"Aku sengsara karena judi; Aku melarat
karena judi; Banyak utangku karena judi; Judi yang membawaku mati. Mati akal
dan fikiranku; Tak dapat berfikir tenang; Anak istriku jadi korban; Menanggung
malu pada orang; Mungkinkah insaf terlambat?; Uang dan harta tertambat; Anak,
istriku melarat. Karena judi keparat; Ya Allah, aku bertobat; Tak akan perbuat
lagi." Inilah sebuah lirik lagu dangdut yang dinyanyikan dan dipopulerkan
oleh H. Rhoma Irama pada tahun 1987, yang berjudul "Karena Judi".
Lagu itu menurut pencipta dan penyanyinya sengaja diluncurkan, sebagai kritik
sosial terhadap kegilaan masyarakat terhadap judi yang semakin menjadi-jadi
yang berlangsung sejak akhir dekade 70-an.
Apa itu judi, atau gambling dalam sebutan bahasa Inggrisnya? Judi atau kerap dinamakan
"taruhan" adalah mempertaruhkan sesuatu yang bernilai, yang mengacu
pada satu peristiwa di masa depan dengan hasil yang tidak pasti, dengan tujuan
untuk memenangkannya. Sesuatu yang bernilai itu dinamakan "taruhannya".
Perjudian dengan demikian memiliki tiga unsur yang mutlak harus ada, yakni: (1)
pertimbangan atas harta milik sendiri yang bisa hilang, (2) peluang dan
sekaligus risikonya, dan (3) taruhannya atau hadiah yang bakal diperolehnya.
Contoh perjudian yang hasilnya bisa segera diketahui antara lain, melakukan
satu lemparan dadu, menjatuhkan sebuah bola pada piringan roulette, atau menjatuhkan pilihan nomor pada sekelompok penunggang
kuda yang sedang berlaga dalam sebuah arena pacuan.
Benda yang dipakai untuk dijadikan tebak-tebakan
adalah dadu. Dadu cukup dilempar dan setelah mendarat di lantai atau meja dapat
langsung diketahui angka berapa yang ditunjukkan. Dari penggalian arkeologi
didapatkan dadu yang paling tua diperkirakan berumur 8000 tahun, sedangkan dadu
pertama dibuat oleh orang Mesopotamia kira-kira tujuh ribu tahun yang lalu.
Mereka memodifikasi astragali dan
menjadikan wujudnya berbentuk kubus. Dadu pertama dipahat dan diukir dari batu,
gading gajah, atau tulang ikan paus; serta dimanfaatkan pertama kali oleh para
dukun atau paranormal untuk meramalkan masa depan. Sekitar tiga ribu tahun yang
lalu dadu mulai diperkenalkan ke Yunani, India, dan Tiongkok. Dadu modern
umumnya terbuat dari bahan plastik, dan hampir serupa dengan dadu pada zaman
kuno. Dengan adanya enam sisi pada sebuah dadu, masing-masing sisi ditulisi
dengan angka 1 hingga angka 6. Sisi angka 1 biasanya berhadapan dengan sisi
angka 6, sisi angka 2 dengan angka 5, dan sisi angka 3 dengan angka 4.
Permainan judi dengan melemparkan dadu dan
menebak angka yang akan ke luar adalah bentuk taruhan yang sudah berusia ribuan
tahun. Dengan melempar sebuah dadu ada peluang salah satu antara angka 1 sampai
angka 6 yang muncul. Untuk memperbanyak peluang, orang biasanya menggunakan dua
buah dadu sekaligus dalam satu kali lemparan, dan menjumlahkan dua angka yang
ditunjukkan oleh kedua dadu tersebut. Dalam kitab Mahabharata dikisahkan
Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu. Yudistira yang gemar main dadu
tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura. Duryodana
diwakili oleh Sangkuni sebagai bandar-dadu, yang memiliki kesaktian untuk
mengendalikan angka dadu yang ke luar sesuai dengan kehendaknya. Jelas
Yudistira yang lugu dapat diperdaya dengan mudah, yang pada kesempatan pertama
dia kalah dalam mempertaruhkan segala harta yang dimilikinya. Pada kesempatan
kedua kembali Yudistira kalah telak. Dia beserta empat saudara kandungnya
mendapatkan hukuman, yakni dibuang selama dua-belas tahun ke pengasingan.
Di zaman Sang Buddha permainan tebak-tebakan
dengan melempar dadu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat India. Dalam Brahmajāla Sutta yakni salah satu sutta
dalam Dīgha Nikāya disebutkan: "Atau dia akan berkata: 'Ketika beberapa
petapa dan brahmana yang terhormat, yang menjalani penghidupan dengan
mendapatkan makanan yang dipersembahkan oleh perumah tangga yang berbakti, mereka
masih saja melempar dadu (khalika)
untuk bermain tebak-tebakan demi kesenangan dan memanjakan dirinya.' Tetapi
petapa Gotama telah terbebas dari permainan dan hiburan semacam itu."
Permainan melempar dadu baik untuk mengisi
waktu luang atau pun berjudi lama kelamaan digantikan dengan permainan lain
yang lebih menarik. Penemuan Kartu Remi atau disebut pula playing cards, yang juga amat populer di Indonesia. Kartu Remi memiliki
empat seri kartu yang masing-masing terdiri dari 13 buah kartu dan dua kartu Joker. Dengan berbekal kartu Remi kita
bisa membuat 1001 permainan, yang bisa dimainkan sendirian, berdua, bertiga,
bahkan lebih dari empat orang. Setiap negara memiliki permainan tradisionalnya
masing-masing. Sebenarnya melemparkan dadu untuk menjalankan permainan
"Ular-tangga" atau memanfaatkan kartu Remi untuk main
"Bridge" guna mengisi waktu luang tentu boleh-boleh saja, tetapi
menggunakan keduanya untuk bertaruh dengan bertukar barang berharga atau uang,
itulah yang dikecam oleh agama dan dilarang oleh negara.
Jika taruhan itu melibatkan orang banyak maka
mesti dipilih satu cara yang membuat taruhan itu bisa diterima oleh para
peserta. Cara itu tidak lain menyelenggarakan lotere. Berbeda dengan taruhan
yang menggunakan lemparan dadu atau kartu Remi, lotere memiliki peluang menang
amat kecil tetapi hadiahnya sangat besar. Lho bagaimana ini, katanya judi
dilarang oleh negara tetapi bisa diselenggarakan? Begini kisahnya. Ada satu
masa ketika Indonesia membutuhkan dana besar untuk penyelenggaraan Pekan
Olahraga Nasional (PON) yang pada waktu itu akan digelar di tahun 1969. Dalam
keadaan keuangan yang cekak Pemda
Jawa Timur yang bertindak sebagai tuan rumah wajib membiayai pesta olahraga
itu, terpaksa mencari dana dari masyarakat. Caranya dengan menyelenggarakan
"Lotto" alias "Lotere Totalisator". Walaupun banyak
mendapat kritik "Lotto" tetap dijalankan, dan akhirnya Pemda bisa
mendirikan stadion, membangun jalan protokol, dan menyelenggarakan PON dengan
sukses. Selesai dengan "Lotto", Pemerintah Pusat tidak
menghentikannya, malahan menggantinya dengan "Nalo" alias
"Nasional Lotere" dengan penyelenggara Kementerian Sosial.
Setelah "Nalo" ada lagi
"SDSB" yang merupakan kependekan dari "Sumbangan Dermawan Sosial
Berhadiah". Menilik namanya para pembaca jangan sampai terkecoh. Kata "Sumbangan"
dipakai untuk menghilangkan kesan taruhan atau judi. Lalu ada
"Dermawan". Janganlah diartikan seperti Anda sekalian yang sering memberikan
dana ke rumah ibadah atau menyelenggarakan baksos.
Mana ada dermawan yang masih mengharapkan iming-iming hadiah? Baik
"Lotto", "Nalo", atau pun "SDSB" diperjualbelikan
dalam bentuk kupon. Kupon-kupon ini adalah unik dan masing-masing memiliki nomor
yang paling tidak berisi enam digit angka. Pengumuman pemenang lotere dilakukan
seminggu sekali dengan cara diundi. Misalnya pada minggu ini nomor yang ke luar
adalah "654321". Hadiah utama atau jackpot adalah kupon yang bernomor persis sama seperti di atas.
Penyelenggara pintar, untuk memperbesar kemungkinan menang maka pemilik
kupon-kupon yang bernomor "X54321", "XX4321",
"XXX321", dan"XXXX21", juga mendapatkan hadiah namun
besarannya makin lama makin kecil.
"Lotto", "Nalo", atau pun
"SDSB" diselenggarakan oleh Menteri Sosial, namun untuk
pelaksanaannya diserahkan kepada swasta yakni Pengusaha Toto. Belakangan ada
penawaran lain bagi penggemar lotere, yaitu undian yang dinamakan
"Togel" kependekan dari "Toto Gelap". "Togel" ini
seperti namanya adalah ilegal dan diselenggarakan oleh bandar judi setempat.
Jika kupon lotere resmi harganya standar dan sudah tercetak nomornya pada
lembar kupon, pada "Togel" nomor atau rangkaian angka bisa dipilih
sesuka hati oleh peserta, dan besar taruhannya juga demikian. Biasanya tebakan
yang dipilih adalah dua digit terakhir atau tiga digit terakhir. Inilah yang
membuat "Togel" disebut judi-buntut, yakni peserta menebak dua digit
angka terakhir yang akan ke luar. Dua angka terakhir ini ditentukan berdasarkan
nomor lotere resmi yang diundi setiap minggunya.
Para pembaca tentu ingin mengetahui berapa
harga sebuah kupon undian. Kupon SDSB dijual dalam dua seri, yaitu Seri A
dengan nominal Rp 5.000,00 dan Seri B dihargai Rp1.000,00. Seri A diterbitkan
sebanyak 1 juta lembar dan Seri B 29 juta lembar. Tentu saja Seri B dijual
lebih banyak karena diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah. Harga beras
pada saat itu sekitar Rp 500,00 per kilo, jadi mereka yang hendak membeli
selembar kupon harus merelakan nilai uang setara dua kilogram beras. Bagi
masyarakat kelas bawah program SDSB tampaknya merupakan harapan atas belas
kasih Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Contohnya, seorang tukang becak
yang menarik becak-sewaan menyisihkan sedikit dari penghasilan mingguannya
untuk membeli sehelai Kupon Seri B, dengan harapan bisa tembus empat angka
buntut dan mendapatkan hadiah Rp 2,5 juta. Dengan uang hadiah itu dia berharap
bisa memiliki becak sendiri. Tetapi harapan tetaplah harapan, karena masih jauh
panggang dari api. Andaikata dia sanggup membeli 100 kupon per minggu seumur
hidupnya, peluang untuk mendapatkan hadiah yang diimpikan itu masih terlampau
kecil.
Karena diiming-imingi dengan imbal-hasil yang
besar banyak orang terbuai dan kecanduan "Togel" pada masa itu. Tebak
buntut dua angka, yakni menebak dua digit terakhir pada nomor undian yang akan
ke luar setiap minggunya, adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Jika
tebakan mereka tepat, peserta akan mendapatkan imbal-hasil atau hadiah 70 kali
lipat. Jadi jika Anda membeli (istilahnya "memasang") nomor
keberuntungan itu sebesar Rp 10 ribu, bandar akan membayar Rp 700 ribu rupiah. Dengan
mengorbankan 10 ribu namun akan memperoleh 700 ribu, tentu hadiah ini amat
menggoda dan menggiurkan bagi mereka. Tetapi masalahnya sekarang, bagaimana
menebak angka atau nomor keberuntungan itu. Pada tebakan dua nomor buntut ada
100 kemungkinan, yaitu mulai dari angka "00" hingga "99".
Untuk meningkatkan peluang menang taruhan, para pembeli "Togel" tidak
hanya memasang satu nomor saja, tetapi
beberapa nomor. Semakin banyak nomor dipasang, tentu peluang menang bertambah,
tetapi uang yang dikeluarkan juga semakin banyak.
Menyiasati mendapatkan nomor keberuntungan
perlu perjuangan ekstra. Para agen penjual "Togel" akan membantu para
petaruh dengan membagikan "Kode Togel" pada hari pertama penjualan
kupon. Di atas selembar kertas Kode ada kumpulan angka, gambar, dan kalimat
tertentu. Namanya juga Kode, jadi tidak akan diberikan nomor keberuntungan
begitu saja. Para peserta harus mengolah sendiri kumpulan angka itu, entah mau
ditambah, dikurangi, dikali, atau dibagi. Hasilnya dijadikan nomor
keberuntungan dan akan ditulis di atas kupon. Cara lain adalah mengingat mimpi
yang baru dialami semalam. Misalnya kita bermimpi bertemu dengan orang buta.
Nah selanjutnya kita membuka "Buku Tafsir Mimpi" (bisa beli di Toko
Buku), dan dicocokkan. Ternyata "orang buta" ada di nomor
"34", berarti kita harus memasang
"34" sebagai angka keberuntungan. Kreativitas para petaruh tidak
sampai di situ saja. Jika ada selebriti atau tokoh masyarakat yang meninggal
pasti ditanya umur berapa dia tutup usia. Misalnya tokoh tersebut tutup usia
pada 81 tahun, maka nomor keberuntungan menjadi "81". Untuk jaga-jaga
perlu "dibalik", sehingga perlu ditambahkan satu lagi, yakni nomor
"18". Dalam aritmetika para petaruh ada lagi satu operasi yang
dinamakan "di-mistik", yaitu angka "0" menjadi
"1" ("2" <> "5", "3" <>
"8", "4" <> "7", dan "6" <>
"9"). Jadi "81" di-mistik
jadi "30", dan jika dibalik,
yaitu "18" di-mistik
menjadi "03". Sekarang hasil akhir angka keberuntungan kita menjadi
empat nomor, yakni "81", "18", "30", dan
"03". Empat nomor itu wajib dipasang.
Menebak Kode-buntut rupanya bukan saja
merupakan monopoli bagi masyarakat Indonesia di zaman Orde Baru, tetapi juga
terjadi di masyarakat Thailand yang notabene merupakan satu negara Buddhis.
Bedanya mereka mencari nomor keberuntungan dengan menanyakannya langsung kepada
para bhikkhu.
Demikianlah para pembaca, cerita mengenai
lotere di masa lampau di negara kita. Alih-alih mendapatkan rejeki nomplok
dengan memasang angka-angka
keberuntungan pada kupon "Togel", kehidupan para petaruh justru
semakin terpuruk. Karena terbuai oleh keinginan untuk menjadi kaya secara
mendadak, mereka lupa menjalani kehidupan yang benar dengan cara bekerja keras.
Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan dari lotere? Penulis akan
memberikan advis yang jitu kepada mereka yang masih berminat. Mau untung dalam
bisnis lotere? Itu mudah. Jadilah bandar lotere!!! Itu pun jika kita masih mau menikmati rejeki
di atas kesusahan dan penderitaan orang lain.
sdjn/dharmaprimapustaka/211229