Kamis, 30 Desember 2021

LOTERE



"Aku sengsara karena judi; Aku melarat karena judi; Banyak utangku karena judi; Judi yang membawaku mati. Mati akal dan fikiranku; Tak dapat berfikir tenang; Anak istriku jadi korban; Menanggung malu pada orang; Mungkinkah insaf terlambat?; Uang dan harta tertambat; Anak, istriku melarat. Karena judi keparat; Ya Allah, aku bertobat; Tak akan perbuat lagi." Inilah sebuah lirik lagu dangdut yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh H. Rhoma Irama pada tahun 1987, yang berjudul "Karena Judi". Lagu itu menurut pencipta dan penyanyinya sengaja diluncurkan, sebagai kritik sosial terhadap kegilaan masyarakat terhadap judi yang semakin menjadi-jadi yang berlangsung sejak akhir dekade 70-an.

 

Apa itu judi, atau gambling dalam sebutan bahasa Inggrisnya? Judi atau kerap dinamakan "taruhan" adalah mempertaruhkan sesuatu yang bernilai, yang mengacu pada satu peristiwa di masa depan dengan hasil yang tidak pasti, dengan tujuan untuk memenangkannya. Sesuatu yang bernilai itu dinamakan "taruhannya". Perjudian dengan demikian memiliki tiga unsur yang mutlak harus ada, yakni: (1) pertimbangan atas harta milik sendiri yang bisa hilang, (2) peluang dan sekaligus risikonya, dan (3) taruhannya atau hadiah yang bakal diperolehnya. Contoh perjudian yang hasilnya bisa segera diketahui antara lain, melakukan satu lemparan dadu, menjatuhkan sebuah bola pada piringan roulette, atau menjatuhkan pilihan nomor pada sekelompok penunggang kuda yang sedang berlaga dalam sebuah arena pacuan.

 

Benda yang dipakai untuk dijadikan tebak-tebakan adalah dadu. Dadu cukup dilempar dan setelah mendarat di lantai atau meja dapat langsung diketahui angka berapa yang ditunjukkan. Dari penggalian arkeologi didapatkan dadu yang paling tua diperkirakan berumur 8000 tahun, sedangkan dadu pertama dibuat oleh orang Mesopotamia kira-kira tujuh ribu tahun yang lalu. Mereka memodifikasi astragali dan menjadikan wujudnya berbentuk kubus. Dadu pertama dipahat dan diukir dari batu, gading gajah, atau tulang ikan paus; serta dimanfaatkan pertama kali oleh para dukun atau paranormal untuk meramalkan masa depan. Sekitar tiga ribu tahun yang lalu dadu mulai diperkenalkan ke Yunani, India, dan Tiongkok. Dadu modern umumnya terbuat dari bahan plastik, dan hampir serupa dengan dadu pada zaman kuno. Dengan adanya enam sisi pada sebuah dadu, masing-masing sisi ditulisi dengan angka 1 hingga angka 6. Sisi angka 1 biasanya berhadapan dengan sisi angka 6, sisi angka 2 dengan angka 5, dan sisi angka 3 dengan angka 4.

 

Permainan judi dengan melemparkan dadu dan menebak angka yang akan ke luar adalah bentuk taruhan yang sudah berusia ribuan tahun. Dengan melempar sebuah dadu ada peluang salah satu antara angka 1 sampai angka 6 yang muncul. Untuk memperbanyak peluang, orang biasanya menggunakan dua buah dadu sekaligus dalam satu kali lemparan, dan menjumlahkan dua angka yang ditunjukkan oleh kedua dadu tersebut. Dalam kitab Mahabharata dikisahkan Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu. Yudistira yang gemar main dadu tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura. Duryodana diwakili oleh Sangkuni sebagai bandar-dadu, yang memiliki kesaktian untuk mengendalikan angka dadu yang ke luar sesuai dengan kehendaknya. Jelas Yudistira yang lugu dapat diperdaya dengan mudah, yang pada kesempatan pertama dia kalah dalam mempertaruhkan segala harta yang dimilikinya. Pada kesempatan kedua kembali Yudistira kalah telak. Dia beserta empat saudara kandungnya mendapatkan hukuman, yakni dibuang selama dua-belas tahun ke pengasingan.

 

Di zaman Sang Buddha permainan tebak-tebakan dengan melempar dadu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat India. Dalam Brahmajāla Sutta yakni salah satu sutta dalam Dīgha Nikāya disebutkan: "Atau dia akan berkata: 'Ketika beberapa petapa dan brahmana yang terhormat, yang menjalani penghidupan dengan mendapatkan makanan yang dipersembahkan oleh perumah tangga yang berbakti, mereka masih saja melempar dadu (khalika) untuk bermain tebak-tebakan demi kesenangan dan memanjakan dirinya.' Tetapi petapa Gotama telah terbebas dari permainan dan hiburan semacam itu."

 

Permainan melempar dadu baik untuk mengisi waktu luang atau pun berjudi lama kelamaan digantikan dengan permainan lain yang lebih menarik. Penemuan Kartu Remi atau disebut pula playing cards, yang juga amat populer di Indonesia. Kartu Remi memiliki empat seri kartu yang masing-masing terdiri dari 13 buah kartu dan dua kartu Joker. Dengan berbekal kartu Remi kita bisa membuat 1001 permainan, yang bisa dimainkan sendirian, berdua, bertiga, bahkan lebih dari empat orang. Setiap negara memiliki permainan tradisionalnya masing-masing. Sebenarnya melemparkan dadu untuk menjalankan permainan "Ular-tangga" atau memanfaatkan kartu Remi untuk main "Bridge" guna mengisi waktu luang tentu boleh-boleh saja, tetapi menggunakan keduanya untuk bertaruh dengan bertukar barang berharga atau uang, itulah yang dikecam oleh agama dan dilarang oleh negara.

 

Jika taruhan itu melibatkan orang banyak maka mesti dipilih satu cara yang membuat taruhan itu bisa diterima oleh para peserta. Cara itu tidak lain menyelenggarakan lotere. Berbeda dengan taruhan yang menggunakan lemparan dadu atau kartu Remi, lotere memiliki peluang menang amat kecil tetapi hadiahnya sangat besar. Lho bagaimana ini, katanya judi dilarang oleh negara tetapi bisa diselenggarakan? Begini kisahnya. Ada satu masa ketika Indonesia membutuhkan dana besar untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pada waktu itu akan digelar di tahun 1969. Dalam keadaan keuangan yang cekak Pemda Jawa Timur yang bertindak sebagai tuan rumah wajib membiayai pesta olahraga itu, terpaksa mencari dana dari masyarakat. Caranya dengan menyelenggarakan "Lotto" alias "Lotere Totalisator". Walaupun banyak mendapat kritik "Lotto" tetap dijalankan, dan akhirnya Pemda bisa mendirikan stadion, membangun jalan protokol, dan menyelenggarakan PON dengan sukses. Selesai dengan "Lotto", Pemerintah Pusat tidak menghentikannya, malahan menggantinya dengan "Nalo" alias "Nasional Lotere" dengan penyelenggara Kementerian Sosial.

 

Setelah "Nalo" ada lagi "SDSB" yang merupakan kependekan dari "Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah". Menilik namanya para pembaca jangan sampai terkecoh. Kata "Sumbangan" dipakai untuk menghilangkan kesan taruhan atau judi. Lalu ada "Dermawan". Janganlah diartikan seperti Anda sekalian yang sering memberikan dana ke rumah ibadah atau menyelenggarakan baksos. Mana ada dermawan yang masih mengharapkan iming-iming hadiah? Baik "Lotto", "Nalo", atau pun "SDSB" diperjualbelikan dalam bentuk kupon. Kupon-kupon ini adalah unik dan masing-masing memiliki nomor yang paling tidak berisi enam digit angka. Pengumuman pemenang lotere dilakukan seminggu sekali dengan cara diundi. Misalnya pada minggu ini nomor yang ke luar adalah "654321". Hadiah utama atau jackpot adalah kupon yang bernomor persis sama seperti di atas. Penyelenggara pintar, untuk memperbesar kemungkinan menang maka pemilik kupon-kupon yang bernomor "X54321", "XX4321", "XXX321", dan"XXXX21", juga mendapatkan hadiah namun besarannya makin lama makin kecil.

 

"Lotto", "Nalo", atau pun "SDSB" diselenggarakan oleh Menteri Sosial, namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada swasta yakni Pengusaha Toto. Belakangan ada penawaran lain bagi penggemar lotere, yaitu undian yang dinamakan "Togel" kependekan dari "Toto Gelap". "Togel" ini seperti namanya adalah ilegal dan diselenggarakan oleh bandar judi setempat. Jika kupon lotere resmi harganya standar dan sudah tercetak nomornya pada lembar kupon, pada "Togel" nomor atau rangkaian angka bisa dipilih sesuka hati oleh peserta, dan besar taruhannya juga demikian. Biasanya tebakan yang dipilih adalah dua digit terakhir atau tiga digit terakhir. Inilah yang membuat "Togel" disebut judi-buntut, yakni peserta menebak dua digit angka terakhir yang akan ke luar. Dua angka terakhir ini ditentukan berdasarkan nomor lotere resmi yang diundi setiap minggunya.

 

Para pembaca tentu ingin mengetahui berapa harga sebuah kupon undian. Kupon SDSB dijual dalam dua seri, yaitu Seri A dengan nominal Rp 5.000,00 dan Seri B dihargai Rp1.000,00. Seri A diterbitkan sebanyak 1 juta lembar dan Seri B 29 juta lembar. Tentu saja Seri B dijual lebih banyak karena diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah. Harga beras pada saat itu sekitar Rp 500,00 per kilo, jadi mereka yang hendak membeli selembar kupon harus merelakan nilai uang setara dua kilogram beras. Bagi masyarakat kelas bawah program SDSB tampaknya merupakan harapan atas belas kasih Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Contohnya, seorang tukang becak yang menarik becak-sewaan menyisihkan sedikit dari penghasilan mingguannya untuk membeli sehelai Kupon Seri B, dengan harapan bisa tembus empat angka buntut dan mendapatkan hadiah Rp 2,5 juta. Dengan uang hadiah itu dia berharap bisa memiliki becak sendiri. Tetapi harapan tetaplah harapan, karena masih jauh panggang dari api. Andaikata dia sanggup membeli 100 kupon per minggu seumur hidupnya, peluang untuk mendapatkan hadiah yang diimpikan itu masih terlampau kecil.

 

Karena diiming-imingi dengan imbal-hasil yang besar banyak orang terbuai dan kecanduan "Togel" pada masa itu. Tebak buntut dua angka, yakni menebak dua digit terakhir pada nomor undian yang akan ke luar setiap minggunya, adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Jika tebakan mereka tepat, peserta akan mendapatkan imbal-hasil atau hadiah 70 kali lipat. Jadi jika Anda membeli (istilahnya "memasang") nomor keberuntungan itu sebesar Rp 10 ribu, bandar akan membayar Rp 700 ribu rupiah. Dengan mengorbankan 10 ribu namun akan memperoleh 700 ribu, tentu hadiah ini amat menggoda dan menggiurkan bagi mereka. Tetapi masalahnya sekarang, bagaimana menebak angka atau nomor keberuntungan itu. Pada tebakan dua nomor buntut ada 100 kemungkinan, yaitu mulai dari angka "00" hingga "99". Untuk meningkatkan peluang menang taruhan, para pembeli "Togel" tidak hanya memasang satu nomor saja, tetapi beberapa nomor. Semakin banyak nomor dipasang, tentu peluang menang bertambah, tetapi uang yang dikeluarkan juga semakin banyak.

 

Menyiasati mendapatkan nomor keberuntungan perlu perjuangan ekstra. Para agen penjual "Togel" akan membantu para petaruh dengan membagikan "Kode Togel" pada hari pertama penjualan kupon. Di atas selembar kertas Kode ada kumpulan angka, gambar, dan kalimat tertentu. Namanya juga Kode, jadi tidak akan diberikan nomor keberuntungan begitu saja. Para peserta harus mengolah sendiri kumpulan angka itu, entah mau ditambah, dikurangi, dikali, atau dibagi. Hasilnya dijadikan nomor keberuntungan dan akan ditulis di atas kupon. Cara lain adalah mengingat mimpi yang baru dialami semalam. Misalnya kita bermimpi bertemu dengan orang buta. Nah selanjutnya kita membuka "Buku Tafsir Mimpi" (bisa beli di Toko Buku), dan dicocokkan. Ternyata "orang buta" ada di nomor "34", berarti kita harus memasang "34" sebagai angka keberuntungan. Kreativitas para petaruh tidak sampai di situ saja. Jika ada selebriti atau tokoh masyarakat yang meninggal pasti ditanya umur berapa dia tutup usia. Misalnya tokoh tersebut tutup usia pada 81 tahun, maka nomor keberuntungan menjadi "81". Untuk jaga-jaga perlu "dibalik", sehingga perlu ditambahkan satu lagi, yakni nomor "18". Dalam aritmetika para petaruh ada lagi satu operasi yang dinamakan "di-mistik", yaitu angka "0" menjadi "1" ("2" <> "5", "3" <> "8", "4" <> "7", dan "6" <> "9"). Jadi "81" di-mistik jadi "30", dan jika dibalik, yaitu "18" di-mistik menjadi "03". Sekarang hasil akhir angka keberuntungan kita menjadi empat nomor, yakni "81", "18", "30", dan "03". Empat nomor itu wajib dipasang.

 

Menebak Kode-buntut rupanya bukan saja merupakan monopoli bagi masyarakat Indonesia di zaman Orde Baru, tetapi juga terjadi di masyarakat Thailand yang notabene merupakan satu negara Buddhis. Bedanya mereka mencari nomor keberuntungan dengan menanyakannya langsung kepada para bhikkhu.

 

Demikianlah para pembaca, cerita mengenai lotere di masa lampau di negara kita. Alih-alih mendapatkan rejeki nomplok dengan memasang angka-angka keberuntungan pada kupon "Togel", kehidupan para petaruh justru semakin terpuruk. Karena terbuai oleh keinginan untuk menjadi kaya secara mendadak, mereka lupa menjalani kehidupan yang benar dengan cara bekerja keras. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan dari lotere? Penulis akan memberikan advis yang jitu kepada mereka yang masih berminat. Mau untung dalam bisnis lotere? Itu mudah. Jadilah bandar lotere!!!  Itu pun jika kita masih mau menikmati rejeki di atas kesusahan dan penderitaan orang lain.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211229

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar