan miskin. Sebaliknya komunitas totok menganggap bahwa peranakan itu tidak berdarah murni dan telah kehilangan nasionalismenya terhadap tanah leluhur. Jadi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda bukanlah masyarakat homogen, apalagi di kalangan peranakan sendiri ada sebutan tentang cina betawi, cina benteng, cina jawa, dan cina medan.

 

Kita yang belajar Sejarah Nusantara mungkin pernah mendengar tentang Tanam Paksa (atau Cultuurstelsel) yang menimbulkan penderitaan hebat bagi rakyat bumiputera. Ungkapan dan tulisan tentang kesengsaraaan rakyat di Hindia itu digaungkan oleh Pieter Brooshooft, wartawan koran 'De Locomotief', dan politikus Conrad Theodore van Deventer; belakangan mampu membuka mata pimpinan Kerajaan Belanda untuk lebih memperhatikan rakyat bumiputera yang terbelakang. Ratu Wilhelmina yang saat itu baru naik tahta, pada 17 September 1901 menegaskan dalam sidang Parlemen Belanda, bahwa Kerajaan mempunyai utang budi (een eerschuld) dan panggilan moral untuk memulai Politik Etis. Panggilan moral tersebut kelak diwujudkan dalam (1) membangun dan memperbaiki irigasi dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) melakukan transmigrasi dari Jawa ke daerah lain, dan (3) memperluas jangkauan bidang pengajaran dan pendidikan.

 

Butir ketiga perwujudan Politik Etis ini adalah yang terpenting, karena kebijakan ini memberikan pendidikan yang lebih luas kepada rakyat Hindia Belanda yang sebagian besar buta huruf. Sebelum tahun 1900 bukan tidak ada pendidikan atau sekolah, tetapi sekolah hanya ada dalam jumlah terbatas dan bukan berbentuk sekolah formal. Seperti misalnya pada tahun 1860 pemerintah kolonial mendirikan Hoogere Burger School atau HBS Koning Willem III (Kawedri), sebuah sekolah menengah di Batavia.

 

Seperti dikatakan oleh Khouw Kim An tentang dunia yang sedang berubah, komunitas Tionghoa di Batavia mendirikan Tiong Hoa Hwee Kwan atau Zhōng Huá Huì Guǎn (中华会馆) selanjutnya disingkat THHK, atau 'Roemah Perkumpulan Tionghoa'. Organisasi ini didirikan tanggal 17 Maret 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia. Tujuan utama para pendirinya tidak lain mendorong orang Tionghoa yang bermukim di Hindia Belanda untuk mengenal identitasnya, agar mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh penjajah Belanda. Proses pengenalan kebudayaan atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri THHK dilakukan lewat penyebarluasan ajaran Konghucu. Kegiatan utama THHK adalah mendirikan sekolah berbahasa Mandarin. Yang paling terkenal adalah THHK Batavia yang bernama Bahoa dan THHK Tegal yang diberi sebutan Zehoa. Sekolah THHK merupakan sekolah swasta modern pertama kala itu. Berdirinya sekolah ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda yang tidak pernah memberikan akses pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Akibat perkembangan yang pesat dari sekolah THHK, pemerintah kolonial khawatir anak-anak akan tersedot ke sekolah ini, hingga pada 1908 mereka segera mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS). HCS tidak lain sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa. Sekolah ini serupa dengan Hollandsch Inlandsche School atau HIS (sekolah setingkat SD sekarang), untuk anak-anak bangsawan dan pejabat bumiputera yang berdiri sejak tahun 1902.

 

Belakangan terjadi rivalitas antara sekolah yang didirikan oleh THHK dengan HCS. Polemik juga terjadi di media massa. Kwee Tek Hoay juga terlibat dalam pertarungan gagasan tentang sekolah mana yang sebaiknya didirikan. Kwee menulis sebagai berikut: "Antara bangsa Tionghoa peranakan jang soedah bebrapa toeroenan tinggal disini dan selamanya ingin tinggal tetap di Hindia, apalagi antara orang-orang yang mampoe, kebanyakan jang lebih soeka ambil peladjaran bahasa Olanda. Tapi boeat orang Tionghoa totok jang masih berhoeboeng rapat dengan Tiongkok, apalagi orang Khe dan Kongfoe jang sring kirim anak-anaknja boeat dididik di Tiongkok, pelajaran bahasa dan hoeroef Tionghoa ada penting sekali. Laen dari itoe ada banyak sekali orang Tionghoa jang soeka peladjaran dalem bahasa Inggris ataoe Inggris dan Tjeng Im (yakni bahasa Mandarin, penulis), sedang dalem golongan orang-orang jang miskin, ada jang merasa poeas kaloe anaknja dapat peladjaran Melajoe dengan hoeroef Olanda, jang memang ada paling terpake dan paling bergoena di ini Hindia" ("Kita poenja haloean tentang onderijs ", Panorama 18, 16 April 1927, hal. 22).

 

Para imigran Tionghoa dan kaum peranakan memelihara keyakinan dan praktik keagamaan mereka ke Hindia. Dewa adalah bagian penting dari sistem kepercayaan mereka, dan para perantau membawa relik keagamaan dalam wujud patung dewa pelindung dan abu leluhur. Selanjutnya patung dewa pelindung itu ditempatkan di kuil yang dibangun di lingkungan Pecinan. Penjajah Belanda tidak memiliki pemahaman terhadap keyakinan dan praktik keagamaan yang dianut oleh orang-orang Tionghoa di Batavia. Dewan Gereja Batavia selalu menentang dan melancarkan protes keras terhadap upaya pendirian tempat peribadatan komunitas Tionghoa, yang dikenal dengan nama kelenteng atau bio. Patut diketahui oleh Anda para pembaca, memasuki abad ke-19, misi zending atau pekabaran-injil di tanah jajahan semakin gencar digalakkan pemerintah kolonial. Sebagai salah satu program kolonialisasi, para wakil gereja melakukan misi penyebaran ajaran Kristen di tengah masyarakat. Namun bukan perkara mudah menjalankannya. Para zending mendapat hambatan besar dari kelompok muslim. M. Natsir dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia, menulis tidak ada satu agama yang amat menyusahkan para zending dan misionaris dalam pekerjaan mereka menyebarkan agama Kristen, kecuali saat menghadapi komunitas Islam. Bahkan isu kristenisasi masih menjadi momok yang menghinggapi mayoritas kelompok muslim hingga hari ini, yang kadang kala diungkapkan lewat penolakan pendirian rumah ibadah agama lain.

 

Dewan Gereja Batavia menganggap kuil orang Tionghoa sebagai penyembah berhala, dipengaruhi iblis, penuh takhyul, dan sesat. Bahkan pertunjukan barongsai dan pementasan wayang-potehi yang disebut sebagai opera-jalanan, juga tak luput dari protes dan pembubaran. Hal inilah yang menyebabkan beberapa kuil yang didirikan komunitas Tionghoa di Batavia dihancurkan sesaat setelah didirikan, dan baru sekitar tahun 1650 mereka berhasil mendirikan Kuil Kim Tek Ie (sekarang Vihara Dharma Bakti) di daerah Petak Sembilan, Glodok;  kemungkinan karena Kong Koan telah memiliki posisi tawar yang lebih baik. Jadi meski Gubernur Jenderal tetap menerima protes dari Dewan Gereja Batavia, bahkan sempat dilaporkan langsung ke negeri Belanda, tapi Kuil Kim Tek Ie tetap berdiri. Selama abad ke-17 hingga awal abad ke-19 setidaknya ada tujuh kuil yang dibangun; di antaranya Kelenteng Kim Tek Ie, Kelenteng Tiao Kak Sie, Klenteng Tay Kak Sie, Klenteng Tien Kok Sie, Boen Tek Bio, Klenteng Ban Tek Ie dan Tjoe Tak Bio (lihat: Chia, Jack Meng-Tat, Monks in Motion: Buddhism and Modernity Across the South China Sea, New York: Oxford University Press, 2020).

 

Mungkin ada yang bertanya, apakah ada kegiatan agama Buddha? Seperti yang kita ketahui agama Buddha telah punah dari Nusantara setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, dan hanya diketahui dan dipraktikkan oleh sekelompok kecil penganutnya. Jangankan agama Buddha, agama-agama lokal lainya pun tidak diakui. Berdasarkan Volkstelling (artinya: Catatan Sensus) yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1930, pemerintah hanya mengakui agama Islam, Kristen, dan Katolik, serta jumlah pemeluknya dicatat. Namun, ada satu kategori yang dicap sebagai geen goddienst ('non-agama'). Kategori ini mengacu pada semua agama yang dianggap tidak mendasarkan kepercayaannya pada Tuhan yang satu. Lalu karena di Negeri Belanda pernah terjadi pertentangan yang hebat antara penganut Kristen dan penganut Katolik, maka di semua negeri yang termasuk jajahan Belanda, agama Kristen dan Katolik dipisahkan menjadi dua agama yang berbeda; perbedaan tersebut masih tetap diberlakukan setelah Indonesia merdeka.

 

Namun di akhir abad ke-19, ada gerakan spiritual yang bernama Theosophical Society. Lembaga ini secara resmi dibentuk di New York City, Amerika Serikat, pada 17 November 1875 oleh Helena Petrovna Blavatsky, Kolonel Henry Steel Olcott, William Quan Judge, dan 16 orang lainnya. Pada 3 April 1905 di Chennai (Madras) diumumkan tiga tujuan pendiriannya, yakni: (1) membentuk inti persaudaraan universal umat manusia tanpa membedakan ras, keyakinan, jenis kelamin, kasta, atau warna kulit; (2) mendorong studi perbandingan agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan; dan (3) menyelidiki hukum alam yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan meneliti kekuatan-laten dalam diri manusia. Theosophical Society juga menggali ajaran-ajaran Okultisme, Hinduisme, dan Buddhisme.

 

Mungkin sudah waktunya agama Buddha berkembang kembali di Nusantara, seperti yang pernah diramalkan oleh Sabdo Palon dan Nayagenggong; yang akan terjadi 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, seperti disebutkan dalam Serat Darmagandhul. Menurut Iskandar Nugraha dalam tulisannya Teosofi, Nationalism and Elite Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bamboo, 2011, Gerakan Teosofi berdiri di Semarang pada tahun 1901 di Semarang. Dimulai oleh seorang Belanda, A.P. Asperen Van de Velde, dia memulainya dengan membagikan brosur dengan tujuan mengundang orang untuk bergabung dengan gerakan tersebut. Pada mulanya anggotanya hanya berjumlah tujuh orang, namun setelah itu gerakan ini menyebar hingga ke kota-kota lain, seperti Soerabaja (1903), Djogdjakarta (1904), dan Soerakarta (1905). Van Asperen, atas usahanya dalam mempromosikan gerakan tersebut, dianugerahi gelar De Geestelijke Vader der Lodge atau 'Bapak Spiritual Pondok'. Lambat laun Masyarakat Teosofi mendapatkan pijakan kuat di Indonesia. Pengikutnya tidak hanya terbatas pada orang Belanda dan kulit putih, tetapi juga diikuti oleh orang-orang dari kalangan bumiputera dan peranakan Tionghoa yang tinggal di Jawa. Organisasi ini tumbuh dengan mantap dan mendapat respon positif dari masyarakat. Menurut biografi yang ditulis oleh Ibu Visakha Gunadharma, Kwee Tek Hoay menekuni teosofi dengan mengikuti pertemuan-pertemuan yang diadakan secara berkala selama 25 tahun. Karena ketekunan dan pengabdiannya dia mendapatkan penghargaan The Star of the East dari pimpinan Masyarakat Teosofi Cabang Buitenzorg.

 

Selain pendalaman ajaran teosofi, berkembang pula tulisan-tulisan yang kebanyakan berupa terjemahan kebijaksanaan dan ajaran mulia dari India dan Dunia Timur lainnya. Tersebutlah Tan Khoen Swie (1883-1953) seorang penulis dan penerbit buku di Kediri pada paruh pertama abad ke-20. Tan berjasa dalam menyebarluaskan hasil karya sastra Jawa modern. Tan juga membuka toko buku dan percetakan sendiri sekitar tahun 1915, serta menerbitkan karya-karya Theosofi, Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Penerbitan buku ini kelak dilanjutkan oleh Kwee Tek Hoay. Kwee setelah sukses berniaga, menginvestasikan kelebihan uangnya untuk membangun usaha penerbitan dan percetakan. Bahkan dia menerbitkan medianya sendiri seperti majalah mingguan Panorama (1926-1932), bulanan Moestika Panorama (1930-1932), mingguan Moestika Dharma (1932-1934), dan bulanan Sam Kauw Gwat Po (1934-1947). Orang banyak pun sudah mulai mengenal ajaran luhur dan agama dari Timur lewat terbitan majalah dan buku-bukunya.

 

Jika pada mulanya Theosophical Society mempelajari berbagai macam agama dari India dan Okultisme, selanjutnya organisasi ini menyediakan saluran untuk mempromosikan Buddhisme, lewat para intelektualnya di pulau Jawa, baik dari kalangan orang Eropa, bumiputera, maupun peranakan Tionghoa. Sebagai tindak lanjutnya, kelompok ini memfokuskan pada dua agenda, yaitu (1) resakralisasi situs-situs keagamaan dan (2) studi serta penyebaran agama Buddha. Dengan diwakili oleh Mangelaar Meertens, diupayakan menghidupkan kembali penggunaan candi-candi Buddha sebagai pusat praktik Buddhis, dengan perayaan Waisak yang dibuka untuk publik, pertama kali diselenggarakan di Borobudur pada tahun 1927. Sedangkan untuk agenda kedua, mereka mengadakan serangkaian ceramah tentang agama Buddha di berbagai pondok mereka. Salah satu contohnya adalah kursus mingguan tentang Buddhisme yang diberikan oleh Mej. Jochems di markas Teosofi di Batavia pada tahun 1920. Upaya ini kelak melahirkan berdirinya Java Buddhist Association (JBA) (lihat: Yulianti, The Making of Buddhism in Modern Indonesia: South and Southeast Asian Networks and Agencies, 1900–1959, Ph.D. dissertation, Leiden University, The Netherlands, 2020).

 

JBA atau 'Persatuan Buddhis Jawa' perlu diceritakan sedikit. Didirikan Juli 1929, organisasi ini berafiliasi erat dengan Misi Buddhis Internasional yang berbasis di Thaton, Burma. Sesuai dengan namanya, tujuan utama perkumpulan ini adalah penyebaran agama Buddha di Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh E.E. Power dan Willem Josias van Dienst. Van Dienst sendiri menerbitkan buletin dan buku yang berjudul: Mahayana Boeddhisme Als Moderne Wereldbeschouwing, yang isinya membahas dua perspektif ajaran Buddhisme (Mahayana dan Theravada). Van Dienst sedang berusaha untuk menyatukan Buddhisme Mahayana dan Theravada dengan menjalin hubungan baik dengan umat Buddha Tionghoa di Batavia. Van Dienst mengunjungi pula Kepala Klenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan di Batavia. Sang Kepala, Pdt. Lin Feng Fei, menerima Van Dienst bersama hweesio (rohaniwan Mahayana) lainnya. Upaya ini kelak menandai perubahan kebijakan kelenteng, yang tidak saja berfungsi sebagai rumah ibadah, tetapi juga bertindak sebagai agen agar kelenteng turut memberi pelajaran agama Buddha.

 

Kita kembali pada THHK yang pada awalnya didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan budaya Tionghoa di kalangan komunitas Tionghoa di Nusantara. Baru pada tahun 1920-an, Konfusianisme dinyatakan sebagai satu-satunya pondasi agama Tionghoa. Cara pandang ini melahirkan berdirinya Kong Kauw Hwee pada tahun 1923.

 

Situasi tetap demikian sampai Kwee Tek Hoay mengemukakan interpretasi agama Tionghoa. Menyimpang dari batasan yang digunakan untuk istilah itu oleh THHK dan Kong Kauw Hwee, Kwee tidak membatasi agama Tionghoa pada Konfusianisme saja, melainkan sebagai keseluruhan dari tiga agama: Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Inilah yang dinamakan Sam Kauw Hwee. Seperti yang dijelaskannya dalam nomor perdana Moestika Dharma: "Jang dinamakan 'Agama Tionghoa' ada termasoek tiga agama jang pada djeman Tjhingtiauw telah diakoe sah sebagi agama negri oleh pemerentah di Tiongkok, jaitoe Khong Kauw, Hoed Kauw, dan To Kauw. Sebetoelnja kapertjajaan orang Tionghoa kabanjakan ada ratjikan atawa gaboengan dari itoe tiga matjem agama, hingga tiada banjak terdapet Confucianists, Buddhists, atau Taoists jang tjoemah tetap pegang satoe agama sadja." (Diterjemahkan dari Kwee Tek Hoay, The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia, Ed. Lea E. Williams, Ithaca, 1969, hal. 8).

 

Adalah menarik untuk membicarakan pergulatan ide di antara Kong Kauw Hwee dengan Sam Kauw Hwee. Sam Kauw Hwee ini yang kemudian dikenal masyarakat sebagai 'Tridharma'. Kami akan menyajikannya pada artikel yang berikutnya.

 

Keyakinan Kwee Tek Hoay terhadap agamanya, Sam Kauw Hwee atau Tridharma tidak tergoyahkan hingga akhir hidupnya. Dia mempraktikkan ketiga ajaran agama itu dalam kehidupan sehari-harinya. Di rumahnya ada sebuah meja abu leluhur, tempat dia selalu menyalakan hio dan lilin saat bersembahyang. Dia memiliki pula seperangkat peralatan ciam si yang digunakannya untuk meramal peruntungan seseorang. Kwee Tek Hoay ternyata seorang yang senang meramal, dan umumnya ramalannya selalu tepat. Alkisah, pada suatu hari dia bermaksud mengetahui peruntungannya untuk dua hal krusial yang akan dihadapinya. Pertanyaan pertama, apakah dia harus pindah. Kedua, apakah dia dapat menyelamatkan sesuatu yang paling berharga. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya Kwee harus pindah. Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah tidak dapat. Terbukti kelak ramalan lewat ciam si itu tepat. Kwee ngotot tidak mau pindah dari kediamannya saat itu di Tjitjoeroeg, untuk mengungsi ke Batavia. Dan yang kedua dia tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Kwee meninggal dunia di Tjitjoeroeg pada tanggal 4 Juli 1951.

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar