Rabu, 30 November 2022

TUHAN DALAM AGAMA ORANG TIONGHOA



Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada agama-agama yang berasal dari Tiongkok, pernah dipertanyakan oleh misionaris Barat. Didasari oleh motif mereka untuk menyebarluaskan ajaran yang mereka bawa, dimulailah upaya-upaya untuk mereduksi peran agama-agama asli di sana yang sudah berakar selama ribuan tahun. Seperti yang ada pada Rú Jiào yang berasal dari ajaran Nabi Kǒng Zǐ. Menurut propaganda mereka, dikatakan bahwa kepercayaan Rú itu hanyalah ajaran filsafat semata – bukan agama yang menekankan praktik bakti seorang anak terhadap orang tuanya.

 

Agama asli Tiongkok adalah Konfusianisme dan Taoisme. Keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Apalagi jika kita mengacu pada kriteria yang berlaku di Indonesia, bahwa satu ajaran bisa disebut sebagai agama; jika mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, ada nabi yang mengajarkan doktrin agama tersebut, ada kitab sucinya, ada sistem peribadatannya, dan tentu saja memiliki penganut dalam jumlah yang memadai. Herbert Giles, seorang sinolog dan diplomat Inggris yang berkarya pada permulaan abad lalu, dalam bukunya The Civilization of China (1911), mengatakan bahwa orang Tionghoa percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Tuhan Yang Esa dalam bahasa Mandarin disebut atau Tiān. Tiān bisa pula berarti Surga, dan merupakan penggabungan dari aksara Dà () dan Yī (). Dà berarti 'besar', 'agung', atau 'akbar', sedangkan Yī  bermakna 'satu' atau 'tunggal'. Rakyat jelata umumnya memanggil Tuhan dengan sebutan 天公 atau Tiān Gōng, atau dalam bahasa Hokkian disebut Thi-kong. Thi-kong kurang lebih maknanya: 'Kakek Surga' atau 'Adipati Surga'.

 

Saudara-saudara kita umat Islam, jika mendapatkan berkah atau keberuntungan, akan mengucapkan 'alhamdulillah'. Alhamdulillah bermakna "segala puji bagi Allah"; lazim diungkapkan ketika orang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Orang Nasrani juga demikian; mereka selalu mengucapkan "puji Tuhan" atau "syukur kepada Tuhan". Kita sebagai orang Tionghoa pun punya ungkapan tersendiri, dengan menyebutkan: "terima kasih, Thi-kong" atau "kamsia, Thi-kong".

 

Tuhan atau Tiān dalam pengertian orang Tionghoa, merujuk pada sosok Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok Hong Tay Te (Hokkian). Sebutan lainnya adalah Yù Huáng Shàng Dì (玉皇上帝) atau Giok Hong Siong Te (Hokkian). Diindonesiakan sebagai Kaisar Agung Giok, Kaisar Pualam, atau Kaisar Kemala. Selanjutnya kita akan pakai nama yang terakhir ini. Lalu pertanyaannya, siapa gerangan Kaisar Kemala ini? Ada beberapa cerita dalam mitologi Tiongkok yang mengisahkan keberadaannya. Penulis akan memilih salah satu di antaranya.

 

Alkisah di satu masa yang sangat purba, ada satu kerajaan yang bernama Negeri Elok Bercahaya Terang Benderang yang dipenuhi Kesukacitaan (光嚴妙樂, Guāng Yán Miào Lè). Pemimpinnya adalah Sang Raja Dermawan Suci Murni (淨德國王, Jìng Dé Guó Wáng) dan isterinya bernama Sang Permaisuri Cahaya Rembulan Elok (寶月光王后, Bǎo Yuè Guāng Wáng Hòu). Negeri tersebut masih berada di Daratan Tiongkok. Dikatakan kerajaan tersebut makmur dan rakyatnya hidup bahagia; serta apa pun yang dikehendaki oleh mereka pasti akan terkabulkan.

 

Demikianlah saat Sang Raja dan Sang Permaisuri telah memerintah sekian lama, hingga mereka berdua berusia lanjut, tetapi sayangnya mereka belum memiliki putera sebagai penyambung keturunan. Keduanya gundah memikirkan siapa orang yang kelak akan melanjutkan tahta kerajaan. Selama bertahun-tahun mereka selalu berharap dan berdoa kepada Tuhan atau Tiān, hingga suatu malam sang permaisuri bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君) yang sedang mengendarai kereta naga emas miliknya. Sang Maha Dewa sedang menggendong seorang anak kecil yang bercahaya. Sang permaisuri memohon agar bayi itu diserahkan kepadanya. Tài Shàng Lǎo Jūn mengabulkannya, dan tak lama kemudian sang permaisuri pun hamil. Genap sembilan bulan kemudian sang permaisuri melahirkan seorang putera. Anak lelaki itu dinamakan Yù Huáng (玉皇).

 

Saat sang putera mahkota lahir, dia memancarkan cahaya menakjubkan, yang sinarnya terlihat memenuhi seantero kerajaan. Sang pewaris tahta yang masih berusia amat muda, ternyata seorang yang baik hati, cerdas, dan bijaksana. Dia mengabdikan seluruh masa kecilnya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Lagi pula sang putera mahkota menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Dia pun memiliki welas-asih yang tinggi kepada manusia dan semua makhluk. Setelah ayahnya meninggal, dia naik tahta. Dia memastikan bahwa setiap orang di kerajaannya menemukan kedamaian dan kepuasan. Setelah itu, dia memberi tahu para abdinya bahwa dia ingin mengembangkan Tao (Sang Jalan) di 'Tebing Terang dan Harum'. Setelah 1.750 kalpa, dengan setiap kalpa berlangsung selama 129.600 tahun (satu kalpa sama dengan 3.602 kuadrat tahun), ia mencapai tataran Kedewaan-Emas. Setelah seratus juta tahun pengembangan-diri lanjutan, dia akhirnya mencapai kesempurnaan. Dengan menghitung angka-angka yang diberikan, periode untuk mencapai kesempurnaan berlangsung selama sekitar 327 juta tahun.

 

Pada saat Huáng mengembangkan diri, entitas jahat yakni sesosok makhluk asura sedang berupaya untuk berkuasa. Asura alias raksasa yang tidak kasat mata ini amat kuat, memiliki ambisi untuk menaklukkan para dewa di surga, serta selanjutnya ingin menyatakan kedaulatan atas seluruh alam semesta. Entitas jahat ini juga melakukan pengasingan-diri, bertapa, dan bermeditasi untuk mengembangkan kekuatannya, yang walaupun lebih lambat daripada yang dijalankan oleh Huáng, pada akhirnya dia berhasil mencapai tataran kesaktian yang tinggi. Dia melewati 300 ujian, dengan setiap tahapan menuju kesempurnaan berlangsung sekitar 3 juta tahun. Setelah uji coba terakhirnya, dia merasa yakin bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Setelah menobatkan dirinya menjadi raja asura, dia merekrut pasukan asura untuk menjadi bala tentaranya, dengan tujuan menyerang para dewa dan menguasai tahta surga.

 

Para dewata yang berada di surga menyadari ancaman itu, yang lalu mereka menghimpun kekuatan dan bersiap untuk perang. Dalam pertempuran melawan bala tentara asura para dewa tidak dapat menghentikan kekuatan jahat yang amat perkasa, dan mereka semua dapat ditaklukkan. Huáng baru saja menyelesaikan pengembangan dirinya, saat perang antara dewa dan asura sedang berlangsung. Ketika dia sedang mengubah tanah agar lebih layak huni bagi manusia dengan cara memukul mundur berbagai makhluk jahat yang berkuasa di atas bumi, dia melihat cahaya jahat memancar dari surga. Dia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sana. Dia pun naik ke surga dan melihat bahwa entitas jahat terlalu kuat untuk dihentikan oleh para dewa. Dia menantangnya, dan mereka lalu bertarung. Gunung-gunung berguncang, sungai-sungai meluap, serta lautan pun menjadi kacau. Karena tingkat pengembangan dirinya yang lebih matang dan lebih luhur, Yù Huáng memenangkan pertempuran. Setelah sang raja asura dikalahkan, bala tantara asura pun tercerai-berai dikalahkan oleh para dewa. Atas jasa-jasanya para dewa kemudian memproklamirkan Yù Huáng sebagai penguasa tertinggi di surga, dan sejak saat itu dia dikenal sebagai Kaisar Kemala.

 

Apakah benar ada sosok dewata yang bernama Kaisar Kemala? Konon seorang penguasa dari Dinasti Sòng (960 - 1279 M) pernah menyaksikannya. Kaisar Zhēnzōng (真宗, 23-Des-968 – 23-Mar-1022) yang merupakan kaisar ketiga dalam Dinasti Sòng, mengklaim telah melihat sosok dewa tersebut, dalam sebuah penampakan di satu malam tertentu di tahun 1007 Masehi. Sosok Kaisar Kemala sebagai raja para dewa ini mirip dengan kisah Dewa Sakka (Pali) atau Śakra (Sanskerta), sebagai julukan Dewa Indra yang ditemukan pula dalam beberapa ayat kitab suci Rg Veda. Dalam naskah-naskah Buddhis dikatakan bahwa Sakka atau Śakra sering bertemu dan berdiskusi dengan Sang Buddha, untuk membahas berbagai masalah moralitas. Di Tiongkok Śakra dikenal sebagai Dì Shì Tiān (帝釋天) atau Shì Tí Huán Yīn (釋提桓因). Śakra juga dikenal sebagai penguasa Surga Tāvatiṃsa (atau Trāyastriṃśa), yang merupakan salah satu surga dalam kosmologi Buddhis. Dalam Mantra Śūraṅgama, penghormatan terhadap Śakra diucapkan sebagai "Nán wú yīn tuó luó yé", atau 南 無 因 陀 羅 耶," yang merupakan pelafalan dari penggalan mantra "Namo Indra Ya."

 

Dari cerita Huáng yang kemudian menjadi Kaisar Kemala, para pembaca yang kritis akan bertanya, berarti sebelum ada penguasa di Surga terdapat penguasa kahyangan yang sebelumnya? Kaisar Kemala sendiri suatu saat nanti akan digantikan oleh  Sang Fajar Kemala Surgawi dari Pintu Emas (金闕玉晨天尊, Jīn Què Yù Chén Tiān Zūn). Dalam kisah Sakka sang raja dewa – seperti yang dikisahkan pula dalam beberapa cerita Jataka – jika seorang raja dewa yang berkuasa mangkat, maka dia juga akan digantikan oleh Sakka yang berikutnya. Padahal kita dari kecil sudah dicekoki oleh doktrin bahwa Tuhan itu adalah kekal, tidak berawal, dan juga tidak berakhir?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan meninjau Konsep Trinitas dalam ajaran Agama Tao. Tiga Yang Suci atau  三清 dibaca Sānqīng, merupakan tiga dewa tertinggi dalam ajaran Tao. Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuán Shǐ Tīan Zūn; adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci. Yuán Shǐ Tīan Zūn sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia bukanlah pribadi, walaupun merupakan representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Líng Bǎo Tiānzūn. Sedangkan yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dào Dé Tiān Zūn, atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tài Shàng Lǎo Jūn, yakni 'Tuan Penatua Tertinggi'. Kaisar Agung Giok atau Kaisar Kemala adalah salah satu representasi dewa pertama. Dalam teologi Taois dia adalah asisten Yuán Shǐ Tīan Zūn, yang merupakan salah satu dari Tiga Yang Suci, tiga emanasi primordial Dào. Anda, para pembaca, bisa menyimak kembali tulisan penulis sebelumnya yang berjudul: 'Trinitas'.

 

Dalam perwujudan seni khas Tiongkok, Kaisar Kemala paling sering digambarkan sebagai pria setengah baya berambut panjang dan berkumis. Dia divisualisasikan sedang duduk di atas singgasana dengan mengenakan kostum kekaisaran lengkap – jubah panjang bersulam naga dan topi dengan tiga-belas jumbai yang dirangkai mutiara – dan di tangannya dia memegang sebuah tablet seremonial kekaisaran.

 

Namun di tempat pemujaan berupa kuil atau bio yang ada di mancanegara dan juga di Indonesia, biasanya tidak terdapat gambar atau arca Kaisar Kemala. Pengelola kuil biasanya hanya menyediakan sebuah pedupaan besar di halaman depan yang lapang, hingga orang bisa bersembahyang menghadap langit terbuka. Pedupaan ini berbentuk guci besar berkaki tiga, dan dinamakan Tiān Gōng Lú (天公爐) atau orang Hokkian menyebutnya sebagai Hiolo Thi-Kong. Pada saat melakukan persembahyangan di Kuil, pertama kali umat berdoa kepada Thi-Kong dengan membakar dupa dan menancapkannya di hiolo tersebut, dilanjutkan dengan melakukan persembahan kepada para dewata lainnya. Pemujaan Yù Huáng Dà Dì mulai popular di kuil-kuil di Daratan Tiongkok, setelah Kaisar Zhēnzōng memerintahkan rakyatnya untuk menyembah Penguasa Surga, dengan menetapkan Kaisar Kemala sebagai dewa yang disponsori oleh negara.

 

Hari ulang tahun Kaisar Kemala dilangsungkan pada hari kesembilan bulan pertama menurut Kalender Tionghoa. Pada hari besar itu kuil-kuil Tao mengadakan upacara Bài Tiān Gōng (拜天公), yang secara harafiah diterjemahkan sebagai 'Menyembah Kakek Surga'. Para biarawan dan umat melakukan puja-bakti, membakar dupa, dan mempersembahkan makanan. Jika dirunut upacara ini mulanya bersumber dari 'Pemujaan Alam Semesta' atau sembahyang kepada Sang Pencipta Alam. Dalam pandangan nenek moyang orang Tionghoa, alam semesta terdiri atas Tiga Alam, yaitu Langit atau Tiān, Bumi (, Dì), dan Air (水, Shuǐ), dengan masing-masing memiliki penguasanya sendiri-sendiri. Baru sejak diterbitkannya maklumat oleh Kaisar Zhēnzōng, 'Pemujaan Alam Semesta' digabungkan menjadi satu, yakni pemujaan kepada Maha Dewa yang paling tinggi kedudukannya di seluruh alam semesta, Yù Huáng Dà Dì.

 

Salah satu ritual pemujaan terhadap Kaisar Kemala yang belakangan dijadikan tradisi oleh orang Tionghoa adalah sembahyang King Thi-Kong atau Jìng Tiān Gōng (敬天公). Perayaan ini digelar dalam suasana perayaan Tahun Baru Imlek yang secara tradisional berlangsung selama 15 hari. Sembahyang King Thi-Kong diadakan pada hari kesembilan bulan ke satu, disebut pula sebagai Tahun Barunya orang Hokkian. Konon dikisahkan bahwa sembahyang ini mulai popular sejak pertengahan abad ke-17, yakni pada awal berdirinya Dinasti Qīng (1636-1912 M), ketika sisa-sisa bala tentara Hokkian yang masih setia kepada Dinasti Míng bertahan habis-habisan melawan gempuran pasukan Dinasti Qīng. Persembahyangan King Thi-Kong ini dikenal pula dengan sebutan 'Sembahyang Tebu', dan sekarang bukan hanya dilakukan oleh orang Hokkian saja, tapi sudah menyebar ke suku-suku Tionghoa lainnya. Untuk melakukan upacara ini diperlukan sebuah meja-sembahyang yang ditinggikan, yang diletakkan di depan rumah. Sepasang rumpun tebu diikatkan di sisi kiri dan kanan meja, disertai persembahan sepasang lilin merah ukuran besar. Seperti yang dilakukan pada sesajian sembahyang leluhur, disediakan pula aneka kue, sayuran, dan kertas-uang. Seluruh anggota keluarga wajib bersembahyang dengan takzim, dengan cara berlutut tiga kali dan menyentuhkan kepala ke tanah sebanyak sembilan kali di hadapan altar. Upacara ini diselenggarakan menjelang tengah-malam tanggal 8 hingga memasuki dinihari tanggal 9 bulan pertama.

 

Demikian sekilas pemujaan masyarakat Tionghoa terhadap sosok yang dinamakan Tuhan atau Tiān, yang berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh umat agama lain. Selain itu Kaisar Kemala yang berkuasa di Istana Langit memiliki mesin birokrasi sendiri, yang tidak dikenal dalam kepercayaan mana pun. Kita akan membahas Kekaisaran Langit ini dalam tulisan yang berikutnya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221130



Tidak ada komentar:

Posting Komentar