AGAMA
DAN TRADISI KITA YANG TAK DIKENAL MASYARAKAT DAN MENURUNNYA PERAN PERPUSTAKAAN
Seberapa jauh masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal agama
dan tradisi kita? Andaikan kita melakukan survei dengan menanyai dua puluh
orang yang lewat secara acak di sebuah jalan di kota, misalnya dengan bertanya dalam selang waktu lima atau sepuluh menit sekali kepada orang yang berlalu lalang. Pertanyaan
yang kita ajukan: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab
suci agama Buddha?" Setelah survei berlangsung selama kurang lebih dua
jam, mungkin kita terkaget-kaget bahwa dari dua puluh orang itu, tidak ada
seorang pun yang dapat menja-wab dengan benar. Sekarang jika pertanyaannya sedikit kita
ubah: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab suci agama
Islam / Kristen?" Barangkali kita akan menemukan hampir seluruhnya dari
dua puluh orang itu tahu dan menjawab dengan benar.
Demikianlah kenyataannya, masyarakat Indonesia pada umumnya tidak banyak
yang tahu nama kitab suci agama Buddha, bahkan jika pertanyaan itu diajukan kepada orang yang di kolom agama pada KTP-nya
bertuliskan 'Budha'. Lalu jika ditanya lebih jauh lagi apa ajaran agama Buddha,
mereka sama sekali tidak memahaminya. Beruntunglah kita semenjak Tahun 1983, hari Nyepi dan Waisak dijadikan hari
libur nasional. Masyarakat Indonesia pun sejak itu mengakui
eksistensi umat Buddha, karena mereka ingat: "Wah, besok hari Waisak yang
merupakan hari raya umat Buddha, dan kita libur, tidak usah masuk kerja / sekolah, dan kita bisa
jalan-jalan." Penulis pun bersyukur
salam umat Buddha juga telah dibudayakan untuk menyapa umat beragama. Presiden
Jokowi pun sering memulai pidatonya dengan menyapa hadirin:
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh; Salam sejahtera untuk kita semua; Om swastyatsu; Namo buddhaya, Salam kebajikan." Orang belum tentu paham apa itu arti 'Namo buddhaya', tetapi masyarakat tahu bahwa
itu adalah salam untuk menyapa umat Buddha.
Kitab suci agama-agama yang diakui oleh negara seyogianya diketahui oleh
masyarakat luas, karena hal itu masuk ranah pengetahuan umum. Anak-anak sekolah
dasar pun dituntut menguasai pengetahuan umum, seperti misalnya ibukota Jawa Barat adalah
Bandung, dan jika air dipanaskan sampai 100 derajat Celcius akan
mendidih. Jadi jika orang tidak bisa menjawab apa itu kitab suci agama Buddha,
berarti ada yang salah dengan kita sebagai umat Buddha dalam memperkenalkan agama kita kepada masyarakat luas.
Kenyataan itu sekali lagi mengingatkan apa yang disebutkan
dalam tulisan kami yang terdahulu, bahwasanya tingkat literasi atau minat baca
orang Indonesia itu ada di peringkat bawah diantara negara-negara di dunia. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur
tingkat literasi itu tidak lain dengan ketersediaan perpustakaan di seantero negeri. Sekarang berapa banyak perpustakaan di Indonesia? Kepala Perpustakaan
Nasional Indonesia Muhammad Syarif Bando mengungkapkan jumlah perpustakaan di
Indonesia kini mencapai 164.610 buah (Koran Sindo, 15-Mar-2019).
Hal ini menempatkan Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di
dunia. Urutan pertama ditempati India dengan 323.605 perpustakaan. Perpustakaan
di Indonesia boleh banyak, tetapi yang lebih penting sekarang adalah berapa
tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan atau sejauh mana perpustakaan itu
memberi akses ke masyarakat.
Penghargaan masyarakat Indonesia terhadap buku dan perpustakaan, jika
kita meneropongnya dari sisi orang kota dan orang desa seperti bumi dan langit.
Orang kota khususnya generasi
milenial yang terdiri dari anak sekolah (tingkat SD,
SMP, SMU/SMK), mahasiswa, dan mereka yang telah bekerja membagi generasinya
menjadi dua, yakni kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul dan kaum milenial
yang gaul tapi tidak serius. Kaum milenial yang gaul itu lebih banyak mengisi
waktu senggang mereka dengan bepergian ke mal dan menghabiskan waktu di kafe.
Kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul mengisi waktu mereka dengan bekerja di
perpustakaan. Sering kali golongan kedua meledek: "Anak cupu
kerjanya ke perpustakaan, gue kagak ngerti rajin amat mereka
mainnya di perpustakaan." ABG (anak baru gede) yang pernah penulis temui di satu perpustakaan milik pemerintah,
mengeluhkan kondisi perpustakaan: "Perpustakaan ini tidak menarik, AC-nya
tidak dingin, ruangannya bau buku usang, koleksi bukunya kagak update,
dan wifi-nya tidak kencang." Iseng-iseng penulis menyapa, mengapa
mereka masih datang ke
sana. Mereka
mengatakan terpaksa melakukannya karena ada tugas dari sekolah yang mana
kepustakaannya hanya bisa diperoleh di sana. Mereka juga menambahkan: "Sebetulnya kita-kita ini masih suka baca buku, apalagi
kalau ada novel-novel remaja seperti Dilan dan Milea."
Penghargaan orang desa yang tinggal di daerah terpencil terhadap buku dan perpustakaan berbanding
terbalik dengan orang
kota. Orang desa menganggap adalah
satu kemewahan jika mereka bisa membaca buku, karena buku tidak banyak tersedia di desanya. Sugeng Haryono, seorang sarjana ilmu perpustakaan, di Desa Klaten Lampung Selatan memprakarsai lahirnya
motor-pustaka. Sugeng memodifikasi sepeda motor GL-Max-nya agar dapat dijadikan
sebagai perpustakaan keliling. Pekerjaan ini dilakukan oleh Sugeng karena ia
merasa prihatin akan kurangnya akses bahan bacaan bagi anak-anak Indonesia di
daerah-daerah terpencil. Kedatangan Sugeng selalu ditunggu oleh masyarakat desa
terutama anak-anak. Setiap hari ia harus menempuh jarak sekitar 8 hingga 10 km,
namun pria ini ikhlas menjalaninya. Prinsip pria ini adalah satu dikurang satu
menjadi sepuluh, bukan nol; dia yakin selama dilandasi niat baik, Allah akan
membantunya melakukan niat baik tersebut. Beberapa penggiat perpustakaan
berjibaku dengan mengorbankan dirinya demi kepentingan umum. Bila kita melihat
kondisi TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang tumbuh di kota-kota maupun desa-desa
di Indonesia, semuanya memiliki masalah kronis yang sama, yaitu suplai buku
baru amat sedikit. Hal ini terbentur alokasi anggaran belanja buku yang terbatas dari
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah; sampai-sampai mereka menghimbau agar
masyarakat luas menyumbangkan buku, dengan kompensasi menggratiskan ongkos angkutnya jika dikirim melalui PT Pos Indonesia pada tanggal tertentu setiap bulannya.
Mungkin ada pembaca yang bertanya, sebaiknya buku-buku apa yang disediakan di sebuah perpustakaan. Jawabannya
perpustakaan didirikan demi pemberdayaan masyarakat yang dilayaninya.
Perpustakaan sekolah idealnya menyediakan buku pelajaran sekolah, buku bacaan
penunjang pelajaran, buku ilmu pengetahuan untuk anak dan remaja, serta buku
cerita dan novel anak serta remaja. Taman Bacaan Masyarakat yang sering
dikunjungi oleh kalangan ibu-ibu tentu lebih afdol jika disediakan buku-buku
yang berkaitan dengan dunia wanita, artikel tentang kesehatan keluarga,
kerajinan tangan, buku resep masakan, dan novel-novel yang ringan dan populer.
Perpustakaan desa seyogianya menyediakan buku-buku tentang metode bercocok
tanam yang benar, peternakan dan perikanan, industri pengolahan tepat guna,
peluang agribisnis, dan jurus-jurus menjadi seorang wirausaha.
Sekarang, buku apa yang sebaiknya disediakan dalam satu perpustakaan
Buddhis, seperti perpustakaan vihara, perpustakaan sekolah atau perguruan
tinggi Buddhis? Ya, jelas buku-buku agama Buddha atau buku Dhamma. Banyak orang mengira bahwa perpustakaan Buddhis seharusnya menyimpan kitab-kitab suci
dan buku yang berkaitan dengan upacara keagamaan saja. Padahal yang perlu
diperbanyak di sana semestinya buku-buku referensi. Buku referensi tidak lain
satu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya fokus pada
satu topik pengetahuan tertentu, misalnya buku yang membahas meditasi Buddhis.
Perpustakaan Buddhis semestinya menyediakan buku-buku referensi yang memudahkan para
penggunanya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, lengkap, dan tepat
tentang agama Buddha. Sekarang bagaimana kondisi perpustakaan Buddhis di
Indonesia dewasa ini?
Penulis beberapa kali berkunjung ke Perpustakaan Vihara
Jakarta Dhammacakka Jaya yang terletak di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Perpustakaannya sendiri terletak di Lantai 6 Gedung Narada yang megah. Gambaran
awal, penulis di sana akan menemukan banyak koleksi buku agama Buddha yang
terdiri dari berbagai bidang pembahasan. Namun saat pertama kali berkunjung ke
sana, penulis kecewa, karena koleksi buku agama Buddha jumlahnya kalah jauh
dibandingkan buku-buku lainnya (yakni buku yang tidak bersangkut paut dengan
agama). Lagi pula untuk buku-buku referensi, koleksinya jauh dari lengkap.
Tetapi kita tidak pada tempatnya menyalahkan pihak vihara, karena koleksi buku
di sana merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Pernah juga penulis
menyambangi dan kemudian menjadi anggota Perpustakaan Jawaharlal Nehru Cultural
Center yang gedungnya terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Di sini ada
banyak koleksi buku yang berasal dari India, hanya saja koleksi buku terbitan
terbaru yang ada cuma sedikit. Keluhan terhadap dua perpustakaan terakhir yang
dikunjungi penulis sebetulnya menggambarkan kondisi perpustakaan di Indonesia
pada umumnya. Koleksi buku yang jauh dari lengkap, langkanya buku-buku pengetahuan yang
bisa diandalkan oleh pengunjung, dan tidak ada penambahan buku-buku edisi
terbaru, membuat masyarakat tidak dapat berharap banyak kepada perpustakaan.
Jika keadaan di sekitar kita gelap, ketimbang berkeluh-kesah menyalahkan keadaan, adalah lebih bijak jika kita menyalakan lilin. Untuk
itu meskipun mungkin tidak berarti, kami di Dharma Prima Niaga berupaya untuk
menerbitkan buku-buku referensi yang nantinya diharapkan menambah khazanah
pengetahuan tentang agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur, semoga.
Dengan demikian mau tidak mau perpustakaan
Buddhis harus berkembang menjadi lebih baik jika tidak mau ditinggalkan oleh para pengunjungnya. Selama ini
ada kesan bahwa institusi yang bernama perpustakaan itu
adalah tempat yang angker dan formal. Perpustakaan yang dikelola oleh Pemerintah pun terkesan kaku seperti adanya ketentuan bagi para pengunjung
untuk berpakaian sopan, harus mengenakan sepatu, tidak boleh makan minum di
dalam, dan sebagainya. Penulis jadi ingat ketentuan yang terdapat di satu
vihara yang tidak membolehkan umat laki-laki bercelana pendek dan umat
perempuan mengenakan tank top. Kita harus menanamkan kepada kaum
milenial bahwa membaca itu kegiatan yang ringan dan menyenangkan, dan bahwa perpustakaan itu sesuatu yang menarik dan instagramable. Dengan sendirinya minat baca akan tumbuh
sedikit demi sedikit, Kita harus melakukan desakralisasi kepada perpustakaan.
Biarkan mereka berkunjung ke sana dengan membebaskan diri dari aturan formal,
seperti bebas berpakaian, boleh duduk atau berbaring sesukanya, wifi
yang kencang tersedia, AC cukup dingin, bahkan jika perlu disediakan
kopi dan teh secara gratis serta dilengkapi dengan tempat makan. Serta yang
perlu ditingkatkan adalah koleksi buku yang secara periodik ditambah dan
tersedianya kumpulan e-book yang bisa diakses dengan mudah.
Tidak ada upaya untuk memperkenalkan ajaran agama Buddha
kepada masyarakat luas – seperti gambaran yang diberikan pada awal tulisan ini – tidaklah
tepat. Di zaman yang memanjakan media sosial sebagai ruang untuk berinteraksi, kita umat Buddha berpeluang menyediakan informasi yang lebih baik dan lebih cepat ke berbagai golongan di
masyarakat. Sejak penggunaan WhatsApp dan Facebook semakin marak di masyarakat
Indonesia, setiap hari
ratusan bahkan ribuan konten yang berisikan ajaran agama kita berseliweran di
media sosial. Di pagi hari kita telah disapa oleh kata-kata bijak dari Ajahn
Chah, Y.M. Dalai Lama, Thich Nhat
Hanh, atau Master Cheng Yen. Selanjutnya kita bisa menyimak kutipan dari kitab suci dan artikel-artikel tentang Dhamma yang mencerahkan. Sesekali ada
petunjuk berlatih meditasi lewat video yang dibagikan, atau yang bisa kita
akses kapan pun kita mau lewat saluran di YouTube. Berminat ikut seminar
Buddhis atau sekedar ingin tahu siapa yang mengisi acara puja bakti di vihara
tertentu, itu pun mudah karena kita tiap hari dibanjiri dengan undangan serupa.
Singkatnya, semua informasi yang kita butuhkan yang berkaitan dengan
menu-keagamaan sudah tersedia di depan mata kita. Sekarang segala sumber daya
yang kita miliki untuk memperkenalkan wajah agama kita kepada masyarakat Indonesia
telah tersedia secara luas. Tinggal bagaimana kita mengolah semuanya itu dengan
takaran yang pas agar sesama kita dapat merasakan manfaatnya pula.
penerbitan&perbukuan/sdjn/191106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar