Minggu, 12 Januari 2020

PROSPEK PENERBITAN BUKU DI ERA DISRUPSI

PROSPEK PENERBITAN BUKU DI ERA DISRUPSI




Seorang kawan lama penulis memandang dengan mimik tak percaya dan terheran-heran, sesaat setelah penulis bercerita bahwa kami memiliki gagasan untuk mendirikan satu usaha penerbitan buku. Serta lebih gila lagi, naskah-naskah yang akan diterbitkan adalah buku-buku agama, bukan novel atau komik yang terbilang lebih laku untuk dijajakan. Sang kawan yang memahami pula masalah perbukuan di Tanah Air malahan menukasnya : "Coba kamu kunjungi toko buku terkenal yang ada di mal atau  pusat perbelanjaan kelas atas.  Lihat sendiri perkembangan usaha mereka dalam tahun-tahun terakhir ini. Area yang dikhususkan untuk buku-buku pengetahuan bukannya semakin luas, malahan kini semakin menyusut. Sekarang mereka lebih banyak menjajakan alat tulis  fancy, peralatan olahraga, dan alat-alat musik dibandingkan dengan buku-buku yang bermutu. Lalu untuk apa menerbitkan buku cetak? Masyarakat Indonesia kini hampir tidak ada waktu untuk membaca buku, tetapi mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam sehari untuk menatap gawai seraya menyampaikan pesan dengan menekan tombol-tombol di telepon-pintar mereka."

Jangankan kawan lama penulis tadi yang mengemukakan pendapat seperti itu, Anda sekalian para pembaca banyak pula yang berpendapat seperti itu. Mungkin diantara pembaca ada yang pernah menerima artikel yang mengupas tentang disrupsi. Apa itu disrupsi? Disrupsi dalam bahasa sehari-hari bermakna perubahan yang mendasar atau fundamental. Kata "disrupsi" sering digunakan dalam kata "era disrupsi", yang berarti fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan seluruhnya di dunia nyata ke kelompok kegiatan yang berada di dunia maya. Era disrupsi juga bermakna sebagai era digitalisasi, yang mana aktivitas atau kegiatan dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet atau media daring (dalam jaringan).

Beberapa tahun yang lalu kita bahkan tidak pernah membayangkan kemudahan yang akan terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, yang membuat kita semakin dimanjakan oleh gaya hidup yang baru. Alih-alih mencari ojek-motor ke pangkalan atau mendapatkan jasa angkut dengan taksi resmi,  sekarang dengan bantuan telepon pintar yang ada di genggaman kita mampu untuk memanggil layanan "Grab" dalam hitungan menit. Sewaktu kita sedang sibuk dan tidak sempat mencari makan di luar, kita cukup memesan makanan dan minuman apa pun yang kita sukai lewat jasa "Go-Food", hanya dengan menekan tombol di gawai kita; demikian juga jika kita memerlukan barang tertentu secara dadakan, dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama barang kita akan diantar oleh "GoSend". Mau memesan barang tertentu seperti misalnya kamera, kita cukup berse-lancar di berbagai situs e-dagang seperti "Tokopedia" atau "Bukalapak", kemudian menjatuhkan pilihan kita dan membayarnya secara daring, lalu dalam hitungan satu atau dua hari barang yang kita inginkan sudah sampai di tangan kita.

Di satu pihak ada yang diuntungkan, di lain pihak ada yang dirugikan. Itulah hukum yang berlaku di alam semesta. Era disrupsi ini pun sudah memakan banyak korban, seperti pengemudi ojek tradisional, sopir taksi konvensional, serta banyak pelaku usaha ritel. Beberapa tahun belakangan ini usaha ritel konvensional seperti "7-Eleven", "Lotus", dan "Debenhams" tumbang, sedangkan "Matahari" dan belakangan "Giant" mengurangi besaran usahanya. Cerita sedih itu mirip dengan nasib toko buku mainstream yang dipertanyakan oleh kawan lama penulis tadi, bukanlah diakibatkan oleh jumlah konsumen yang berkurang, melainkan disebabkan oleh perilaku konsumen yang berubah secara fundamental. Sebagai contoh konsumen tidak lagi meluangkan waktunya untuk membeli sepatu atau kosmetik di gerai-gerai yang menyediakan barang-barang tersebut di sebuah department  store. Mereka  cukup  mencarinya lewat telepon pintar, yang mampu menawarkan barang dalam aneka pilihan yang begitu luas. Bahkan mereka bisa sekaligus membandingkan harga untuk barang yang sama pada beberapa toko di dunia maya. Setelah pilihan barang yang diinginkan ditemukan, mereka langsung melakukan pembayaran dengan cara transfer, yang bisa dilakukan dengan mudah lewat telepon genggam mereka. Jadi perdagangan eceran nasional secara makro sesungguhnya  tidak berkurang,  bahkan terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang stabil, kelas menengah di Indonesia semakin bertambah, yang pada gilirannya mereka membutuhkan semakin banyak barang konsumsi.

Ada orang yang berpendapat jasa transportasi di perkotaan didisrupsi oleh "Gojek" dan usaha ritel konvensional diubah secara fundamental oleh pelaku "e-dagang" serta buku cetak didisrupsi oleh buku-elek-tronik atau buku digital alias buku-e  (atau ebook). Betulkan demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, penulis akan memaparkan apa sebetulnya yang dimaksud dengan buku-elektronik. Buku elektronik adalah versi elektronik dari buku cetak. Jika buku konvensional berbentuk kumpulan kertas yang berisi naskah dan gambar, maka buku elektronik berisikan informasi digital yang berwujud teks dan gambar. Buku elektronik dikembangkan dan dipopulerkan oleh "Amazon.com", yang mana sekarang ini perusahaan tersebut telah menjelma menjadi satu korporasi e-dagang terbesar di dunia. Amazon meluncurkan tablet keluaran mereka sendiri yang bernama "Kindle", yang khusus digunakan untuk  membaca buku elektronik. Puluhan ribu judul buku dijual secara daring di laman mereka dan pelanggan bisa langsung mendapatkan buku elektronik secara sah setelah mereka membelinya. Sumber buku elektronik yang legal di Indonesia contohnya adalah "Buku Sekolah Elektronik (BSE)" yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan lisensi terbuka yang terdiri dari  banyak buku teks.  Buku-buku di BSE telah dibeli hak ciptanya oleh Pemerintah Indonesia melalui Depdiknas, sehingga bebas diunduh dan direproduksi oleh siapa pun, boleh diperjualbelikan walaupun dengan batas atas harga yang telah ditentukan.

Berikut ini dipaparkan beberapa kelebihan buku konvensional dibandingkan dengan buku elektronik. Pertama buku konvensional memudahkan kita untuk berbagi. Buku-buku tersebut yang dipajang di almari terbuka di toko buku atau di rak-buku  yang ada di rumah atau kantor mengundang pembaca kantor mengundang pembaca yang potensial untuk memilih buku mana yang ia sukai, yang kemudian akan dibacanya, dipinjamnya, atau dibelinya. Sebaliknya buku-buku elektronik dimiliki secara pribadi yang tersimpan dalam piranti-baca dan bahkan orang terdekat sekali pun tidak berniat untuk meliriknya. Ingin berbagi ebook dengan teman atau orang rumah? Tampaknya hal itu tak pernah terpikirkan. Alasan yang kedua, buku konvensional bisa dijadikan hadiah atau cindera mata dari seseorang atau lembaga tertentu, apalagi jika buku itu berupa buku yang diberi sampul-keras (hard cover) dengan disain yang menarik. Setelah tahun-tahun berlalu, kenangan tentang kisah didapatkannya buku itu dan orang yang menghadiahkannya masih tetap hidup. Buku elektronik? Mustahil dijadikan sebagai hadiah. Alasan yang ketiga, buku konvensional menyajikan pilihan jenis huruf (font) yang kaya,  terutama untuk bacaan anak-anak. Justru di sinilah keganjilannya, karena piranti-baca semacam Kindle hanya menyediakan pilihan jenis huruf yang terbatas. Ini merupakan hal yang ironis karena di layar komputer kita bisa menjumpai aneka jenis huruf.

Keunggulan yang keempat tidak lain memudahkan dalam proses belajar. Halaman demi halaman buku konvensional bisa dilipat, ditulisi atau dikomentari dengan pena atau pensil, di-stabilo, ditempelkan stiker, diselipkan pembatas buku, sedangkan pada piranti-baca ebook hanya bisa ditandai dengan maksimal empat warna penanda yang berbeda. Anda sedang mempelajari matematika atau Abhidhamna? Penulis menjamin Anda lebih mudah menguasai materinya jika menggunakan buku konvensional ketimbang menyimaknya lewat buku elektronik. Alasan yang kelima, dengan membaca buku konvensional akan mudah menularkannya kepada putera dan puteri kita di usia sekolah. Orang tua membaca buku di hadapan anak-anaknya adalah teladan yang baik, yang tak bisa tergantikan bila kita membaca buku elektronik. Alasan yang keenam, buku konvensional itu bisa dirasakan oleh indera kita apakah bentuknya halus, cetakannya jelas dan bersih, bahkan ada aroma yang bisa diendus darinya terutama untuk buku-buku kuno. Inilah salah satu ciri buku konvensional yang tidak bisa diperoleh dari buku elektronik.

Kita kembali pada pernyataan apakah betul bahwasanya buku konvensional didisrupsi oleh buku-elektronik. Di awal popularitas buku elektronik yang terjadi pada pergantian abad dua-puluh ke dua-puluh-satu, orang yakin hal itu akan terjadi, tetapi dari pemaparan yang penulis sampaikan di atas tampaknya disrupsi pada buku tidak akan terjadi. Salah satu alasannya, tidak ada ebook yang menyabet kategori penjualan terbaik alias best seller; lain halnya dengan yang terjadi pada buku cetak. Untuk kategori buku fiksi, siapa yang tidak kenal novel "Harry Potter" yang dikarang oleh J.K. Rowling? Semua kalangan milenial tahu dan sebagian dari mereka pernah membaca bukunya. Serial yang terdiri dari tujuh buku ini diterbitkan dari tahun 1997 hingga 2007, aslinya berbahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama. Hingga Juli 2013 telah terjual lebih dari 450 juta buku di seluruh dunia dan sudah diterjemahkan ke dalam 73 bahasa.

Jadi disrupsi buku cetak ke buku elektronik tidak terjadi, yang ada cara orang membeli buku yang mengalami perubahan. Jika dulu orang membeli buku di toko buku, sekarang orang mencari buku melalui toko buku di dunia maya, lalu setelah mereka memilih dan melakukan pembayaran, buku akan diantar ke tempat mereka. Perihal buku elektronik - meskipun ada kekurangannya dibandingkan buku konvensional - ebook punya keunggulan tertentu diantaranya mudah dibawa kemana-mana. Sejatinya kita tidak perlu mempertentangkan antara buku konvensional dengan buku elektronik, karena sebetulnya keberadaan ebook justru melengkapi dunia perbukuan itu sendiri.

Sekarang mengapa orang Indonesia tidak banyak membaca dibandingkan dengan orang-orang di negara maju? Alasan yang umum yang sering dilontarkan  tidak lain  harga buku  yang mahal. Pendapat ini pun tidak salah, dalam arti mayoritas rakyat Indonesia memang memiliki penghasilan yang pas-pasan. Bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari yang terpenting adalah kebutuhan perut dulu yang harus terpenuhi, baru setelah itu sandang, pendidikan, kesehatan, dan disusul perumahan. Buku masuk kebutuhan tersier atau entah kebutuhan yang ke berapa. Situasi ini memicu ketidakadilan yang fundamental,  yakni kaum kaya lebih mudah mengakses buku atau ilmu pengetahuan dibandingkan kaum yang tidak berpunya. Toko buku dibuka di pusat perbelanjaan kelas atas yang selanjutnya berimbas pada harga buku, karena toko buku mengenakan komisi yang cukup tinggi sehingga harga jual buku melesat tinggi. Buku-buku impor berbahasa Inggris dan bahasa asing lainnya? Wah yang ini jangan ditanya lagi, harganya jauh lebih tinggi lagi karena Pemerintah mengenakan pajak dan bea masuk yang lumayan juga. Namun buku berbahasa asing ternyata cukup banyak peminatnya. Lihatlah gerai Periplus atau Kinokuniya yang membuka toko mereka di mal-mal tertentu di kota besar.

Meskipun harga buku itu tidak murah, pencinta buku menyiasatinya dengan cara meminjamnya dari perpustakaan atau dari kawan yang mengoleksi buku tertentu. Jika masih ingin menikmati isinya padahal buku harus segera dikembalikan, mereka tidak segan-segan membawanya ke copy center guna menggandakannya dan menjilidnya. Cara lain adalah mengunjungi pusat penjualan buku bekas, yang banyak menjajakan buku-buku bekas yang masih terawat dengan baik. Sekarang pun di dunia maya orang menawarkan buku bekas secara bebas dan peminat bisa membelinya secara daring. Masih ada cara lain untuk mendapatkan buku, khususnya yang berasal dari ebook gratis yang bisa diunduh di dunia maya. Setelah file ebook tersebut diunduh, lalu proses pencetakan bisa dilakukan di rumah dengan bantuan sebuah printer. Bila seluruh naskah telah dicetak, pekerjaan selanjutnya tinggal penjilidan yang bisa dilakukan di copy center. Penulis tidak menyarankan para pembaca untuk melakukan hal ini, karena diperlukan waktu yang cukup banyak untuk  mengerjakannya  dan  hasilnya pun  belum  tentu bagus.

Untuk merangsang agar masyarakat semakin gemar membaca, Pemerintah dan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) menyelenggarakan Indonesia International Book Fair setiap tahunnya. Pada pekan buku nasional itu   penyelenggara membuka "Zona Kalap", yakni menjual buku dengan harga murah dengan cara memberikan diskon gila-gilaan. Dalam satu kali perhelatan, dilakukan penjualan buku sebanyak ratusan ribu buku dengan ribuan judul buku disertai diskon empat puluh hingga sembilan puluh persen. Dalam skala yang lebih besar beberapa tahun belakangan ini ada penjualan akbar buku lain-nya yang diberi nama  "Big Bad Wolf", yang diadakan tanpa henti (berlangsung 24 jam) selama beberapa hari. Lebih besar skalanya karena sekali perhelatan mereka menjual jutaan buku dengan potongan harga 60 sampai 80 prosen. Penjualan buku yang terakhir ini kebanyakan terdiri dari buku-buku berbahasa Inggris. Penjualan buku besar-besaran yang berlangsung hanya setahun sekali itu terbukti mampu mendatangkan jumlah pengunjung yang berlimpah. Mereka antusias memborong buku dalam jumlah besar. Fenomena ini membuktikan bahwasanya masyarakat Indonesia menyambut dengan gempita jika ada obral barang apa pun – termasuk  buku – bahkan menimbulkan eforia dan mereka memang benar-benar kalap. Apakah setelah mereka membeli buku-buku tersebut akan langsung dibaca atau malahan dijadikan koleksi di perpustakaan pribadi mereka? Untuk mendapatkan jawabannya kita mungkin harus mengadakan survei lagi.

Setelah mendapatkan kenyataan bahwa buku konvensional atau buku cetak masih memiliki peminat di kalangan masyarakat luas, kami memberanikan diri mendirikan sebuah usaha penerbitan, dengan segmen pilihan menerbitkan buku-buku agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur. Seperti yang disebutkan di atas, setelah buku selesai dicetak produknya akan didistribusikan melalui rekanan e-dagang. Selain toko di dunia maya kami juga akan mendistribusikannya pada toko fisik lainnya secara terbatas. Untuk merealisasikan upaya tersebut pada tanggal 30 Agustus 2018 didirikan Dharma Prima Niaga di Tangerang Selatan oleh Sudjana Suryanata. Pendirian penerbit buku tersebut tidak lain didasari oleh idealisme untuk menyebarluaskan buku pengetahuan dan buku fiksi yang bersumber dari kepustakaan Buddhis serta kebijaksanaan dari Timur, yang mana kelak produknya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada.



penerbitan&perbukuan/sdjn/191008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar