Rabu, 14 Desember 2022

DEWA KOTA, DEWA BUMI, DAN DEWA DAPUR




Pada artikel yang lalu kita telah membahas Kaisar Langit atau Kaisar Kemala, atau Yù Huáng Dà Dì, sebagai sosok Tuhan dalam agama orang Tionghoa, dan dia adalah penguasa puncak alam semesta. Alam semesta menurut kepercayaan kosmologi Tiongkok Kuno terdiri dari tiga ranah (atau domain), yakni Surga, Bumi, dan Dunia Bawah. Setiap ranah dikuasai dan diperintah oleh sejumlah besar dewa dan dewi. Ranah Surgawi diperintah oleh Kaisar Kemala sendiri, yang memimpin kerajaan langit dengan dibantu oleh sejumlah dewa-dewi utama. Sedangkan di Bumi diperintah oleh dewa-dewa lokal, yang merupakan perwakilan kekuasaan Kaisar Langit. Di dunia-bawah pengelolaannya dipercayakan kepada Dewa Yama, yang dibantu oleh sepuluh Raja-Kematian. Khusus untuk dunia-bawah para pembaca bisa melihat kembali artikel kami yang lalu, yang berjudul "Dunia Bawah."

 

Jika kita mempelajari sejarah peradaban manusia, kita tahu bahwa manusia purba hidup secara berkelompok di alam bebas. Lama-kelamaan dengan berkembangnya peradaban, manusia tinggal di dusun-dusun, kemudian belakangan mereka mulai mendiami kota-kota. Mirip dengan kepercayaan Yunani Kuno, orang Tionghoa mempercayai keberadaan dewa-dewa penjaga, yang mengawasi masing-masing kota. Dewa lokal atau dewa kota yang dikenal dalam masyarakat Tiongkok dinamakan Chéng Huáng Yé (城隍爺). Secara harfiah Chéng (城) adalah tembok yang mengelilingi kota dan Huáng (隍) tidak lain parit kering di luar tembok; Yé (爺) adalah kakek atau tuan terhormat. Chéng Huáng Yé secara keseluruhan memiliki arti 'Kakek Pelindung Kota'.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, mengapa dewa kota menjaga parit dan tembok? Kita harus melihat apa yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Tionghoa sewaktu mereka memutuskan untuk bertempat tinggal di sebuah dusun. Di zaman itu manusia hidup berkelompok dengan membangun rumah-rumah di satu lokasi tertentu. Untuk melindungi diri dari ancaman binatang buas atau pencuri yang akan mengambil harta benda, mereka membangun tembok yang kokoh dan tinggi, agar para pengganggu tidak bisa menerobos masuk. Di bagian depan pemukiman itu mereka membangun sebuah pintu gerbang, yang selalu dikunci atau dijaga oleh seorang petugas. Lama kelamaan ukuran dusun bertambah besar, atau dusun menjelma menjadi sebuah kota. Tembok tinggi dan kokoh tidak memadai lagi, apalagi saat seorang penguasa atau raja berkuasa di dalam kota. Kota perlu dilengkapi dengan para penjaga yang bersenjata. Para penjaga ini secara berkala berpatroli di bagian dalam tembok, untuk memastikan tidak ada penyusup yang bisa masuk. Guna memudahkan pengawasan mereka membangun parit yang lebar di sekeliling tembok bagian luar. Parit ini bisa berisi air, atau dibiarkan kering begitu saja. Anda yang pernah mengunjungi kastil di Eropa mungkin pernah melihat bahwa kastil dikelilingi dinding tinggi dan ada parit lebar di depannya. Di beberapa bagian tembok sisi dalam ditempatkan pos-pos pengintaian. Demikianlah gambaran kota di zaman kuno, yang amat berbeda dengan kota-kota yang kita huni kini. Inilah asal muasal dewa yang bertugas melindungi kota, yang mana mereka sedianya bertugas di parit dan tembok yang membentengi kota.

 

Dewa Kota adalah dewa lokal yang sehari-harinya bertugas di kota itu, dan dia tunduk serta bertanggung jawab kepada Sang Kaisar Kemala. Sama halnya dengan pejabat daerah di satu kota yang mendapat kepercayaan langsung dari Kaisar Tiongkok, demikian juga kedudukan sesosok dewa kota. Dengan demikian dunia para dewa serupa dengan dunia manusia. Berdasarkan logika seperti itu, dewa kota pun memiliki istananya sendiri. Istana itu berbentuk kuil dewa kota, dan di banyak kota di Negara Tiongkok didirikan kuil khusus untuk menyembah Chéng Huáng Yé.

 

Di kuil yang didirikan oleh warga kota untuk menyembah Chéng Huáng Yé, selain ada patung atau rupang yang menggambarkan dewa kota tersebut, kerap ada arca dewa lainnya yang menjadi pujaan penduduk kota itu. Misalnya di sana ada patung Dewa Guān Yǔ dan Dewi Māzǔ. Dalam pemahaman masyarakat di sana mereka tahu bahwa Dewa Guān Yǔ (atau Koan Kong) dan Dewi Māzǔ berkedudukan di istana Kaisar Langit, bukan di kota atau distrik mereka. Namun demi memudahkan mereka menyembah keduanya, mereka dapat bersembahyang dan mempersembahkan dupa di kuil yang sama. Namun masyarakat di sana pun tahu bahwa hanya ada satu dewa utama yang menjadi pengayom dan pelindung kota tersebut.

 

Dewa Kota menurut pengertian masyarakat Tionghoa bukanlah sosok dewa yang sama, karena setiap sosok dewa kota ganti-bertugas setiap tiga tahun sekali. Kurun waktu ini sama seperti seorang penguasa-kota, yang berganti jabatan setiap tiga tahun. Baik penguasa-kota maupun dewa kota memegang kekuasaan atas wilayah administratif yang sama. Penguasa-kota menangani urusan-urusan duniawi, sedangkan dewa kota mengurus hal-hal gaib. Penguasa-kota memberikan penghormatan formal kepada Chéng Huáng Yé dan menyembahnya. Dia pun mengharapkan bantuan supranatural dari Dewa Kota selama terjadi krisis yang bersumber pada kekuatan di luar wilayah kekuasaannya; seperti saat kota menghadapi kekeringan, banjir, atau bencana alam lainnya. Di antara tugas lainnya, dewa kota juga memiliki tanggung jawab untuk mengirim jiwa orang mati – yang meninggal dunia di wilayahnya – ke Dunia Bawah. Jika sosok dewa kota selalu mengalami pergantian secara periodik, siapa gerangan yang dapat menjadi dewa kota? Dewa kota biasanya berasal dari inkarnasi seorang manusia saleh, yang pernah menjadi pejabat di masa lampau.

 

Masyarakat dari perkotaan dan pedesaan sekitarnya yang pergi ke kuil dan bersembahyang kepada Chéng Huáng , boleh mengajukan permintaan khusus seperti memohon agar menjadi orang kaya, meminta jodoh, atau segera diberikan keturunan. Permintaan yang paling umum tidak lain agar mereka diberikan kesehatan dan keselamatan. Hari ulang tahun Chéng Huáng dirayakan masyarakat perkotaan secara megah dan biasanya mampu mendatangkan kehadiran banyak orang. Pada saat istimewa itu diadakan pertunjukan teater drama, basar makanan dan minuman, pertunjukan petasan dan kembang api, pagelaran barongsai, serta kemeriahan masal yang ditunjukkan dengan asap dupa yang pekat di kuil. Pada perayaan tersebut juga diadakan upacara mengusung arca Chéng Huáng Yé ke jalan-jalan di sekitar kuil, dengan tema "Chéng Huáng Yé sedang menginspeksi rakyatnya."

 

Orang biasa selain menjalin hubungan dengan dewa kota, juga berkomunikasi dengan dewa-dewi lainnya secara personal. Mereka berinteraksi dengan berbagai cara, dan di Ranah Bumi dewa-dewi yang ada di sana cukup banyak. Makhluk surgawi ini antara lain berwujud dewa bumi, dewa rejeki, dan dewa dapur.

 

Dewa penting lainnya dari Wilayah Bumi adalah Dewa Bumi atau Tǔdì Gōng (土地公)yang bermakna "Penguasa Lahan dan Tanah" atau Thó-tī-kong (Hokkian). Dewa Bumi dinamakan pula Tǔdì Shén (土地神 atau 'Dewa Tanah'), yang merupakan dewa pelindung suatu wilayah dan komunitas manusia di dalamnya. Dewa Bumi adalah bawahan Dewa Kota. Setiap dusun memiliki dewa buminya sendiri-sendiri, demikian pula setiap lingkungan bahkan keluarga terpandang memiliki dewa bumi masing-masing.

 

Contoh paling jelas peran Tǔdì Gōng sebagai penguasa tanah atau lahan kerap kita temukan di lokasi kuburan cina. Di samping makam leluhur orang Tionghoa kita sering melihat bangunan rumah-rumahan kecil, tempat kita mempersembahkan lilin, dupa, teh, dan manisan kepada dewa bumi. Pada bagian atas altar ditulis aksara Fú Shén (福神) atau Hòu Tǔ (后土). Pada saat perayaan Ceng Beng, Anda diwajibkan untuk bersembahyang kepada Dewa Bumi terlebih dahulu, sebagai penghormatan dan memohon izin Beliau. Baru setelah selesai ritual ini, Anda boleh melakukan puja bakti kepada para leluhur. Tǔdì Gōng yang berkuasa di kuburan berfungsi sebagai pelindung untuk mengusir roh-roh jahat, yang mungkin mengganggu arwah leluhur yang dimakamkan di sana.

 

Karena dewa bumi ini dipercaya orang sebagai penguasa tanah, altar untuk Tǔdì Gōng selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah. Di pedesaan, dia terkadang didampingi isterinya, Tǔdì Pó (土地婆,'Nenek Lahan dan Tanah'), yang ditempatkan di sebelahnya di atas altar. Tǔdì Pó dapat dipandang sebagai dewi yang adil dan baik hati pada peringkat yang sama dengan suaminya, atau sebagai wanita tua yang enggan menahan berkah dari suaminya. Dewa bumi konon merupakan golongan yang paling rendah dalam 'Tata Birokrasi Kerajaan Langit', tetapi dewa bumi hidup berdampingan dan paling dekat dengan manusia, dibandingkan kelompok dewa lainnya.

 

Tǔdì Gōng sering dikacaukan dengan Dà Bógōng  (大伯公). Dà Bógōng disebut oleh etnis Hakka sebagai Thai-Phak-Kung, sedangkan orang Hokkian menamakannya Tōa-Peh-Kong, atau diindonesiakan sebagai Tepekong. Dà Bógōng sebenarnya adalah sosok dewa dalam jajaran agama rakyat Tionghoa Peranakan di Malaysia, Singapura, dan sebagian Indonesia. Dia dikenal sebagai Dewa Air yang dipuja semenjak zaman Dinasti Sòng oleh para pelaut, demi mendapatkan keselamatan dalam pelayaran mereka. Para imigran Tionghoa yang bekerja di perkebunan lada di Semenanjung Malaya mulai memujanya pada awal abad ke-19. Diyakini bahwa keberadaan Dà Bógōng di Penang dimulai sekitar 40 tahun sebelum kedatangan Kapten Francis Light, tepatnya pada tahun 1746 (Francis Light adalah orang Inggris yang pada tahun 1786 mendirikan Penang).

 

Salah kaprah penyebutan ini sering terjadi dalam percakapan sehari-hari. Misalnya: "saya hendak pergi ke bio untuk minta berkah pada Tepekong," padahal maksudnya: "saya akan pergi ke bio untuk bersembahyang dan memohon kepada Dewa / Dewi." Contoh lainnya: "rangkaian ritual Tahun Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya gotong tepekong", seharusnya: "rangkaian ritual Tahun Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya arak-arakan arca dewa-dewi di atas tandu"

 

Seperti yang dikatakan di atas ciri utama dari Tǔdì Gōng adalah batasan yurisdiksinya yang mengacu pada satu tempat, misalnya, jembatan, jalan, kuil, bangunan umum, rumah pribadi, atau lapangan. Tetapi Tǔdì Gōng mana pun tunduk pada atasannya, yakni Chéng Huáng Yé. Dalam lingkup rumah pribadi, Tǔdì Gōng sering diidentikkan dengan dewa kekayaan atau dewa rejeki. Dewa Kekayaan atau Cái Shén (財神) atau 財神爺 (Cái Shén Yé) atau Cai Sin Ya (Hokkian), adalah dewa yang menguasai kekayaan, harta, atau rezeki dalam kepercayaan orang Tionghoa. Altar untuknya, selain terdapat di kuil-kuil, juga dipuja dalam lingkungan rumah tangga. Dewa Kekayaan sangat banyak macamnya, yang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar, Di Tiongkok Kuno, kalangan pedagang percaya bahwa Dewa Kekayaan adalah dewa yang bisa memberikan mereka keuntungan ribuan kali lipat, membuat orang menjadi sangat kaya, atau membuat usaha mereka tidak merugi. Atas dasar kepercayaan tersebut, mereka akan menempelkan gambar dewa atau meletakkan arcanya di ruangan toko, memujanya, dan melengkapinya dengan sebuah altar persembahan.

 

Terakhir, dalam Ranah Bumi ini ada dewa-dewi yang sangat akrab dengan manusia, baik dari segi kedekatan maupun pola hidupnya. Dewa ini dikenal sebagai Dewa Dapur. Zào Jūn (灶君) atau Tuan Dapur atau Chàu-kun (Hokkian); biasa pula dipanggil sebagai Zào Shén (灶神) atau Dewa Dapur atau Chàu-sîn (Hokkian). Sering pula dipanggil sebagai Zào Jūn Gōng (灶君公) atau Chàu-kun-kong (Hokkian). Dewa Dapur terkadang disebut sebagai Dewa Tungku, dan ini menunjukkan pentingnya dewa ini bagi kehidupan keluarga, karena dapur atau tungku dianggap mewakili kesatuan keluarga. Setiap keluarga memiliki dewa dapurnya sendiri, yang dianggap sebagai wali keluarga tersebut. Dewa dapur adalah perantara utama dalam sebuah keluarga dengan dewa-dewa penting lainnya.

 

Dewa dapur dulunya berasal dari manusia biasa, yang kemudian ber-reinkarnasi menjadi dewa. Meskipun ada beberapa versi, penulis memilih satu kisah yang paling populer, yang berasal dari sekitar abad ke-2 seb.M. Zào Jūn awalnya adalah manusia fana yang hidup di bumi dan dia bernama Zhang Lang. Setelah cukup umur dia menikah dengan wanita yang berbudi luhur. Tetapi Zhang tidak setia dalam perkawinannya, malahan belakangan dia jatuh cinta dan berselingkuh dengan seorang wanita yang lebih muda. Dia lalu meninggalkan isterinya untuk hidup bersama dengan wanita itu. Sebagai hukuman atas ketidaksetiaan dan tindakan perzinahan ini, Surga membalasnya dan Zhang Lang menemui nasib buruknya. Dia belakangan menjadi buta, dan kekasih mudanya meninggalkan dia. Dalam kemalangannya dia hidup terlunta-lunta, sampai dia terpaksa mengemis untuk menghidupi dirinya sendiri.

 

Suatu ketika, saat mengemis sedekah, Zhang kebetulan melintasi rumah mantan isterinya. Menjadi buta, dia tidak sadar siapa yang ada di hadapannya. Terlepas dari perlakuan buruk yang pernah dialaminya, sang mantan isteri alih-alih mendendam, dia malahan mengasihani Zhang dan mengundangnya masuk. Dia lalu memasak makanan yang luar biasa untuk mantan suaminya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Zhang kemudian menceritakan kisah hidupnya kepadanya. Saat itulah Zhang Lang diliputi rasa bersalah, dan dia menangis sejadi-jadinya menyesali perbuatan buruknya. Setelah mendengar dia meminta maaf, mantan isteri Zhang menyuruhnya untuk membuka matanya, dan mendadak penglihatan Zhang pulih kembali. Menyadari bahwa mantan isterinya yang tanpa pamrih telah menolong dirinya hingga dia dapat melihat kembali, Zhang merasa sangat malu. Dia dengan tergesa-gesa melarikan diri dan melemparkan tubuhnya ke tungku dapur, tidak menyadari bahwa perapian itu masih menyala. Mantan isterinya berusaha menyelamatkannya, tetapi yang berhasil dia selamatkan hanyalah salah satu kakinya.

 

Wanita yang berbakti itu kemudian membuat sebuah meja-pemujaan untuk mantan suaminya di atas tungku, yang mempelopori interaksi Zào Jūn dengan tungku di rumah-rumah orang Tionghoa. Sampai hari ini, sekop-api terkadang disebut sebagai 'Kaki Zhang Lang'.

 

Dewa Dapur sering digambarkan sendirian atau bersama isterinya. Replika-kertas-dewa ditempelkan di tempat pemujaan di atas tungku keluarga. Diyakini oleh masyarakat Tionghoa bahwa setahun sekali, tepat seminggu sebelum Tahun Baru Imlek, Dewa Dapur akan pergi ke Surga untuk melaporkan segala kegiatan keluarga sepanjang tahun itu, kepada Kaisar Kemala. Keluarga si empunya tungku "mengutus" Dewa Dapurnya ke Surga dengan cara menurunkan replika-kertas-dewa dari tempat pemujaan, lalu melengkapinya dengan topi, sepatu, dan surat jalan – semuanya terbuat dari kertas – agar sang dewa tak menemui hambatan selama melakukan perjalanannya. Setelah itu baru replika-kertas-dewa dan perlengkapan lainnya dibakar, serta sejumlah petasan turut dinyalakan agar sang dewa buru-buru berangkat. Tetapi untuk memastikan agar Sang Dewa Dapur melaporkan hal yang baik-baik saja di hadapan Kaisar Langit, sedikit madu akan dioleskan pada bibir dewa-kertas, sehingga dia hanya akan mengatakan hal-hal yang manis saja kepada Sang Kaisar (atau agar madu itu membuat lengket bibirnya dan mencegahnya membuka mulut, jadi tidak ada kabar buruk yang bisa disampaikannya).

 

Dari sini muncul kepercayaan bahwa Sang Kaisar Langit akan mengganjar perbuatan keluarga itu berdasarkan laporan Dewa Dapurnya. Jika laporannya bagus, Kaisar akan memberikan pahala kepada keluarga tersebut, namun jika laporannya buruk Penguasa Surga itu akan menjatuhkan hukumannya. Pada hari keempat di tahun yang baru, Sang Dewa Dapur kembali ke keluarga tersebut, dan replika-kertas-dewa yang baru ditempel kembali di tempat pemujaannya. Barang persembahan dan dupa dipersembahkan kembali untuk menyambut Sang Dewa yang baru pulang dari Surga, dan siklus itu pun berulang kembali.

 

Rumah tradisional Tionghoa mencerminkan kepercayaan penghuninya dalam sistem keagamaan yang kompleks. Sebagian besar penduduknya, terutama yang tinggal di Tiongkok Selatan, memiliki altar rumah tangga Penguasa Bumi atau Tǔdì Gōng di lantai di sisi luar pintu, kemudian meja altar untuk Pejabat Surgawi di atasnya, serta tempat untuk pemujaan Zào Jūn di atas tungku. Dewa Kekayaan mungkin berada di aula depan rumah. Tetapi titik fokus kehidupan religius di hampir setiap rumah orang Tionghoa ada di altar leluhur, yang terletak di ruang utama.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221214


Tidak ada komentar:

Posting Komentar