Akhir tahun 2016 silam warganet di Tanah Air
dihebohkan oleh satu tayangan video yang diunggah ke media sosial lewat salah
satu akun Twitter dan lainnya melalui akun Instagram. Tayangan itu
memperlihatkan Habib Rizieq, Imam besar Front Pembela Islam (FPI), dalam salah
satu ceramah keagamaan di hadapan umatnya mengeluarkan pernyataan: "Kalau
Tuhan beranak, yang jadi bidannya siapa?" Ucapan Rizieq sontak mendapat
kecaman keras dari kalangan Kristiani. Dengan pernyataannya dia diduga
melecehkan umat Kristen, dan buntut dari postingan
di media sosial itu, Rizieq dilaporkan ke polisi.
Kita bahas dulu konteks pemuka agama mengisi
khotbahnya dengan materi bahasan perbandingan ajaran yang dianutnya dengan
doktrin agama lain. Adalah hal biasa dalam diskursus keagamaan seorang ahli
agama menjelaskan ajaran agamanya, dengan mencari padanan atau kesamaan yang
terdapat pada ajaran agama lain. Ada kalanya umatnya sendiri yang mengajukan
pertanyaan, mengapa pada Agama "X" ada doktrin yang mirip dengan
ajaran yang dianutnya. Kita tahu ajaran agama-agama besar berbeda satu sama
lain. Jangankan antar agama, antar mazhab juga berbeda. Satu mazhab tapi lain
sekte, juga terdapat perbedaan. Satu sekte namun dari garis tradisi yang lain,
juga terdapat penekanan atau prioritas yang berbeda. Jadi dalam menjalankan
tugas membimbing umatnya, pemuka agama sedikit banyak mesti memiliki
pengetahuan yang memadai tentang perbedaan-perbedaan tersebut.
Sewaktu kita membandingkan agama lain dengan
agama yang kita anut, pertama-tama yang kita lakukan adalah meninggalkan
perspektif agama kita. Seperti contoh di atas seorang muslim yang hendak
memahami agama Kristen, seyogianya menanggalkan dahulu perspektif keislamannya,
tetapi bukan berarti meninggalkan keyakinan agamanya. Kemudian setelah menerima
pengetahuan tentang ajaran agama lain, terimalah hal itu sebagai fakta dan
bukan menilai apakah doktrin itu benar atau salah. Mempelajari ilmu
perbandingan agama harus didasari rasa ingin tahu yang jujur, bukan dengan rasa
kebencian, sehingga kita dapat mengetahui inti dari ajaran tersebut.
Kembali kepada subyek yang dibicarakan oleh Rizieq dalam
ceramahnya, yang dimaksud dengan anak dari Tuhan itu tidak lain Yesus Kristus. Dalam iman atau kepercayaan seorang Kristen
atau Nasrani, Yesus adalah Putera
Allah. Dari perspektif Agama Kristen Tuhan
itu Maha Kuasa, sehingga tiada yang mustahil
bagiNya. Jadi Tuhan bisa menjelma menjadi apa pun, termasuk menjadi manusia. Menyangkal bahwa Tuhan bisa menjelma menjadi
manusia, berarti tidak mengakui
Kemahakuasaan Tuhan. Untuk memahami Yesus itu Putera Allah kita bisa meninjau doktrin Kristiani tentang
"Trinitas" atau diindonesiakan sebagai Tritunggal. Trinitas berasal
dari kata Latin "trinus" yang artinya tiga serangkai atau rangkap
tiga. Tiga serangkai itu adalah Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus.
Namun bukan berarti Tuhan itu ada tiga. Tuhan itu tetap hanya satu.
Jika dalam agama Kristen ada konsep
Tritunggal atau Trinitas, pada keyakinan Buddha Mahāyāna ada pula doktrin Trikaya. Istilah ini berasal dari bahasa
Sanskerta, yang maknanya "Tiga Tubuh" atau "Tiga Raga".
Tetapi sebenarnya Trikaya lebih tepat
dikatakan sebagai "Tiga Modus Keberadaan". Tiga modus keberadaan itu adalah: (1) Dharmakaya atau Tubuh Esensi; (2) Sambhogakaya atau Tubuh Kenikmatan, yakni modus surgawi;
dan (3) Nirmanakaya atau Tubuh
Transformasi, yakni modus duniawi, saat Buddha muncul di bumi. Tubuh Kenikmatan
dianggap sebagai antarmuka atau interface
yang menjembatani Tubuh Esensi dengan Tubuh Transformasi.
Dengan cara pandang ini seorang Buddha
menampilkan diri dalam tiga cara yang berbeda. Melalui tiga tubuh ini seorang
Buddha secara berbarengan menjadi satu dengan Yang Mutlak, selagi dia muncul
dalam dunia yang relatif atau bersyarat untuk kepentingan makhluk-makhluk yang
menderita. Dalam pengertian ini, yakni "mutlak" dan
"relatif" menyentuh doktrin Dua Kebenaran pada Buddhisme Mahāyāna,
yang akan dijelaskan secara ringkas berikut ini. Kebenaran Relatif atau
Kebenaran Konvensional adalah dunia yang kita alami sehari-hari, sebuah tempat
yang penuh dengan keberagaman dan perbedaan-perbedaan. Sebaliknya pada Kebenaran Mutlak tidak ada itu keberagaman dan
perbedaan-perbedaan.
Kebenaran Mutlak itu adalah Dharmakaya. Dharmakaya berarti "tubuh sejati". Dharmakaya berada di luar keberadaan maupun ketiadaan, dan di luar konsep. Almarhum
Chogyam Trungpa menyebut Dharmakaya sebagai "dasar dari
ketidaklahiran yang sesungguhnya." Dharmakaya bukanlah tempat khusus di
mana hanya Buddha yang pergi. Dharmakaya
kadang-kadang diidentikkan dengan Sifat Buddha, yang dalam Buddhisme Mahayana merupakan sifat dasar semua makhluk. Dalam Dharmakaya,
tidak ada perbedaan antara Buddha dan orang lain. Dharmakaya identik dengan pencerahan sempurna, melampaui semua
bentuk persepsi. Karena itu juga kadang-kadang identik dengan sunyata, atau "kekosongan".
Sampai di sini para pembaca, semoga Anda
tidak menjadi bingung. Uraian mengenai Trikaya
ini memang harus dibaca berulang-ulang untuk dipahami.
Adalah menarik bahwa konsep Dharmakaya pernah dicoba untuk dijadikan
konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Adalah Y.A.
Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo (10-Feb-1918 – 19-Mei-1987)
dari Sangha Agung Indonesia, yang pernah memformulasikan
Ketuhanan YME dalam agama Buddha. Kejadiannya sudah lama sekali yakni akhir
dekade 70-an hingga awal 80-an. Penulis kenal secara pribadi dengan Bhante
Uggadhammo, dan bahkan sering berdiskusi di dalam kuti kediamannya di Vihara Dhanagun, Bogor. Meskipun tidak selalu
sependapat dengan beliau, Bhante kerap kali membagikan karyanya berupa tulisan
beliau sendiri. Sayang
sekali tulisan beliau tidak dapat ditemukan lagi dalam koleksi buku pribadi
penulis. Jika ada Pembaca yang tertarik untuk membaca dan mengkaji buah
penanya, mungkin bisa mencarinya di Perpustakaan Sangha Agung Indonesia.
Doktrin Trikaya
sendiri pernah penulis tanyakan dan diskusikan dengan Bapak Cornelis Wowor,
M.A. (5-Des-1948 – 1-Mar-2018), seorang
mantan bhikkhu Theravāda, dosen ilmu perbandingan agama, dan pernah menjabat
sebagai Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama RI. Ketika itu antara tahun 2013-2014, penulis mengikuti acara
Kelas-Dhamma di Vihara Buddha Sasana, Kelapa Gading. Cornelis Wowor, biasa kami
sapa dengan sebutan pak Wowor, sudah dianggap sebagai guru oleh penulis
sendiri. Nah, apa pendapat pak Wowor tentang doktrin Trikaya ini? Menurut beliau, konsep Trikaya berasal dari kitab Saddharma
Puṇḍarīka Stra, yang dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Sutra Bunga
Teratai. Uraian tentang Trikaya tidak
tercantum pada Sutra itu sendiri, tetapi dicantumkan dalam catatan kaki, atau
pada Komentar tentang Sutra tersebut. Menurut pak Wowor, jika konsep Trikaya bukan didapat pada naskah utama
Sutra, layakkah ajaran ini dijadikan sebagai acuan?
Konsep Trinitas ini tidak hanya dikenal dalam Agama
Kristen dan Agama Buddha Mahāyāna saja, tetapi dianut pula oleh ajaran Agama
Tao. Tiga Yang Suci atau 三清 dibaca Sānqīng (The
Three Pure Ones, Ingg), adalah Trinitas Tao, tiga dewa
tertinggi dalam jajaran Tao. Mereka dianggap sebagai manifestasi murni dari Tao
dan asal mula semua makhluk hidup. Dari Kitab Tao Te Ching, dinyatakan bahwa:
"Tao menghasilkan Satu; Satu menghasilkan Dua; Dua menghasilkan Tiga; Tiga
menghasilkan Segala sesuatu." Secara umum disepakati oleh para cendekiawan
Tao bahwa Tao menghasilkan Satu berarti Wuji
menghasilkan Taiji, dan Satu
menghasilkan Dua berarti Taiji menghasilkan
Yin dan Yang. Namun, subjek tentang bagaimana Dua menghasilkan Tiga tetap
menjadi perdebatan populer di kalangan Cendekiawan Tao. Kebanyakan sarjana
percaya bahwa itu mengacu pada Interaksi antara Yin dan Yang, dengan
kehadiran Chi, atau energi-kehidupan.
Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuánshǐ Tīanzūn, diterjemahkan sebagai "Yang
Mulia Surgawi dari Awal Primordial" atau "Penguasa
Langit Purba", adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang
tertinggi dari Tiga Yang Suci, dan dikenal pula sebagai 玉清 atau Yùqīng ,artinya "Yang Suci Kemala". Diyakini bahwa
dia muncul di awal alam semesta sebagai hasil dari penggabungan napas murni.
Dia kemudian menciptakan Langit (Surga) dan
Bumi.
Yuanshi Tianzun sebenarnya tanpa-awal
dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari
semua makhluk. Dia sebenarnya adalah representasi dari prinsip semua makhluk.
Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Penting
untuk dicatat bahwa pada awalnya Yuanshi
Tianzun tidak pernah diwakili dengan gambar atau patung. Belakangan, di
bangunan tengah Kuil Surga, dalam sebuah struktur yang disebut "Kubah
Kekaisaran Surga", sebuah papan-arwah bertuliskan nama Yuanshi Tianzun disimpan di atas takhta.
Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Língbǎo Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Yang
Mulia Kahyangan dari Harta Terhormat", juga dikenal sebagai 上清 atau Shàngqīng , artinya "Yang Suci Agung". Lingbao Tianzun dikaitkan dengan Yin dan Yang , dan dengan munculnya Shàngqīng
juga menandakan ekspansi besar ciptaan, sehingga membentuk alam semesta seperti
yang terlihat sekarang.
Yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dàodé Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Penguasa Jalan dan Kebajikannya",
juga dikenal sebagai 太清 atau Tàiqīng yakni "Yang
Agung Murni", atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tàishàng Lǎojūn yakni "Tuan Penatua Tertinggi". Diyakini
bahwa Daode Tianzun memanifestasikan
dirinya dalam wujud Nabi Lao Zi. Daode Tianzun juga merupakan “Bendahara Roh”,
yang dikenal sebagai Penguasa Manusia yang merupakan pendiri Taoisme. Dia
adalah yang paling terkemuka, seorang penguasa sepuh. Itulah sebabnya dia
adalah satu-satunya dari Tiga Yang Suci yang digambarkan dengan rambut putih-bersih dan berjanggut
putih pula.
Setelah kita mempelajari konsep Trinitas
dalam beberapa agama, kita bisa melihat benang merah dari ajaran-ajaran agama
besar yang ada di dunia pada saat ini. Jika kita membandingkan antara Buddhisme
Mahāyāna dengan Taoisme, Anda bisa melakukan perbandingan dan pengkajian antara
Dharmakaya dengan Yuanshi Tianzun, pula antara Sambhogakaya dengan Lingbao Tianzun, dan Nirmanakaya dengan Daode
Tianzun. Memang menarik untuk mempelajari ilmu perbandingan agama. Jadi
apakah Anda para pembaca berniat untuk mendalaminya juga?
sdjn/dharmaprimapustaka/211215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar