Rabu, 12 Januari 2022

NANDA DAN BIDADARI


 

Kisah ini terjadi setelah Guru kita, Sang Buddha, kembali ke negeri kelahirannya yakni pada tahun ketujuh setelah Beliau mencapai Pencerahan Agung. Pada hari ketiga kepulangannnya, Mahāpajāpati sang permaisuri, setelah mendengarkan ajaran Beliau berhasil  merealisasikan tingkat kesucian yang pertama. Pada hari yang istimewa itu, di istana bertepatan pula dengan perayaan pertunangan putera kandungnya, Pangeran Nanda. 

 

Pangeran Nanda Shakya tidak lain merupakan adik tiri dari Sang Buddha. Mereka berdua berayahkan Raja Suddhodana tetapi berlainan ibu. Pangeran Nanda juga dikenal sebagai Sundarananda Shakya, artinya "Nanda yang tampan". Kedua kakak-beradik itu memang memiliki wajah yang mirip, juga postur perawakan tubuhnya serupa, hanya saja Yang Terberkahi lebih tinggi sekitar selebar empat-jari-telunjuk. 

 

Demikianlah hari itu menjelang tengah hari, Sang Guru beserta rombongan besar pengikutnya diundang untuk menerima persembahan dana makanan di istana Raja Suddhodana. Selesai menyantap hidangan yang disajikan, Guru bangkit dari duduknya dan mencuci mangkuk-sedekahnya, lalu menyerahkan mangkuk yang sudah bersih itu kepada Pangeran Nanda sambil mengucapkan 'Semoga sukses!'. Adalah kebiasaan yang dianut oleh Sang Buddha, bahwa Beliau selalu menitipkan barang pribadinya – termasuk mangkuk-sedekahnya – kepada seorang bhikkhu-pengiring, yang berfungsi sebagai ajudannya. 

 

Mengapa mangkuk-sedekah itu diserahkan kepada adiknya, alih-alih diberikan kepada sang bhikkhu-pengiring? Sang Guru mahatahu dengan kemampuan cenayangnya yang hebat, sudah mampu menebak takdir apa yang akan dijalani oleh adik tirinya itu, pula takdir tunangannya! 

 

Pangeran Nanda kaget dan tidak menyangka mangkuk-sedekah itu diserahkan kepadanya. Karena rasa hormatnya kepada Sang Tathāgata, Sang Pangeran tidak berani berkata, "Bhante, terimalah kembali mangkuk-sedekah ini," tetapi dia berharap seperti ini: "Dia akan mengambil mangkuknya di ujung tangga." Namun bahkan ketika Guru mencapai ujung tangga, dia tidak mengambil mangkuknya. Nanda berpikir, "Dia akan mengambil mangkuknya di kaki tangga." Tetapi Sang Guru bahkan terus saja berjalan. Pikir Nanda, "Dia akan mengambil mangkuknya di pelataran istana." Tidak sesuai dengan harapannya, Sang Guru terus melangkah maju dan tidak mempedulikan mangkuknya sama sekali. Sampai di sini kegelisahan Nanda memuncak, karena dia sangat ingin kembali pulang demi mendampingi tunangannya.

 

Benar saja, sekonyong-konyong seorang perempuan muda yang mengenakan sari dengan tergopoh-gopoh mengejarnya. Perempuan muda itu bernama Janapada Kalyāṇi. Makna harfiahnya: "Berkah Kerajaan", atau arti lainnya, "gadis yang paling cantik di negeri itu". Demi melihat kekasihnya sedang membawa mangkuk dan membuntuti Sang Guru, perempuan itu berseru: "Pangeran, jangan pergi terlalu lama. Cepatlah pulang!" 

 

Kata-kata perempuan itu menimbulkan getaran di hati Nanda. Pangeran Nanda pun semakin gundah dan kata-kata ini semakin mengiang-ngiang di telinganya: “Dia akan mengambil mangkuknya di sini. Dia akan menerima mangkuknya di sana!" Setelah berjalan kaki melewati pagar istana, sampailah rombongan besar itu di Taman Nigrodha, tempat kediaman Sang Buddha di Kapilavatthu. Sesampainya di sana Sang Guru mengambil kembali mangkuk-sedekahnya dan berkata kepadanya, “Nanda, apakah kamu ingin menjadi seorang bhikkhu?” Begitu besar penghormatan Pangeran Nanda kepada Sang Buddha dibandingkan dengan kecondongan hatinya, sehingga dia menahan diri untuk tidak mengatakan, “Aku tidak ingin menjadi seorang bhikkhu,” Sebaliknya malahan dia kelepasan omong, "ya, aku ingin menjadi seorang bhikkhu." Sang Guru berkata, “Kalau begitu, Sāriputta, tahbiskanlah dia menjadi seorang bhikkhu." Demikianlah terjadi bahwa pada hari ketiga setelah kedatangan Sang Guru ke Kapilavatthu, Nanda resmi dilantik sebagai seorang bhikkhu.

 

Ketika Yang Terberkahi telah memenuhi misinya di negeri yang membesarkannya, dia kembali lagi ke Rājagaha dengan ditemani oleh rombongan besar para bhikkhu. Selang beberapa lama kemudian Yang Terberkahi melanjutkan perjalanannya ke Sāvatthī dan di sana Beliau bermukim di Hutan Jeta pada Taman Anāthapiṇḍika. Sekarang yang mulia Nanda, adik tiri Yang Terberkahi, mengenakan jubah yang telah digosok dan diseterika serta dia meminyaki kedua matanya, lalu dia mengambil sebuah mangkuk-sedekah berglasir. Kemudian dia pergi menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya, dia duduk di satu sisi. Setelah itu Yang Terberkahi berkata kepadanya: “Nanda, adalah tidak pantas bagimu, seorang pemuka suku yang dengan keyakinannya telah pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, untuk mengenakan jubah yang telah digosok dan diseterika, meminyaki kedua mata, serta menggunakan sebuah mangkuk berglasir. Apa yang sesungguhnya pantas bagimu ... adalah menjadi seorang pemukim-hutan, makan hanya diperoleh dari sedekah orang, seorang pemakai jubah dari kain-bekas, serta berdiam tanpa pamrih terhadap keinginan inderawi." 

 

Demikianlah setelah menjalani kehidupan-kebhikkhuan selama beberapa waktu, Nanda merasa tidak puas dan dia berkeluh-kesah kepada sesama bhikkhu. "Para sahabat, aku menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Ada terlalu banyak aturan! Terlalu sedikit kesenangan! Aku akan melepaskan latihan ini, serta aku akan kembali pada apa yang telah aku tinggalkan selama ini." Salah satu bhikkhu teman baik Nanda, yang khawatir sahabatnya akan mengalami depresi, lantas pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasihatnya. Sang Buddha hanya tersenyum dan memberi tahu bhikkhu muda itu, "pergi dan carilah Nanda, dan katakan kepadanya 'Guru memanggilmu'."

 

Nanda pun pergi menemui Sang Guru, yang lalu bertanya: "Nanda, apakah benar, agaknya, bahwa engkau menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Bahwa engkau tidak mampu lagi melaksanakan kehidupan suci ini. Bahwa engkau akan melepaskan latihan ini, serta engkau akan kembali pada apa yang telah engkau tinggalkan selama ini?"   "Ya, benar, Yang Mulia."   "Tetapi, Nanda, mengapa engkau akan melakukan hal itu?"

 

"Yang Mulia, ketika aku meninggalkan kehidupan-berumah, sang primadona Sakya yang jelita, Janapada Kalyāṇi, memandang sendu kepadaku dengan rambutnya yang sebagian bergelung ke belakang, seraya dia berkata: 'Pangeran, jangan pergi terlalu lama. Cepatlah pulang!'. Sekarang setiap kali aku duduk bermeditasi, yang muncul dalam benakku tidak lain sang primadona dengan rambutnya yang setengah acak-acakan. Setiap kali aku memikirkannya, aku mereka sangat berduka. Sewaktu aku mengingatnya, aku menjalani kehidupan suci ini dengan perasaan tidak puas."

 

Sang Buddha memegang lengan Nanda dengan lembut dan Beliau berkata kepadanya, "biarkan aku menunjukkan sesuatu kepadamu. Segera setelah itu laksana seorang yang perkasa, Beliau merentangkan kedua lengannya yang tertekuk atau menekukkan lengannya yang terentang. Keduanya segera menghilang dari Hutan Jeta dan meluncur dengan derasnya menuju Alam Dewa-dewa. Di tengah perjalanan Sang Guru menunjukkan kepada Nanda satu bidang ladang yang sedang terbakar. Di sana keduanya melihat seekor kera betina yang menderita. Hewan malang itu duduk di atas sebatang tunggul yang terbakar, dan dia kehilangan telinga, hidung, dan ekornya karena dilalap oleh si jago merah. Akhirnya keduanya tiba di Surga Tavatimsa atau Trāyastriṃśa. Di Surga Loka yang permai itu Nanda menyaksikan para bidadari surgawi dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati, sedang bersiap-siap menunggu dan memberikan segala kesenangan kepada Sakka, raja para dewa. Sesungguhnya:

 

Accharā atau Apsara para penghuni Surga Tiga-puluh-tiga,

Dengan pinggul bulat yang elok dan pinggang yang ramping

Sambil menggoyangkan dada mereka yang indah, disertai kerling-pandang memikat siapa pun di dekatnya,

Mata besarnya laksana bunga teratai, menatap sang deva dalam wajah nan memikat.

 

Para bidadari itu memiliki tubuh yang simetris-sempurna dan amat rupawan,

Kulitnya bersih ibarat bulan sabit dan di kala diam nampak seperti patung emas;

Mereka mudah bersenang-senang, menghibur, memainkan musik, dan menari

Semuanya menggairahkan dan menginspirasi cinta di bumi maupun di surga.

 

Sang Guru bertanya, "Nanda, apakah engkau menyaksikan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?"   "Tentu, Yang Mulia."   "Bagaimana menurut pendapatmu, Nanda. Yang mana yang lebih elok, lebih cantik, lebih memikat, sang primadona Sakya yang jelita, Janapada Kalyāṇi, atau para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?"   "Yang Mulia. Sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi, layaknya seperti seekor kera betina yang hidung dan telinganya melepuh terkelupas, dibandingkan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati. Tidak ada cara untuk memperbandingkan di antara keduanya. Para bidadari ini jauh lebih elok, jauh lebih cantik, dan jauh lebih memikat."   "Oleh karena itu, jalani kehidupan suci, Nanda. Nikmati kehidupan suci dan aku memberikan jaminan engkau bisa mendapatkan para bidadari dengan dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati."   "Yang Mulia, jika Yang Terberkahi menjamin aku bisa mendapatkan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati, maka aku akan menikmati kehidupan suci."  Kemudian Yang Terberkahi memegang lengan Nanda dan melakukannya seperti sebelumnya. Mereka lenyap dari Surga Tavatimsa dan muncul kembali di Hutan Jeta.

 

Sang lelaki sekali waktu merantau di negeri orang,

Ketika melihat anak orang lain, dia teringat anak sendiri,

Namun saat menyaksikan perempuan lain, dia lupa isterinya sendiri.

 

Pangeran Nanda diajak Sang Guru ke Swarga Loka,

Di kahyangan nan permai dirinya terpesona bidadari berkaki segemulai burung merpati,

Dan melupakan sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi.

 

Para bhikkhu mendengar: "Agaknya yang mulia Nanda menjalani kehidupan suci demi memperoleh bidadari. Karena agaknya Yang Terberkahi telah menjamin untuk memperoleh para bidadari dengan dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati." Kemudian para sahabatnya diantara para bhikkhu di sana memperlakukannya sebagai orang sewaan yang menjual dirinya sendiri: "Yang mulia Nanda adalah orang sewaan, agaknya, yang menjual dirinya sendiri, karena dia menjalani kehidupan suci demi mendapatkan bidadari."

 

Ia lalu dihina, dipermalukan, dan direndahkan dengan kata-kata cemoohan oleh kelompoknya. Sehingga dia pergi mengasingkan dan tinggal menyendiri; lalu dengan rajin, bersemangat, dan berpengendalin-diri, dia akhirnya merealisasikan dirinya dengan pengetahuan langsung. Sekarang dan di sini pula ia memasuki dan berdiam pada sasaran agung kehidupan suci, yang sesungguhnya menjadi dambaan seorang pemuka suku. Ia langsung mengetahui: "Kelahiran telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dijalankan, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak akan ada lagi penjelmaan berikutnya." Dan yang mulia Nanda menjadi salah satu dari para Arahanta.

 

Demikianlah Nanda kemudian menarik kembali permintaan untuk mendapatkan bidadari dari Sang Guru. Bagaimana nasib Janapada Kalyāṇi yang pernah menjadi tunangan Pangeran Nanda? Perlu para pembaca ketahui, bahwa di belakang hari Janapada Kalyāṇi pun menjadi seorang bhikkhuni yang terkemuka, mencapai tingkat kesucian tertinggi, dan ia juga merupakan bagian dari para Arahanta.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220112 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar