UPAYA MEMACU LITERASI DIGITAL
Pada tulisan terdahulu kawan penulis mempertanyakan, untuk
apa penulis menerbitkan buku cetak, padahal masyarakat Indonesia kini hampir
tidak ada waktu untuk membaca buku. Namun mereka
bisa menghabiskan waktu berjam-jam sehari untuk menatap gawai seraya
menyampaikan pesan dengan menekan tombol-tombol di telepon-pintar mereka. Di
sini kita menghadapi satu kenyataan yang kontradiktif. Orang Indonesia dikatakan
memiliki tingkat literasi atau minat baca yang rendah, tetapi di sisi lain
mereka juga gemar menghabiskan waktu untuk menyimak apa yang muncul di gawai
yang mereka miliki. Dengan gawai yang dimiliki semakin canggih mereka bisa
masuk ke media sosial, melakukan chatting atau bercakap-cakap dengan
saling mengirim pesan teks, berbagi musik dan lagu favorit, menonton video, dan
seabrek kegiatan lainnya.
Pada tahun 2015 dan 2016 telah dilakukan pemeringkatan
literasi atau minat baca negara-negara di dunia. Dari tiga macam pemeringkatan
literasi tersebut oleh berbagai lembaga yang berbeda, sudah dapat dipastikan
peringkat Indonesia berada di nomor buncit. Kita ambil
survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada Maret 2016, dengan tajuk "World's Most
Literate Nations". Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasarkan
kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan
ketersediaan komputer. Hasilnya, Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya
unggul dari Botswana. Nomor satu dalam pemeringkatan ini adalah Finlandia, disusul Norwegia,
Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, Amerika Serikat, dan Jerman.
Sekarang pertanyaannya, mengapa minat baca orang Indonesia itu
rendah? Orang bilang, membaca dan buku itu ibarat melihat jendela dunia. Jadi
dengan membaca kita seolah-olah sedang berkeliling
dunia. Tentu berkeliling dunia dalam tanda kutip, karena memang raga kita tetap
tinggal di tempat, tetapi pikiran dan imajinasi kita yang melanglang buana
keliling dunia. Sekarang orang bisa melanglang buana sedemikian jauh,
yang mana aktivitas ini relatif mudah dilakukan, tetapi mengapa minat baca
tetap rendah? Lingkungan hidup sekitar kita merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perilaku kita. Lingkungan yang paling dekat bagi seseorang adalah
keluarga, disusul dengan lingkup sekolah atau tempat kerja dan seterusnya. Jika
lingkungan keluarga kita sudah tidak membudayakan kebiasaan membaca atau bahkan
membeli buku pun jarang atau tidak pernah dilakukan, dari mana benih-benih minat membaca dapat ditumbuhkan?
Ya, faktor lingkungan ini yang dominan, sampai ke
lingkungan negara kita yang tercinta ini. Menurut Priyo Sularso, seorang
pustakawan yang bekerja pada Perpustakaan Nasional RI, mengemukakan bahwasanya
rakyat Indonesia berangkat dari budaya kelisanan primer (primary orality),
yakni mendapatkan pengetahuan dengan penyampaian lisan. Kelemahannya sudah
pasti, transfer pengetahuan bersifat terbatas, karena tidak semua informasi
yang dibutuhkan secara lisan bisa ditransmisikan dengan
sempurna. Budaya selanjutnya adalah budaya baca-tulis atau budaya cetak. Budaya
cetak baru memasuki Indonesia sekitar abad ke-20, sedangkan bagi negara-negara
Eropa, budaya tersebut telah berakar antara dua ratus hingga tiga ratus tahun sebelumnya. Pantas saja masyarakat di
sana memegang posisi puncak dalam peringkat literasi. Dengan budaya cetak yang
mapan, masyarakat bisa bersinggungan lebih luas dengan apa
yang berada di luar kediriannya atau kedirian kolektifnya, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk memperbaiki tatanan kehidupan
sekaligus peradabannya. Belum terbiasa dengan budaya cetak, masyarakat
Indonesia digempur dengan teknologi yang lebih maju yakni mendapatkan informasi
dari media elektronik. Menurut data BPS tahun 2006, menunjukkan orang Indonesia
yang membaca untuk memperoleh informasi jumlahnya baru 23,5 persen dari total
penduduk. Sedangkan yang menonton televisi sebanyak 85,9 prosen dan mendengarkan
radio 40,3 persen. Belum selesai digempur media elektronik, pada tahun-tahun
terakhir ini masyarakat Indonesia mulai menggandrungi media internet. Kebiasaan
membaca buku di Indonesia yang dilakukan oleh kalangan terpelajar juga tidak diapresiasi
oleh lingkungan sekitarnya. Istilah "kutu buku" dialamatkan kepada
seorang yang aktif membaca buku, sering digambarkan sebagai sosok yang
berkacamata tebal, dengan wajah serius yang asyik di dunianya sendiri, asosial,
mendapatkan cap buruk di masyarakat kita. Itulah sekedar ulasan mengapa kita tertinggal dalam menumbuhkan minat baca dibandingkan
dengan negara-negara maju.
Jadi orang Indonesia lebih suka membaca konten-konten yang
dimuat di media sosial atau situs-situs lainnya yang tersedia di internet?
Tidak masalah. Dengan begitu muncul pula minat baca secara digital atau yang orang sekarang menyebutnya sebagai literasi digital. Menurut
Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang
diakses melalui piranti komputer. Dengan banyaknya sumber di internet kita
dapat memperoleh informasi secara cepat dalam jumlah yang banyak.
Juga kita dapat mengaksesnya secara gratis. Di samping berbagai keunggulannya kita harus berhati-hati karena tidak semua informasi yang kita
dapatkan di internet merupakan berita yang benar. Sebagian dari informasi itu
adalah berita bohong alias hoax yang dapat dikategorikan sebagai sampah.
Mendapatkan berita atau informasi si internet atau di dunia
maya memang tujuan pertama orang memanfaatkan teknologi informasi, namun belakangan
orang memanfaatkannya untuk dapat saling berkomunikasi, berbagi, membentuk jejaring, serta beragam kegiatan lainnya.
Dari kemampuan internet yang semakin bertambah, kemudian lahirlah media sosial. Dengan media sosial semua orang yang memiliki ponsel
pintar bisa memiliki media sendiri. Pengguna sekarang tidak hanya pasif yakni
menerima informasi, tetapi ia dapat berperan-serta dengan cara menyalin,
menyunting, menambahkan, memodifikasi baik itu tulisan, gambar, video, dan berbagai konten lainnya. Seiring
dengan perkembangan zaman berbagai jenis platform
media sosial juga semakin mudah dipilih. Media sosial pun semakin kreatif, inovatif, dan canggih. Di kalangan para milenial media sosial yang populer antara lain
WhatsApp. Facebook, YouTube, Instagram, Twitter,
Reddit, Telegram, Pinterest, Tumbir, Flickr, dan lain sebagainya.
Sejak awal perkembangan media sosial, orang dengan cerdik
memindahkan konten yang ada di media konvensional (buku cetak, surat kabar, majalah)
ke media sosial, terutama ditujukan agar jangkauan pembacanya menjadi lebih
luas. Dengan demikian literasi terhadap media konvensional beralih
menjadi literasi digital. Pada awalnya sekitar pertengahan dekade 2000-an untuk mengakses media sosial, di Indonesia hanya bisa dilakukan
melalui computer desktop atau laptop. Kemudian muncul di pasar ponsel, telepon
pintar yang bernama Blackberry. Inilah telepon pintar pertama yang menjadikan
media sosial bisa diakses oleh lebih banyak pengguna. Selanjutnya
sejak dekade 2010-an, telepon pintar berbagai merk bermunculan dan media sosial
mendapat angin untuk semakin berkuasa, seiring dengan makin banyaknya
orang yang mampu membeli telepon pintar.
Penulis ingin memberi contoh bagaimana konten yang ada di
buku cetak dialihkan ke media sosial. Konten itu berisi cerita yang berasal
dari Ajahn Brahm, seorang bhikkhu berkebangsaan Inggris yang selama
bertahun-tahun mempelajari dan mempraktikkan agama Buddha di sebuah vihara hutan di Thailand sekitar tahun 70-an. Sekali waktu sang bhikkhu berkesempatan membangun sebuah vihara baru di Australia. Di sana mereka berhasil membeli
sebidang tanah, tetapi mereka jatuh miskin alias tidak punya dana lagi untuk membuat
sebuah bangunan yang layak huni. Berangsur-angsur keadaan menjadi lebih baik
dan mereka bisa membeli pintu bekas dengan harga murah di pasar loak dan bahan
bangunan untuk mulai membangun rumah. Sebagai seorang bhikkhu yang dulunya
pernah bekerja sebagai guru sekolah menengah dan menyandang titel sarjana fisika, sang bhikkhu
kesulitan melakukan pekerjaan tukang yang notabene
merupakan pekerjaan kasar.
Demikianlah kisahnya, sang bhikkhu terpaksa melakukan pekerjaan
tukang batu dengan tugas utamanya membangun sebuah dinding batu. Semula dikira
pekerjaan itu mudah; tinggal menuangkan adonan plesteran-semen sepanjang bidang
yang ingin dibuat tembok, lalu taruh beberapa buah batu bata di atasnya, dan
segalanya akan beres. Untuk membentuk susunan batu bata yang rapih
dilakukan dengan bantuan seutas benang yang sudah direntangkan secara
horizontal sebagai penunjuk, posisi batu bata diluruskan dan diratakan dengan
cara batu yang agak menonjol diketuk, hingga tumpukan batu bata pertama menjadi
rapih dan rata. Setelah lapisan pertama selesai, pada bagian deretan batu bata
yang telah terpasang dilapisi lagi dengan adonan plesteran lagi dan pekerjaan
berulang seperti tadi. Setelah dilakukan sendiri pekerjaan yang semula
diperkirakan mudah, begitu satu bata ditempatkan di atas adonan plesteran, sering
terjadi bata lainnya yang sudah menempel bergerak ke arah yang tidak dikehendaki!
Hanya bermodalkan kesabaran dan waktu yang berlimpah, akhirnya satu bidang
dinding selesai. Sang bhikkhu memeriksa hasilnya dan di sana telah tercipta sebuah dinding yang kokoh dan indah. Tapi alamak!
Ternyata didapati ada dua buah batu bata di bagian bawah
dinding yang jelek susunannya, yang tidak sebagus susunan batu bata lainnya. Si bhikkhu menjadi jengkel dan gusar, serta ia berniat merobohkan
tembok itu dan bertekad membangunnya lagi dari awal, namun bhikkhu kepala
melarang dia untuk melakukannya.
Prestasi membangun satu dinding batu yang bagus yang semestinya
disyukuri, berubah
menjadi kekecewaan ketika ia mendapatkan ada cacat kecil dalam karyanya. Di sini kita bisa memperluas kasus serupa
dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak terjadi perceraian antara
pasangan yang telah hidup bersama bertahun-tahun,
hanya karena salah satu pihak melihat ada sedikit kekurangan pada pasangannya,
padahal sebenarnya ada banyak sifat yang baik pada pasangannya itu.
Hanya karena ada dua buah batu bata jelek di sana, membutakan pandangannya
bahwa dinding yang baru dibangun itu buruk, padahal di sana masih ada 998 buah
batu bata yang tersusun dengan baik dan sempurna.
Kisah yang penulis contohkan di atas diambil dari buku
"Membuka Pintu Hati" yang dikarang oleh Ajahn Brahm dengan Penerbit
Karaniya terbitan Tahun 2005. Cerita tentang "Dua Batu Bata Jelek" itu disalin ke dalam format digital serta selanjutnya
diedarkan melalui jejaring pertemanan yahoogroups.com, yang popular pada masa itu. Walaupun si pengarang beragama Buddha dan bercerita
tentang membangun vihara, tetapi cerita ini beredar dalam media sosial dan mereka yang
membaca dan meneruskannya bukan saja orang yang beragama Buddha saja. Cerita ini pernah populer di masa itu, mengingat pelajaran
yang bisa dipetiknya bersifat universal.
Seperti yang bisa kita saksikan hari ini, sudah banyak
sekali konten yang bernafaskan pelajaran agama Buddha dan kebijaksanaan dari
Timur yang berseliweran di media sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya
sebagian konten itu berasal dari media cetak konvensional. Kita boleh gembira
bahwa Dhamma atau Dharma bisa dikenal dan dipelajari oleh semakin banyak orang.
Kita pun semakin berharap umat Buddha semakin memiliki minat baca terhadap
ajaran agamanya lewat pemberdayaan dalam bentuk literasi digital atau
melek-digital.
Sebagai penerbit baru yang memproduksi buku cetak yang bernafaskan
ajaran agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur, kami Dharma Prima Niaga juga
secara periodik akan berupaya memuat konten-konten serupa di media sosial agar
umat dapat membacanya demi memperluas wawasan mereka dan dapat mengambil hikmah
serta menarik pelajaran dari ajaran agama yang mereka anut. Konten yang dipilih
sebagian diambil dari isi buku yang telah atau yang akan diterbitkan. Dengan
begitu kami turut berperan serta mewujudkan masyarakat Indonesia agar mereka
semakin terampil dalam literasi digital.
penerbitan&perbukuan/sdjn/191025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar