Kisah ini
terjadi setelah Guru kita, Sang Buddha, kembali ke negeri kelahirannya yakni
pada tahun ketujuh setelah Beliau mencapai Pencerahan Agung. Pada hari
ketiga kepulangannnya, Mahāpajāpati sang permaisuri, setelah mendengarkan ajaran Beliau berhasil merealisasikan tingkat kesucian yang pertama.
Pada hari yang istimewa itu, di istana bertepatan pula dengan
perayaan pertunangan putera kandungnya, Pangeran Nanda.
Pangeran Nanda
Shakya tidak lain merupakan adik tiri dari Sang Buddha. Mereka
berdua berayahkan Raja Suddhodana tetapi berlainan ibu. Pangeran
Nanda juga dikenal sebagai Sundarananda Shakya, artinya "Nanda yang
tampan". Kedua kakak-beradik itu memang memiliki wajah yang mirip, juga
postur perawakan tubuhnya serupa, hanya saja Yang Terberkahi lebih
tinggi sekitar selebar empat-jari-telunjuk.
Demikianlah
hari itu menjelang tengah hari, Sang Guru beserta rombongan besar
pengikutnya diundang untuk menerima persembahan dana makanan di
istana Raja Suddhodana. Selesai menyantap hidangan yang disajikan, Guru
bangkit dari duduknya dan mencuci mangkuk-sedekahnya, lalu menyerahkan mangkuk
yang sudah bersih itu kepada Pangeran Nanda sambil mengucapkan 'Semoga
sukses!'. Adalah kebiasaan yang dianut oleh Sang Buddha, bahwa Beliau
selalu menitipkan barang pribadinya – termasuk mangkuk-sedekahnya – kepada seorang bhikkhu-pengiring, yang berfungsi
sebagai ajudannya.
Mengapa
mangkuk-sedekah itu diserahkan kepada adiknya, alih-alih diberikan kepada sang bhikkhu-pengiring? Sang
Guru mahatahu dengan kemampuan cenayangnya yang hebat, sudah mampu menebak
takdir apa yang akan dijalani oleh adik tirinya itu, pula takdir
tunangannya!
Pangeran Nanda
kaget dan tidak menyangka mangkuk-sedekah itu diserahkan kepadanya. Karena rasa
hormatnya kepada Sang Tathāgata, Sang Pangeran tidak berani berkata, "Bhante, terimalah kembali
mangkuk-sedekah ini," tetapi dia berharap seperti ini: "Dia akan
mengambil mangkuknya di ujung tangga." Namun bahkan ketika Guru mencapai
ujung tangga, dia tidak mengambil mangkuknya. Nanda berpikir, "Dia akan
mengambil mangkuknya di kaki tangga." Tetapi Sang Guru bahkan terus saja
berjalan. Pikir Nanda, "Dia akan mengambil mangkuknya di pelataran
istana." Tidak sesuai dengan harapannya, Sang Guru terus melangkah maju
dan tidak mempedulikan mangkuknya sama sekali. Sampai di sini kegelisahan Nanda
memuncak, karena dia sangat ingin kembali pulang demi mendampingi tunangannya.
Benar saja,
sekonyong-konyong seorang perempuan muda yang mengenakan sari dengan tergopoh-gopoh mengejarnya. Perempuan muda itu
bernama Janapada Kalyāṇi. Makna harfiahnya: "Berkah
Kerajaan", atau arti lainnya, "gadis yang paling cantik di negeri
itu". Demi melihat kekasihnya sedang membawa mangkuk dan membuntuti
Sang Guru, perempuan itu berseru: "Pangeran, jangan pergi terlalu
lama. Cepatlah pulang!"
Kata-kata perempuan itu
menimbulkan getaran di hati Nanda. Pangeran Nanda pun semakin gundah dan
kata-kata ini semakin mengiang-ngiang di
telinganya: “Dia akan mengambil mangkuknya di sini. Dia akan menerima mangkuknya di
sana!" Setelah berjalan kaki melewati pagar istana, sampailah rombongan
besar itu di Taman Nigrodha, tempat kediaman Sang Buddha di Kapilavatthu. Sesampainya di
sana Sang Guru mengambil kembali mangkuk-sedekahnya dan berkata
kepadanya, “Nanda, apakah kamu ingin menjadi seorang bhikkhu?” Begitu besar
penghormatan Pangeran Nanda kepada Sang Buddha dibandingkan dengan
kecondongan hatinya, sehingga dia menahan diri untuk tidak mengatakan, “Aku tidak ingin menjadi seorang
bhikkhu,” Sebaliknya malahan dia kelepasan omong, "ya, aku ingin
menjadi seorang bhikkhu." Sang Guru berkata, “Kalau begitu,
Sāriputta, tahbiskanlah dia menjadi seorang bhikkhu." Demikianlah terjadi
bahwa pada hari ketiga setelah kedatangan Sang Guru ke Kapilavatthu, Nanda resmi
dilantik sebagai seorang bhikkhu.
Ketika Yang Terberkahi telah memenuhi misinya di negeri yang
membesarkannya, dia kembali lagi ke Rājagaha dengan ditemani
oleh rombongan besar para bhikkhu. Selang beberapa lama kemudian Yang
Terberkahi melanjutkan perjalanannya ke Sāvatthī dan di sana Beliau bermukim di
Hutan Jeta pada Taman Anāthapiṇḍika. Sekarang yang mulia Nanda, adik tiri Yang Terberkahi,
mengenakan jubah yang telah digosok dan diseterika serta dia meminyaki kedua
matanya, lalu dia mengambil sebuah mangkuk-sedekah berglasir. Kemudian dia
pergi menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya,
dia duduk di satu sisi. Setelah itu Yang Terberkahi berkata kepadanya: “Nanda,
adalah tidak pantas bagimu, seorang pemuka suku yang dengan keyakinannya telah
pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, untuk mengenakan
jubah yang telah digosok dan diseterika, meminyaki kedua mata, serta
menggunakan sebuah mangkuk berglasir. Apa yang sesungguhnya pantas bagimu ...
adalah menjadi seorang pemukim-hutan, makan hanya diperoleh dari sedekah orang,
seorang pemakai jubah dari kain-bekas, serta berdiam tanpa pamrih terhadap
keinginan inderawi."
Demikianlah
setelah menjalani kehidupan-kebhikkhuan selama beberapa waktu, Nanda merasa
tidak puas dan dia berkeluh-kesah kepada sesama bhikkhu. "Para sahabat,
aku menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Ada terlalu banyak
aturan! Terlalu sedikit kesenangan! Aku akan melepaskan latihan ini, serta aku
akan kembali pada apa yang telah aku tinggalkan selama ini." Salah satu
bhikkhu teman baik Nanda, yang khawatir sahabatnya akan mengalami depresi,
lantas pergi menemui Sang Buddha untuk meminta nasihatnya. Sang Buddha hanya
tersenyum dan memberi tahu bhikkhu muda itu, "pergi dan carilah Nanda, dan
katakan kepadanya 'Guru memanggilmu'."
Nanda pun pergi
menemui Sang Guru, yang lalu bertanya: "Nanda, apakah benar, agaknya,
bahwa engkau menjalani kehidupan suci dengan perasaan tidak puas. Bahwa engkau
tidak mampu lagi melaksanakan kehidupan suci ini. Bahwa engkau akan melepaskan
latihan ini, serta engkau akan kembali pada apa yang telah engkau tinggalkan
selama ini?" "Ya, benar, Yang Mulia." "Tetapi, Nanda, mengapa engkau akan
melakukan hal itu?"
"Yang
Mulia, ketika aku meninggalkan kehidupan-berumah, sang primadona Sakya yang
jelita, Janapada Kalyāṇi, memandang sendu kepadaku dengan rambutnya yang
sebagian bergelung ke belakang, seraya dia berkata: 'Pangeran, jangan pergi
terlalu lama. Cepatlah pulang!'. Sekarang setiap kali aku duduk bermeditasi,
yang muncul dalam benakku tidak lain sang primadona dengan rambutnya yang
setengah acak-acakan. Setiap kali aku memikirkannya, aku mereka sangat berduka.
Sewaktu aku mengingatnya, aku menjalani kehidupan suci ini dengan perasaan
tidak puas."
Sang Buddha
memegang lengan Nanda dengan lembut dan Beliau berkata kepadanya, "biarkan
aku menunjukkan sesuatu kepadamu. Segera setelah itu laksana seorang yang
perkasa, Beliau merentangkan kedua lengannya yang tertekuk atau menekukkan
lengannya yang terentang. Keduanya segera menghilang dari Hutan Jeta dan meluncur
dengan derasnya menuju Alam Dewa-dewa. Di tengah perjalanan Sang Guru
menunjukkan kepada Nanda satu bidang ladang yang sedang terbakar. Di sana
keduanya melihat seekor kera betina yang menderita. Hewan malang itu duduk di
atas sebatang tunggul yang terbakar, dan dia kehilangan telinga, hidung, dan
ekornya karena dilalap oleh si jago merah. Akhirnya keduanya tiba di Surga
Tavatimsa atau Trāyastriṃśa. Di Surga Loka yang permai itu Nanda menyaksikan
para bidadari surgawi dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung
merpati, sedang bersiap-siap menunggu dan memberikan segala kesenangan kepada
Sakka, raja para dewa. Sesungguhnya:
Accharā atau
Apsara para penghuni Surga Tiga-puluh-tiga,
Dengan pinggul
bulat yang elok dan pinggang yang ramping
Sambil
menggoyangkan dada mereka yang indah, disertai kerling-pandang memikat siapa
pun di dekatnya,
Mata besarnya
laksana bunga teratai, menatap sang deva dalam wajah nan memikat.
Para bidadari
itu memiliki tubuh yang simetris-sempurna dan amat rupawan,
Kulitnya bersih
ibarat bulan sabit dan di kala diam nampak seperti patung emas;
Mereka mudah
bersenang-senang, menghibur, memainkan musik, dan menari
Semuanya
menggairahkan dan menginspirasi cinta di bumi maupun di surga.
Sang Guru
bertanya, "Nanda, apakah engkau menyaksikan para bidadari dengan kaki
gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?" "Tentu, Yang Mulia." "Bagaimana
menurut pendapatmu, Nanda. Yang mana yang lebih elok, lebih cantik, lebih
memikat, sang primadona Sakya yang jelita, Janapada Kalyāṇi, atau para bidadari
dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati?" "Yang
Mulia. Sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi, layaknya seperti seekor kera
betina yang hidung dan telinganya melepuh terkelupas, dibandingkan para
bidadari dengan kaki gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati. Tidak
ada cara untuk memperbandingkan di antara keduanya. Para bidadari ini jauh
lebih elok, jauh lebih cantik, dan jauh lebih memikat." "Oleh
karena itu, jalani kehidupan suci, Nanda. Nikmati kehidupan suci dan aku
memberikan jaminan engkau bisa mendapatkan para bidadari dengan dengan kaki
gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati." "Yang Mulia, jika Yang Terberkahi
menjamin aku bisa mendapatkan para bidadari dengan kaki gemulai berwarna
merah-muda layaknya burung merpati, maka aku akan menikmati kehidupan
suci." Kemudian Yang Terberkahi memegang lengan Nanda dan melakukannya
seperti sebelumnya. Mereka lenyap dari Surga Tavatimsa dan muncul kembali di Hutan Jeta.
Sang lelaki
sekali waktu merantau di negeri orang,
Ketika melihat
anak orang lain, dia teringat anak sendiri,
Namun saat
menyaksikan perempuan lain, dia lupa isterinya sendiri.
Pangeran Nanda
diajak Sang Guru ke Swarga Loka,
Di kahyangan
nan permai dirinya terpesona bidadari berkaki segemulai burung merpati,
Dan melupakan
sang primadona Sakya, Janapada Kalyāṇi.
Para bhikkhu mendengar:
"Agaknya yang mulia Nanda menjalani kehidupan suci demi memperoleh
bidadari. Karena agaknya Yang Terberkahi telah menjamin untuk memperoleh para bidadari
dengan dengan kaki
gemulai berwarna merah-muda layaknya burung merpati." Kemudian para sahabatnya diantara para bhikkhu di sana
memperlakukannya sebagai orang sewaan yang menjual dirinya sendiri: "Yang
mulia Nanda adalah orang sewaan, agaknya, yang menjual dirinya sendiri, karena dia menjalani
kehidupan suci demi mendapatkan bidadari."
Ia lalu dihina, dipermalukan, dan
direndahkan dengan kata-kata cemoohan oleh kelompoknya. Sehingga dia pergi
mengasingkan dan tinggal menyendiri; lalu dengan rajin, bersemangat, dan
berpengendalin-diri, dia akhirnya merealisasikan dirinya dengan pengetahuan
langsung. Sekarang dan di sini pula ia memasuki dan berdiam pada sasaran agung
kehidupan suci, yang sesungguhnya menjadi dambaan seorang pemuka suku. Ia langsung mengetahui: "Kelahiran telah dilenyapkan,
kehidupan suci telah dijalankan, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan,
tidak akan ada lagi penjelmaan berikutnya." Dan yang mulia Nanda menjadi
salah satu dari para Arahanta.
Demikianlah
Nanda kemudian menarik kembali permintaan untuk mendapatkan bidadari dari Sang
Guru. Bagaimana nasib Janapada Kalyāṇi yang pernah menjadi tunangan Pangeran
Nanda? Perlu para pembaca ketahui, bahwa di belakang hari Janapada Kalyāṇi pun menjadi
seorang bhikkhuni yang terkemuka, mencapai tingkat kesucian tertinggi, dan ia
juga merupakan bagian dari para Arahanta.
sdjn/dharmaprimapustaka/220112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar