Anda sekalian yang sering membaca
naskah-naskah Buddhis tentu sering menemukan nama Ānanda. Ya, Ānanda dalam
aksara Devanagari Pāli maupun Sanskerta ditulis: आनन्द, yang bermakna
kebahagiaan, kegembiraan, atau kesukacitaan; sedangkan dalam aksara Mandarin
Ānanda dikenal dengan nama Ā Nán (阿難). Konon, ketika Ānanda lahir, para sanak keluarganya merasakan kegembiraan
yang luar biasa. Merujuk pada tarikh aliran Buddha Selatan, Ānanda hidup antara
tahun 623 - 503 seb.M. Ānanda pun memiliki julukan lain, yakni 'Videhamuni'
yang berarti Sang Bijak dari klen Videha, dan juga 'Dhamma-bhaṇḍāgārika' yang
bermakna Sang Bendahara Dhamma.
Menurut teks-teks Pali, takdir Ānanda bahkan telah ditentukan
sebelum kelahirannya. Ānanda lahir ke dunia ini dengan cara yang sama,
seperti yang terjadi pada
diri Sang Bodisattva Pangeran Siddhartha. Dia
bertumimbal-lahir dari Surga
Tusita, dan ajaibnya dia juga dilahirkan
pada hari yang sama dengan Sang Manusia Agung
tersebut. Mereka berdua terlahir dalam
kasta yang sama, yakni kasta para petarung dalam
lingkungan keluarga kerajaan Sakya. Ayahnya, Amitodana, adalah adik laki-laki dari ayah Pangeran
Siddhartha, Suddhodana. Ibunya bernama Mrgī. Dengan demikian hubungan
antara keduanya adalah saudara sepupu, dan
mereka tumbuh bersama di kotaraja Sakya,
Kapilavatthu. Amitodana juga ayah dari Anuruddha,
yang kelak dia pun menjadi salah satu siswa agung Sang Buddha. Antara
Ānanda dan Anuruddha adalah saudara seayah, tetapi mungkin ibu mereka berbeda.
Ketika dia berusia
tiga puluh tujuh tahun, Ānanda bersama dengan enam orang kerabatnya, di
antaranya Anuruddha, Devadatta, dan empat
orang pangeran Sakya lainnya serta tukang cukur mereka yang bernama Upāli, melakukan
desersi dari tugas-tugas mereka sebagai bangsawan Sakya yang masih aktif. Saat itu mereka
melarikan diri dengan melintasi perbatasan negeri dengan tujuan menjadi petapa.
Sang Buddha kemudian menahbiskan mereka bertujuh, dan sejak
saat itu mereka semua menjadi bhikkhu.
Ānanda kemudian dibimbing olah Yang Mulia Belaṭṭhasīsa,
seorang Arahant, yang
mulai memperkenalkan dan mengarahkannya
pada kehidupan kebhikkhuan.
Ānanda membuktikan dirinya sebagai seorang siswa
yang rajin dan tekun. Selanjutnya
di bawah bimbingan Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta, salah satu eksponen Dhamma
yang luar biasa, Ānanda mencapai buah pemasuk-arus
atau meraih tingkat kesucian pertama. Ānanda
selalu puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu. Dia merasakan berkah atas
pelepasan keduniawiannya, dan secara bertahap memasuki jalan menuju pembebasan.
Ketika Sang Buddha
mencapai usia lima-puluh-lima tahun, Beliau
mengadakan pertemuan dengan para bhikkhu dan berkata:
"Dalam dua-puluh
tahun pertama saya memegang
kendali pimpinan Sangha. Saya telah memilih dan
menunjuk sejumlah bhikkhu-pengiring,
yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun tidak ada satu pun
dari mereka yang benar-benar bisa memenuhi amanat jabatan itu dengan sempurna.
Bahkan banyak dari mereka yang mengecewakan. Sekarang saya telah mencapai usia lima-puluh-lima tahun, dan
saya perlu memiliki sosok pelayan yang dapat
dipercaya dan bisa diandalkan." Seketika semua siswa mulia Sang Guru mengangkat tangan, menawarkan jasa
mereka, tetapi Sang Buddha tidak berkenan terhadap
mereka semua. Kemudian para bhikkhu berpaling
kepada Ānanda, yang dengan
rendah hati tPuetap bergeming dengan sikap
berdiam-diri.
Karena perilakunya yang sempurna sebagai seorang
bhikkhu, Ānanda tampaknya memang ditakdirkan untuk
mengemban jabatan tersebut. Ketika ditanya mengapa dia satu-satunya orang yang tidak menawarkan jasanya, dia menjawab
bahwa Sang Buddha adalah orang yang paling tahu, siapa yang cocok untuk menjadi pelayannya. Dia
sangat percaya kepada Yang
Terberkahi, sehingga tidak terpikir olehnya untuk mengungkapkan
keinginannya sendiri, walaupun dia sesungguhnya ingin menjadi pelayan atau pengiring Sang Guru. Kemudian Sang Buddha menanggapinya, bahwa jika
Ānanda bersedia, dia adalah
orang terbaik untuk memegang jabatan
tersebut. Ānanda sama sekali tidak menunjukkan rasa
bangganya, ketika Sang Guru lebih
memilih dia dibandingkan siswa-siswa utama lainnya.
Ānanda malahan meminta jika Sang Buddha menginginkan dirinya menjadi
bhikkhu pengiring atau pembantu, dia meminta ada delapan syarat yang
harus dipenuhi. Jika Buddha menyetujuinya, baru dia bersedia menerimanya.
Apakah delapan persyaratan itu?
Empat yang pertama bersifat negatif: Pertama, jika Guru menerima
hadiah jubah, barang itu tidak boleh diberikan
kepadanya. Kedua, Sang Guru tidak boleh berbagi
makanan-sedekah dengan dia, jika pada hari itu dia
telah mendapatkannya dari perumah-tangga
lainnya. Ketiga, setelah Guru menerima tempat naungan,
dia tidak boleh memberikan tempat tinggal itu
kepadanya. Keempat,
dia tidak boleh diikusertakan pada undangan pribadi yang
mana pun (seperti pada kesempatan untuk
mengajarkan Dhamma, ketika makanan akan dipersembahkan). Ānanda menjelaskan alasannya, bahwa jika dia tidak mengajukan empat
syarat tersebut; maka orang akan mengatakan bahwa dia mau menerima jabatan
pengiring atau pelayan, karena ingin mendapatkan keuntungan materi saat dia
hidup begitu dekat dengan Gurunya.
Empat yang berikutnya
bersifat positif: Pertama, jika Ānanda diundang menghadiri
jamuan makan, dia meminta hak untuk mentransfer undangan ini kepada Sang
Buddha. Kedua, jika orang-orang datang dari daerah
terpencil, dia meminta hak istimewa untuk
memimpin mereka menghadap Sang Buddha. Ketiga, jika dia memiliki keraguan atau pertanyaan
tentang Dhamma, dia meminta hak untuk menanyakannya
kapan saja kepada Gurunya. Keempat, jika Sang Buddha memberikan wejangan saat Ānanda
tidak menghadirinya, maka
dia memiliki hak istimewa untuk meminta mengulangi apa
yang pernah disampaikannya itu. Dengan adanya empat permintaan positif ini, dapat
dikatakan bahwa dia memenuhi tugas sesuai dengan
jabatan yang diembannya, tanpa mempedulikan kemajuannya
sendiri dalam pelatihan Dhamma. Alih-alih berkeberatan dengan delapan persyaratan yang
diminta oleh Ānanda, Sang Buddha mengabulkan permintaan yang sangat
masuk akal ini, yang ternyata senafas dengan anjuran Dhamma itu sendiri.
Setelah mendapatkan persetujuan dari
Gurunya, sejak itu pula Ānanda resmi menjadi bhikkhu pengiring atau bhikkhu
pembantu Sang Buddha. Hingga akhir hayat Yang Tercerahkan, menurut teks-teks
kuno yang kita ketahui, pengabdian Ānanda kepada Gurunya itu tanpa jeda,
tak-terputus, dan tak pernah tergantikan oleh orang lain! Sebagai ilustrasi,
berikut ini adalah tugas-tugas rutin Ānanda sehari-hari: Ānanda membawakan air
untuk mencuci muka Gurunya, serta menyiapkan kayu-gigi untuk membersihkan
giginya. Ānanda mengatur tempat duduknya, membasuh kakinya, memijat
punggungnya, mengipasi tubuhnya, menyapu tenda-tidurnya, dan memperbaiki
jubahnya. Sepanjang malam dia tidur di dekatnya, agar bisa bersiap jika Gurunya
membutuhkan sesuatu. Dia juga orangnya yang menemani Sang Guru berkeliling
vihara, dan setelah acara pertemuan dia akan memeriksa untuk melihat apakah ada
bhikkhu atau umat awam yang
meninggalkan barang milik mereka. Dia membawa pesan Sang Buddha kepada orang
luar, dan dia juga yang memanggil para bhikkhu untuk berkumpul bersama, bahkan
tugas itu kadang-kadang dilakukan pada tengah malam sekali pun. Ketika Sang
Buddha sakit, dia mencarikan obat dan sekaligus memberikan perawatan yang
terbaik. Dengan cara ini Ānanda melakukan banyak tugas hari-hari demi menjaga kesehatan fisik saudara sepupunya; layaknya seorang ibu yang merawat puteranya, atau seorang isteri yang melayani
suaminya dengan penuh rasa
bakti.
Salah satu kebajikan Ānanda yang
membuat dirinya tenar adalah jabatannya sebagai upaṭṭhāka Buddha,
pelayan pribadinya. Sang Buddha berkata tentang dia, bahwa Ānanda adalah yang
terbaik dari semua pelayan, yang paling terkemuka dari semua bhikkhu yang pernah
mengisi jabatan ini (Anguttara Nikāya 1, Bab 14). Istilah 'pelayan' di Indonesia mungkin dianggap
sebelah mata, bawahan, subordinat, yang dipandang rendah di masyarakat kita.
Orang Indonesia lebih suka menyebut orang yang membantu seorang tokoh dengan sebutan
'ajudan' atau 'sekretaris', tetapi istilah ini menunjukkan formalitas hubungan
dan menghilangkan aspek keintiman sebuah relasi. Yang Mulia Ānanda sekaligus
adalah seorang pembantu, pelayan, pengiring, ajudan, dan sekretaris Sang Buddha. Dalam lingkup Sangha
dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, tak berlebihan jika Ānanda dianggap
sebagai sekretaris atau ajudan sang pimpinan puncak. Dia ikut mengatur jadwal sang pemimpin,
kapan Buddha bisa bertemu dengan para pengikutnya,
mendokumentasikan hasil pembicaraan dan
pertemuan, yang akan kita lihat dalam peran Ānanda yang selanjutnya.
Pada satu bait syair dalam Theragāthā
(1041–43), Ānanda meringkas cara dia melayani Sang Buddha selama kurun waktu sepertiga terakhir hidupnya:
Selama dua puluh lima tahun,
Aku melayani Yang Terberkahi;
Yang aku perlakukan dengan penuh cinta
kasih,
Diriku bagaikan bayangannya, yang
tidak pernah meninggalkan tubuhnya.
Jika kita melihat dalam literatur dunia perihal contoh orang yang
dipercaya untuk menemani seorang pria
hebat terus-menerus tanpa jeda, mungkin tidak akan kita temukan orang yang pengabdiannya sedemikian
tulus, yang pernah dilakukan oleh Ānanda.
Bukan itu saja. Satu ketika Devadatta
melepaskan seekor gajah liar untuk membunuh Sang Buddha
di satu ruas jalan di Rājagaha. Ānanda yang
sedang mengiringi tuannya, tanpa berpikir panjang lagi segera berlari melewati Gurunya, siap untuk mati daripada membiarkan Sang
Bhagavā terbunuh atau terluka. Tiga kali Sang Buddha memintanya untuk mundur,
tetapi dia tidak menurutinya. Hanya ketika Sang Guru dengan kekuatan adibiasa-nya menaklukkan gajah liar itu, barulah dia dapat dibujuk
untuk tidak mengorbankan nyawanya sendiri.
Di antara para siswa
utama yang dinyatakan unggul oleh Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda
memiliki keistimewaan unik, yakni kemampuan
untuk mengingat sesuatu yang baru terjadi.
Ānanda memiliki kemampuan ini sampai tingkat yang fenomenal. Dia bisa langsung
mengingat semuanya secara lengkap, walaupun dia hanya mendengarnya sekali saja. Dia dapat mengulang khotbah Sang Buddha dengan sempurna
hingga enam-puluh-ribu kata, tanpa melupakan satu suku kata pun. Dia juga mampu melafalkan
hingga lima-belas-ribu -stansa, dengan masing-masing stansa terdiri
dari empat baris-bait syair. Tradisi
Buddhis menentukan jumlah unit bacaan, yakni dhammakkhandha atau 'kelompok Dhamma'
dalam seluruh ajaran sebanyak delapan puluh
empat ribu subyek. Dalam salah satu syairnya, Ānanda mengklaim telah menerima semuanya:
"Aku telah menerima dari Sang Buddha sebanyak 82.000,
Dan dari para bhikkhu lainnya
ada 2.000 lebih;
Jadi ada 84.000 subyek,
Ajaran yang digerakkan."
Karena watak baik yang alami dan welas asihnya yang begitu besar, ada satu jasa besar Ānanda yang tidak bisa kita lupakan. Tanpa Ānanda
persekutuan-rahib Buddhis mungkin hanya diisi oleh kaum pria saja. Demikianlah
kisahnya. Ketika banyak bangsawan
suku Sakya telah meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan
tanpa-rumah, beberapa wanita Sakya di bawah
bimbingan Mahāpajāpati Gotamī, yakni ibu tiri Sang Bodhisattva,
mendekati Sang Buddha dan memintanya agar mereka diizinkan untuk memasuki kehidupan
tanpa-rumah. Tiga kali Mahāpajāpati mengajukan permintaannya, namun tiga kali pula Sang Buddha
menolaknya. Ānanda yang
belakangan mendengar keluhan itu memutuskan untuk menengahinya. Dia menghadap Sang Guru dan
mengulangi permintaannya sampai tiga
kali, tetapi tiga kali pula Sang Buddha menolaknya mentah-mentah: "Jangan berharap, Ānanda, agar wanita diizinkan untuk menjalankan kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang
dibabarkan oleh Sang Tathāgata."
Kemudian Ānanda memutuskan untuk mencari
cara lain. Dia lalu bertanya kepada Sang Guru: "Yang Mulia, apakah wanita mampu setelah
menerima penahbisan, meraih buah seorang pemasuk-arus, atau buah yang kembali-sekali-lagi, atau buah yang-tidak-pernah-kembali, atau buah Arahant; jika dia meninggalkan kehidupan-berumah dan memasuki kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibentuk oleh Sang Tathāgata?" "Mereka
bisa meraihnya, Ānanda."
"Jika demikian,
Yang Mulia. Karena Mahāpajāpati Gotamī telah
sangat berjasa kepada Yang Terberkahi, sewaktu adik-perempuan-ibunya yang
memelihara dan merawatnya, juga sekaligus ibu tirinya, juga sekaligus
ibu-susunya – dia yang merawat Yang Terberkahi ketika ibu kandungnya wafat –
karena itulah, Yang Mulia, akan baik jika wanita dapat memperoleh penahbisan
untuk pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, dalam Dhamma dan Aturan Sang
Tathāgata." Menanggapi argumen-argumen tersebut, Sang Buddha akhirnya menyetujui
pendirian sebuah ordo bhikkhunī, asalkan ada aturan tambahan yang diberlakukan untuk Sangha
Bhikkhunī.
Pangabdian
panjang Ānanda mencapai penghujungnya, saat hidup Sang Guru
mendekati detik-detik terakhir. Dikuasai oleh kesedihan, Ānanda menyingkir, dan sambil
menggenggam sebuah kusen
pintu, dia menangis
tersedu-sedu. Ānanda sadar bahwa dia masih harus berjuang untuk mencapai tingkatan Arahanta, namun Sang Guru tercinta
akan segera meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Inilah adegan yang
sangat menyayat hati bagi orang awam yang melihatnya. "Aku ini masih seorang pelajar dengan
begitu banyak tugas yang belum kurampungkan. Dan Guruku sebentar lagi akan
mencapai Nibbāna-akhir.
Oh, Guruku yang begitu berwelas-asih kepadaku!"
Ketika Sang Buddha tidak melihat Ānanda dan
bertanya di mana siswanya berada, Beliau
memanggilnya lalu berkata kepadanya: "Jangan bersedih, Ānanda. Bukankah sudah
berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa segala sesuatu
yang berubah pada satu
waktu akan lenyap? Bagaimana mungkin
sesuatu yang selalu-menjadi tidak akan musnah? Untuk waktu yang lama, Ānanda, engkau telah memperhatikan Sang Tathāgata, dengan perbuatan
yang didasari cinta-kasih, penuh-pertolongan, dengan sukacita, dengan tulus, tanpa pamrih, dan tak kenal kompromi. Ānanda, engkau telah
melakukan jasa besar. Teruslah berjuang dan engkau segera akan bebas dari noda-noda." Ia
kemudian menceritakan sebuah kejadian di masa lalu, di kehidupan lampau, di
mana Ānanda telah melayaninya, dan pengabdiannya
itu membuahkan banyak
jasa duniawi.
Perjuangan
Ānanda untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi
akhirnya tercapai pada satu malam, sebelum Pasamuan Agung yang pertama dimulai.
Perhelatan Agung tersebut diadakan di Rājagaha,
tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat. Setelah Pasamuan Agung itu usai, Yang
Mulia Mahā Kassapa sebagai pimpinan Pasamuan tersebut,
dianggap sebagai penerus Sang Buddha (atau disebut sebagai Sang Patriark
pertama). Tidak lama setelah Mahā Kassapa
wafat, Ānanda menjadi sesepuh terkemuka pertama, orang suci pertama yang
paling dihormati, yang ditunjuk untuk menjaga Sangha.
Ānanda ternyata berumur panjang. Setelah Sang Buddha
wafat, Ānanda masih hidup hingga empat puluh tahun lagi.
Praktis Ānanda memimpin Sangha sampai empat puluh tahun
setelah kemangkatan Gurunya. Ketika Ānanda berusia 120
tahun, ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun melakukan ziarah, mulai dari Rājagaha menuju Vesālī, seperti yang pernah dilakukan oleh Gurunya dulu. Ketika Raja Magadha dan para pangeran Vesālī mendengar
bahwa Yang Mulia Ānanda akan segera mencapai
Nibbāna-akhir, mereka bergegas menemuinya dari kedua arah
untuk mengucapkan selamat jalan. Untuk memberikan keadilan bagi kedua belah
pihak, Ānanda menerbangkan tubuhnya ke angkasa melalui
kekuatan adibiasa-nya, serta membiarkan tubuhnya
dilahap oleh unsur api. Relik Ānanda pun berjatuhan
ke tanah, dan mereka membagi dua relik tersebut. Kemudian stupa-stupa didirikan, dan
orang banyak memuliakan sisa-sisa jasmani Yang Mulia Ānanda.
sdjn/dharmaprimapustaka/221116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar