Sekali waktu penulis berkunjung ke sebuah
rumah ibadah umat Buddha dan Konghucu yang sedang menyelenggarakan
persembahyangan akbar tahunan. Saat itu tinggal beberapa hari menjelang
peringatan Tahun Baru Imlek. Lilin-lilin merah berukuran setinggi orang dewasa
sedang dipersiapkan di depan altar utama. Sebagian umat sedang mencuci
buah-buahan yang baru mereka beli, yang lalu ditata dengan rapi di atas piring
untuk dipersembahkan di meja sembahyang. Asap dupa berkepul-kepul memenuhi
ruangan dan membuat mata kita terasa pedih, sementara umat yang lain sambil
memegang hio berdoa di hadapan rupang-rupang dewa yang ada di sana. Ada
ritual lain yang menarik di vihara ini setelah puja-bakti perseorangan usai,
terutama bagi mereka yang mau melakukannya. Ritual itu berupa melepas burung ke
alam bebas.
Penulis melihat di sekeliling pekarangan
rumah ibadah itu sudah diisi oleh beberapa pedagang burung. Burung pipit yang
berukuran kecil bercicit di dalam sangkar-sangkar ukuran besar dan sedang. Pada
setiap sangkar besar mungkin ada lebih dari dua ratus ekor yang dijejalkan di
dalamnya. Burung-burung itu dijual seharga dua ribu sampai tiga ribu rupiah per
ekor. Ada umat yang membeli lima ekor, dua puluh ekor, bahkan lebih dari
seratus ekor. Setelah burung dibeli dan berpindah tangan, burung-burung itu
dilepaskan oleh si pembeli dengan cara membuka pintu kandang disertai doa dan
harapan pembelinya. Iseng-iseng penulis menghampiri seorang wanita paruh baya
yang sedang memegang sebuah kandang burung kecil dan bersiap-siap untuk
melaksanakan ritual tersebut. Dia baru saja membeli 20 ekor seharga Rp 50 ribu
rupiah. "Apa maksudnya Ibu sampai melepas burung?" sapa penulis.
Wanita itu menjawab, "saya melaksanakan ajaran agama. Kasihan makhluk-makhluk
kecil ini. Ketimbang dikurung, bukankah lebih baik jika mereka dibiarkan
bebas?" Seorang anak muda laki-laki di dekatnya baru saja selesai
melepaskan burung yang dibelinya. Dia bercerita baru saja menebus 50 ekor
burung seharga Rp 100 ribu. Pemuda itu memiliki alasan tersendiri,
"melepas burung itu dimaksudkan untuk 'membuang sial', apalagi sebentar
lagi sudah ganti tahun."
Seorang rekan penulis yang beragama lain dan pernah menyaksikan acara pelepasan burung bertanya kepada penulis. "Saya heran melihat orang di tempat ibadah itu yang melepaskan burung-burung ke angkasa. Hewan tersebut sebetulnya merupakan hasil tangkapan dari alam, yang kemudian oleh pemburu dan pengepulnya dijual kembali di vihara. Saya pikir ini merupakan praktik yang absurd." Penulis hanya bisa termanggu-manggu, tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan didasari argumentasi yang masuk akal. Adalah memang benar ada pemburu burung di desa, yang menangkap burung dengan memakai perekat dan umpan, atau dengan menggunakan jaring halus. Selanjutnya ada pengepul burung yang tugasnya membeli hasil buruan dari masing-masing penangkap individu dengan harga murah, dan selanjutnya dikumpulkan menjadi banyak dalam sejumlah kandang besar. Setelah terkumpul burung dalam jumlah besar, sang pengepul menjualnya kepada juragan-burung di kota besar. Juragan lalu mengupah orang – biasanya para pekerja serabutan – untuk menjajakan burung di vihara. Juragan-burung paham benar kapan sebaiknya dia menjajakan barang dagangannya di rumah ibadah, agar jualannya laku laris manis. Dalam proses yang bermula sejak burung ditangkap sampai hewan yang malang itu dijajakan di halaman vihara, entah sudah berapa banyak burung yang tewas karena stress, terluka, berdesak-desakan, kelaparan, terguncang-guncang dalam perjalanan, dan oleh sebab-sebab lainnya.
Praktik melepas burung atau makhluk hidup
lainnya dikenal sebagai fangsheng.
Istilah ini berasal dari bahasa Mandarin 放生 atau fàngshēng dengan makna literalnya
"membebaskan makhluk yang terancam hidupnya" (life release dalam bahasa Inggris). Fangsheng merupakan sebuah tradisi kuno yang berasal dari Buddhisme
Tiongkok sekitar abad keenam Masehi. Konon menurut asal-usulnya di satu vihara
para bhikshu memprakarsai, agar pada waktu tertentu umat diminta melepaskan
ikan dan kura-kura ke kolam yang ada di halaman rumah ibadah tersebut. Ikan dan
kura-kura yang dibebaskan tersebut sebelumnya merupakan hewan tangkapan yang
hendak disembelih guna dikonsumsi oleh manusia. Namun praktik melepaskan
makhluk hidup di Tiongkok sudah berlangsung lebih dari 2300 tahun yang lalu,
artinya jauh sebelum ajaran Buddha masuk ke Tiongkok. Pada masa Dinasti Han
(206 seb.M – 220 M) ada ritual minta hujan dengan
cara melepaskan anak katak diiringi doa-doa tertentu, dan upaya ini ternyata
manjur mendatangkan hujan. Jadi sejak zaman kuno diyakini membebaskan makhluk
hidup yang terancam akan menghasilkan berkah bagi mereka yang melakukannya.
Jika kita meneliti Kanon Pali, sepengetahuan penulis,
tidak pernah ada anjuran dari Sang Buddha kepada para pengikutnya untuk
melakukan ritual pelepasan makhluk hidup. Di negara-negara Buddhis yang
menganut paham Theravada, praktik fangsheng tidaklah
populer, tetapi anehnya ada vihara Theravada di Indonesia yang secara reguler
mengajak umatnya melakukan ritual fangsheng. Di Tiongkok
Daratan pun praktik ini mengalami pasang surutnya. Selama Revolusi Kebudayaan
antara tahun
1960-an sampai 70-an Tiongkok di
bawah kepemimpinan Mao
Zedong, praktik fangsheng sempat dilarang,
karena dianggap sebagai takhyul yang sudah
ketinggalan zaman. Namun, tradisi fangsheng masih banyak dipercayai dan dipraktikkan oleh Diaspora
Tionghoa di mancanegara.
Kita kembali pada kasus fangsheng dengan cara membebaskan burung di
halaman vihara atau kelenteng, yang menurut pandangan sebagian orang merupakan
tindakan blunder, yang awalnya
dipandang mendatangkan karma-baik alih-alih kemudian menciptakan lahan bisnis
bagi segelintir orang untuk mengeksploitasi hewan-hewan yang tidak berdaya.
Ternyata tidak hanya burung yang menjadi obyek fangsheng, tetapi ada juga ikan,
penyu, ular, bahkan serangga (serangga misalnya jengkerik, yang biasanya dijual untuk
pakan burung atau ikan). Salah satu praktik fangsheng yang berujung pada tuntutan hukum
terjadi di tahun 2017 silam, akan penulis ceritakan kembali kepada pembaca
sekalian terutama ditujukan kepada para praktisi fangsheng. Dari kisah ini kita belajar bahwa
niat baik saja tidaklah cukup, tetapi harus dibekali oleh pengetahuan dan dalam
eksekusinya diperhitungkan dengan saksama, agar tujuan praktik fangsheng yang mulia bisa tercapai dengan
baik.
Berawal dari imbauan Guru Hai Tao
yang mengunjungi sebuah komunitas Buddhis binaannya pada tahun 2015 di Inggris,
lebih dari seratus orang pengikutnya, berniat menghormati ajaran pimpinan
mereka dengan mempraktikkan fangsheng. Hai Tao sendiri dikenal sebagai pendiri Compassion for Life Organization, satu
yayasan yang mempromosikan kesejahteraan hewan. Di tahun 2017 kelompok itu
membeli krustasea dalam berbagai jenis di pasar hewan laut setempat. Sesampainya
di Marina Brighton mereka menyewa tiga perahu, kemudian setelah perahu menempuh
jarak sejauh satu mil dari lepas pantai, mereka melepaskan semua hewan yang
diangkutnya ke dalam laut. Mereka kembali ke pantai dengan perasaan lega dan
terhibur karena telah melakukan karma baik.
Namun ritual pelepasan hewan yang di
Indonesia mungkin dianggap sebagai perkara yang sepele, berakibat fatal jika
dilakukan di negara maju yang kesadaran pada pelestarian lingkungan sangatlah
tinggi. Pelepasan ratusan lobster dan kepiting asing ke laut lepas Brighton
telah membawa petaka pada fauna lokal di sana. Pelepasan hewan asing ke area
yang bukan merupakan habitat asalnya membawa lebih banyak bahaya ketimbang
kemaslahatannya. Praktik fangsheng yang
dilakukan oleh komunitas Buddhis dari London ini diketahui oleh masyarakat dan
kasus ini berujung ke ranah hukum. Dua orang yang bertanggung jawab pada
kegiatan tersebut, yakni Zhixiong Li, 30, dan Ni Li, 33, didakwa oleh
Pengadilan Brighton karena melanggar Undang-Undang Margasatwa dan Pedesaan
1981. Tuduhannya melepaskan spesies non-asli ke alam liar dan menyebabkan
“kerusakan yang tak terhitung” pada kehidupan laut. Keduanya
diperintahkan untuk membayar denda dan kompensasi total lebih dari £28.000 (sekitar Rp 535 juta).
Para pemrakarsa fangsheng adalah orang yang berpikir sederhana. "Ayo kita lepas
burung!" Lalu burung-burung beterbangan di angkasa. Urusan pun beres. Lain
kali mereka mencoba pada hewan lain, "ayo, kita lepas ikan air tawar di
Danau Sunter!" Ikan-ikan pun dibebaskan dan berenang di perairan umum.
Urusan pun beres. Namun apakah segalanya beres? Nyatanya tidak. Kita tinjau
kasus burung yang dijajakan di pekarangan vihara. Anda tahu burung pipit yang imut-imut itu adalah burung yang hidup
di areal persawahan. Makanannya adalah bijih-bijihan dan mereka hidup
bergerombol pada pohon yang tumbuh dekat pematang sawah. Sekarang burung malang
itu dilepas di tengah hutan beton di Jakarta. Mereka kebingungan harus mencari
makan dimana, karena sawah tidak dapat lagi ditemukan di kota metropolitan ini.
Masih beruntung jika hewan ini menemukan tempat sampah untuk mencari
remah-remah sisa makanan manusia. Di tempat lain umat Buddha yang sedang
melakukan fangsheng di Danau Sunter menarik perhatian
beberapa pemancing ikan, yang sedang memasang umpan di kail pancingan mereka.
"Wah, ini sudah menjadi rejeki kita. Besok saja kita kembali ke sini dan
ajak teman-teman lain untuk memancing. Pasti ikannya sudah bertambah
banyak." Memang naas nian ikan yang baru di-fangsheng. Baru keluar dari mulut harimau, sekarang malah masuk ke mulut
buaya.
Dari penuturan di atas sebagian dari Anda mungkin berpikir
penulis adalah orang yang tidak suka atau anti terhadap praktik fangsheng. Anda keliru, penulis setuju fangsheng tetap dilakukan oleh umat Buddha atau Konghucu, namun pelepasan
makhluk ini dilakukan dengan cerdas agar tujuan mulia kita tercapai. Kita harus
berpikir jauh dengan mengkaji: (1) Apakah hewan yang kita lepas memiliki masa
depan yang baik di tempat tinggalnya yang baru? (2) Apakah kehadiran binatang
ini tidak mengancam kehidupan satwa asli di sana, atau apakah mereka kelak
justru menjadi predator di lingkungannya yang baru? Jadi pemrakarsa fangsheng haruslah orang yang memiliki wawasan yang luas dan dibekali
pengetahuan biologi dan ekologi yang memadai.
Penulis kenal sekelompok aktivis vihara yang secara reguler
melakukan kegiatan fangsheng. Dalam setiap kegiatannya mereka mengajak anak-anak dan remaja.
Pada kesempatan itu anak-anak melepas sendiri ikan dan bulus (kura-kura
bercangkang lunak) ke danau atau sungai. Kegiatan ini selain menghibur juga
menanamkan cinta kasih kepada hewan. Anak-anak kita tidak mudah lagi
terpengaruh oleh temannya yang suka menganiaya satwa.
Sebelum menutup tulisan ini, penulis ingin membagikan
kisah pelepasliaran tukik alias anak penyu yang dilakukan di pinggir Pantai
Ketapang Indah, Banyuwangi, yang diadakan pada bulan Juli 2019 yang lalu.
Kegiatan ini diprakarsai oleh umat Tridharma Banyuwangi dengan Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF), sebuah yayasan nirlaba yang
peduli dengan konservasi penyu endemik Selat Bali. Kita mungkin pernah
menyaksikan film dokumenter tentang bagaimana berat dan berbahayanya induk
penyu yang hendak bertelur di pantai berpasir. Setelah telur-telur itu menetas,
kita saksikan ratusan tukik bergegas dan berpacu dari sarang mereka menuju laut
lepas. Selama perjalanan tidak sedikit tukik yang dimangsa oleh burung,
reptilia, dan mamalia yang berkeliaran di pantai. Sekarang berkat campur tangan
manusia, induk penyu bisa bertelur dengan aman di pantai, telur-telurnya dijaga
sebelum menetas, dan semua tukik diantarkan dengan selamat ke tepi samudera.
Sebagai yayasan nirlaba BSTF memerlukan dana dari masyarakat. Sekarang bagaimana jika umat
yang ingin melakukan fangsheng
menyumbangkan uangnya ke yayasan ini, lalu pimpinan mengorganisir umatnya untuk
menghadiri dan ikut-serta sewaktu tukik dilepaskan ke laut? Bukankah dengan
demikian umat bisa melakukan fangsheng
dengan cara yang cerdas? Semoga apa yang dilakukan oleh umat Tridharma
Banyuwangi bisa dijadikan model pelaksanaan ritual fangsheng di masa mendatang.
sdjn/dharmaprimapustaka/211201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar