Rabu, 16 November 2022

ĀNANDA


 

Anda sekalian yang sering membaca naskah-naskah Buddhis tentu sering menemukan nama Ānanda. Ya, Ānanda dalam aksara Devanagari Pāli maupun Sanskerta ditulis: आनन्द, yang bermakna kebahagiaan, kegembiraan, atau kesukacitaan; sedangkan dalam aksara Mandarin Ānanda dikenal dengan nama Ā Nán (阿難). Konon, ketika Ānanda lahir, para sanak keluarganya merasakan kegembiraan yang luar biasa. Merujuk pada tarikh aliran Buddha Selatan, Ānanda hidup antara tahun 623 - 503 seb.M. Ānanda pun memiliki julukan lain, yakni 'Videhamuni' yang berarti Sang Bijak dari klen Videha, dan juga 'Dhamma-bhaṇḍāgārika' yang bermakna Sang Bendahara Dhamma.

 

Menurut teks-teks Pali, takdir Ānanda bahkan telah ditentukan sebelum kelahirannya. Ānanda lahir ke dunia ini dengan cara yang sama, seperti yang terjadi pada diri Sang Bodisattva Pangeran Siddhartha. Dia bertumimbal-lahir dari Surga Tusita, dan ajaibnya dia juga dilahirkan pada hari yang sama dengan Sang Manusia Agung tersebut. Mereka berdua terlahir dalam kasta yang sama, yakni kasta para petarung dalam lingkungan keluarga kerajaan Sakya. Ayahnya, Amitodana, adalah adik laki-laki dari ayah Pangeran Siddhartha, Suddhodana. Ibunya bernama Mrgī. Dengan demikian hubungan antara keduanya adalah saudara sepupu, dan mereka tumbuh bersama di kotaraja Sakya, Kapilavatthu. Amitodana juga ayah dari Anuruddha, yang kelak dia pun menjadi salah satu siswa agung Sang Buddha. Antara Ānanda dan Anuruddha adalah saudara seayah, tetapi mungkin ibu mereka berbeda.

 

Ketika dia berusia tiga puluh tujuh tahun, Ānanda bersama dengan enam orang kerabatnya, di antaranya Anuruddha, Devadatta, dan empat orang pangeran Sakya lainnya serta tukang cukur mereka yang bernama Upāli, melakukan desersi dari tugas-tugas mereka sebagai bangsawan Sakya yang masih aktif. Saat itu mereka melarikan diri dengan melintasi perbatasan negeri dengan tujuan menjadi petapa. Sang Buddha kemudian menahbiskan mereka bertujuh, dan sejak saat itu mereka semua menjadi bhikkhu. Ānanda kemudian dibimbing olah Yang Mulia Belaṭṭhasīsa, seorang Arahant, yang mulai memperkenalkan dan mengarahkannya pada kehidupan kebhikkhuan. Ānanda membuktikan dirinya sebagai seorang siswa yang rajin dan tekun. Selanjutnya di bawah bimbingan Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta, salah satu eksponen Dhamma yang luar biasa, Ānanda mencapai buah pemasuk-arus atau meraih tingkat kesucian pertama. Ānanda selalu puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu. Dia merasakan berkah atas pelepasan keduniawiannya, dan secara bertahap memasuki jalan menuju pembebasan.

 

Ketika Sang Buddha mencapai usia lima-puluh-lima tahun, Beliau mengadakan pertemuan dengan para bhikkhu dan berkata: "Dalam dua-puluh tahun pertama saya memegang kendali pimpinan Sangha. Saya telah memilih dan menunjuk sejumlah bhikkhu-pengiring, yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar bisa memenuhi amanat jabatan itu dengan sempurna. Bahkan banyak dari mereka yang mengecewakan. Sekarang saya telah mencapai usia lima-puluh-lima tahun, dan saya perlu memiliki sosok pelayan yang dapat dipercaya dan bisa diandalkan." Seketika semua siswa mulia Sang Guru mengangkat tangan, menawarkan jasa mereka, tetapi Sang Buddha tidak berkenan terhadap mereka semua. Kemudian para bhikkhu berpaling kepada Ānanda, yang dengan rendah hati tPuetap bergeming dengan sikap berdiam-diri.

 

Karena perilakunya yang sempurna sebagai seorang bhikkhu, Ānanda tampaknya memang ditakdirkan untuk mengemban jabatan tersebut. Ketika ditanya mengapa dia satu-satunya orang yang tidak menawarkan jasanya, dia menjawab bahwa Sang Buddha adalah orang yang paling tahu, siapa yang cocok untuk menjadi pelayannya. Dia sangat percaya kepada Yang Terberkahi, sehingga tidak terpikir olehnya untuk mengungkapkan keinginannya sendiri, walaupun dia sesungguhnya ingin menjadi pelayan atau pengiring Sang Guru. Kemudian Sang Buddha menanggapinya, bahwa jika Ānanda bersedia, dia adalah orang terbaik untuk memegang jabatan tersebut. Ānanda sama sekali tidak menunjukkan rasa bangganya, ketika Sang Guru lebih memilih dia dibandingkan siswa-siswa utama lainnya.

 

Ānanda malahan meminta jika Sang Buddha menginginkan dirinya menjadi bhikkhu pengiring atau pembantu, dia meminta ada delapan syarat yang harus dipenuhi. Jika Buddha menyetujuinya, baru dia bersedia menerimanya. Apakah delapan persyaratan itu?

 

Empat yang pertama bersifat negatif: Pertama, jika Guru menerima hadiah jubah, barang itu tidak boleh diberikan kepadanya. Kedua, Sang Guru tidak boleh berbagi makanan-sedekah dengan dia, jika pada hari itu dia telah mendapatkannya dari perumah-tangga lainnya. Ketiga, setelah Guru menerima tempat naungan, dia tidak boleh memberikan tempat tinggal itu kepadanya. Keempat, dia tidak boleh diikusertakan pada undangan pribadi yang mana pun (seperti pada kesempatan untuk mengajarkan Dhamma, ketika makanan akan dipersembahkan). Ānanda menjelaskan alasannya, bahwa jika dia tidak mengajukan empat syarat tersebut; maka orang akan mengatakan bahwa dia mau menerima jabatan pengiring atau pelayan, karena ingin mendapatkan keuntungan materi saat dia hidup begitu dekat dengan Gurunya.

 

Empat yang berikutnya bersifat positif: Pertama, jika Ānanda diundang menghadiri jamuan makan, dia meminta hak untuk mentransfer undangan ini kepada Sang Buddha. Kedua, jika orang-orang datang dari daerah terpencil, dia meminta hak istimewa untuk memimpin mereka menghadap Sang Buddha. Ketiga, jika dia memiliki keraguan atau pertanyaan tentang Dhamma, dia meminta hak untuk menanyakannya kapan saja kepada Gurunya. Keempat, jika Sang Buddha memberikan wejangan saat Ānanda tidak menghadirinya, maka dia memiliki hak istimewa untuk meminta mengulangi apa yang pernah disampaikannya itu. Dengan adanya empat permintaan positif ini, dapat dikatakan bahwa dia memenuhi tugas sesuai dengan jabatan yang diembannya, tanpa mempedulikan kemajuannya sendiri dalam pelatihan Dhamma. Alih-alih berkeberatan dengan delapan persyaratan yang diminta oleh Ānanda, Sang Buddha mengabulkan permintaan yang sangat masuk akal ini, yang ternyata senafas dengan anjuran Dhamma itu sendiri.

 

Setelah mendapatkan persetujuan dari Gurunya, sejak itu pula Ānanda resmi menjadi bhikkhu pengiring atau bhikkhu pembantu Sang Buddha. Hingga akhir hayat Yang Tercerahkan, menurut teks-teks kuno yang kita ketahui, pengabdian Ānanda kepada Gurunya itu tanpa jeda, tak-terputus, dan tak pernah tergantikan oleh orang lain! Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah tugas-tugas rutin Ānanda sehari-hari: Ānanda membawakan air untuk mencuci muka Gurunya, serta menyiapkan kayu-gigi untuk membersihkan giginya. Ānanda mengatur tempat duduknya, membasuh kakinya, memijat punggungnya, mengipasi tubuhnya, menyapu tenda-tidurnya, dan memperbaiki jubahnya. Sepanjang malam dia tidur di dekatnya, agar bisa bersiap jika Gurunya membutuhkan sesuatu. Dia juga orangnya yang menemani Sang Guru berkeliling vihara, dan setelah acara pertemuan dia akan memeriksa untuk melihat apakah ada bhikkhu atau umat awam yang meninggalkan barang milik mereka. Dia membawa pesan Sang Buddha kepada orang luar, dan dia juga yang memanggil para bhikkhu untuk berkumpul bersama, bahkan tugas itu kadang-kadang dilakukan pada tengah malam sekali pun. Ketika Sang Buddha sakit, dia mencarikan obat dan sekaligus memberikan perawatan yang terbaik. Dengan cara ini Ānanda melakukan banyak tugas hari-hari demi menjaga kesehatan fisik saudara sepupunya; layaknya seorang ibu yang merawat puteranya, atau seorang isteri yang melayani suaminya dengan penuh rasa bakti.

 

Salah satu kebajikan Ānanda yang membuat dirinya tenar adalah jabatannya sebagai upaṭṭhāka Buddha, pelayan pribadinya. Sang Buddha berkata tentang dia, bahwa Ānanda adalah yang terbaik dari semua pelayan, yang paling terkemuka dari semua bhikkhu yang pernah mengisi jabatan ini (Anguttara Nikāya 1, Bab 14). Istilah 'pelayan' di Indonesia mungkin dianggap sebelah mata, bawahan, subordinat, yang dipandang rendah di masyarakat kita. Orang Indonesia lebih suka menyebut orang yang membantu seorang tokoh dengan sebutan 'ajudan' atau 'sekretaris', tetapi istilah ini menunjukkan formalitas hubungan dan menghilangkan aspek keintiman sebuah relasi. Yang Mulia Ānanda sekaligus adalah seorang pembantu, pelayan, pengiring, ajudan, dan sekretaris Sang Buddha. Dalam lingkup Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, tak berlebihan jika Ānanda dianggap sebagai sekretaris atau ajudan sang pimpinan puncak. Dia ikut mengatur jadwal sang pemimpin, kapan Buddha bisa bertemu dengan para pengikutnya, mendokumentasikan hasil pembicaraan dan pertemuan, yang akan kita lihat dalam peran Ānanda yang selanjutnya.

 

Pada satu bait syair dalam Theragāthā (1041–43), Ānanda meringkas cara dia melayani Sang Buddha selama kurun waktu sepertiga terakhir hidupnya:

 

Selama dua puluh lima tahun,

Aku melayani Yang Terberkahi;

Yang aku perlakukan dengan penuh cinta kasih,

Diriku bagaikan bayangannya, yang tidak pernah meninggalkan tubuhnya.

 

Jika kita melihat dalam literatur dunia perihal contoh orang yang dipercaya untuk menemani seorang pria hebat terus-menerus tanpa jeda, mungkin tidak akan kita temukan orang yang pengabdiannya sedemikian tulus, yang pernah dilakukan oleh Ānanda. Bukan itu saja. Satu ketika Devadatta melepaskan seekor gajah liar untuk membunuh Sang Buddha di satu ruas jalan di Rājagaha. Ānanda yang sedang mengiringi tuannya, tanpa berpikir panjang lagi segera berlari melewati Gurunya, siap untuk mati daripada membiarkan Sang Bhagavā terbunuh atau terluka. Tiga kali Sang Buddha memintanya untuk mundur, tetapi dia tidak menurutinya. Hanya ketika Sang Guru dengan kekuatan adibiasa-nya menaklukkan gajah liar itu, barulah dia dapat dibujuk untuk tidak mengorbankan nyawanya sendiri.

 

Di antara para siswa utama yang dinyatakan unggul oleh Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda memiliki keistimewaan unik, yakni kemampuan untuk mengingat sesuatu yang baru terjadi. Ānanda memiliki kemampuan ini sampai tingkat yang fenomenal. Dia bisa langsung mengingat semuanya secara lengkap, walaupun dia hanya mendengarnya sekali saja. Dia dapat mengulang khotbah Sang Buddha dengan sempurna hingga enam-puluh-ribu kata, tanpa melupakan satu suku kata pun. Dia juga mampu melafalkan hingga lima-belas-ribu -stansa, dengan masing-masing stansa terdiri dari empat baris-bait syair. Tradisi Buddhis menentukan jumlah unit bacaan, yakni dhammakkhandha atau 'kelompok Dhamma' dalam seluruh ajaran sebanyak delapan puluh empat ribu subyek. Dalam salah satu syairnya, Ānanda mengklaim telah menerima semuanya:

 

"Aku telah menerima dari Sang Buddha sebanyak 82.000,

Dan dari para bhikkhu lainnya ada 2.000 lebih;

Jadi ada 84.000 subyek,

Ajaran yang digerakkan."

 

Karena watak baik yang alami dan welas asihnya yang begitu besar, ada satu jasa besar Ānanda yang tidak bisa kita lupakan. Tanpa Ānanda persekutuan-rahib Buddhis mungkin hanya diisi oleh kaum pria saja. Demikianlah kisahnya. Ketika banyak bangsawan suku Sakya telah meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan tanpa-rumah, beberapa wanita Sakya di bawah bimbingan Mahāpajāpati Gotamī, yakni ibu tiri Sang Bodhisattva, mendekati Sang Buddha dan memintanya agar mereka diizinkan untuk memasuki kehidupan tanpa-rumah. Tiga kali Mahāpajāpati mengajukan permintaannya, namun tiga kali pula Sang Buddha menolaknya. Ānanda yang belakangan mendengar keluhan itu memutuskan untuk menengahinya. Dia menghadap Sang Guru dan mengulangi permintaannya sampai tiga kali, tetapi tiga kali pula Sang Buddha menolaknya mentah-mentah: "Jangan berharap, Ānanda, agar wanita diizinkan untuk menjalankan kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata."

 

Kemudian Ānanda memutuskan untuk mencari cara lain. Dia lalu bertanya kepada Sang Guru: "Yang Mulia, apakah wanita mampu setelah menerima penahbisan, meraih buah seorang pemasuk-arus, atau buah yang kembali-sekali-lagi, atau buah yang-tidak-pernah-kembali, atau buah Arahant; jika dia meninggalkan kehidupan-berumah dan memasuki kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibentuk oleh Sang Tathāgata?" "Mereka bisa meraihnya, Ānanda."

 

"Jika demikian, Yang Mulia. Karena Mahāpajāpati Gotamī telah sangat berjasa kepada Yang Terberkahi, sewaktu adik-perempuan-ibunya yang memelihara dan merawatnya, juga sekaligus ibu tirinya, juga sekaligus ibu-susunya – dia yang merawat Yang Terberkahi ketika ibu kandungnya wafat – karena itulah, Yang Mulia, akan baik jika wanita dapat memperoleh penahbisan untuk pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, dalam Dhamma dan Aturan Sang Tathāgata." Menanggapi argumen-argumen tersebut, Sang Buddha akhirnya menyetujui pendirian sebuah ordo bhikkhunī, asalkan ada aturan tambahan yang diberlakukan untuk Sangha Bhikkhunī.

 

Pangabdian panjang Ānanda mencapai penghujungnya, saat hidup Sang Guru mendekati detik-detik terakhir. Dikuasai oleh kesedihan, Ānanda menyingkir, dan sambil menggenggam sebuah kusen pintu, dia menangis tersedu-sedu. Ānanda sadar bahwa dia masih harus berjuang untuk mencapai tingkatan Arahanta, namun Sang Guru tercinta akan segera meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Inilah adegan yang sangat menyayat hati bagi orang awam yang melihatnya. "Aku ini masih seorang pelajar dengan begitu banyak tugas yang belum kurampungkan. Dan Guruku sebentar lagi akan mencapai Nibbāna-akhir. Oh, Guruku yang begitu berwelas-asih kepadaku!"

 

Ketika Sang Buddha tidak melihat Ānanda dan bertanya di mana siswanya berada, Beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya: "Jangan bersedih, Ānanda. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang berubah pada satu waktu akan lenyap? Bagaimana mungkin sesuatu yang selalu-menjadi tidak akan musnah? Untuk waktu yang lama, Ānanda, engkau telah memperhatikan Sang Tathāgata, dengan perbuatan yang didasari cinta-kasih, penuh-pertolongan, dengan sukacita, dengan tulus, tanpa pamrih, dan tak kenal kompromi. Ānanda, engkau telah melakukan jasa besar. Teruslah berjuang dan engkau segera akan bebas dari noda-noda." Ia kemudian menceritakan sebuah kejadian di masa lalu, di kehidupan lampau, di mana Ānanda telah melayaninya, dan pengabdiannya itu membuahkan banyak jasa duniawi.

 

Perjuangan Ānanda untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi akhirnya tercapai pada satu malam, sebelum Pasamuan Agung yang pertama dimulai. Perhelatan Agung tersebut diadakan di Rājagaha, tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat. Setelah Pasamuan Agung itu usai, Yang Mulia Mahā Kassapa sebagai pimpinan Pasamuan tersebut, dianggap sebagai penerus Sang Buddha (atau disebut sebagai Sang Patriark pertama). Tidak lama setelah Mahā Kassapa wafat, Ānanda menjadi sesepuh terkemuka pertama, orang suci pertama yang paling dihormati, yang ditunjuk untuk menjaga Sangha.

 

Ānanda ternyata berumur panjang. Setelah Sang Buddha wafat, Ānanda masih hidup hingga empat puluh tahun lagi. Praktis Ānanda memimpin Sangha sampai empat puluh tahun setelah kemangkatan Gurunya. Ketika Ānanda berusia 120 tahun, ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun melakukan ziarah, mulai dari Rājagaha menuju Vesālī, seperti yang pernah dilakukan oleh Gurunya dulu. Ketika Raja Magadha dan para pangeran Vesālī mendengar bahwa Yang Mulia Ānanda akan segera mencapai Nibbāna-akhir, mereka bergegas menemuinya dari kedua arah untuk mengucapkan selamat jalan. Untuk memberikan keadilan bagi kedua belah pihak, Ānanda menerbangkan tubuhnya ke angkasa melalui kekuatan adibiasa-nya, serta membiarkan tubuhnya dilahap oleh unsur api. Relik Ānanda pun berjatuhan ke tanah, dan mereka membagi dua relik tersebut. Kemudian stupa-stupa didirikan, dan orang banyak memuliakan sisa-sisa jasmani Yang Mulia Ānanda.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221116

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar