Jika kita mempelajari sejarah peradaban manusia, kita tahu bahwa
manusia purba hidup secara berkelompok di alam bebas. Lama-kelamaan dengan
berkembangnya peradaban, manusia tinggal di dusun-dusun, kemudian belakangan
mereka mulai mendiami kota-kota. Mirip dengan kepercayaan Yunani Kuno,
orang Tionghoa mempercayai keberadaan dewa-dewa penjaga, yang mengawasi
masing-masing kota. Dewa lokal atau dewa kota yang dikenal dalam masyarakat
Tiongkok dinamakan Chéng Huáng Yé (城隍爺). Secara
harfiah Chéng (城)
adalah tembok yang mengelilingi kota dan Huáng (隍)
tidak lain parit kering di luar tembok; Yé (爺)
adalah kakek atau tuan terhormat. Chéng Huáng Yé secara keseluruhan
memiliki arti 'Kakek Pelindung Kota'.
Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, mengapa dewa kota menjaga
parit dan tembok? Kita harus melihat apa yang dilakukan oleh nenek moyang
bangsa Tionghoa sewaktu mereka memutuskan untuk bertempat tinggal di sebuah
dusun. Di zaman itu manusia hidup berkelompok dengan membangun rumah-rumah di
satu lokasi tertentu. Untuk melindungi diri dari ancaman binatang buas atau
pencuri yang akan mengambil harta benda, mereka membangun tembok yang kokoh dan
tinggi, agar para pengganggu tidak bisa menerobos masuk. Di bagian depan
pemukiman itu mereka membangun sebuah pintu gerbang, yang selalu dikunci atau
dijaga oleh seorang petugas. Lama kelamaan ukuran dusun bertambah besar, atau
dusun menjelma menjadi sebuah kota. Tembok tinggi dan kokoh tidak memadai lagi,
apalagi saat seorang penguasa atau raja berkuasa di dalam kota. Kota perlu
dilengkapi dengan para penjaga yang bersenjata. Para penjaga ini secara berkala
berpatroli di bagian dalam tembok, untuk memastikan tidak ada penyusup yang
bisa masuk. Guna memudahkan pengawasan mereka membangun parit yang lebar di
sekeliling tembok bagian luar. Parit ini bisa berisi air, atau dibiarkan kering
begitu saja. Anda yang pernah mengunjungi kastil di Eropa mungkin pernah
melihat bahwa kastil dikelilingi dinding tinggi dan ada parit lebar di
depannya. Di beberapa bagian tembok sisi dalam ditempatkan pos-pos pengintaian.
Demikianlah gambaran kota di zaman kuno, yang amat berbeda dengan kota-kota
yang kita huni kini. Inilah asal muasal dewa yang bertugas melindungi kota,
yang mana mereka sedianya bertugas di parit dan tembok yang membentengi kota.
Dewa Kota adalah dewa lokal yang sehari-harinya bertugas di kota
itu, dan dia tunduk serta bertanggung jawab kepada Sang Kaisar Kemala. Sama
halnya dengan pejabat daerah di satu kota yang mendapat kepercayaan langsung
dari Kaisar Tiongkok, demikian juga kedudukan sesosok dewa kota. Dengan
demikian dunia para dewa serupa dengan dunia manusia. Berdasarkan logika
seperti itu, dewa kota pun memiliki istananya sendiri. Istana itu berbentuk
kuil dewa kota, dan di banyak kota di Negara Tiongkok didirikan kuil
khusus untuk menyembah Chéng Huáng Yé.
Di kuil yang didirikan oleh warga kota untuk menyembah Chéng Huáng
Yé, selain ada patung atau rupang yang menggambarkan dewa kota tersebut,
kerap ada arca dewa lainnya yang menjadi pujaan penduduk kota itu. Misalnya di
sana ada patung Dewa Guān Yǔ dan Dewi Māzǔ. Dalam pemahaman masyarakat di sana
mereka tahu bahwa Dewa Guān Yǔ (atau Koan Kong) dan Dewi Māzǔ berkedudukan di
istana Kaisar Langit, bukan di kota atau distrik mereka. Namun demi memudahkan
mereka menyembah keduanya, mereka dapat bersembahyang dan mempersembahkan dupa
di kuil yang sama. Namun masyarakat di sana pun tahu bahwa hanya ada satu dewa
utama yang menjadi pengayom dan pelindung kota tersebut.
Dewa Kota menurut pengertian masyarakat Tionghoa bukanlah sosok
dewa yang sama, karena setiap sosok dewa kota ganti-bertugas setiap tiga tahun
sekali. Kurun waktu ini sama seperti seorang penguasa-kota, yang berganti
jabatan setiap tiga tahun. Baik penguasa-kota maupun dewa kota memegang
kekuasaan atas wilayah administratif yang sama. Penguasa-kota menangani
urusan-urusan duniawi, sedangkan dewa kota mengurus hal-hal gaib. Penguasa-kota
memberikan penghormatan formal kepada Chéng Huáng Yé dan menyembahnya. Dia pun
mengharapkan bantuan supranatural dari Dewa Kota selama terjadi krisis yang
bersumber pada kekuatan di luar wilayah kekuasaannya; seperti saat kota menghadapi
kekeringan, banjir, atau bencana alam lainnya. Di antara tugas lainnya, dewa
kota juga memiliki tanggung jawab untuk mengirim jiwa orang mati – yang
meninggal dunia di wilayahnya – ke Dunia Bawah. Jika sosok dewa kota selalu
mengalami pergantian secara periodik, siapa gerangan yang dapat menjadi dewa
kota? Dewa kota biasanya berasal dari inkarnasi seorang manusia saleh, yang
pernah menjadi pejabat di masa lampau.
Masyarakat
dari perkotaan dan pedesaan
sekitarnya yang pergi ke kuil dan bersembahyang kepada Chéng Huáng Yé, boleh mengajukan permintaan khusus seperti memohon agar menjadi orang kaya, meminta
jodoh, atau segera diberikan keturunan.
Permintaan yang paling umum tidak lain agar mereka diberikan kesehatan dan keselamatan. Hari ulang tahun Chéng
Huáng Yé dirayakan masyarakat perkotaan secara megah dan
biasanya mampu mendatangkan kehadiran banyak orang. Pada saat istimewa
itu diadakan pertunjukan teater drama, basar makanan
dan minuman, pertunjukan
petasan dan kembang api, pagelaran barongsai, serta kemeriahan masal yang ditunjukkan dengan asap dupa yang pekat di
kuil. Pada perayaan tersebut juga
diadakan upacara mengusung arca Chéng Huáng Yé ke jalan-jalan di sekitar kuil, dengan
tema "Chéng Huáng Yé sedang menginspeksi rakyatnya."
Orang biasa selain menjalin hubungan
dengan dewa kota, juga berkomunikasi dengan dewa-dewi lainnya secara personal.
Mereka berinteraksi dengan berbagai cara, dan di Ranah Bumi dewa-dewi yang ada
di sana cukup banyak. Makhluk surgawi ini antara lain berwujud
dewa bumi, dewa rejeki, dan dewa dapur.
Dewa penting lainnya dari Wilayah Bumi adalah Dewa Bumi atau Tǔdì Gōng (土地公)yang
bermakna "Penguasa Lahan dan Tanah" atau Thó-tī-kong
(Hokkian). Dewa Bumi dinamakan pula Tǔdì Shén (土地神 atau 'Dewa
Tanah'), yang merupakan dewa pelindung suatu wilayah dan komunitas manusia di
dalamnya. Dewa Bumi adalah bawahan Dewa
Kota. Setiap dusun memiliki dewa buminya sendiri-sendiri, demikian pula setiap
lingkungan bahkan keluarga terpandang memiliki dewa bumi masing-masing.
Contoh paling jelas peran Tǔdì Gōng sebagai penguasa tanah atau lahan kerap
kita temukan di lokasi kuburan cina. Di samping makam leluhur orang Tionghoa
kita sering melihat bangunan rumah-rumahan kecil, tempat kita mempersembahkan
lilin, dupa, teh, dan manisan kepada dewa bumi. Pada bagian atas altar ditulis
aksara Fú Shén (福神) atau Hòu Tǔ (后土). Pada saat
perayaan Ceng Beng, Anda diwajibkan untuk bersembahyang kepada Dewa Bumi
terlebih dahulu, sebagai penghormatan dan memohon izin Beliau. Baru setelah
selesai ritual ini, Anda boleh melakukan puja bakti kepada para leluhur. Tǔdì
Gōng yang berkuasa di kuburan berfungsi sebagai pelindung untuk mengusir
roh-roh jahat, yang mungkin mengganggu arwah leluhur yang dimakamkan di sana.
Karena dewa bumi ini dipercaya orang sebagai penguasa tanah, altar untuk
Tǔdì Gōng selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah. Di pedesaan, dia
terkadang didampingi isterinya, Tǔdì Pó (土地婆,'Nenek Lahan dan Tanah'), yang ditempatkan
di sebelahnya di atas altar. Tǔdì Pó dapat dipandang sebagai dewi yang
adil dan baik hati pada peringkat yang sama dengan suaminya, atau sebagai
wanita tua yang enggan menahan berkah dari suaminya. Dewa bumi konon merupakan golongan yang paling rendah
dalam 'Tata Birokrasi Kerajaan Langit', tetapi dewa bumi hidup berdampingan dan
paling dekat dengan manusia, dibandingkan kelompok dewa lainnya.
Tǔdì Gōng sering dikacaukan dengan Dà Bógōng (大伯公). Dà
Bógōng disebut oleh etnis Hakka
sebagai Thai-Phak-Kung, sedangkan orang Hokkian menamakannya Tōa-Peh-Kong, atau
diindonesiakan sebagai Tepekong. Dà Bógōng sebenarnya adalah sosok dewa
dalam jajaran agama rakyat Tionghoa Peranakan di Malaysia, Singapura, dan
sebagian Indonesia. Dia dikenal sebagai Dewa Air yang dipuja semenjak
zaman Dinasti Sòng oleh
para pelaut, demi mendapatkan keselamatan dalam pelayaran mereka. Para imigran
Tionghoa yang bekerja di perkebunan lada di Semenanjung Malaya mulai memujanya
pada awal abad ke-19. Diyakini bahwa keberadaan Dà Bógōng di Penang dimulai
sekitar 40 tahun sebelum kedatangan Kapten Francis Light, tepatnya pada tahun
1746 (Francis Light adalah orang Inggris yang pada tahun 1786 mendirikan
Penang).
Salah kaprah penyebutan ini sering terjadi dalam percakapan sehari-hari.
Misalnya: "saya hendak pergi ke bio untuk minta berkah pada Tepekong,"
padahal maksudnya: "saya akan pergi ke bio untuk bersembahyang dan
memohon kepada Dewa / Dewi." Contoh lainnya: "rangkaian ritual Tahun
Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya gotong tepekong", seharusnya:
"rangkaian ritual Tahun Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya arak-arakan
arca dewa-dewi di atas tandu"
Seperti yang dikatakan di atas ciri utama dari Tǔdì Gōng adalah batasan
yurisdiksinya yang mengacu pada satu tempat, misalnya, jembatan, jalan, kuil,
bangunan umum, rumah pribadi, atau lapangan. Tetapi Tǔdì Gōng mana pun tunduk
pada atasannya, yakni Chéng Huáng Yé. Dalam lingkup rumah pribadi, Tǔdì Gōng
sering diidentikkan dengan dewa kekayaan atau dewa rejeki. Dewa
Kekayaan atau Cái Shén (財神) atau 財神爺 (Cái Shén Yé) atau Cai Sin Ya (Hokkian), adalah dewa yang menguasai kekayaan, harta, atau
rezeki dalam kepercayaan orang Tionghoa. Altar untuknya, selain terdapat di
kuil-kuil, juga dipuja dalam lingkungan rumah tangga. Dewa Kekayaan sangat
banyak macamnya, yang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar, Di Tiongkok
Kuno, kalangan pedagang percaya bahwa Dewa Kekayaan adalah dewa yang bisa
memberikan mereka keuntungan ribuan kali lipat, membuat orang menjadi sangat
kaya, atau membuat usaha mereka tidak merugi. Atas dasar kepercayaan tersebut,
mereka akan menempelkan gambar dewa atau meletakkan arcanya di ruangan toko,
memujanya, dan melengkapinya dengan sebuah altar persembahan.
Terakhir, dalam Ranah Bumi ini ada dewa-dewi yang sangat akrab dengan
manusia, baik dari segi kedekatan maupun pola hidupnya. Dewa ini dikenal
sebagai Dewa Dapur. Zào Jūn (灶君) atau Tuan Dapur atau Chàu-kun (Hokkian);
biasa pula dipanggil sebagai Zào Shén (灶神) atau Dewa Dapur atau
Chàu-sîn (Hokkian). Sering pula dipanggil sebagai Zào Jūn Gōng (灶君公) atau Chàu-kun-kong (Hokkian). Dewa Dapur terkadang disebut sebagai Dewa Tungku, dan
ini menunjukkan pentingnya dewa ini bagi kehidupan keluarga, karena dapur atau
tungku dianggap mewakili kesatuan keluarga. Setiap keluarga memiliki dewa
dapurnya sendiri, yang dianggap sebagai wali keluarga tersebut. Dewa dapur
adalah perantara utama dalam sebuah keluarga dengan dewa-dewa penting lainnya.
Dewa dapur dulunya berasal dari manusia biasa, yang kemudian ber-reinkarnasi
menjadi dewa. Meskipun ada beberapa versi, penulis memilih satu kisah yang
paling populer, yang berasal dari sekitar abad ke-2 seb.M. Zào Jūn awalnya
adalah manusia fana yang hidup di bumi dan dia bernama Zhang Lang. Setelah
cukup umur dia menikah dengan wanita yang berbudi luhur. Tetapi Zhang tidak
setia dalam perkawinannya, malahan belakangan dia jatuh cinta dan berselingkuh
dengan seorang wanita yang lebih muda. Dia lalu meninggalkan isterinya untuk
hidup bersama dengan wanita itu. Sebagai hukuman atas ketidaksetiaan dan
tindakan perzinahan ini, Surga membalasnya dan Zhang Lang menemui nasib buruknya.
Dia belakangan menjadi buta, dan kekasih mudanya meninggalkan dia. Dalam
kemalangannya dia hidup terlunta-lunta, sampai dia terpaksa mengemis untuk
menghidupi dirinya sendiri.
Suatu ketika, saat mengemis sedekah, Zhang kebetulan melintasi rumah mantan
isterinya. Menjadi buta, dia tidak sadar siapa yang ada di hadapannya. Terlepas
dari perlakuan buruk yang pernah dialaminya, sang mantan isteri alih-alih
mendendam, dia malahan mengasihani Zhang dan mengundangnya masuk. Dia lalu
memasak makanan yang luar biasa untuk mantan suaminya, dan merawatnya dengan
penuh kasih sayang. Zhang kemudian menceritakan kisah hidupnya kepadanya. Saat
itulah Zhang Lang diliputi rasa bersalah, dan dia menangis sejadi-jadinya
menyesali perbuatan buruknya. Setelah mendengar dia meminta maaf, mantan isteri
Zhang menyuruhnya untuk membuka matanya, dan mendadak penglihatan Zhang pulih
kembali. Menyadari bahwa mantan isterinya yang tanpa pamrih telah menolong
dirinya hingga dia dapat melihat kembali, Zhang merasa sangat malu. Dia dengan
tergesa-gesa melarikan diri dan melemparkan tubuhnya ke tungku dapur, tidak
menyadari bahwa perapian itu masih menyala. Mantan isterinya berusaha
menyelamatkannya, tetapi yang berhasil dia selamatkan hanyalah salah satu
kakinya.
Wanita yang berbakti itu kemudian membuat sebuah meja-pemujaan untuk mantan
suaminya di atas tungku, yang mempelopori interaksi Zào Jūn dengan tungku di
rumah-rumah orang Tionghoa. Sampai hari ini, sekop-api terkadang disebut
sebagai 'Kaki Zhang Lang'.
Dewa Dapur sering digambarkan sendirian atau bersama isterinya.
Replika-kertas-dewa ditempelkan di tempat pemujaan di atas tungku keluarga.
Diyakini oleh masyarakat Tionghoa bahwa setahun sekali, tepat seminggu sebelum Tahun
Baru Imlek, Dewa Dapur akan pergi ke Surga untuk melaporkan segala kegiatan
keluarga sepanjang tahun itu, kepada Kaisar Kemala. Keluarga si empunya tungku "mengutus"
Dewa Dapurnya ke Surga dengan cara menurunkan replika-kertas-dewa dari tempat
pemujaan, lalu melengkapinya dengan topi, sepatu, dan surat jalan – semuanya
terbuat dari kertas – agar sang dewa tak menemui hambatan selama melakukan
perjalanannya. Setelah itu baru replika-kertas-dewa dan perlengkapan lainnya dibakar,
serta sejumlah petasan turut dinyalakan agar sang dewa buru-buru berangkat. Tetapi
untuk memastikan agar Sang Dewa Dapur melaporkan hal yang baik-baik saja di hadapan
Kaisar Langit, sedikit madu akan dioleskan pada bibir dewa-kertas, sehingga dia
hanya akan mengatakan hal-hal yang manis saja kepada Sang Kaisar (atau agar
madu itu membuat lengket bibirnya dan mencegahnya membuka mulut, jadi tidak ada
kabar buruk yang bisa disampaikannya).
Dari sini muncul kepercayaan bahwa Sang Kaisar Langit akan
mengganjar perbuatan keluarga itu berdasarkan laporan Dewa Dapurnya. Jika
laporannya bagus, Kaisar akan memberikan pahala kepada keluarga tersebut, namun
jika laporannya buruk Penguasa Surga itu akan menjatuhkan hukumannya. Pada hari
keempat di tahun yang baru, Sang Dewa Dapur kembali ke keluarga tersebut, dan
replika-kertas-dewa yang baru ditempel kembali di tempat pemujaannya. Barang
persembahan dan dupa dipersembahkan kembali untuk menyambut Sang Dewa yang baru
pulang dari Surga, dan siklus itu pun berulang kembali.
Rumah tradisional Tionghoa mencerminkan kepercayaan penghuninya dalam
sistem keagamaan yang kompleks. Sebagian besar penduduknya, terutama yang
tinggal di Tiongkok Selatan, memiliki altar rumah tangga Penguasa Bumi atau Tǔdì
Gōng di lantai di sisi luar pintu, kemudian meja altar untuk Pejabat Surgawi di
atasnya, serta tempat untuk pemujaan Zào Jūn di atas tungku. Dewa Kekayaan mungkin
berada di aula depan rumah. Tetapi titik fokus kehidupan religius di hampir
setiap rumah orang Tionghoa ada di altar leluhur, yang terletak di ruang utama.
sdjn/dharmaprimapustaka/221214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar