Rabu, 02 November 2022

KONG KAUW HWEE

 


Seperti yang disebutkan pada tulisan kami yang terdahulu, memasuki abad ke-19 kristenisasi mulai digalakkan oleh Pemerintah Kolonial, sejalan dengan misi penjajahan itu sendiri. Program ini pun mulai menyasar komunitas Tionghoa terutama pada masyarakat perkotaan; padahal orang Tionghoa telah memiliki kepercayaan dan agama yang dibawa oleh leluhur mereka. Para misionaris Kristen dan Katolik dengan segala cara berupaya menyebarkan agama yang mereka bawa dari Eropa, dan aparat pemerintahan pun mendukung upaya para zending, dengan menjalankan politik diskriminatif.

 

Seperti yang dijelaskan dalam tulisan kami sebelumnya, sejak VOC dan Kerajaan Belanda menguasai Nusantara mereka telah menciptakan tatanan sosial berdasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku; dengan para elit Belanda berada di puncak hierarki dan di bawahnya ada golongan Timur Asing dan Bumiputera. Belakangan menurut Algemene Bepalingen van Wetgeving yang diperbaharui pada tahun 1848, terutama berkaitan dengan pasal 6-10, ditegaskan bahwa rakyat Hindia Belanda dibagi menjadi dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Mereka yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen, dimasukkan ke dalam golongan Bumiputera yang beragama Islam. Sebaliknya orang yang berasal dari Timur Asing atau Bumiputera yang telah memeluk agama Kristen, disetarakan kedudukannya sama dengan golongan Eropa. Jadi agama dijadikan ukuran untuk menentukan golongan seseorang. Walaupun di tahun 1854 Pemerintah Kolonial mengeluarkan Regerings Reglement, yang mana dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran, kebijakan diskriminatif itu masih membekas hingga zaman kita ini. Masih tersisa anggapan semu pada sementara orang Tionghoa, bahwa setelah mereka berpindah keyakinan menjadi penganut agama Kristen, status sosial mereka pun menjadi terangkat.

 

Justru dengan adanya kebijakan yang diskriminatif itu muncul perlawanan dari beberapa tokoh Tionghoa, untuk menggali kembali agama dan ajaran leluhur mereka. Selama ini mereka hanya mengikuti tradisi dengan melakukan persembahyangan di meja abu keluarga atau melakukan puja bakti di bio mengikuti penanggalan lunar. Jadi mereka hanya mengikuti ritual keagamaan secara turun-temurun, tanpa mengetahui makna dibalik upacara-upacara tersebut. Jika membandingkan dengan ibadah yang diajarkan oleh para misionaris kristiani, ritual saat mereka bersembahyang amatlah berbeda. Jadi ada desakan untuk mempelajari ajaran agama orang Tionghoa untuk memahami makna di balik ritual-ritual yang biasa mereka lakukan; serta menurut pengertian mereka semua ajaran leluhur itu berasal dari doktrin yang diajarkan oleh Konghucu (atau Kǒng Zǐ).

 

Kristenisasi pada abad ke-19 bukan hanya terjadi di Hindia Belanda, tetapi juga melanda Tiongkok. Saat itu Tiongkok di bawah Dinasti Qīng kedatangan bangsa-bangsa Barat, yang sedang melakukan ekspansi guna memperluas wilayah jajahan mereka. Dua tokoh yang mempelopori kebangkitan ajaran Khonghucu adalah Zéng Guó Fān dan Kāng Yǒu Wéi. Tentu saja tidak mungkin menceritakan peran mereka secara lengkap dalam tulisan kita kali ini. Zéng Guó Fān (曾国藩, 26-Nov-1811 - 12-Mar-1872) menjadi terkenal karena dia membesarkan dan mengorganisir Tentara Xiang untuk membantu militer Qīng dalam menekan Pemberontakan Taiping dan memulihkan stabilitas kekaisaran. Bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya pada masanya, Zéng memprakarsai Restorasi Tongzhi, sebuah upaya untuk menahan kemunduran Dinasti Qing. Zéng memiliki keterampilan administratif serta mempunyai kepribadian mulia dalam mempraktikkan Konfusianisme. Kāng Yǒu Wéi (康有為, 19-Mar-1858 - 31-Mar-1927) adalah seorang pemikir dan pembaharu politik terkemuka di Tiongkok pada akhir dinasti Qīng. Kedekatan dan pengaruhnya yang besar terhadap Kaisar Guangxu, menjadikannya seorang tokoh reformasi dalam kebangkitan Tiongkok yang modern, pencetus identitas Ketionghoaan, dan pelopor kebangkitan Konfusianisme. Selain terkenal di Tiongkok, Kāng juga populer di kalangan diaspora Tionghoa di mancanegara.

 

Jika dirunut menurut sejarah perkembangan agama Konghucu di Tanah Air, kita tidak boleh melupakan peran Kelenteng Boen Bio (terletak di Jalan Kapasan No. 131), yang merupakan "benteng terakhir pertahanan" agama Konghucu di Surabaya. Awalnya kelenteng ini bernama Boen Thjiang Soe (atau Wén Chāng Cí, 文昌祠), yang dibangun pada tahun 1883. Orang Belanda menyebutnya "Gredja Boen Bio" atau Gredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius). Kuil yang megah untuk ukuran zaman itu sangat disayangkan jika berlokasi di dalam kampung. Kemudian pada 1903, setelah Kāng Yǒu Wéi berkunjung ke Surabaya, dia mengusulkan untuk memindahkannya ke tepi jalan besar. Setelah mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter persegi dari Mayor The Toan Ing, pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi. Biayanya ditutup dari sumbangan uang hasil denda, yang diperoleh para saudagar Tionghoa setelah memenangkan perkara HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) di pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya selesai tahun 1906.

 

Orang-orang Tionghoa yang terpanggil untuk membenahi agama dan kepercayaannya, terutama berasal dari kalangan cendekiawan, mulai mencari buku-buku yang berasal dari Nabi Kǒng Zǐ. Tersebutlah seorang perintis Sastra Melayu Tionghoa merangkap penulis yang bernama Lie Kim Hok atau Lǐ Jīn Fú (李金福, 1-Nov-1853 - 6-Mei-1912), pada  tahun 1897 memulai penerbitan sebuah buku mengenai kehidupan Nabi Kǒng Zǐ. Buku tersebut berbahasa Melayu, ditulis dengan memanfaatkan sumber-sumber dari kepustakaan Eropa, bukan dari bahasa Mandarin! Lie adalah seorang peranakan yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah zending, yang misi utamanya adalah mengkristenkan rakyat Hindia Belanda. Pada masa itu amat jarang seorang Tionghoa bisa masuk ke sekolah belanda. Lie Kim Hok termasuk siswa yang cerdas, dan dia memiliki hubungan yang akrab dengan para gurunya, seperti C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah bekerja pada percetakan zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen, bahkan kelak tercatat sebagai pembela agama Khonghucu yang pertama dari serangan pendeta Kristen. Buku yang dikarang Lie adalah Hikajat Khonghoetjoe, G. Kolff & Co, Batavia, 1897 (92 halaman dalam 1 jilid).

 

Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab Thay Hak (Dà Xué, 大學) atau "Ajaran Besar" dan Tiong Yong (Zhōng Yōng, 中庸) atau "Tengah Sempurna", yang di kerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh Yoe Tjai Siang. Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : "Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui Tuan Liem Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah mendirikan Kong Kauw Hwee (Perhimpunan Agama Konghucu) di Singapura dan Malaka, mengatakan bahwa hingga kini belum ada seorang pun yang sanggup menerjemahkan kitab Thay Hak dan Tiong Yong ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu Tuan Liem mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar dia dikirimkan satu eksemplar untuk dapat diperiksa oleh perkumpulan Kong Kauw Hwee yang didirikannya."

 

Di Ambon, Njio Tjoen Ean (15-Jul-1860 - 15-Agu-1925) mengikuti jejak ayahnya Njio Tjang Tjoan sebagai Kapiten Tionghoa (1856-1891). Meskipun berpendidikan Belanda, Tjoen Ean sangat berminat terhadap kebudayaan dan filsafat Tionghoa. Dari sini, dia mulai menerjemahkan buku-buku Tionghoa ke Bahasa Melayu. Buku-buku klasik Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dilakukan hampir bersamaan waktu dengan kegiatan serupa di Batavia oleh Lie Kim Hok. Apa yang dilakukannya di Ambon, ternyata tiga tahun lebih dulu ketimbang yang dirintis oleh Tan Ging Tiong dan Joe Tjai Siang di Jawa.  Atas dasar itulah, dia disebut sebagai penerjemah pertama karya-karya klasik Khonghucu ke dalam Bahasa Melayu. Pada tahun 1897 Njio menerbitkan Soe Sie (Sì Shū, 四書) atau "Empat Kitab". Setelah terbitnya Thay Hak, Tiong Yong, dan Soe Sie, maka sebagian Kanon Konfusius dalam bahasa Melayu telah terbentuk.

 

Dalam artikel yang lalu, penulis menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa Peranakan berasal dari perantau lelaki muda Tionghoa yang berasal dari Tiongkok Daratan, yang kemudian mengawini perempuan bumiputera dan kemudian keturunan mereka dinamakan 'peranakan'. Seperti yang mungkin para pembaca ketahui, sebelum abad ke-19 kita mengenal istilah 'perbudakan'. Perbudakan yang paling terkenal di zaman modern terjadi ketika orang kulit putih mendatangkan pekerja-pekerja kulit hitam dari Benua Afrika, untuk mengeksplorasi Dunia Baru atau Benua Amerika. Perbudakan bukan saja terjadi di Dunia Baru, tetapi juga pernah terjadi di Batavia. Batavia yang merupakan pintu utama bangsa Tionghoa masuk ke Jawa, di zaman itu pernah menjadi pusat perbudakan. Budak-budak didatangkan dari pelbagai penjuru Nusantara terutama dari Bali dan Sulawesi. Budak-budak dari suku bangsa Bali, Bugis, Ambon, Timor, baik laki-laki maupun perempuan, biasa dilelang di 'Pasar Budak', layaknya pedagang biasa melelang kuda. Banyak di antara budak-budak perempuan itu dibeli oleh saudagar Tionghoa dan sebagian dari mereka dijadikan gundik atau isteri muda.

 

Saudagar Tionghoa ini jelas memiliki status yang lebih tinggi daripada gundiknya. Para saudagar ini hidup berkecukupan, namun pada paruh kedua abad ke-19 pendidikan bukanlah hal yang menjadi perhatian mereka. Kepala keluarga peranakan ini jika mereka sadar akan pentingnya pendidikan, maka anak laki-lakinya akan diberikan pelajaran bahasa Mandarin, dengan jalan memanggil seorang guru-les guna memberikan pelajaran privat. Nasib anak perempuan mereka malah tidak diperhatikan sama sekali, karena mereka berpikir para gadis ini kelak akan dijadikan isteri orang dan hanya akan berkutat di urusan rumah tangga saja. Lalu soal kebiasaan yang diturunkan kepada pasangan peranakan itu pun, tidak sepenuhnya anak-anak diajarkan adat istiadat dan kesopanan ala Tionghoa Totok. Di bawah asuhan ibunya yang berasal dari komunitas bumiputera, mereka pun mendidik anak-anaknya dengan cara-cara dan sopan santun layaknya orang bumiputera. Jadi anak-anak peranakan bahkan sampai ke cucu dan cicit mereka mengadopsi budaya campuran Tionghoa-Bumiputera.

 

Dari sudut pandang orang Tionghoa Totok mereka melihat satu budaya gado-gado. Kwee Tek Hoay dalam tulisannya, Hikajat THHK, dalam Moestika Romans 1933, menulis dalam upacara kematian pun tidak sedikit adat kebiasaan bumiputera yang masuk dalam tradisi kebiasaan para Tionghoa Peranakan itu. Contohnya diletakkannya bunga kamboja di atas peti mati, pula saat peti mati sudah ada di dalam lubang lalu diadakan acara membelah sebutir buah kelapa, serta diteruskan dengan memutuskan sepotong rotan di pinggir lubang makam. Selanjutnya selain melakukan upacara sembahyang yang biasa dilakukan berdasarkan peredaran musim menurut Kalender Tionghoa, peranakan Tionghoa di Jawa juga melakukan sembahyang sedekah pada hari Maulud Nabi Muhammad dan hari-hari lainnya, yang menjadi kebiasaan umat beragama Islam. Bahkan seringkali upacara sembahyang ini justru merupakan itikad dan niat dari nyonya rumah yang merupakan seorang perempuan peranakan, yang sejak kecil melakukan hal itu berdasarkan ajaran ibu atau neneknya yang merupakan perempuan bumiputera.

 

Yoe Tjai Siang bersama Tan Ging Tiong, yang membantu penyusunan buku Thay Hak dan Tiong Yong, dalam kata pengantar yang tertanggal 15 Januari 1900, menganjurkan agar tokoh Tionghoa Peranakan di Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : " … Maka untuk dapat memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk belajar." Para tokoh Tionghoa yang cukup terpelajar mulai menyadari bahwa kekacauan budaya yang terjadi selama ini adalah karena lemahnya agama yang dianut oleh komunitas Tionghoa Peranakan itu sendiri. Mereka merasa perlu adanya satu agama atau satu pelajaran moral yang kokoh – seperti yang ada dalam agama Islam atau Kristen - agar dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan pelatihan batin sekaligus.

 

Selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, gerakan reformasi yang dilakukan oleh Kāng Yǒu Wéi di Tiongkok, mulai terdengar sampai ke Hindia Belanda. Beberapa orang Tionghoa Peranakan yang cukup terpelajar dan berwawasan luas mulai memikirkan untuk melakukan reformasi di kalangan komunitas Tionghoa itu sendiri. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang berpikiran radikal, yang bercita-cita ingin memurnikan adat istiadat Tionghoa dari anasir-anasir yang keliru. Pemurnian adat dan agama ini berpedoman pada ajaran Nabi Besar Kǒng Zǐ. Akhirnya satu kelompok intelektual dan tokoh Tionghoa Peranakan di Batavia yang beranggotakan Phoa Keng Hek, Lie Hin Liam, Lie Kim Hok, Khoe A Fan, Khouw Kim An, Khoe Siauw Eng, Khouw Lam Tjiang dan lain-lain sebanyak 20 orang, sepakat membentuk satu perkumpulan sosial yang dinamakan 'Tiong Hoa Hwee Kwan', disingkat 'THHK', atau 'Roemah Perkumpulan Tionghoa'. Organisasi ini didirikan tanggal 17 Maret 1900, dan diakui sah melalui surat penetapan Gubernur Jendral tertanggal 3 Juni 1900.

 

Phoa Keng Hek atau Pān Jǐng Hè (潘景赫, 21-Sep-1857 - 19-Jul-1937) adalah pebisnis dan ditunjuk sebagai presiden pertama THHK. Phoa memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan bisa bergaul secara luas di kalangan orang Eropa. Beliau juga punya kapasitas untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan dalam membentuk satu organisasi modern, guna melakukan reformasi. Belakangan Phoa turut andil dalam melakukan debat intelektual dengan Pendeta L. Tiemersma guna membela kelurusan doktrin Rú Jiào terhadap serangan ajaran Kristen. Dia menjabat presiden sejak THHK didirikan hingga tahun 1923. Phoa tercatat pula sebagai penerima Ridder van Oranye Nassau Orde.

 

Setelah THHK didirikan, para pengurusnya berupaya menampung Tionghoa Peranakan dari berbagai suku untuk ikut ambil bagian. Mereka menekankan bahwa tujuan pendirian THHK ini sangat berbeda jauh dengan segala macam kongsi rahasia, yang menampung tukang berkelahi yang sudah ada di Batavia pada masa itu. Tetapi niat baik itu tidak diindahkan, hingga kedatangan Kāng Yǒu Wéi pada tahun 1903. Ketika datang di Batavia, tokoh karismatik dari Tiongkok ini mampu mengundang begitu banyak orang sehingga gedung THHK dan lapangannya tidak mampu menampung pengunjung yang membludak. Orang banyak berdesak-desakan untuk melihat sendiri tokoh yang dikagumi ini. Ajaib! Setelah pertemuan akbar itu usai, hasilnya sungguh di luar dugaan. Sejak itu di antara pelbagai perkumpulan Tionghoa di Batavia tidak pernah terdengar saling bermusuhan, apalagi sampai berkelahi (Kwee Tek Hoay, Hikajat THHK, Moestika Romans, 1933).

 

Setelah berdirinya THHK, barulah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda yang masih menganut agama dan adat istiadat Tionghoa mendapatkan pencerahan kembali, dan bersamaan dengan itu dimulailah satu periode zaman baru dalam sejarahnya. Beberapa tahun kemudian muncul perkumpulan lainnya seperti Kong Kauw Hwee, Siang Hwee, Shiong Thi Hui, Chung Hsioh, Hoa Chiao, Tsing Nien Hui dan lain sebagainya, yang mana mereka bergerak dalam lingkup keagamaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan lain-lain. Khusus untuk Kong Kauw Hwee yakni Perkumpulan Agama Konghucu, inilah yang kelak akan melahirkan Kong Kauw Tjong Hwee (atau Kǒng Jiào Zǒng Huì, 孔教總會) pada tahun 1923. Belakangan Kong Kauw Tjong Hwee berubah menjadi 'Matakin' atau 'Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia'.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221102

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar