Selasa, 14 Januari 2020

AGAMA DAN TRADISI KITA YANG TAK DIKENAL MASYARAKAT DAN MENURUNNYA PERAN PERPUSTAKAAN


AGAMA DAN TRADISI KITA YANG TAK DIKENAL MASYARAKAT DAN MENURUNNYA PERAN PERPUSTAKAAN




Seberapa jauh masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal agama dan tradisi kita? Andaikan kita melakukan survei dengan menanyai dua puluh orang yang lewat secara acak di sebuah jalan di kota, misalnya dengan bertanya dalam selang waktu lima atau sepuluh menit sekali kepada orang yang berlalu lalang. Pertanyaan yang kita ajukan: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab suci agama Buddha?" Setelah survei berlangsung selama kurang lebih dua jam, mungkin kita terkaget-kaget bahwa dari dua puluh orang itu, tidak ada seorang pun yang dapat menja-wab dengan benar. Sekarang jika pertanyaannya sedikit kita ubah: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab suci agama Islam / Kristen?" Barangkali kita akan menemukan hampir seluruhnya dari dua puluh orang itu tahu dan menjawab dengan benar.

Demikianlah kenyataannya, masyarakat Indonesia pada umumnya tidak banyak yang tahu nama kitab suci agama Buddha, bahkan jika  pertanyaan itu diajukan kepada orang yang di kolom agama pada KTP-nya bertuliskan 'Budha'. Lalu jika ditanya lebih jauh lagi apa ajaran agama Buddha, mereka sama sekali tidak memahaminya. Beruntunglah kita semenjak Tahun 1983, hari Nyepi dan Waisak dijadikan hari libur nasional. Masyarakat Indonesia pun sejak itu mengakui eksistensi umat Buddha, karena mereka ingat: "Wah, besok hari Waisak yang merupakan  hari raya umat Buddha, dan kita libur, tidak usah masuk kerja / sekolah, dan kita bisa jalan-jalan."  Penulis pun bersyukur salam umat Buddha juga telah dibudayakan untuk menyapa umat beragama. Presiden Jokowi pun sering memulai pidatonya dengan menyapa hadirin: "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh; Salam sejahtera untuk kita semua; Om swastyatsu;  Namo buddhaya, Salam kebajikan." Orang  belum tentu paham apa itu arti 'Namo buddhaya', tetapi masyarakat tahu bahwa itu adalah salam untuk menyapa umat Buddha.

Kitab suci agama-agama yang diakui oleh negara seyogianya diketahui oleh masyarakat luas, karena hal itu masuk ranah pengetahuan umum. Anak-anak sekolah dasar pun dituntut menguasai pengetahuan umum, seperti misalnya ibukota Jawa Barat adalah Bandung, dan jika air dipanaskan sampai 100 derajat Celcius akan mendidih. Jadi jika orang tidak bisa menjawab apa itu kitab suci agama Buddha, berarti ada yang salah dengan kita sebagai umat Buddha dalam memperkenalkan agama kita kepada masyarakat luas.

Kenyataan itu sekali lagi mengingatkan apa yang disebutkan dalam tulisan kami yang terdahulu, bahwasanya tingkat literasi atau minat baca orang Indonesia itu ada di peringkat bawah diantara negara-negara di dunia. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat literasi itu tidak lain dengan ketersediaan perpustakaan di seantero negeri. Sekarang berapa banyak perpustakaan di Indonesia? Kepala Perpustakaan Nasional Indonesia Muhammad Syarif Bando mengungkapkan jumlah perpustakaan di Indonesia kini mencapai 164.610 buah (Koran Sindo, 15-Mar-2019). Hal ini menempatkan Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di dunia. Urutan pertama ditempati India dengan 323.605 perpustakaan. Perpustakaan di Indonesia boleh banyak, tetapi yang lebih penting sekarang adalah berapa tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan atau sejauh mana perpustakaan itu memberi akses ke masyarakat.

Penghargaan masyarakat Indonesia terhadap buku dan perpustakaan, jika kita meneropongnya dari sisi orang kota dan orang desa seperti bumi dan langit. Orang kota khususnya generasi milenial yang terdiri dari anak sekolah (tingkat SD, SMP, SMU/SMK), mahasiswa, dan mereka yang telah bekerja membagi generasinya menjadi dua, yakni kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul dan kaum milenial yang gaul tapi tidak serius. Kaum milenial yang gaul itu lebih banyak mengisi waktu senggang mereka dengan bepergian ke mal dan menghabiskan waktu di kafe. Kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul mengisi waktu mereka dengan bekerja di perpustakaan. Sering kali golongan kedua meledek: "Anak cupu kerjanya ke perpustakaan, gue kagak ngerti rajin amat mereka mainnya di perpustakaan." ABG (anak baru gede) yang pernah penulis temui di satu perpustakaan milik pemerintah, mengeluhkan kondisi perpustakaan: "Perpustakaan ini tidak menarik, AC-nya tidak dingin, ruangannya bau buku usang, koleksi bukunya kagak update, dan wifi-nya tidak kencang." Iseng-iseng penulis menyapa, mengapa mereka  masih datang ke sana.  Mereka mengatakan terpaksa melakukannya karena ada tugas dari sekolah yang mana kepustakaannya hanya bisa diperoleh di sana. Mereka juga menambahkan:  "Sebetulnya  kita-kita  ini  masih  suka  baca  buku, apalagi kalau ada novel-novel remaja seperti Dilan dan Milea."

Penghargaan orang desa yang tinggal di daerah terpencil  terhadap buku dan perpustakaan berbanding terbalik dengan orang kota. Orang desa menganggap adalah satu kemewahan jika mereka bisa membaca buku, karena buku tidak banyak tersedia di desanya. Sugeng Haryono, seorang sarjana ilmu perpustakaan, di Desa Klaten Lampung Selatan memprakarsai lahirnya motor-pustaka. Sugeng memodifikasi sepeda motor GL-Max-nya agar dapat dijadikan sebagai perpustakaan keliling. Pekerjaan ini dilakukan oleh Sugeng karena ia merasa prihatin akan kurangnya akses bahan bacaan bagi anak-anak Indonesia di daerah-daerah terpencil. Kedatangan Sugeng selalu ditunggu oleh masyarakat desa terutama anak-anak. Setiap hari ia harus menempuh jarak sekitar 8 hingga 10 km, namun pria ini ikhlas menjalaninya. Prinsip pria ini adalah satu dikurang satu menjadi sepuluh, bukan nol; dia yakin selama dilandasi niat baik, Allah akan membantunya melakukan niat baik tersebut. Beberapa penggiat perpustakaan berjibaku dengan mengorbankan dirinya demi kepentingan umum. Bila kita melihat kondisi TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang tumbuh di kota-kota maupun desa-desa di Indonesia, semuanya memiliki masalah kronis yang sama, yaitu suplai buku baru amat sedikit. Hal ini terbentur alokasi anggaran belanja buku yang terbatas dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah; sampai-sampai mereka menghimbau agar masyarakat luas menyumbangkan buku, dengan kompensasi menggratiskan ongkos angkutnya jika dikirim  melalui  PT Pos Indonesia pada tanggal tertentu setiap bulannya.

Mungkin ada pembaca yang bertanya, sebaiknya buku-buku apa yang disediakan di sebuah perpustakaan. Jawabannya perpustakaan didirikan demi pemberdayaan masyarakat yang dilayaninya. Perpustakaan sekolah idealnya menyediakan buku pelajaran sekolah, buku bacaan penunjang pelajaran, buku ilmu pengetahuan untuk anak dan remaja, serta buku cerita dan novel anak serta remaja. Taman Bacaan Masyarakat yang sering dikunjungi oleh kalangan ibu-ibu tentu lebih afdol jika disediakan buku-buku yang berkaitan dengan dunia wanita, artikel tentang kesehatan keluarga, kerajinan tangan, buku resep masakan, dan novel-novel yang ringan dan populer. Perpustakaan desa seyogianya menyediakan buku-buku tentang metode bercocok tanam yang benar, peternakan dan perikanan, industri pengolahan tepat guna, peluang agribisnis, dan jurus-jurus menjadi seorang wirausaha.

Sekarang, buku apa yang sebaiknya disediakan dalam satu perpustakaan Buddhis, seperti perpustakaan vihara, perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi Buddhis? Ya, jelas buku-buku agama Buddha atau buku Dhamma. Banyak orang mengira bahwa perpustakaan Buddhis seharusnya menyimpan kitab-kitab suci dan buku yang berkaitan dengan upacara keagamaan saja. Padahal yang perlu diperbanyak di sana semestinya buku-buku referensi. Buku referensi tidak lain satu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya fokus pada satu topik pengetahuan tertentu, misalnya buku yang membahas meditasi Buddhis. Perpustakaan Buddhis   semestinya menyediakan buku-buku referensi yang memudahkan para penggunanya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, lengkap, dan tepat tentang agama Buddha. Sekarang bagaimana kondisi perpustakaan Buddhis di Indonesia dewasa ini?

Penulis beberapa kali berkunjung ke Perpustakaan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang terletak di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Perpustakaannya sendiri terletak di Lantai 6 Gedung Narada yang megah. Gambaran awal, penulis di sana akan menemukan banyak koleksi buku agama Buddha yang terdiri dari berbagai bidang pembahasan. Namun saat pertama kali berkunjung ke sana, penulis kecewa, karena koleksi buku agama Buddha jumlahnya kalah jauh dibandingkan buku-buku lainnya (yakni buku yang tidak bersangkut paut dengan agama). Lagi pula untuk buku-buku referensi, koleksinya jauh dari lengkap. Tetapi kita tidak pada tempatnya menyalahkan pihak vihara, karena koleksi buku di sana merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Pernah juga penulis menyambangi dan kemudian menjadi anggota Perpustakaan Jawaharlal Nehru Cultural Center yang gedungnya terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Di sini ada banyak koleksi buku yang berasal dari India, hanya saja koleksi buku terbitan terbaru yang ada cuma sedikit. Keluhan terhadap dua perpustakaan terakhir yang dikunjungi penulis sebetulnya menggambarkan kondisi perpustakaan di Indonesia pada umumnya. Koleksi buku yang jauh dari lengkap, langkanya buku-buku pengetahuan yang bisa diandalkan oleh pengunjung, dan tidak ada penambahan buku-buku edisi terbaru, membuat masyarakat tidak dapat berharap banyak kepada perpustakaan. Jika keadaan di sekitar kita gelap, ketimbang berkeluh-kesah menyalahkan keadaan, adalah lebih bijak jika kita menyalakan lilin. Untuk itu meskipun mungkin tidak berarti, kami di Dharma Prima Niaga berupaya untuk menerbitkan buku-buku referensi yang nantinya diharapkan menambah khazanah pengetahuan tentang agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur, semoga.

Dengan demikian mau tidak mau perpustakaan Buddhis harus berkembang menjadi lebih baik jika tidak mau ditinggalkan oleh para pengunjungnya. Selama ini ada kesan bahwa institusi yang bernama perpustakaan itu adalah tempat yang angker dan formal. Perpustakaan  yang dikelola oleh Pemerintah pun terkesan kaku seperti adanya ketentuan bagi para pengunjung untuk berpakaian sopan, harus mengenakan sepatu, tidak boleh makan minum di dalam, dan sebagainya. Penulis jadi ingat ketentuan yang terdapat di satu vihara yang tidak membolehkan umat laki-laki bercelana pendek dan umat perempuan mengenakan tank top. Kita harus menanamkan kepada kaum milenial bahwa membaca itu kegiatan yang ringan dan menyenangkan, dan bahwa perpustakaan itu sesuatu yang menarik dan instagramable. Dengan sendirinya minat baca akan tumbuh sedikit demi sedikit, Kita harus melakukan desakralisasi kepada perpustakaan. Biarkan mereka berkunjung ke sana dengan membebaskan diri dari aturan formal, seperti bebas berpakaian, boleh duduk atau berbaring sesukanya, wifi yang kencang tersedia, AC cukup dingin, bahkan jika perlu disediakan kopi dan teh secara gratis serta dilengkapi dengan tempat makan. Serta yang perlu ditingkatkan adalah koleksi buku yang secara periodik ditambah dan tersedianya kumpulan e-book yang bisa diakses dengan mudah.

Tidak ada upaya untuk memperkenalkan ajaran agama Buddha kepada masyarakat luas – seperti gambaran yang diberikan pada awal tulisan ini tidaklah tepat. Di zaman yang memanjakan media sosial sebagai ruang untuk berinteraksi, kita umat Buddha berpeluang menyediakan informasi yang lebih baik dan lebih cepat ke berbagai golongan di masyarakat. Sejak penggunaan WhatsApp dan Facebook semakin marak di masyarakat Indonesia,  setiap hari ratusan bahkan ribuan konten yang berisikan ajaran agama kita berseliweran di media sosial. Di pagi hari kita telah disapa oleh kata-kata bijak dari Ajahn Chah, Y.M. Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, atau Master Cheng Yen. Selanjutnya kita bisa menyimak kutipan dari kitab suci dan artikel-artikel tentang Dhamma yang  mencerahkan. Sesekali ada petunjuk berlatih meditasi lewat video yang dibagikan, atau yang bisa kita akses kapan pun kita mau lewat saluran di YouTube. Berminat ikut seminar Buddhis atau sekedar ingin tahu siapa yang mengisi acara puja bakti di vihara tertentu, itu pun mudah karena kita tiap hari dibanjiri dengan undangan serupa. Singkatnya, semua informasi yang kita butuhkan yang berkaitan dengan menu-keagamaan sudah tersedia di depan mata kita. Sekarang segala sumber daya yang kita miliki untuk memperkenalkan wajah agama kita kepada masyarakat Indonesia telah tersedia secara luas. Tinggal bagaimana kita mengolah semuanya itu dengan takaran yang pas agar sesama kita dapat merasakan manfaatnya pula.



penerbitan&perbukuan/sdjn/191106


Tidak ada komentar:

Posting Komentar