Kamis, 16 Desember 2021

TRINITAS


 

Akhir tahun 2016 silam warganet di Tanah Air dihebohkan oleh satu tayangan video yang diunggah ke media sosial lewat salah satu akun Twitter dan lainnya melalui akun Instagram. Tayangan itu memperlihatkan Habib Rizieq, Imam besar Front Pembela Islam (FPI), dalam salah satu ceramah keagamaan di hadapan umatnya mengeluarkan pernyataan: "Kalau Tuhan beranak, yang jadi bidannya siapa?" Ucapan Rizieq sontak mendapat kecaman keras dari kalangan Kristiani. Dengan pernyataannya dia diduga melecehkan umat Kristen, dan buntut dari postingan di media sosial itu, Rizieq dilaporkan ke polisi.

 

Kita bahas dulu konteks pemuka agama mengisi khotbahnya dengan materi bahasan perbandingan ajaran yang dianutnya dengan doktrin agama lain. Adalah hal biasa dalam diskursus keagamaan seorang ahli agama menjelaskan ajaran agamanya, dengan mencari padanan atau kesamaan yang terdapat pada ajaran agama lain. Ada kalanya umatnya sendiri yang mengajukan pertanyaan, mengapa pada Agama "X" ada doktrin yang mirip dengan ajaran yang dianutnya. Kita tahu ajaran agama-agama besar berbeda satu sama lain. Jangankan antar agama, antar mazhab juga berbeda. Satu mazhab tapi lain sekte, juga terdapat perbedaan. Satu sekte namun dari garis tradisi yang lain, juga terdapat penekanan atau prioritas yang berbeda. Jadi dalam menjalankan tugas membimbing umatnya, pemuka agama sedikit banyak mesti memiliki pengetahuan yang memadai tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

 

Sewaktu kita membandingkan agama lain dengan agama yang kita anut, pertama-tama yang kita lakukan adalah meninggalkan perspektif agama kita. Seperti contoh di atas seorang muslim yang hendak memahami agama Kristen, seyogianya menanggalkan dahulu perspektif keislamannya, tetapi bukan berarti meninggalkan keyakinan agamanya. Kemudian setelah menerima pengetahuan tentang ajaran agama lain, terimalah hal itu sebagai fakta dan bukan menilai apakah doktrin itu benar atau salah. Mempelajari ilmu perbandingan agama harus didasari rasa ingin tahu yang jujur, bukan dengan rasa kebencian, sehingga kita dapat mengetahui inti dari ajaran tersebut.

 

Kembali kepada subyek yang dibicarakan oleh Rizieq dalam ceramahnya, yang dimaksud dengan anak dari Tuhan itu tidak lain Yesus Kristus. Dalam iman atau kepercayaan seorang Kristen atau Nasrani, Yesus adalah Putera Allah. Dari perspektif Agama Kristen Tuhan itu Maha Kuasa, sehingga tiada yang mustahil bagiNya.  Jadi Tuhan bisa menjelma menjadi apa pun, termasuk menjadi manusia. Menyangkal bahwa Tuhan bisa menjelma menjadi manusia, berarti tidak mengakui Kemahakuasaan Tuhan. Untuk memahami Yesus itu Putera Allah kita bisa meninjau doktrin Kristiani tentang "Trinitas" atau diindonesiakan sebagai Tritunggal. Trinitas berasal dari kata Latin "trinus" yang artinya tiga serangkai atau rangkap tiga. Tiga serangkai itu adalah Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Namun bukan berarti Tuhan itu ada tiga. Tuhan itu tetap hanya satu.

 

Jika dalam agama Kristen ada konsep Tritunggal atau Trinitas, pada keyakinan Buddha Mahāyāna ada pula doktrin Trikaya. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, yang maknanya "Tiga Tubuh" atau "Tiga Raga". Tetapi sebenarnya Trikaya lebih tepat dikatakan sebagai "Tiga Modus Keberadaan". Tiga  modus keberadaan itu adalah: (1) Dharmakaya atau Tubuh Esensi; (2) Sambhogakaya  atau Tubuh Kenikmatan, yakni modus surgawi; dan (3) Nirmanakaya atau Tubuh Transformasi, yakni modus duniawi, saat Buddha muncul di bumi. Tubuh Kenikmatan dianggap sebagai antarmuka atau interface yang menjembatani Tubuh Esensi dengan Tubuh Transformasi.

 

Dengan cara pandang ini seorang Buddha menampilkan diri dalam tiga cara yang berbeda. Melalui tiga tubuh ini seorang Buddha secara berbarengan menjadi satu dengan Yang Mutlak, selagi dia muncul dalam dunia yang relatif atau bersyarat untuk kepentingan makhluk-makhluk yang menderita. Dalam pengertian ini, yakni "mutlak" dan "relatif" menyentuh doktrin Dua Kebenaran pada Buddhisme Mahāyāna, yang akan dijelaskan secara ringkas berikut ini. Kebenaran Relatif atau Kebenaran Konvensional adalah dunia yang kita alami sehari-hari, sebuah tempat yang penuh dengan keberagaman dan perbedaan-perbedaan. Sebaliknya pada Kebenaran Mutlak tidak ada itu keberagaman dan perbedaan-perbedaan.

 

Kebenaran Mutlak itu adalah Dharmakaya. Dharmakaya berarti "tubuh sejati". Dharmakaya berada di luar keberadaan maupun ketiadaan, dan di luar konsep. Almarhum Chogyam Trungpa menyebut Dharmakaya sebagai "dasar dari ketidaklahiran yang sesungguhnya." Dharmakaya bukanlah tempat khusus di mana hanya Buddha yang pergi. Dharmakaya kadang-kadang diidentikkan dengan Sifat Buddha, yang dalam Buddhisme Mahayana merupakan sifat dasar semua makhluk. Dalam Dharmakaya, tidak ada perbedaan antara Buddha dan orang lain. Dharmakaya identik dengan pencerahan sempurna, melampaui semua bentuk persepsi. Karena itu juga kadang-kadang identik dengan sunyata, atau "kekosongan".

 

Sampai di sini para pembaca, semoga Anda tidak menjadi bingung. Uraian mengenai Trikaya ini memang harus dibaca berulang-ulang untuk dipahami.

 

Adalah menarik bahwa konsep Dharmakaya pernah dicoba untuk dijadikan konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Adalah Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo (10-Feb-1918 – 19-Mei-1987) dari Sangha Agung Indonesia, yang pernah memformulasikan Ketuhanan YME dalam agama Buddha. Kejadiannya sudah lama sekali yakni akhir dekade 70-an hingga awal 80-an. Penulis kenal secara pribadi dengan Bhante Uggadhammo, dan bahkan sering berdiskusi di dalam kuti kediamannya di Vihara Dhanagun, Bogor. Meskipun tidak selalu sependapat dengan beliau, Bhante kerap kali membagikan karyanya berupa tulisan beliau sendiri. Sayang sekali tulisan beliau tidak dapat ditemukan lagi dalam koleksi buku pribadi penulis. Jika ada Pembaca yang tertarik untuk membaca dan mengkaji buah penanya, mungkin bisa mencarinya di Perpustakaan Sangha Agung Indonesia.

 

Doktrin Trikaya sendiri pernah penulis tanyakan dan diskusikan dengan Bapak Cornelis Wowor, M.A. (5-Des-1948 – 1-Mar-2018), seorang mantan bhikkhu Theravāda, dosen ilmu perbandingan agama, dan pernah menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama RI. Ketika itu antara tahun 2013-2014, penulis mengikuti acara Kelas-Dhamma di Vihara Buddha Sasana, Kelapa Gading. Cornelis Wowor, biasa kami sapa dengan sebutan pak Wowor, sudah dianggap sebagai guru oleh penulis sendiri. Nah, apa pendapat pak Wowor tentang doktrin Trikaya ini? Menurut beliau, konsep Trikaya berasal dari kitab Saddharma Puṇḍarīka Stra, yang dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Sutra Bunga Teratai. Uraian tentang Trikaya tidak tercantum pada Sutra itu sendiri, tetapi dicantumkan dalam catatan kaki, atau pada Komentar tentang Sutra tersebut. Menurut pak Wowor, jika konsep Trikaya bukan didapat pada naskah utama Sutra, layakkah ajaran ini dijadikan sebagai acuan?

 

Konsep Trinitas ini tidak hanya dikenal dalam Agama Kristen dan Agama Buddha Mahāyāna saja, tetapi dianut pula oleh ajaran Agama Tao. Tiga Yang Suci atau  三清 dibaca Sānqīng (The Three Pure Ones, Ingg), adalah Trinitas Tao, tiga dewa tertinggi dalam jajaran Tao. Mereka dianggap sebagai manifestasi murni dari Tao dan asal mula semua makhluk hidup. Dari Kitab Tao Te Ching, dinyatakan bahwa: "Tao menghasilkan Satu; Satu menghasilkan Dua; Dua menghasilkan Tiga; Tiga menghasilkan Segala sesuatu." Secara umum disepakati oleh para cendekiawan Tao bahwa Tao menghasilkan Satu berarti Wuji menghasilkan Taiji, dan Satu menghasilkan Dua berarti Taiji menghasilkan Yin dan Yang. Namun, subjek tentang bagaimana Dua menghasilkan Tiga tetap menjadi perdebatan populer di kalangan Cendekiawan Tao. Kebanyakan sarjana percaya bahwa itu mengacu pada Interaksi antara Yin dan Yang, dengan kehadiran Chi, atau energi-kehidupan.

 

Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuánshǐ Tīanzūn, diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Surgawi dari Awal Primordial" atau "Penguasa Langit Purba", adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci, dan dikenal pula sebagai 玉清 atau Yùqīng ,artinya "Yang Suci Kemala". Diyakini bahwa dia muncul di awal alam semesta sebagai hasil dari penggabungan napas murni. Dia kemudian menciptakan Langit (Surga) dan Bumi.

 

Yuanshi Tianzun sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia sebenarnya adalah representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Penting untuk dicatat bahwa pada awalnya Yuanshi Tianzun tidak pernah diwakili dengan gambar atau patung. Belakangan, di bangunan tengah Kuil Surga, dalam sebuah struktur yang disebut "Kubah Kekaisaran Surga", sebuah papan-arwah bertuliskan nama Yuanshi Tianzun disimpan di atas takhta.

 

Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Língbǎo Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Kahyangan dari Harta Terhormat",  juga dikenal sebagai 上清 atau Shàngqīng , artinya "Yang Suci Agung". Lingbao Tianzun dikaitkan dengan Yin dan Yang , dan dengan munculnya Shàngqīng juga menandakan ekspansi besar ciptaan, sehingga membentuk alam semesta seperti yang terlihat sekarang.

 

Yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dàodé Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Penguasa Jalan dan Kebajikannya", juga dikenal sebagai 太清 atau Tàiqīng yakni  "Yang Agung Murni", atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tàishàng Lǎojūn  yakni "Tuan Penatua Tertinggi". Diyakini bahwa Daode Tianzun memanifestasikan dirinya dalam wujud Nabi Lao Zi. Daode Tianzun juga merupakan “Bendahara Roh”, yang dikenal sebagai Penguasa Manusia yang merupakan pendiri Taoisme. Dia adalah yang paling terkemuka, seorang penguasa sepuh. Itulah sebabnya dia adalah satu-satunya dari Tiga Yang Suci yang  digambarkan dengan rambut putih-bersih dan berjanggut putih pula.

 

Setelah kita mempelajari konsep Trinitas dalam beberapa agama, kita bisa melihat benang merah dari ajaran-ajaran agama besar yang ada di dunia pada saat ini. Jika kita membandingkan antara Buddhisme Mahāyāna dengan Taoisme, Anda bisa melakukan perbandingan dan pengkajian antara Dharmakaya dengan Yuanshi Tianzun, pula antara Sambhogakaya dengan Lingbao Tianzun, dan Nirmanakaya dengan Daode Tianzun. Memang menarik untuk mempelajari ilmu perbandingan agama. Jadi apakah Anda para pembaca berniat untuk mendalaminya juga?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211215

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar