PROSPEK PENERBITAN BUKU DI ERA DISRUPSI
Seorang kawan lama penulis memandang dengan mimik tak
percaya dan terheran-heran, sesaat setelah penulis bercerita bahwa kami
memiliki gagasan untuk mendirikan satu usaha penerbitan buku. Serta lebih gila
lagi, naskah-naskah yang akan diterbitkan adalah buku-buku agama, bukan novel atau komik yang terbilang lebih laku untuk
dijajakan. Sang kawan yang memahami pula masalah perbukuan di Tanah Air malahan
menukasnya : "Coba kamu
kunjungi toko buku terkenal yang ada di mal atau pusat perbelanjaan kelas atas. Lihat sendiri perkembangan usaha mereka dalam tahun-tahun
terakhir ini. Area yang dikhususkan untuk buku-buku pengetahuan bukannya
semakin luas, malahan kini semakin menyusut. Sekarang mereka lebih banyak menjajakan alat tulis fancy,
peralatan olahraga, dan alat-alat musik dibandingkan
dengan buku-buku yang bermutu. Lalu untuk apa menerbitkan buku cetak?
Masyarakat Indonesia kini hampir tidak ada waktu untuk
membaca buku, tetapi mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam sehari untuk
menatap gawai seraya menyampaikan pesan dengan menekan tombol-tombol di
telepon-pintar mereka."
Jangankan kawan lama penulis tadi yang mengemukakan pendapat
seperti itu, Anda sekalian para pembaca banyak pula yang berpendapat seperti
itu. Mungkin diantara pembaca ada yang pernah menerima artikel yang mengupas
tentang disrupsi. Apa itu disrupsi? Disrupsi dalam bahasa sehari-hari bermakna
perubahan yang mendasar atau fundamental. Kata "disrupsi" sering
digunakan dalam kata "era disrupsi", yang berarti fenomena ketika
masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan seluruhnya di dunia nyata
ke kelompok kegiatan yang berada di dunia maya. Era disrupsi juga bermakna
sebagai era digitalisasi, yang mana aktivitas atau kegiatan dilakukan dengan
memanfaatkan jaringan internet atau media daring (dalam jaringan).
Beberapa tahun yang lalu kita bahkan tidak pernah
membayangkan kemudahan yang akan terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini,
yang membuat kita semakin dimanjakan oleh gaya hidup yang baru. Alih-alih
mencari ojek-motor ke pangkalan atau mendapatkan jasa angkut dengan taksi
resmi, sekarang dengan bantuan telepon
pintar yang ada di genggaman kita mampu untuk memanggil layanan
"Grab" dalam hitungan menit. Sewaktu kita sedang sibuk dan tidak
sempat mencari makan di luar, kita cukup memesan makanan dan minuman apa pun
yang kita sukai lewat jasa "Go-Food", hanya dengan menekan tombol di
gawai kita; demikian juga jika kita memerlukan barang tertentu secara dadakan,
dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama barang kita akan diantar oleh
"GoSend". Mau memesan barang tertentu seperti misalnya kamera, kita
cukup berse-lancar di berbagai situs e-dagang seperti "Tokopedia"
atau "Bukalapak", kemudian menjatuhkan pilihan kita dan membayarnya
secara daring, lalu dalam hitungan satu atau dua hari barang yang kita inginkan
sudah sampai di tangan kita.
Di satu pihak ada yang diuntungkan, di lain pihak ada yang
dirugikan. Itulah hukum yang berlaku di alam semesta. Era disrupsi ini pun
sudah memakan banyak korban, seperti pengemudi ojek tradisional, sopir taksi
konvensional, serta banyak pelaku usaha ritel. Beberapa tahun belakangan ini
usaha ritel konvensional seperti "7-Eleven", "Lotus", dan
"Debenhams" tumbang, sedangkan "Matahari" dan belakangan
"Giant" mengurangi besaran usahanya. Cerita sedih itu mirip dengan
nasib toko buku mainstream yang dipertanyakan oleh kawan lama penulis tadi,
bukanlah diakibatkan oleh jumlah konsumen yang berkurang, melainkan disebabkan
oleh perilaku konsumen yang berubah secara fundamental. Sebagai contoh konsumen
tidak lagi meluangkan waktunya untuk membeli sepatu atau kosmetik di
gerai-gerai yang menyediakan barang-barang tersebut di sebuah department store.
Mereka cukup mencarinya lewat telepon pintar, yang mampu
menawarkan barang dalam aneka pilihan yang begitu luas. Bahkan mereka bisa
sekaligus membandingkan harga untuk barang yang sama pada beberapa toko di dunia maya. Setelah pilihan
barang yang diinginkan ditemukan, mereka langsung melakukan pembayaran dengan
cara transfer, yang bisa dilakukan dengan mudah lewat telepon genggam mereka.
Jadi perdagangan eceran nasional secara makro sesungguhnya tidak berkurang, bahkan terjadi peningkatan dari tahun ke
tahun. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang stabil, kelas menengah di Indonesia semakin bertambah, yang pada gilirannya mereka membutuhkan semakin banyak barang konsumsi.
Ada orang yang berpendapat jasa transportasi di perkotaan didisrupsi
oleh "Gojek" dan
usaha ritel konvensional diubah secara fundamental oleh pelaku
"e-dagang" serta buku cetak didisrupsi oleh buku-elek-tronik atau
buku digital alias buku-e (atau ebook). Betulkan demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, penulis akan memaparkan apa
sebetulnya yang dimaksud dengan buku-elektronik. Buku elektronik adalah versi
elektronik dari buku cetak. Jika buku konvensional berbentuk kumpulan kertas
yang berisi naskah dan gambar, maka buku elektronik berisikan informasi digital
yang berwujud teks dan gambar. Buku elektronik dikembangkan dan dipopulerkan
oleh "Amazon.com", yang mana sekarang ini perusahaan tersebut telah
menjelma menjadi satu korporasi e-dagang terbesar di dunia. Amazon meluncurkan
tablet keluaran mereka sendiri yang bernama "Kindle", yang khusus
digunakan untuk membaca buku elektronik.
Puluhan ribu judul buku dijual secara daring di laman mereka dan pelanggan bisa
langsung mendapatkan buku elektronik secara sah setelah mereka membelinya. Sumber buku elektronik yang legal di Indonesia contohnya adalah "Buku Sekolah
Elektronik (BSE)" yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional
dengan lisensi terbuka yang terdiri dari banyak buku teks. Buku-buku di BSE telah dibeli hak ciptanya oleh Pemerintah
Indonesia melalui Depdiknas, sehingga bebas diunduh
dan direproduksi oleh siapa pun, boleh
diperjualbelikan walaupun dengan batas atas harga yang telah ditentukan.
Berikut ini dipaparkan beberapa kelebihan buku konvensional
dibandingkan dengan buku elektronik. Pertama buku konvensional memudahkan kita
untuk berbagi. Buku-buku tersebut yang dipajang di almari terbuka di toko buku
atau di rak-buku yang ada di rumah atau
kantor mengundang pembaca kantor
mengundang pembaca yang potensial untuk memilih buku mana yang ia sukai, yang
kemudian akan dibacanya, dipinjamnya, atau dibelinya. Sebaliknya buku-buku
elektronik dimiliki secara pribadi yang tersimpan dalam piranti-baca dan bahkan
orang terdekat sekali pun tidak berniat untuk meliriknya. Ingin berbagi ebook
dengan teman atau orang rumah? Tampaknya hal itu tak pernah terpikirkan. Alasan
yang kedua, buku konvensional bisa dijadikan hadiah atau cindera mata dari
seseorang atau lembaga tertentu, apalagi jika buku itu berupa buku yang diberi
sampul-keras (hard cover) dengan disain yang menarik. Setelah
tahun-tahun berlalu, kenangan tentang kisah didapatkannya buku itu dan orang
yang menghadiahkannya masih tetap hidup.
Buku elektronik? Mustahil dijadikan sebagai hadiah. Alasan yang ketiga, buku
konvensional menyajikan pilihan jenis huruf (font) yang kaya, terutama untuk bacaan anak-anak. Justru di sinilah keganjilannya, karena piranti-baca semacam Kindle hanya menyediakan pilihan jenis huruf yang
terbatas. Ini merupakan hal yang ironis karena di layar komputer kita bisa
menjumpai aneka jenis huruf.
Keunggulan yang keempat tidak lain memudahkan dalam proses
belajar. Halaman demi halaman buku konvensional bisa dilipat, ditulisi atau
dikomentari dengan pena atau pensil, di-stabilo,
ditempelkan stiker, diselipkan pembatas buku, sedangkan pada piranti-baca ebook
hanya bisa ditandai dengan maksimal empat warna penanda yang berbeda. Anda
sedang mempelajari matematika atau Abhidhamna? Penulis menjamin Anda lebih
mudah menguasai materinya jika menggunakan buku konvensional ketimbang
menyimaknya lewat buku elektronik. Alasan yang kelima, dengan membaca buku
konvensional akan mudah menularkannya kepada putera dan puteri kita di usia
sekolah. Orang tua membaca buku di hadapan anak-anaknya adalah teladan yang
baik, yang tak bisa tergantikan bila kita membaca buku elektronik. Alasan yang
keenam, buku konvensional itu bisa dirasakan oleh indera kita apakah bentuknya
halus, cetakannya jelas dan bersih, bahkan ada aroma yang bisa diendus darinya
terutama untuk buku-buku kuno. Inilah salah satu ciri buku konvensional yang tidak bisa diperoleh dari buku elektronik.
Kita kembali pada pernyataan apakah betul bahwasanya buku
konvensional didisrupsi oleh buku-elektronik. Di awal popularitas buku
elektronik yang terjadi pada pergantian abad dua-puluh ke dua-puluh-satu, orang yakin hal itu akan terjadi, tetapi dari pemaparan
yang penulis sampaikan di
atas tampaknya disrupsi pada buku tidak akan terjadi. Salah satu alasannya,
tidak ada ebook yang menyabet kategori penjualan terbaik alias best
seller; lain halnya dengan yang terjadi pada buku cetak. Untuk kategori
buku fiksi, siapa yang tidak kenal novel "Harry Potter" yang dikarang oleh J.K. Rowling? Semua kalangan milenial tahu dan sebagian dari mereka pernah membaca
bukunya. Serial yang terdiri dari tujuh buku ini diterbitkan dari tahun 1997 hingga 2007, aslinya berbahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama. Hingga Juli 2013 telah terjual
lebih dari 450 juta buku di seluruh dunia dan sudah diterjemahkan ke dalam 73 bahasa.
Jadi disrupsi buku cetak ke buku elektronik tidak terjadi,
yang ada cara orang membeli buku yang mengalami perubahan. Jika dulu orang
membeli buku di toko buku, sekarang
orang mencari buku melalui toko buku di dunia maya, lalu setelah mereka memilih dan melakukan pembayaran, buku akan diantar ke tempat mereka. Perihal buku elektronik
- meskipun ada kekurangannya dibandingkan buku konvensional - ebook
punya keunggulan tertentu diantaranya mudah dibawa kemana-mana. Sejatinya kita
tidak perlu mempertentangkan antara buku konvensional dengan buku elektronik,
karena sebetulnya keberadaan ebook justru melengkapi dunia perbukuan itu
sendiri.
Sekarang mengapa orang Indonesia tidak banyak membaca
dibandingkan dengan orang-orang di negara maju? Alasan yang umum yang sering
dilontarkan tidak lain harga buku
yang mahal. Pendapat ini pun tidak salah, dalam
arti mayoritas rakyat Indonesia memang memiliki penghasilan yang pas-pasan.
Bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari yang terpenting adalah kebutuhan perut
dulu yang harus terpenuhi, baru setelah itu sandang, pendidikan, kesehatan, dan
disusul perumahan. Buku masuk kebutuhan tersier atau entah kebutuhan yang ke
berapa. Situasi ini memicu ketidakadilan yang fundamental, yakni kaum kaya
lebih mudah mengakses buku atau ilmu pengetahuan dibandingkan kaum yang tidak
berpunya. Toko buku dibuka di pusat perbelanjaan kelas atas yang selanjutnya
berimbas pada harga buku, karena toko buku mengenakan komisi yang cukup tinggi
sehingga harga jual buku melesat tinggi. Buku-buku impor berbahasa Inggris dan
bahasa asing lainnya? Wah yang ini jangan ditanya lagi, harganya jauh lebih
tinggi lagi karena Pemerintah mengenakan pajak dan bea masuk yang lumayan juga.
Namun buku berbahasa asing ternyata cukup banyak peminatnya. Lihatlah gerai
Periplus atau Kinokuniya yang membuka toko mereka di mal-mal tertentu di kota
besar.
Meskipun harga buku itu tidak murah, pencinta buku
menyiasatinya dengan cara meminjamnya dari perpustakaan atau dari kawan yang
mengoleksi buku tertentu. Jika masih ingin menikmati isinya padahal buku harus
segera dikembalikan, mereka tidak segan-segan membawanya ke copy center
guna menggandakannya dan menjilidnya. Cara lain adalah mengunjungi pusat
penjualan buku bekas, yang banyak menjajakan buku-buku bekas yang masih terawat
dengan baik. Sekarang pun di dunia maya orang menawarkan buku bekas secara
bebas dan peminat bisa membelinya secara daring. Masih ada cara lain untuk mendapatkan
buku, khususnya yang berasal dari ebook gratis yang bisa diunduh di
dunia maya. Setelah file ebook tersebut diunduh, lalu proses pencetakan
bisa dilakukan di rumah dengan bantuan sebuah printer. Bila seluruh
naskah telah dicetak, pekerjaan selanjutnya tinggal penjilidan yang bisa
dilakukan di copy center. Penulis tidak menyarankan para pembaca untuk
melakukan hal ini, karena diperlukan waktu yang cukup banyak untuk mengerjakannya dan hasilnya pun belum tentu bagus.
Untuk merangsang agar masyarakat semakin gemar membaca, Pemerintah dan Ikapi
(Ikatan Penerbit Indonesia) menyelenggarakan Indonesia International Book Fair
setiap tahunnya. Pada pekan buku nasional itu
penyelenggara membuka "Zona Kalap", yakni menjual buku dengan
harga murah dengan cara memberikan diskon gila-gilaan. Dalam satu kali
perhelatan, dilakukan penjualan buku sebanyak ratusan ribu buku dengan ribuan
judul buku disertai diskon empat puluh hingga sembilan puluh persen. Dalam
skala yang lebih besar beberapa tahun belakangan ini ada penjualan akbar buku
lain-nya yang diberi nama "Big Bad
Wolf", yang diadakan tanpa henti (berlangsung 24 jam) selama beberapa
hari. Lebih besar skalanya karena sekali perhelatan mereka menjual jutaan buku
dengan potongan harga 60 sampai 80 prosen. Penjualan buku yang terakhir ini
kebanyakan terdiri dari buku-buku berbahasa Inggris. Penjualan buku
besar-besaran yang berlangsung hanya setahun sekali itu terbukti mampu
mendatangkan jumlah pengunjung yang berlimpah. Mereka antusias memborong buku
dalam jumlah besar. Fenomena ini membuktikan bahwasanya masyarakat Indonesia
menyambut dengan gempita jika ada obral barang apa pun – termasuk buku – bahkan menimbulkan eforia dan mereka
memang benar-benar kalap. Apakah setelah mereka membeli buku-buku tersebut akan
langsung dibaca atau malahan dijadikan koleksi di perpustakaan pribadi mereka? Untuk mendapatkan jawabannya kita mungkin harus
mengadakan survei lagi.
Setelah mendapatkan kenyataan bahwa buku konvensional atau
buku cetak masih memiliki peminat di kalangan masyarakat luas, kami
memberanikan diri mendirikan sebuah usaha penerbitan, dengan segmen pilihan
menerbitkan buku-buku agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur. Seperti yang disebutkan di atas, setelah buku selesai
dicetak produknya akan didistribusikan melalui rekanan e-dagang. Selain toko di
dunia maya kami juga akan mendistribusikannya pada toko fisik lainnya secara
terbatas. Untuk merealisasikan upaya tersebut pada tanggal 30 Agustus 2018
didirikan Dharma Prima Niaga di Tangerang Selatan oleh Sudjana Suryanata. Pendirian penerbit buku tersebut tidak lain didasari oleh
idealisme untuk menyebarluaskan buku pengetahuan dan buku fiksi yang bersumber dari kepustakaan Buddhis serta kebijaksanaan dari Timur,
yang mana kelak produknya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat Indonesia
di mana pun mereka berada.
penerbitan&perbukuan/sdjn/191008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar