Senin, 13 Januari 2020

UPAYA MEMACU LITERASI DIGITAL



UPAYA MEMACU LITERASI DIGITAL




Pada tulisan terdahulu kawan penulis mempertanyakan, untuk apa penulis menerbitkan buku cetak, padahal masyarakat Indonesia kini hampir tidak ada waktu untuk membaca buku. Namun mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam sehari untuk menatap gawai seraya menyampaikan pesan dengan menekan tombol-tombol di telepon-pintar mereka. Di sini kita menghadapi satu kenyataan yang kontradiktif. Orang Indonesia dikatakan memiliki tingkat literasi atau minat baca yang rendah, tetapi di sisi lain mereka juga gemar menghabiskan waktu untuk menyimak apa yang muncul di gawai yang mereka miliki. Dengan gawai yang dimiliki semakin canggih mereka bisa masuk ke media sosial, melakukan chatting atau bercakap-cakap dengan saling mengirim pesan teks, berbagi musik dan lagu favorit, menonton video, dan seabrek kegiatan lainnya.

Pada tahun 2015 dan 2016 telah dilakukan pemeringkatan literasi atau minat baca negara-negara di dunia. Dari tiga macam pemeringkatan literasi tersebut oleh berbagai lembaga yang berbeda, sudah dapat dipastikan peringkat Indonesia  berada di nomor buncit. Kita ambil survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) pada Maret 2016, dengan tajuk "World's Most Literate Nations". Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasarkan kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Hasilnya, Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya unggul dari Botswana. Nomor satu dalam pemeringkatan ini adalah  Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, Amerika Serikat, dan Jerman.

Sekarang pertanyaannya, mengapa minat baca orang Indonesia itu rendah? Orang bilang, membaca dan buku itu ibarat melihat jendela  dunia.  Jadi dengan  membaca kita seolah-olah sedang berkeliling dunia. Tentu berkeliling dunia dalam tanda kutip, karena memang raga kita tetap tinggal di tempat, tetapi pikiran dan imajinasi kita yang melanglang buana keliling dunia. Sekarang orang bisa melanglang buana sedemikian jauh, yang mana aktivitas ini relatif mudah dilakukan, tetapi mengapa minat baca tetap rendah? Lingkungan hidup sekitar kita merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku kita. Lingkungan yang paling dekat bagi seseorang adalah keluarga, disusul dengan lingkup sekolah atau tempat kerja dan seterusnya. Jika lingkungan keluarga kita sudah tidak membudayakan kebiasaan membaca atau bahkan membeli buku pun jarang atau tidak pernah dilakukan, dari mana benih-benih minat membaca dapat ditumbuhkan?

Ya, faktor lingkungan ini yang dominan, sampai ke lingkungan negara kita yang tercinta ini. Menurut Priyo Sularso, seorang pustakawan yang bekerja pada Perpustakaan Nasional RI, mengemukakan bahwasanya rakyat Indonesia berangkat dari budaya kelisanan primer (primary orality), yakni mendapatkan pengetahuan dengan penyampaian lisan. Kelemahannya sudah pasti, transfer pengetahuan bersifat terbatas, karena tidak semua informasi yang dibutuhkan secara lisan bisa ditransmisikan dengan sempurna. Budaya selanjutnya adalah budaya baca-tulis atau budaya cetak. Budaya cetak baru memasuki Indonesia sekitar abad ke-20, sedangkan bagi negara-negara Eropa, budaya tersebut telah berakar antara dua ratus hingga tiga ratus tahun sebelumnya. Pantas saja masyarakat di sana memegang posisi puncak dalam peringkat literasi. Dengan budaya cetak yang mapan, masyarakat bisa bersinggungan lebih luas dengan apa yang berada di luar kediriannya atau kedirian kolektifnya, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk memperbaiki tatanan kehidupan sekaligus peradabannya. Belum terbiasa dengan budaya cetak, masyarakat Indonesia digempur dengan teknologi yang lebih maju yakni mendapatkan informasi dari media elektronik. Menurut data BPS tahun 2006, menunjukkan orang Indonesia yang membaca untuk memperoleh informasi jumlahnya baru 23,5 persen dari total penduduk. Sedangkan yang menonton televisi sebanyak 85,9 prosen dan mendengarkan radio 40,3 persen. Belum selesai digempur media elektronik, pada tahun-tahun terakhir ini masyarakat Indonesia mulai menggandrungi media internet. Kebiasaan membaca buku di Indonesia yang dilakukan oleh kalangan terpelajar juga tidak diapresiasi oleh lingkungan sekitarnya. Istilah "kutu buku" dialamatkan kepada seorang yang aktif membaca buku, sering digambarkan sebagai sosok yang berkacamata tebal, dengan wajah serius yang asyik di dunianya sendiri, asosial, mendapatkan cap buruk di masyarakat kita. Itulah sekedar ulasan mengapa kita tertinggal dalam menumbuhkan minat baca dibandingkan dengan negara-negara maju.

Jadi orang Indonesia lebih suka membaca konten-konten yang dimuat di media sosial atau situs-situs lainnya yang tersedia di internet? Tidak masalah. Dengan begitu muncul pula minat baca secara digital atau yang orang sekarang menyebutnya sebagai literasi digital. Menurut Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Dengan banyaknya sumber di internet kita dapat memperoleh informasi secara cepat dalam jumlah yang banyak. Juga kita dapat mengaksesnya secara gratis. Di samping berbagai keunggulannya kita harus berhati-hati karena tidak semua informasi yang kita dapatkan di internet merupakan berita yang benar. Sebagian dari informasi itu adalah berita bohong alias hoax yang dapat dikategorikan sebagai sampah.

Mendapatkan berita atau informasi si internet atau di dunia maya memang tujuan pertama orang memanfaatkan teknologi informasi, namun belakangan orang memanfaatkannya untuk dapat saling berkomunikasi, berbagi, membentuk jejaring, serta beragam kegiatan lainnya. Dari kemampuan internet yang semakin bertambah, kemudian lahirlah media sosial. Dengan media sosial semua orang yang memiliki ponsel pintar bisa memiliki media sendiri. Pengguna sekarang tidak hanya pasif yakni menerima informasi, tetapi ia dapat berperan-serta dengan cara menyalin, menyunting, menambahkan, memodifikasi baik itu tulisan, gambar, video, dan berbagai konten lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman berbagai jenis platform media sosial  juga  semakin mudah  dipilih.  Media sosial  pun  semakin kreatif, inovatif, dan canggih. Di kalangan para milenial media sosial yang populer antara lain WhatsApp. Facebook, YouTube, Instagram, Twitter, Reddit, Telegram, Pinterest, Tumbir, Flickr, dan lain sebagainya.


Sejak awal perkembangan media sosial, orang dengan cerdik memindahkan konten yang ada di media konvensional (buku cetak, surat kabar, majalah) ke media sosial, terutama ditujukan agar jangkauan pembacanya menjadi lebih luas. Dengan demikian literasi terhadap media konvensional beralih menjadi literasi digital. Pada awalnya sekitar pertengahan dekade 2000-an untuk mengakses media sosial, di Indonesia hanya bisa dilakukan melalui computer desktop atau laptop. Kemudian muncul di pasar ponsel, telepon pintar yang bernama Blackberry. Inilah telepon pintar pertama yang menjadikan media sosial bisa diakses oleh lebih banyak pengguna. Selanjutnya sejak dekade 2010-an, telepon pintar berbagai merk bermunculan dan media sosial mendapat angin untuk semakin berkuasa, seiring dengan makin banyaknya orang yang mampu membeli telepon pintar.

Penulis ingin memberi contoh bagaimana konten yang ada di buku cetak dialihkan ke media sosial. Konten itu berisi cerita yang berasal dari Ajahn Brahm, seorang bhikkhu berkebangsaan Inggris yang selama bertahun-tahun mempelajari dan mempraktikkan agama Buddha di sebuah vihara hutan di Thailand sekitar tahun 70-an.  Sekali waktu sang bhikkhu berkesempatan membangun sebuah vihara baru di Australia. Di sana mereka berhasil membeli sebidang tanah, tetapi mereka jatuh miskin alias tidak punya dana lagi untuk membuat sebuah bangunan yang layak huni. Berangsur-angsur keadaan menjadi lebih baik dan mereka bisa membeli pintu bekas dengan harga murah di pasar loak dan bahan bangunan untuk mulai membangun rumah. Sebagai seorang bhikkhu yang dulunya pernah bekerja sebagai guru sekolah menengah dan menyandang titel sarjana fisika, sang bhikkhu kesulitan melakukan pekerjaan tukang yang notabene merupakan pekerjaan kasar.

Demikianlah kisahnya, sang bhikkhu terpaksa melakukan pekerjaan tukang batu dengan tugas utamanya membangun sebuah dinding batu. Semula dikira pekerjaan itu mudah; tinggal menuangkan adonan plesteran-semen sepanjang bidang yang ingin dibuat tembok, lalu taruh beberapa buah batu bata di atasnya, dan segalanya akan beres. Untuk membentuk susunan batu bata yang rapih dilakukan dengan bantuan seutas benang yang sudah direntangkan secara horizontal sebagai penunjuk, posisi batu bata diluruskan dan diratakan dengan cara batu yang agak menonjol diketuk, hingga tumpukan batu bata pertama menjadi rapih dan rata. Setelah lapisan pertama selesai, pada bagian deretan batu bata yang telah terpasang dilapisi lagi dengan adonan plesteran lagi dan pekerjaan berulang seperti tadi. Setelah dilakukan sendiri pekerjaan yang semula diperkirakan mudah, begitu satu bata ditempatkan di atas adonan plesteran, sering terjadi bata lainnya yang sudah menempel bergerak ke arah yang tidak dikehendaki! Hanya bermodalkan kesabaran dan waktu yang berlimpah, akhirnya satu bidang dinding selesai. Sang bhikkhu memeriksa hasilnya dan di sana telah tercipta sebuah dinding yang kokoh dan indah. Tapi alamak! Ternyata didapati ada dua buah batu bata di bagian bawah dinding yang jelek susunannya, yang tidak sebagus susunan batu bata lainnya. Si bhikkhu menjadi jengkel dan gusar, serta ia berniat merobohkan tembok itu dan bertekad membangunnya lagi dari awal, namun bhikkhu kepala melarang dia untuk melakukannya.

Prestasi membangun satu dinding batu yang bagus yang semestinya disyukuri, berubah menjadi kekecewaan ketika ia mendapatkan ada cacat kecil dalam karyanya. Di sini kita bisa memperluas kasus serupa dalam kehidupan sehari-hari.  Betapa banyak terjadi perceraian antara pasangan yang telah hidup bersama bertahun-tahun, hanya karena salah satu pihak melihat ada sedikit kekurangan pada pasangannya, padahal sebenarnya ada banyak sifat yang baik pada pasangannya itu. Hanya karena ada dua buah batu bata jelek di sana, membutakan pandangannya bahwa dinding yang baru dibangun itu buruk, padahal di sana masih ada 998 buah batu bata yang tersusun dengan baik dan sempurna.

Kisah yang penulis contohkan di atas diambil dari buku "Membuka Pintu Hati" yang dikarang oleh Ajahn Brahm dengan Penerbit Karaniya terbitan Tahun 2005. Cerita tentang "Dua Batu Bata Jelek" itu disalin ke dalam format digital serta selanjutnya diedarkan melalui jejaring pertemanan yahoogroups.com, yang popular pada masa itu. Walaupun si pengarang beragama Buddha dan bercerita tentang membangun vihara, tetapi cerita ini beredar dalam media sosial dan mereka yang membaca dan meneruskannya bukan saja orang yang beragama  Buddha saja. Cerita ini pernah populer di masa itu, mengingat pelajaran yang bisa dipetiknya bersifat universal.

Seperti yang bisa kita saksikan hari ini, sudah banyak sekali konten yang bernafaskan pelajaran agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur yang berseliweran di media sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya sebagian konten itu berasal dari media cetak konvensional. Kita boleh gembira bahwa Dhamma atau Dharma bisa dikenal dan dipelajari oleh semakin banyak orang. Kita pun semakin berharap umat Buddha semakin memiliki minat baca terhadap ajaran agamanya lewat pemberdayaan dalam bentuk literasi digital atau melek-digital.

Sebagai penerbit baru yang memproduksi buku cetak yang bernafaskan ajaran agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur, kami Dharma Prima Niaga juga secara periodik akan berupaya memuat konten-konten serupa di media sosial agar umat dapat membacanya demi memperluas wawasan mereka dan dapat mengambil hikmah serta menarik pelajaran dari ajaran agama yang mereka anut. Konten yang dipilih sebagian diambil dari isi buku yang telah atau yang akan diterbitkan. Dengan begitu kami turut berperan serta mewujudkan masyarakat Indonesia agar mereka semakin terampil dalam literasi digital.




penerbitan&perbukuan/sdjn/191025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar