Kamis, 18 November 2021

BANJIR BESAR


 

Sebagai siswa sekolah yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah di sekolah swasta Katolik, penulis mengenal dan bahkan hafal kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru. Salah satu cerita yang mengesankan dan tidak terlupakan terjadi sewaktu kami duduk di kelas tiga atau empat sekolah dasar, yakni Kisah Nabi Nuh. Sebagai bocah ingusan generasi kami mudah mencerna dan mengingat narasi-narasi dengan tokoh-tokoh dunia yang menakjubkan, terutama yang pernah terjadi di zaman kuno atau jauh di masa silam.

 

Bagaimana kisah Nabi Nuh ini? Demikianlah pada masa itu orang berasal dari satu komunitas. Mereka menjalani kehidupan yang sederhana. Mereka bercocok tanam dan berburu hewan. Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Sekarang mereka yang merasa kuat mulai menindas golongan yang lemah. Yang tertekan ini hidup dalam kesusahan, dan kedudukan mereka tidak lebih dari budak. Pada saat itu mungkin empat ribu tahun yang lalu, Nabi Nuh hidup di tanah yang dibatasi oleh Sungai Tigris dan Eufrat.

 

Demikianlah Nuh mengetahui bahwa sebagian besar rakyat menjalani kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan mereka telah jauh melenceng dari kebenaran. Pada satu hari orang-orang mendengar Nuh berkata, "Wahai, kalian. Aku telah diutus oleh Tuhan. Kalian sudah berbuat jahat dan melanggar perintahNya. Dia telah banyak memberikan karunianya kepada kalian, namun kini kalian mengikuti hawa nafsu kalian dan tidak mentaati apa yang telah digariskannya.  Bertobatlah!" Orang banyak memprotesnya, "mengapa si tukang kayu ini (Nuh) menyalahkan kita? Apa hak dia mengatasnamakan Tuhan?"

 

Bukannya menuruti kata-kata Nuh, mereka justru memusuhinya dan berkali-kali ingin mencelakakannya. Ternyata orang yang menentang Nuh lebih banyak daripada orang yang mentaatinya. Sampai akhirnya Tuhan Allah mengutus malaikatnya dan meminta Nuh untuk membuat satu bahtera yang berukuran besar. Ukuran bahtera itu panjang 450 kaki, lebar 75 kaki, dan tinggi 45 kaki, dan sampan besar itu tidak dilengkapi dengan layar, dayung, atau pun kemudi. Bahtera pun dibangun tiga tingkat, dengan lantai dasar, lantai tengah, dan lantai atas. Walaupun Nuh memiliki keahlian sebagai tukang kayu, tetap dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun perahu besar itu, karena tidak banyak orang yang mau membantu dan menuruti kemauannya.

 

Demikianlah hingga mendekati hari yang dijanjikan. Tuhan meminta Nuh untuk mengisi bahtera itu sampai terisi penuh. Apa saja yang dimuat ke dalamnya? Ya, makanan dan perlengkapan untuk hidup bagi Nuh dan para pengikutnya. Kemudian benih tumbuh-tumbuhan, dan lalu segala macam hewan, sepasang demi sepasang dinaikkan ke dalam bahtera. Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, mengejek Nuh dan bahteranya. Namun, tidak berapa lama kemudian langit menjadi gelap, angin dingin datang menyergap, kilat menyambar-nyambar, disertai guntur yang memekakkan telinga. Hujan pun mulai turun, mulanya sedikit, tetapi lambat laun hujan deras datang bagai dicurahkan dari langit. Bukan saja air hujan yang turun ke bumi, tetapi sungai pun mengamuk, danau bergolak, mata air mengucurkan tirta murninya tanpa henti, dan ketinggian air samudera pun naik terus. Hujan yang amat dahsyat berlangsung selama 40 hari dan 40 malam, bahkan puncak pegunungan tertinggi pun turut disapu air bah.

 

Tidak ada orang atau makhluk hidup lainnya yang selamat dari banjir besar tersebut, kecuali yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh. Bahtera itu terombang-ambing mengikuti gelombang dan arus air. Akhirnya, air mulai surut, dan bahtera itu berhenti di Pegunungan Ararat, yakni di daerah Turki saat ini. Nuh mengambil seekor burung gagak, yang dilepaskannya dari bahtera, dan kemudian seekor merpati. Dua kali dia mencobanya pada burung merpati dan dua kali itu pula merpati kembali kepadanya dengan tangan hampa. Baru pada penerbangan ketiga, burung itu kembali dengan cabang zaitun di paruhnya, menunjukkan bahwa air telah surut cukup jauh, dan pepohonan telah menumbuhkan daun baru. Turun dari bahtera, Nuh membangun sebuah mezbah bagi Tuhan, mezbah pertama yang disebutkan dalam Alkitab, dan memberikan persembahan. Dan ketika Tuhan mencium bau anggur yang menyenangkan, Tuhan berkata dalam hatinya, "Aku tidak akan pernah lagi mengutuk tanah karena manusia. Aku juga tidak akan pernah lagi menghancurkan setiap makhluk hidup seperti yang telah Aku lakukan sebelumnya. Selama bumi masih ada, waktu menabur dan menuai, dingin dan panas, musim panas dan musim dingin, siang dan malam, tidak akan pernah berhenti."

 

Cerita tentang terjadinya banjir besar yang meluluhlantakkan peradaban manusia bukan hanya bersumber dari Alkitab saja. Berikut ini penulis menceritakan kembali kisah serupa yang berasal dari India. Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), ada seorang Menteri dari Raja Dravida, yang bernama Manu. Sang Menteri adalah orang yang konsisten mencari kebenaran. Karena Manu benar-benar jujur, ia awalnya dikenal sebagai Satyavrata (artinya: "Satu dengan sumpah kebenaran"). Dikisahkan sekali waktu ketika Manu sedang mencuci tangannya di sebuah sungai, seekor ikan kecil masuk ke tangannya. Sang Ikan memohon kepada Manu agar dia diselamatkan jiwanya. Dengan welas-asih yang dimilikinya, Manu membawa ikan itu pulang dan dia menyimpannya di dalam sebuah stoples. Manu tidak mengetahui bahwa ikan kecil itu sesungguhnya sesosok Avatar, yakni penjelmaan dari Dewa Vishnu.

 

Sang ikan yang dipelihara di kediaman Manu itu terus tumbuh semakin besar, sampai Manu memasukkannya ke dalam kendi. Tidak berselang lama, dia harus mencari wadah yang lebih lapang karena si ikan terus membesar. Kali ini tidak ada jalan lain,  Manu menempatkannya di dalam sumur. Ketika sumur itu juga terbukti tidak cukup untuk ikan yang terus tumbuh, dia memindahkannya ke  sebuah waduk, yang panjangnya dua yojana (sekitar 25 km) dan lebarnya satu yojana. Ketika ikan itu tumbuh lebih jauh lagi, Manu harus membawanya ke sungai yang besar. Dan bahkan ketika sungai itu terbukti tidak mencukupi, dia akhirnya menempatkan sang ikan di lautan.

 

Saat itulah Sang Avatar memberi tahu Manu tentang ancaman banjir besar yang akan segera melanda bumi. Dia minta agar Manu membangun sebuah perahu besar yang dapat menampung keluarganya, berbagai benih, dan hewan untuk mengisi kembali bumi. Hal itu diperlukan karena setelah banjir reda, lautan akan surut dan daratan perlu diisi kembali dengan tetumbuhan, hewan, dan manusia. Selama banjir besar, Manu mengikat perahu ke tanduk ikan yang pernah diipeliharanya sejak kecil. Perahunya terdampar setelah banjir surut dan ternyata Manu mendarat di sebuah puncak gunung. Dia kemudian turun dari gunung dan mengadakan upacara kurban dan sesembahan sebagai rasa syukur atas penyelamatannya. Konon semua orang di bumi saat ini adalah keturunan dari Manu.

 

Cerita banjir besar yang melanda bumi bukan saja terdapat dalam Alkitab dan Kitab Veda saja. Mitos Sumeria menceritakan bagaimana Dewa Enki memperingatkan Raja Shuruppak, atas keputusan para dewata untuk membinasakan umat manusia dengan air bah. Peradaban Babilonia mengenal Epos Gilgames, mengisahkan bagaimana Sang Pahlawan (Gilgames) diminta oleh Dewa Ea untuk membangun sebuah kapal, yang akan digunakan untuk menyelamatkannya kaumnya dari bencana banjir besar. Legenda Yunani menceritakan air bah Deukalion yang menenggelamkan Athena dan Atlantis. Semua kisah tentang air bah memiliki tema yang serupa, yakni satu banjir besar dalam skala global pernah terjadi di bumi. Musibah itu terjadi karena manusia banyak melakukan perbuatan yang jahat dan tercela, dan sebagai hukumannya Yang Maha Kuasa atau Dewa Penguasa mendatangkan bencana besar. Setelah air bah reda, dunia dan manusia dimuliakan kembali.

 

Kisah-kisah tentang banjir besar di atas menceritakan bahwa bencana dahsyat tersebut terjadi di zaman lampau yang tidak disebutkan tahunnya, atau kita sebut berlangsung di waktu-mitis. Kita sekarang akan meninjau musibah air bah yang benar-benar berlangsung di zaman prasejarah di daerah lain. "Seperti air mendidih yang tak ada habisnya, banjir membawa kehancuran. Tak mengenal batas dan meluap, melebihi bukit dan gunung. Air naik dan naik terus hingga mengancam langit. Pastilah orang-orang yang berada di sana sedang mengerang dan menderita!" Demikianlah ungkapan kegundahan Kaisar Yáo (), yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi, putus asa menghadapi kekejaman alam. Peristiwa itu berlangsung menjelang akhir milenium ketiga sebelum Masehi, dan selama dua generasi kekacauan telah menjadi musibah langganan. Semua sungai diantaranya Sungai Kuning dan Sungai Yangtze telah meluapkan air hingga jauh dari tepiannya, merusak daratan dan kehidupan manusia, dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Air bah itu diabadikan sebagai “Banjir Besar” dalam legenda Tiongkok.

 

Sampai akhirnya ketika penerus Yao menunjuk seorang pria bernama Yu, guna memecahkan masalah klasik itu.  Yu Agung (大禹 dà yǔ) atau "大禹治水 Dà Yǔ Zhì Shuǐ atau Yu Agung  yang mengendalikan air" adalah sosok yang tidak meninggalkan catatan sejarah, sehingga tidak dapat ditelusuri sebagai tokoh yang benar-benar ada. Tetapi warisan yang ditinggalkannya, yaitu sistem pengerukan, tanggul, dan pembagian air di hilir, menjadikan kisah keberhasilannya mampu memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan hingga ribuan tahun sesudah kematiannya. Ini menyiratkan bahwa peradaban Tiongkok sesungguhnya ditopang dengan memanfaatkan kekuatan air.

 

Siapa Yu Agung? Anda tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang pasti, meskipun namanya pertama kali disebutkan pada masa Dinasti Zhou, dan dia hidup dari tahun 2123 sampai 2025 seb. M. Catatan kehidupannya sendiri ditulis setidaknya 2.000 tahun kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Han. Puluhan kota di Tiongkok mengklaim sebagai tempat kelahirannya. Satu-satunya peninggalan yang mengidentifikasikan dirinya adalah "musi", sejenis cangkul tradisional dan alat kuno untuk pengendalian banjir. Sejarawan Agung dari masa Dinasti Han, Sīmǎ Qiān atau , yakin bahwa kakek buyut Yu adalah Kaisar Kuning yang termasyhur itu.

 

Menurut beberapa penutur, ayah Yu sendiri, Gun, telah berupaya untuk mengendalikan banjir yang acapkali melanda wilayah kekaisaran itu, tetapi dia gagal total. Kaisar Shun, seorang pria yang berbudi luhur, memerintahkan Yu untuk melanjutkan proyek ayahnya. Yu bertekad untuk belajar dari kesalahan ayahnya , "Untuk mengalirkan sembilan sungai ke empat lautan, saya memperdalam saluran dan kanal, dan menghubungkannya dengan sungai," Melalui sistem kanal, Yu membagi sungai, mengurangi kekuatan arusnya yang tidak terkendali, dan menyiapkan saluran irigasi yang memungkinkan dibangunnya pemukiman permanen di tepi sungai yang subur di Tiongkok. Dia juga ditugaskan membangun infrastruktur bangunan air, areal pertanian, dan sarana transportasi sungai.

 

Beginilah kehidupan Yu selama 13 tahun berikutnya. "Dengan pakaian compang-camping dan pola makan yang buruk, dia mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, siang dan malam, sampai gubuk yang ditempatinya pun runtuh ke dalam parit ... . Di satu sisi dia menggunakan garis penanda, dan di sisi lain dia memanfaatkan kompas," tulis Sima Qian. "Selama 13 tahun dia bekerja keras melintasi negeri, tidak pernah kembali ke rumah dan istrinya. Dia melewati pintu depan rumahnya tanpa menyinggahinya tiga kali selama dekade itu, tetapi tidak pernah masuk, bahkan ketika putranya yang masih kecil melihat dia untuk pertama kalinya dan memanggil nama ayahnya. Dia bukan pengawas yang menyendiri, tetapi membantu anak buahnya menggali lumpur dari tanggulnya, hari demi hari, tahun demi tahun."

 

Upaya Yu membuat Sungai Kuning tidak banjir lagi akan terbukti kelak, paling tidak selama lebih dari satu milenium. Kaisar Shun sangat terkesan dengan dedikasi dan kebajikan Yu sehingga dia menyerahkan ahli waris takhtanya kepada Yu. Reputasinya sebagai penguasa yang bijaksana dan berbudi luhur, kelak dijadikan suri tauladan oleh Nabi Kong Zi. Ketokohannya dijadikan panutan bagi kaisar Han dan kaisar yang selanjutnya. Sang Guru pun berkata, “Pada diri Yu saya tidak dapat menemukan letak kesalahannya,” sembari memuji karena Yu secara teratur berkorban kepada leluhur, mengenakan pakaian kasar, dan menyantap makanan sederhana. Setelah 10 tahun memerintah dia jatuh sakit sewaktu mengadakan tur ke daerah timur, tepatnya di sebelah selatan Shaoxing modern. Kota ini sendiri memiliki kuil kuno untuk menghormati Yu Agung, yang dikunjungi oleh para kaisar di setiap dinasti, untuk memberi penghormatan kepada sang pahlawan penakluk-banjir.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211117

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar