Seperti yang disebutkan pada tulisan
kami yang terdahulu, memasuki abad ke-19 kristenisasi mulai digalakkan oleh
Pemerintah Kolonial, sejalan dengan misi penjajahan itu sendiri. Program ini
pun mulai menyasar komunitas Tionghoa terutama pada masyarakat perkotaan;
padahal orang Tionghoa telah memiliki kepercayaan dan agama yang dibawa oleh
leluhur mereka. Para misionaris Kristen dan Katolik dengan segala cara berupaya
menyebarkan agama yang mereka bawa dari Eropa, dan aparat pemerintahan pun
mendukung upaya para zending, dengan menjalankan politik diskriminatif.
Seperti yang dijelaskan dalam tulisan
kami sebelumnya, sejak VOC dan Kerajaan Belanda menguasai Nusantara mereka
telah menciptakan tatanan sosial berdasarkan pada struktur rasial dan sosial
yang kaku; dengan para elit Belanda berada di puncak hierarki dan di bawahnya
ada golongan Timur Asing dan Bumiputera. Belakangan menurut Algemene Bepalingen van Wetgeving yang diperbaharui
pada tahun 1848, terutama berkaitan dengan pasal 6-10, ditegaskan bahwa rakyat
Hindia Belanda dibagi menjadi dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Mereka
yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen, dimasukkan ke dalam
golongan Bumiputera yang beragama Islam. Sebaliknya orang yang berasal dari
Timur Asing atau Bumiputera yang telah memeluk agama Kristen, disetarakan
kedudukannya sama dengan golongan Eropa. Jadi agama dijadikan ukuran untuk
menentukan golongan seseorang. Walaupun di tahun 1854 Pemerintah Kolonial
mengeluarkan Regerings Reglement,
yang mana dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran, kebijakan
diskriminatif itu masih membekas hingga zaman kita ini. Masih tersisa anggapan
semu pada sementara orang Tionghoa, bahwa setelah mereka berpindah keyakinan
menjadi penganut agama Kristen, status sosial mereka pun menjadi terangkat.
Justru dengan adanya kebijakan yang
diskriminatif itu muncul perlawanan dari beberapa tokoh Tionghoa, untuk
menggali kembali agama dan ajaran leluhur mereka. Selama ini mereka hanya
mengikuti tradisi dengan melakukan persembahyangan di meja abu keluarga atau
melakukan puja bakti di bio mengikuti
penanggalan lunar. Jadi mereka hanya
mengikuti ritual keagamaan secara turun-temurun, tanpa mengetahui makna dibalik
upacara-upacara tersebut. Jika membandingkan dengan ibadah yang diajarkan oleh
para misionaris kristiani, ritual saat mereka bersembahyang amatlah berbeda.
Jadi ada desakan untuk mempelajari ajaran agama orang Tionghoa untuk memahami
makna di balik ritual-ritual yang biasa mereka lakukan; serta menurut
pengertian mereka semua ajaran leluhur itu berasal dari doktrin yang diajarkan
oleh Konghucu (atau Kǒng Zǐ).
Kristenisasi pada abad ke-19 bukan
hanya terjadi di Hindia Belanda, tetapi juga melanda Tiongkok. Saat itu
Tiongkok di bawah Dinasti Qīng kedatangan bangsa-bangsa Barat, yang sedang
melakukan ekspansi guna memperluas wilayah jajahan mereka. Dua tokoh yang
mempelopori kebangkitan ajaran Khonghucu adalah Zéng Guó Fān dan Kāng Yǒu Wéi.
Tentu saja tidak mungkin menceritakan peran mereka secara lengkap dalam tulisan
kita kali ini. Zéng Guó Fān (曾国藩, 26-Nov-1811 - 12-Mar-1872) menjadi
terkenal karena dia membesarkan dan
mengorganisir Tentara Xiang untuk membantu militer Qīng
dalam menekan Pemberontakan Taiping dan memulihkan stabilitas kekaisaran. Bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka
lainnya pada masanya, Zéng memprakarsai Restorasi Tongzhi, sebuah upaya untuk
menahan kemunduran Dinasti Qing. Zéng memiliki keterampilan administratif serta mempunyai kepribadian
mulia dalam mempraktikkan Konfusianisme. Kāng Yǒu Wéi (康有為, 19-Mar-1858 -
31-Mar-1927) adalah seorang
pemikir dan pembaharu politik terkemuka di Tiongkok pada akhir dinasti Qīng. Kedekatan dan
pengaruhnya yang besar terhadap Kaisar Guangxu, menjadikannya seorang tokoh reformasi dalam kebangkitan Tiongkok yang modern, pencetus identitas
Ketionghoaan, dan pelopor kebangkitan Konfusianisme. Selain terkenal di
Tiongkok, Kāng juga populer di kalangan diaspora Tionghoa di mancanegara.
Jika dirunut menurut sejarah perkembangan agama
Konghucu di Tanah Air, kita tidak boleh melupakan peran Kelenteng Boen Bio
(terletak di Jalan Kapasan No. 131), yang merupakan "benteng terakhir
pertahanan" agama Konghucu di Surabaya. Awalnya kelenteng ini bernama Boen Thjiang Soe (atau Wén
Chāng Cí, 文昌祠), yang dibangun pada tahun
1883. Orang Belanda menyebutnya "Gredja Boen Bio" atau Gredja
Khonghoetjoe (de kerk van Confucius).
Kuil yang megah untuk ukuran zaman itu sangat disayangkan jika berlokasi di
dalam kampung. Kemudian pada 1903, setelah Kāng Yǒu
Wéi berkunjung ke Surabaya, dia mengusulkan untuk memindahkannya ke tepi jalan
besar. Setelah mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter persegi
dari Mayor The Toan Ing, pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi.
Biayanya ditutup dari sumbangan uang hasil denda, yang diperoleh para
saudagar Tionghoa setelah
memenangkan perkara HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) di
pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya selesai tahun 1906.
Orang-orang Tionghoa yang terpanggil untuk membenahi agama dan
kepercayaannya, terutama berasal dari kalangan cendekiawan, mulai mencari
buku-buku yang berasal dari Nabi Kǒng Zǐ. Tersebutlah seorang perintis Sastra Melayu
Tionghoa merangkap penulis yang bernama Lie Kim Hok atau Lǐ Jīn Fú (李金福, 1-Nov-1853 - 6-Mei-1912), pada tahun 1897 memulai penerbitan sebuah buku
mengenai kehidupan Nabi Kǒng Zǐ. Buku tersebut berbahasa Melayu, ditulis dengan
memanfaatkan sumber-sumber dari kepustakaan Eropa, bukan dari bahasa Mandarin!
Lie adalah seorang peranakan yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah zending,
yang misi utamanya adalah mengkristenkan rakyat Hindia Belanda. Pada masa itu
amat jarang seorang Tionghoa bisa masuk ke sekolah belanda. Lie Kim Hok
termasuk siswa yang cerdas, dan dia memiliki hubungan yang akrab dengan para
gurunya, seperti C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah
bekerja pada percetakan zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi
Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen, bahkan kelak tercatat sebagai pembela
agama Khonghucu yang pertama dari serangan pendeta Kristen. Buku yang dikarang
Lie adalah Hikajat Khonghoetjoe, G. Kolff & Co, Batavia, 1897 (92 halaman dalam 1 jilid).
Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di
Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab Thay Hak (Dà Xué, 大學) atau "Ajaran Besar" dan Tiong Yong (Zhōng Yōng, 中庸) atau "Tengah Sempurna", yang di kerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh
Yoe Tjai Siang. Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat
dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : "Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui Tuan Liem
Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah
mendirikan Kong Kauw Hwee
(Perhimpunan Agama Konghucu) di Singapura dan Malaka, mengatakan bahwa hingga
kini belum ada seorang pun yang sanggup menerjemahkan kitab Thay Hak dan Tiong Yong ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu Tuan
Liem mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar
dia dikirimkan satu eksemplar untuk dapat diperiksa oleh perkumpulan Kong Kauw Hwee yang didirikannya."
Di Ambon, Njio Tjoen Ean (15-Jul-1860 - 15-Agu-1925) mengikuti jejak ayahnya
Njio Tjang Tjoan sebagai Kapiten Tionghoa (1856-1891). Meskipun berpendidikan
Belanda, Tjoen Ean sangat berminat terhadap kebudayaan dan filsafat Tionghoa. Dari
sini, dia mulai menerjemahkan buku-buku Tionghoa ke Bahasa Melayu. Buku-buku
klasik Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dilakukan hampir
bersamaan waktu dengan kegiatan serupa di Batavia oleh Lie Kim Hok. Apa
yang dilakukannya di Ambon, ternyata tiga tahun lebih dulu ketimbang yang
dirintis oleh Tan Ging Tiong dan Joe Tjai Siang di Jawa. Atas dasar
itulah, dia disebut sebagai penerjemah pertama karya-karya klasik
Khonghucu ke dalam Bahasa Melayu. Pada tahun 1897 Njio menerbitkan Soe Sie (Sì Shū, 四書) atau "Empat Kitab". Setelah terbitnya Thay Hak, Tiong Yong, dan
Soe Sie, maka sebagian Kanon
Konfusius dalam bahasa Melayu telah terbentuk.
Dalam artikel yang lalu, penulis menyebutkan bahwa
komunitas Tionghoa Peranakan berasal dari perantau lelaki muda Tionghoa yang
berasal dari Tiongkok Daratan, yang kemudian mengawini perempuan bumiputera dan
kemudian keturunan mereka dinamakan 'peranakan'. Seperti yang mungkin para
pembaca ketahui, sebelum abad ke-19 kita mengenal istilah 'perbudakan'.
Perbudakan yang paling terkenal di zaman modern terjadi ketika orang kulit
putih mendatangkan pekerja-pekerja kulit hitam dari Benua Afrika, untuk
mengeksplorasi Dunia Baru atau Benua Amerika. Perbudakan bukan saja terjadi di
Dunia Baru, tetapi juga pernah terjadi di Batavia. Batavia yang merupakan pintu
utama bangsa Tionghoa masuk ke Jawa, di zaman itu pernah menjadi pusat
perbudakan. Budak-budak didatangkan dari pelbagai penjuru Nusantara terutama
dari Bali dan Sulawesi. Budak-budak dari suku bangsa Bali, Bugis, Ambon, Timor,
baik laki-laki maupun perempuan, biasa dilelang di 'Pasar Budak', layaknya pedagang
biasa melelang kuda. Banyak di antara budak-budak perempuan itu dibeli oleh saudagar
Tionghoa dan sebagian dari mereka dijadikan gundik atau isteri muda.
Saudagar Tionghoa ini jelas memiliki status
yang lebih tinggi daripada gundiknya. Para saudagar ini hidup berkecukupan, namun
pada paruh kedua abad ke-19 pendidikan bukanlah hal yang menjadi perhatian
mereka. Kepala keluarga peranakan ini jika mereka sadar akan pentingnya
pendidikan, maka anak laki-lakinya akan diberikan pelajaran bahasa Mandarin,
dengan jalan memanggil seorang guru-les guna memberikan pelajaran privat. Nasib
anak perempuan mereka malah tidak diperhatikan sama sekali, karena mereka
berpikir para gadis ini kelak akan dijadikan isteri orang dan hanya akan
berkutat di urusan rumah tangga saja. Lalu soal kebiasaan yang diturunkan
kepada pasangan peranakan itu pun, tidak sepenuhnya anak-anak diajarkan adat
istiadat dan kesopanan ala Tionghoa Totok.
Di bawah asuhan ibunya yang berasal dari komunitas bumiputera, mereka pun
mendidik anak-anaknya dengan cara-cara dan sopan santun layaknya orang bumiputera.
Jadi anak-anak peranakan bahkan sampai ke cucu dan cicit mereka mengadopsi
budaya campuran Tionghoa-Bumiputera.
Dari sudut pandang orang Tionghoa Totok mereka melihat satu budaya
gado-gado. Kwee Tek Hoay dalam tulisannya, Hikajat
THHK, dalam Moestika Romans 1933,
menulis dalam upacara kematian pun tidak sedikit adat kebiasaan bumiputera yang
masuk dalam tradisi kebiasaan para Tionghoa Peranakan itu. Contohnya
diletakkannya bunga kamboja di atas peti mati, pula saat peti mati sudah ada di
dalam lubang lalu diadakan acara membelah sebutir buah kelapa, serta diteruskan
dengan memutuskan sepotong rotan di pinggir lubang makam. Selanjutnya selain
melakukan upacara sembahyang yang biasa dilakukan berdasarkan peredaran musim
menurut Kalender Tionghoa, peranakan Tionghoa di Jawa juga melakukan sembahyang
sedekah pada hari Maulud Nabi Muhammad dan hari-hari lainnya, yang menjadi
kebiasaan umat beragama Islam. Bahkan seringkali upacara sembahyang ini justru
merupakan itikad dan niat dari nyonya rumah yang merupakan seorang perempuan peranakan,
yang sejak kecil melakukan hal itu berdasarkan ajaran ibu atau neneknya yang
merupakan perempuan bumiputera.
Yoe Tjai Siang bersama Tan Ging Tiong,
yang membantu penyusunan buku Thay Hak dan Tiong Yong, dalam kata pengantar
yang tertanggal 15 Januari 1900, menganjurkan agar tokoh Tionghoa Peranakan di
Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama
Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : " … Maka untuk dapat
memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap
dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini
harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk
belajar." Para tokoh Tionghoa yang cukup
terpelajar mulai menyadari bahwa kekacauan budaya yang terjadi selama ini
adalah karena lemahnya agama yang dianut oleh komunitas Tionghoa Peranakan itu
sendiri. Mereka merasa perlu adanya satu agama atau satu pelajaran moral yang
kokoh – seperti yang ada dalam agama Islam atau Kristen - agar dapat digunakan
sebagai pedoman hidup dan pelatihan batin sekaligus.
Selanjutnya dalam waktu yang tidak
terlalu lama, gerakan reformasi yang dilakukan oleh Kāng Yǒu Wéi di Tiongkok,
mulai terdengar sampai ke Hindia Belanda. Beberapa orang Tionghoa Peranakan
yang cukup terpelajar dan berwawasan luas mulai memikirkan untuk melakukan
reformasi di kalangan komunitas Tionghoa itu sendiri. Bahkan ada beberapa di
antara mereka yang berpikiran radikal, yang bercita-cita ingin memurnikan adat
istiadat Tionghoa dari anasir-anasir yang keliru. Pemurnian adat dan agama ini
berpedoman pada ajaran Nabi Besar Kǒng Zǐ. Akhirnya satu kelompok intelektual
dan tokoh Tionghoa Peranakan di Batavia yang beranggotakan Phoa Keng Hek, Lie
Hin Liam, Lie Kim Hok, Khoe A Fan, Khouw Kim An, Khoe Siauw Eng, Khouw Lam
Tjiang dan lain-lain sebanyak 20 orang, sepakat membentuk satu perkumpulan
sosial yang dinamakan 'Tiong Hoa Hwee Kwan', disingkat 'THHK',
atau 'Roemah Perkumpulan Tionghoa'. Organisasi ini didirikan
tanggal 17 Maret 1900, dan diakui sah melalui surat penetapan
Gubernur Jendral tertanggal 3 Juni 1900.
Phoa Keng Hek atau Pān Jǐng Hè (潘景赫, 21-Sep-1857 -
19-Jul-1937) adalah pebisnis dan ditunjuk sebagai presiden
pertama THHK. Phoa memiliki
tingkat intelektual yang tinggi dan bisa bergaul secara luas di kalangan orang
Eropa. Beliau juga punya kapasitas untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan
dalam membentuk satu organisasi modern, guna melakukan reformasi. Belakangan Phoa
turut andil dalam melakukan debat intelektual dengan Pendeta L. Tiemersma guna
membela kelurusan doktrin Rú Jiào terhadap serangan ajaran Kristen. Dia menjabat presiden sejak THHK didirikan hingga tahun 1923. Phoa tercatat pula sebagai penerima Ridder van
Oranye Nassau Orde.
Setelah THHK didirikan, para pengurusnya berupaya
menampung Tionghoa Peranakan dari berbagai suku untuk ikut ambil bagian. Mereka
menekankan bahwa tujuan pendirian THHK ini sangat berbeda jauh dengan segala
macam kongsi rahasia, yang menampung tukang berkelahi yang sudah ada di Batavia
pada masa itu. Tetapi niat baik itu tidak diindahkan, hingga kedatangan Kāng Yǒu Wéi pada tahun 1903. Ketika datang di Batavia,
tokoh karismatik dari Tiongkok ini mampu mengundang begitu banyak orang
sehingga gedung THHK dan lapangannya tidak mampu menampung pengunjung yang
membludak. Orang banyak berdesak-desakan untuk melihat sendiri tokoh yang
dikagumi ini. Ajaib! Setelah pertemuan akbar itu usai, hasilnya sungguh di luar
dugaan. Sejak itu di antara pelbagai perkumpulan Tionghoa di Batavia
tidak pernah terdengar saling bermusuhan, apalagi sampai berkelahi (Kwee Tek
Hoay, Hikajat THHK, Moestika Romans, 1933).
Setelah berdirinya THHK, barulah komunitas Tionghoa
di Hindia Belanda yang masih menganut agama dan adat istiadat Tionghoa
mendapatkan pencerahan kembali, dan bersamaan dengan itu dimulailah satu
periode zaman baru dalam sejarahnya. Beberapa tahun kemudian muncul perkumpulan
lainnya seperti Kong Kauw Hwee, Siang Hwee, Shiong Thi Hui, Chung Hsioh, Hoa
Chiao, Tsing Nien Hui dan lain sebagainya, yang mana mereka bergerak dalam
lingkup keagamaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan lain-lain. Khusus untuk Kong Kauw Hwee yakni Perkumpulan Agama Konghucu, inilah yang kelak akan
melahirkan Kong Kauw Tjong Hwee (atau Kǒng Jiào Zǒng Huì, 孔教總會) pada tahun 1923.
Belakangan Kong Kauw Tjong Hwee berubah menjadi 'Matakin' atau 'Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia'.
sdjn/dharmaprimapustaka/221102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar