Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa pada agama-agama yang berasal dari Tiongkok, pernah dipertanyakan oleh
misionaris Barat. Didasari oleh motif mereka untuk menyebarluaskan ajaran yang
mereka bawa, dimulailah upaya-upaya untuk mereduksi peran agama-agama asli di
sana yang sudah berakar selama ribuan tahun. Seperti yang ada pada Rú Jiào yang
berasal dari ajaran Nabi Kǒng Zǐ. Menurut propaganda mereka, dikatakan bahwa
kepercayaan Rú itu hanyalah ajaran filsafat semata –
bukan agama – yang menekankan praktik bakti seorang anak
terhadap orang tuanya.
Agama asli Tiongkok adalah
Konfusianisme dan Taoisme. Keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai
agama. Apalagi jika kita mengacu pada kriteria yang berlaku di Indonesia, bahwa
satu ajaran bisa disebut sebagai agama; jika mengakui adanya Tuhan Yang Maha
Esa, ada nabi yang mengajarkan doktrin agama tersebut, ada kitab sucinya, ada
sistem peribadatannya, dan tentu saja memiliki penganut dalam jumlah yang
memadai. Herbert Giles, seorang sinolog dan diplomat Inggris yang berkarya pada
permulaan abad lalu, dalam bukunya The Civilization of China (1911),
mengatakan bahwa orang Tionghoa percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan Yang Esa dalam bahasa Mandarin
disebut 天 atau Tiān. Tiān bisa pula berarti Surga, dan merupakan penggabungan dari
aksara Dà (大) dan Yī (一). Dà berarti 'besar', 'agung', atau 'akbar',
sedangkan Yī bermakna 'satu' atau 'tunggal'. Rakyat jelata umumnya
memanggil Tuhan dengan sebutan 天公 atau Tiān Gōng,
atau dalam bahasa Hokkian disebut Thi-kong. Thi-kong kurang lebih
maknanya: 'Kakek Surga'
atau 'Adipati Surga'.
Saudara-saudara kita umat Islam, jika
mendapatkan berkah atau keberuntungan, akan mengucapkan 'alhamdulillah'.
Alhamdulillah bermakna "segala puji bagi Allah"; lazim diungkapkan
ketika orang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Orang Nasrani juga
demikian; mereka selalu mengucapkan "puji Tuhan" atau "syukur
kepada Tuhan". Kita sebagai orang Tionghoa pun punya ungkapan tersendiri,
dengan menyebutkan:
"terima kasih, Thi-kong" atau "kamsia, Thi-kong".
Tuhan atau Tiān dalam pengertian orang
Tionghoa, merujuk pada sosok Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok
Hong Tay Te (Hokkian). Sebutan lainnya adalah Yù Huáng Shàng
Dì (玉皇上帝) atau Giok Hong Siong Te (Hokkian).
Diindonesiakan sebagai Kaisar Agung Giok, Kaisar Pualam, atau Kaisar Kemala.
Selanjutnya kita akan pakai nama yang terakhir ini. Lalu pertanyaannya, siapa
gerangan Kaisar Kemala ini? Ada beberapa cerita dalam mitologi Tiongkok yang mengisahkan
keberadaannya. Penulis akan memilih salah satu di antaranya.
Alkisah di satu masa yang sangat purba, ada satu kerajaan yang bernama Negeri Elok Bercahaya Terang
Benderang yang dipenuhi Kesukacitaan (光嚴妙樂,
Guāng Yán Miào Lè). Pemimpinnya adalah Sang Raja Dermawan Suci Murni (淨德國王,
Jìng Dé Guó Wáng) dan isterinya bernama Sang Permaisuri Cahaya Rembulan Elok (寶月光王后, Bǎo
Yuè Guāng Wáng Hòu). Negeri tersebut masih berada di Daratan Tiongkok. Dikatakan kerajaan tersebut
makmur dan rakyatnya hidup bahagia; serta apa pun yang dikehendaki oleh mereka pasti akan terkabulkan.
Demikianlah saat Sang Raja dan Sang Permaisuri telah memerintah
sekian lama, hingga mereka berdua berusia
lanjut, tetapi
sayangnya mereka belum memiliki putera sebagai
penyambung keturunan. Keduanya gundah memikirkan siapa orang
yang kelak akan melanjutkan tahta kerajaan. Selama
bertahun-tahun mereka selalu berharap dan berdoa kepada Tuhan atau Tiān, hingga suatu malam sang permaisuri bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君) yang
sedang mengendarai kereta naga emas miliknya. Sang Maha Dewa sedang menggendong seorang anak kecil yang
bercahaya. Sang permaisuri memohon agar bayi itu diserahkan kepadanya. Tài
Shàng Lǎo Jūn mengabulkannya, dan tak lama kemudian sang permaisuri pun hamil. Genap sembilan bulan kemudian sang
permaisuri melahirkan seorang putera. Anak lelaki itu dinamakan Yù Huáng (玉皇).
Saat sang putera
mahkota lahir, dia memancarkan cahaya
menakjubkan, yang sinarnya terlihat memenuhi seantero kerajaan. Sang
pewaris tahta yang masih berusia amat muda, ternyata seorang yang baik hati, cerdas, dan bijaksana. Dia mengabdikan seluruh masa kecilnya
untuk membantu mereka yang
membutuhkan. Lagi pula sang putera mahkota menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Dia
pun memiliki welas-asih yang tinggi kepada manusia dan semua makhluk. Setelah ayahnya meninggal, dia naik tahta. Dia
memastikan bahwa setiap orang di kerajaannya menemukan kedamaian dan kepuasan.
Setelah itu, dia memberi tahu para abdinya bahwa dia ingin mengembangkan Tao (Sang Jalan)
di 'Tebing Terang dan Harum'. Setelah 1.750 kalpa, dengan setiap kalpa berlangsung selama 129.600 tahun
(satu kalpa sama dengan 3.602 kuadrat tahun), ia mencapai tataran Kedewaan-Emas. Setelah seratus juta tahun pengembangan-diri
lanjutan, dia akhirnya mencapai kesempurnaan. Dengan
menghitung angka-angka
yang diberikan, periode untuk mencapai kesempurnaan berlangsung selama sekitar 327 juta
tahun.
Pada saat Yù
Huáng mengembangkan
diri, entitas jahat yakni
sesosok makhluk asura sedang berupaya untuk berkuasa. Asura alias
raksasa yang tidak kasat mata ini amat kuat, memiliki
ambisi untuk menaklukkan para dewa di surga, serta selanjutnya ingin
menyatakan kedaulatan atas seluruh alam
semesta. Entitas jahat ini juga melakukan pengasingan-diri, bertapa, dan bermeditasi untuk mengembangkan kekuatannya, yang
walaupun lebih lambat daripada yang dijalankan oleh Yù Huáng, pada akhirnya dia berhasil mencapai tataran
kesaktian yang tinggi. Dia melewati 300 ujian, dengan setiap tahapan menuju kesempurnaan berlangsung sekitar 3 juta tahun. Setelah
uji coba terakhirnya, dia merasa yakin bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Setelah
menobatkan dirinya menjadi raja asura, dia merekrut pasukan asura untuk menjadi bala tentaranya, dengan tujuan menyerang para
dewa dan menguasai tahta surga.
Para dewata yang berada di surga menyadari ancaman itu, yang lalu mereka menghimpun
kekuatan dan bersiap untuk perang. Dalam pertempuran melawan bala tentara asura
para dewa tidak dapat menghentikan kekuatan jahat yang amat perkasa, dan mereka semua dapat ditaklukkan.
Yù Huáng baru saja menyelesaikan pengembangan dirinya, saat perang antara dewa dan asura
sedang berlangsung. Ketika dia
sedang mengubah tanah agar lebih layak huni bagi manusia dengan cara memukul mundur berbagai makhluk
jahat yang berkuasa di atas bumi, dia melihat
cahaya jahat memancar dari surga. Dia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak
beres terjadi di sana. Dia pun
naik ke surga dan melihat bahwa entitas jahat terlalu kuat
untuk dihentikan oleh para dewa. Dia menantangnya, dan mereka lalu
bertarung. Gunung-gunung berguncang, sungai-sungai meluap, serta lautan pun menjadi kacau. Karena tingkat pengembangan dirinya yang lebih matang dan lebih luhur, Yù Huáng memenangkan pertempuran. Setelah sang
raja asura dikalahkan, bala tantara asura pun tercerai-berai dikalahkan oleh para dewa.
Atas jasa-jasanya para dewa kemudian memproklamirkan Yù Huáng sebagai penguasa tertinggi di surga,
dan sejak saat itu dia dikenal sebagai Kaisar Kemala.
Apakah benar ada sosok dewata yang bernama Kaisar Kemala? Konon
seorang penguasa dari Dinasti Sòng
(960 - 1279 M) pernah menyaksikannya. Kaisar Zhēnzōng
(真宗, 23-Des-968
– 23-Mar-1022) yang merupakan kaisar ketiga dalam Dinasti Sòng, mengklaim telah melihat sosok dewa
tersebut, dalam sebuah penampakan di satu malam tertentu di tahun 1007 Masehi. Sosok
Kaisar Kemala sebagai raja para dewa ini mirip dengan kisah Dewa Sakka (Pali)
atau Śakra (Sanskerta), sebagai julukan Dewa Indra yang ditemukan pula dalam
beberapa ayat kitab suci Rg Veda. Dalam naskah-naskah Buddhis dikatakan bahwa
Sakka atau Śakra sering bertemu dan berdiskusi dengan Sang Buddha, untuk
membahas berbagai masalah moralitas. Di Tiongkok Śakra dikenal sebagai Dì Shì
Tiān (帝釋天) atau Shì Tí Huán Yīn (釋提桓因). Śakra juga dikenal sebagai penguasa Surga Tāvatiṃsa (atau Trāyastriṃśa),
yang merupakan salah satu surga dalam kosmologi Buddhis. Dalam Mantra Śūraṅgama,
penghormatan terhadap Śakra diucapkan sebagai "Nán wú yīn tuó luó
yé", atau 南 無 因 陀 羅 耶," yang merupakan pelafalan dari penggalan mantra
"Namo Indra Ya."
Dari cerita Yù
Huáng yang kemudian
menjadi Kaisar Kemala, para pembaca yang kritis akan bertanya, berarti sebelum
ada penguasa di Surga terdapat penguasa kahyangan yang sebelumnya? Kaisar Kemala
sendiri suatu saat nanti akan digantikan oleh Sang Fajar Kemala Surgawi
dari Pintu Emas (金闕玉晨天尊, Jīn Què Yù Chén Tiān Zūn). Dalam
kisah Sakka sang raja dewa – seperti yang dikisahkan pula dalam beberapa cerita
Jataka – jika seorang raja dewa yang berkuasa mangkat, maka dia juga akan
digantikan oleh Sakka yang berikutnya. Padahal kita dari kecil sudah dicekoki
oleh doktrin bahwa Tuhan itu adalah kekal, tidak berawal, dan juga tidak
berakhir?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan meninjau Konsep Trinitas dalam ajaran
Agama Tao. Tiga Yang Suci atau 三清 dibaca Sānqīng, merupakan tiga
dewa tertinggi dalam ajaran Tao. Yang pertama dari Tiga
Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuán Shǐ Tīan Zūn; adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah
yang tertinggi dari Tiga Yang Suci. Yuán Shǐ Tīan Zūn sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua
makhluk. Dia bukanlah pribadi, walaupun merupakan representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul.
Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Líng Bǎo Tiānzūn.
Sedangkan yang ketiga dari Tiga Yang Suci
adalah 道德天尊 atau Dào Dé Tiān Zūn, atau dikenal pula sebagai
太上老君 atau Tài Shàng Lǎo
Jūn, yakni 'Tuan Penatua Tertinggi'. Kaisar Agung Giok atau Kaisar Kemala
adalah salah satu representasi dewa pertama. Dalam teologi Taois dia adalah
asisten Yuán
Shǐ Tīan Zūn, yang merupakan salah satu dari Tiga Yang Suci, tiga
emanasi primordial Dào.
Anda, para pembaca, bisa menyimak kembali tulisan penulis sebelumnya yang
berjudul: 'Trinitas'.
Dalam perwujudan seni khas Tiongkok, Kaisar Kemala paling sering
digambarkan sebagai pria setengah baya berambut panjang dan berkumis. Dia
divisualisasikan sedang duduk di atas singgasana dengan mengenakan kostum
kekaisaran lengkap – jubah panjang bersulam naga dan topi dengan tiga-belas
jumbai yang dirangkai mutiara – dan di tangannya dia memegang sebuah tablet
seremonial kekaisaran.
Namun
di tempat pemujaan berupa kuil atau bio yang ada di mancanegara dan juga
di Indonesia, biasanya tidak terdapat gambar atau arca Kaisar Kemala. Pengelola
kuil biasanya hanya menyediakan sebuah pedupaan besar di halaman depan yang lapang,
hingga orang bisa bersembahyang menghadap langit terbuka. Pedupaan ini
berbentuk guci besar berkaki tiga, dan dinamakan Tiān Gōng Lú (天公爐) atau orang
Hokkian menyebutnya sebagai Hiolo Thi-Kong. Pada saat melakukan
persembahyangan di Kuil, pertama kali umat berdoa kepada Thi-Kong dengan
membakar dupa dan
menancapkannya di hiolo tersebut, dilanjutkan dengan
melakukan persembahan kepada para dewata lainnya. Pemujaan Yù Huáng Dà Dì mulai popular di
kuil-kuil di Daratan Tiongkok, setelah Kaisar Zhēnzōng memerintahkan rakyatnya
untuk menyembah Penguasa Surga, dengan menetapkan Kaisar Kemala sebagai dewa yang
disponsori oleh negara.
Hari
ulang tahun Kaisar Kemala dilangsungkan pada hari kesembilan bulan pertama
menurut Kalender Tionghoa. Pada hari besar itu kuil-kuil Tao mengadakan upacara Bài
Tiān Gōng (拜天公), yang
secara harafiah diterjemahkan sebagai 'Menyembah
Kakek Surga'. Para biarawan
dan umat melakukan puja-bakti, membakar dupa, dan mempersembahkan
makanan. Jika dirunut upacara ini mulanya bersumber dari 'Pemujaan Alam Semesta' atau
sembahyang kepada Sang Pencipta Alam. Dalam pandangan nenek moyang orang
Tionghoa, alam semesta terdiri atas Tiga Alam, yaitu Langit atau Tiān, Bumi (地, Dì), dan
Air (水, Shuǐ), dengan masing-masing memiliki penguasanya
sendiri-sendiri. Baru sejak diterbitkannya maklumat oleh Kaisar Zhēnzōng, 'Pemujaan Alam Semesta'
digabungkan menjadi satu, yakni pemujaan kepada Maha Dewa yang paling tinggi
kedudukannya di seluruh alam semesta, Yù Huáng Dà Dì.
Salah
satu ritual pemujaan terhadap Kaisar Kemala yang belakangan dijadikan tradisi
oleh orang Tionghoa adalah sembahyang King Thi-Kong atau Jìng Tiān
Gōng (敬天公). Perayaan ini
digelar dalam suasana perayaan Tahun Baru Imlek yang secara tradisional berlangsung
selama 15 hari. Sembahyang King Thi-Kong diadakan pada hari kesembilan bulan
ke satu, disebut pula sebagai Tahun Barunya orang Hokkian. Konon dikisahkan
bahwa sembahyang ini mulai popular sejak pertengahan abad ke-17, yakni pada
awal berdirinya Dinasti Qīng (1636-1912 M), ketika sisa-sisa bala tentara
Hokkian yang masih setia kepada Dinasti Míng bertahan habis-habisan melawan
gempuran pasukan Dinasti Qīng. Persembahyangan King Thi-Kong ini dikenal
pula dengan sebutan 'Sembahyang
Tebu', dan sekarang bukan hanya dilakukan oleh orang
Hokkian saja, tapi sudah menyebar ke suku-suku Tionghoa lainnya. Untuk
melakukan upacara ini diperlukan sebuah meja-sembahyang yang ditinggikan, yang
diletakkan di depan rumah. Sepasang rumpun tebu diikatkan di sisi kiri dan
kanan meja, disertai persembahan sepasang lilin merah ukuran besar. Seperti
yang dilakukan pada sesajian sembahyang leluhur, disediakan pula aneka kue,
sayuran, dan kertas-uang. Seluruh anggota keluarga wajib bersembahyang dengan
takzim, dengan cara berlutut tiga kali dan menyentuhkan kepala ke tanah
sebanyak sembilan kali di hadapan altar. Upacara ini diselenggarakan menjelang
tengah-malam tanggal 8 hingga memasuki dinihari tanggal 9 bulan pertama.
Demikian sekilas pemujaan masyarakat Tionghoa terhadap sosok yang
dinamakan Tuhan atau Tiān,
yang berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh umat agama lain. Selain itu
Kaisar Kemala yang berkuasa di Istana Langit memiliki mesin birokrasi sendiri,
yang tidak dikenal dalam kepercayaan mana pun. Kita akan membahas Kekaisaran
Langit ini dalam tulisan yang berikutnya.
sdjn/dharmaprimapustaka/221130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar