MENGUPAYAKAN
PENERBITAN BUKU-BUKU AGAMA DAN TRADISI KITA
Pada artikel pertama penulis telah memaparkan era disrupsi
yang mengubah gaya hidup kita, sekaligus menggambarkan bahwa buku konvensional
atau buku cetak masih berperan dalam kehidupan kita sehari-hari. Artikel
berikutnya menceritakan perlunya kita mendukung literasi digital, yang jika
mampu dimanfaatkan dengan benar, akan meningkatkan minat baca
masyarakat dan nantinya akan membuat pengetahuan mereka semakin bertambah.
Artikel ketiga mencoba menggambarkan seberapa jauh masyarakat luas mengenal
agama dan tradisi kita. Lalu ada kabar mengenai dunia perpustakaan Indonesia
yang kondisinya semakin menyedihkan. Penulis juga memberikan saran bagaimana
perpustakaan seharusnya mentransformasikan diri agar mereka kembali menjadi
dambaan masyarakat. Bagian terakhir dari rangkaian tulisan ini menyoroti perkembangan
buku-buku agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur dalam beberapa tahun
belakangan ini, serta apa yang akan dikerjakan oleh kami sebagai penerbit baru.
Sekarang terlebih dahulu kita melihat statistik perbukuan di Tanah Air.
Dari data yang dikeluarkan oleh Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), pada tahun 2005 ada 1.328 penerbit
yang menjadi anggota Ikapi dan 109 penerbit yang ada di luarnya. Dari seribuan penerbit yang ada, hanya 771 penerbit yang aktif, yaitu mereka yang menerbitkan sekurang-kurangnya
10 judul buku per tahun. Rata-rata oplag per buku yang bisa dijual mencapai sekitar
3.000 eksemplar, dan hanya tiga persen dari judul buku yang terbit yang bisa
mencapai tiras di atas 15,000 eksemplar, serta yang tiga persen ini pun didominasi
oleh buku-buku pelajaran sekolah dasar. Kemudian, menarik untuk melihat berapa
besar pangsa pasar untuk setiap jenis buku. Untuk maksud itu kita ambil
penjualan buku di Toko Buku Gramedia pada Tahun 2014, yang kemudian disusun
berdasarkan peringkatnya. Pada peringkat pertama diisi oleh Buku Anak dengan
angka penjualan 10.135.778 eksemplar dengan nilai Rp 394.073.340.000. Kemudian
menyusul Buku Religi dan Spiritual 3.421.197 eksemplar, dengan sebagian besar
berupa buku-buku agama Islam. Selanjutnya di peringkat ketiga Buku Fiksi sebanyak
3.264.185 eksemplar, yang terdiri dari beragam genre. Data yang lebih baru,
yakni yang dipublikasikan oleh London Book Fair 2019 menyatakan bahwa Indonesia
merupakan negara yang paling aktif menerbitkan buku, yakni sebanyak 30 ribu judul
buku. Indonesia mengalahkan Malaysia yang mencetak 19 ribu judul
buku dan Thailand 17 ribu judul buku. Kita tidak boleh gembira, karena populasi
penduduk kita jauh berlipat kali dibandingkan Malaysia.
Dengan melihat statistik di atas, boleh dikata bahwa buku fiksi dan buku
agama / religi menempati urutan terbanyak yang berhasil dijual setelah buku anak
dan buku pelajaran sekolah. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di
dunia, wajar
buku-buku agama Islam mengambil porsi yang cukup besar, seperti yang bisa kita saksikan sendiri di toko-toko buku yang
mana banyak rak-buku yang
disediakan untuk memajang buku agama. Dari penerbit buku agama Islam yang
terkenal bisa disebutkan antara lain Mizan, Al-Kautsar, Gema Insani, Azzam, dan
masih banyak lagi. Buku "Sejarah Tuhan" yang legendaris itu yang dikarang oleh Karen Armstrong edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh
Penerbit Mizan. Sejak beberapa tahun terakhir ini Mizan juga menggarap buku
lainnya tidak melulu buku Islam saja. Berikutnya kita lihat sekilas penerbit
buku-buku agama selain Islam. Penerbit buku agama Kristen antara lain BPK Gunung
Mulia, Kalam Hidup, Gloria, Immanuel, dan lain-lain; penerbit buku agama
Katolik antara lain Kanisius, Dioma, Obor, Ave Maria, dan lain-lain; penerbit
buku agama Hindu, yang penulis ketahui hanya Penerbit Paramita. Sedangkan
penerbit buku agama Konghucu penulis tidak berhasil menemukannya, meskipun
buku-bukunya dalam berbagai judul diterbitkan oleh penerbit buku umum,
diantaranya oleh Penerbit Binarupa Aksara. Sekarang siapa penerbit buku agama
Buddha? Kami mencatat: Karaniya, Ehipassiko, Hadaya Vatthu, Lamrinesia, Insight
Vidyasena, Dian Dharma, Indonesia Tipitaka Center, dan
masih banyak lagi.
Dipandang dari segi bisnis, industri perbukuan di Indonesia bukanlah
industri yang menjanjikan guna mendapatkan keuntungan. Yang pasti hanya
industri perbukuan untuk memenuhi kebutuhan pelajaran sekolah yang pasti menghasilkan laba yang menggiurkan
walaupun kesempatan untuk berjualan hanya setahun sekali. Seperti yang
disebutkan di atas, oplah rata-rata setiap judul buku di Indonesia hanya
berkisar antara 2.000 sampai 3.000 buah buku. Jumlah
sebesar itu (atau hanya sebagian besarnya) pun butuh waktu satu sampai dua
tahun untuk terjual. Sebuah buku akan disebut laris atau best seller
jika dalam beberapa bulan bisa terjual 5.000 sampai 8.000 eksemplar. Buku best
seller yang pernah merajai pasar buku di Tanah Air kita contohnya adalah "Laskar Pelangi" karya Andrea
Hirata. Jangan bandingkan Indonesia dengan negara-negara lainnya di dunia. Buku
Stephen Hawking, "A Brief History of Time", telah terjual
jutaan eksemplar. Sementara edisi Indonesianya, "Riwayat Sang Kala",
dengan penerbit Pustaka Utama Grafiti hanya mampu mendulang beberapa puluh ribu
eksemplar saja. Jadi di negara maju seorang penulis terkenal bisa menjadi kaya
raya cukup dengan menulis, tetapi di Indonesia hal itu tampaknya mustahil,
apalagi para penerbit dan Pemerintah tidak berdaya melawan pembajakan buku.
Dengan besaran oplah yang relatif kecil dan masa edar buku di toko buku
yang bisa berlangsung sampai dua tahun, persaingan diantara penerbit pun
menjadi ketat. Seperti
yang terjadi di khazanah buku-buku agama Islam
yang dipenuhi oleh aneka macam buku, toko buku sampai kewalahan menyediakan beberapa
almari-pajang yang berisi ratusan judul buku. Untuk topik yang populer bahkan
satu judul pun bisa diterbitkan oleh beberapa penerbit. Bagaimana dengan buku
Buddhis? Dibandingkan dengan penerbitan buku-buku agama Islam, penerbitan
buku-buku agama Buddha tidak ada apa-apanya. Di atas telah
disebutkan sejumlah penerbit buku agama Buddha, namun pihak yang menerbitkan buku sesungguhnya lebih banyak. Terkadang kumpulan individu atau vihara menerbitkan buku mereka sendiri.
Penerbitan buku dengan cara swadaya dilakukan dengan cara mengumpulkan
sumbangan sukarela dari umat sampai diperoleh jumlah dana yang memadai. Setelah dana terkumpul, buku baru dicetak sesuai kebutuhan, dan
setelah selesai buku dibagikan secara gratis di lingkungan komunitas mereka.
Biasanya buku dicetak berlebih, agar ada jatah untuk dibagi-bagikan kepada
vihara, sekolah, atau dhammaduta.
Di atas penulis telah mencoba menggambarkan industri perbukuan di
Indonesia dengan berbagai tantangan dan kesulitannya. Sekarang kita melihat kondisi perbukuan khususnya
buku-buku agama Buddha (dan juga untuk ajaran Konfusius dan Tao), dilihat dari
kacamata umat selaku konsumen buku. Dulu sekitar tiga atau empat tahun yang
lalu buku-buku agama Buddha masih bisa dijumpai di toko buku besar seperti Toko
Buku Gramedia. Sekarang dengan adanya disrupsi, buku-buku agama selain tentunya
untuk buku agama Islam, semakin sukar didapatkan di toko buku umum. Buku agama
Buddha hanya bisa diperoleh dari toko atau kios yang umumnya berada di kompleks
vihara dan disatukan dengan barang dagangan lainnya yakni perlengkapan
sembahyang. Keragaman buku-buku itu pun jauh dari lengkap. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Jika pertanyaan itu diajukan kepada pihak toko atau kios, mereka akan
menjawab hanya sedikit orang yang datang ke sana menanyakan buku. Buku agama
tidak lagi dilirik orang, kecuali buku cerita berbentuk komik atau sejenisnya
yang diperuntukkan bagi anak-anak. Namun jika kita bertanya kepada umat yang
sering membaca buku, mereka enggan untuk melirik buku yang ada dengan
alasan bukunya hanya itu-itu saja dan jarang ada buku terbitan baru. Jadi
penjual mengatakan buku tidak laku karena sedikit pembelinya,
sedangkan pembeli bilang tidak berminat membelinya karena stok buku yang ada
hanya sedikit. Penulis menyimpulkan masalah ini seperti lingkaran setan, yang
tidak diketahui lagi penyebabnya.
Jika Anda seorang dosen atau orang yang serius mempelajari Dhamma dan
ingin mencari buku agama, dimana Anda akan mencarinya? Anggap Anda sudah tahu judul buku dan pengarangnya. Lalu Anda bisa melakukan pencarian di internet.
Setelah memasukkan kata kunci di mesin pencari, dalam beberapa detik akan muncul satu atau beberapa hasil. Biasanya buku yang Anda cari dijual secara online. Jika Anda merasa cocok dengan penawaran yang diberikan, Anda dapat langsung
membelinya. Anda harus bersyukur jika ternyata buku tersebut masih baru dan
bersegel. Bagaimana jika Anda hanya ingin melihat dahulu dan hanya ingin
meminjamnya, karena Anda hanya perlu beberapa halaman atau bagian dari buku itu
yang hendak Anda kutip? Berarti Anda harus mencarinya di perpustakaan Buddhis
atau Perpustakaan Nasional. Anggap Anda ingin mencarinya di perpustakaan
Buddhis. Celakanya perpustakaan Buddhis belum mampu menyediakan daftar buku
mereka secara online. Setelah menjelajah dunia maya, penulis menemukan
situs Dharmayana yang telah memiliki daftar buku yang bisa diakses langsung.
Meskipun koleksi bukunya tidak terlalu banyak, upaya Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Tarumanagara Jakarta ini patut diacungi
jempol. Ketiadaan daftar buku pada kebanyakan perpustakaan Buddhis memaksa kita
untuk mendatangi perpustakaan itu satu demi satu, yang membuat pencarian buku
Dhamma menjadi tidak efektif lagi.
Seperti yang disebutkan di atas, banyak buku Buddhis yang sebetulnya
merupakan buku yang bagus, yang diterbitkan secara swadaya, yakni dari umat, oleh umat, dan untuk umat. Penerbitan model ini mengandalkan
partisipasi umat dan diperuntukkan bagi umat, yang menyediakan kesempatan bagi
umat untuk berdana dan hasilnya sebagian juga untuk umat itu sendiri. Kekurangan model ini biasanya baru dirasakan beberapa
tahun kemudian. Setelah panitia yang menerbitkan buku itu pergi entah kemana, buku yang mereka pernah terbitkan juga
menghilang dan sulit didapatkan bahkan di
perpustakaan Buddhis sekali pun.
Juga tidak ada edisi penerbitan itu yang di serahkan kepada Perpustakaan Nasional, sehingga sulit bagi akademisi
Buddhis untuk melacaknya. Masih beruntung kita jika menemukan buku tadi di
pasar loak karena pemilik asalnya tidak membutuhkannya lagi. Inilah
kekurangannya kalau boleh dikata. Penerbit buku dadakan itu kalau kita ingin
melacaknya, juga susah untuk menghubungi mereka. Setelah tugas
menerbitkan buku selesai mereka pun bubar. Tidak terpikir jika di masa depan
mungkin dibutuhkan cetak ulang atau naskah yang ada perlu untuk direvisi.
Keluhan yang menyebutkan bahwasanya buku Dhamma yang beredar
hanya itu-itu saja sesungguhnya menggambarkan bahwa tidak banyak penulis
Buddhis di Indonesia yang mampu menulis artikel dan buku yang menarik dan
bermutu. Banyak buku yang bagus dan bermutu di Indonesia, yang berasal dari
naskah penulis asing, yang bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
(biasanya dari teks berbahasa Inggris). Untuk umat Buddha yang merupakan golongan
minoritas di Indonesia, acuan untuk mencari ilmu ke negara-negara Buddhis adalah
pilihan yang tepat. Buku-buku bisa diambil dari Thailand, Myanmar, Tiongkok,
India, Tibet, Sri Lanka, dan lain-lain.
Sekarang kita periksa dulu naskah apa yang patut kita terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Contohnya adalah kitab suci Tipitaka. Dari tiga keranjang ini hanya Sutta Pitaka yang telah tersedia lebih
dari separuhnya dalam bahasa Indonesia, mengingat empat Nikaya
(Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya) sudah
ada serta beberapa kitab dari Khuddaka Nikaya. Sedangkan untuk kedua Pitaka
yang Lainnya masih sedikit. Buku Komentar atau Sub-Komentar pun juga demikian, apalagi kitab suci
yang berbahasa Sanskerta, Mandarin, dan Tibet. Seperti yang penulis kemukakan sebelumnya, yang kita perlukan sekarang ini
adalah buku-buku referensi.
Mengapa buku referensi diperlukan? Buku referensi diperlukan
untuk menunjang pendidikan tinggi agama Buddha. Kita sudah memiliki beberapa
STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha), diantaranya STAB Nalanda, STAB Negeri
Sriwijaya, STAB Kertarajasa, STAB Dharmaduta, dan masih ada beberapa lagi. Dari
STAB tersebut bahkan ada yang sudah membuka
program S2. Di perguruan
tinggi, yang diperlukan adalah buku-buku referensi dan jurnal ilmiah. Kita
sendiri sudah tahu kualitas penguasaan bahasa Inggris lulusan SMA dan SMK di
republik ini, apalagi di perguruan tinggi mereka diharuskan mencerna buku teks keagamaan yang menggunakan istilah-istilah yang lebih teknis. Dengan adanya
buku referensi terjemahan dalam bahasa Indonesia, penguasaan materi kuliah akan
lebih terakomodir
Jika kita ingin menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kita
bisa mencontoh bangsa Jepang. Sampai pertengahan abad ke-19 Negeri Matahari Terbit tidak
diperhitungkan untuk bersaing dengan bangsa-bangsa Eropa yang lebih maju.
Perubahan mulai terjadi pada masa Kaisar Mutsuhito (1868-1912) yang terkenal
dengan gelarnya Tenno Meiji. Berbagai macam buku berbahasa asing terutama buku sains dan teknologi berbahasa Inggris diterjemahkan
ke dalam bahasa Jepang. Demikian pula
buku tentang peradaban dan kebudayaan Barat, karya sastra, sampai kepada buku
ilmu pengetahuan praktis. Masa sang
kaisar berkuasa dikenal sebagai Era of Enlightenment atau zaman pencerahan.
Sebagai buah manisnya, Jepang merupakan negara Asia pertama yang menjadi negara
maju.
Sebagai penerbit baru, kami dari Dharma Prima Niaga berupaya
menerjemahkan buku-buku referensi yang berasal dari negara Buddhis. Dalam upaya
kerja sama dengan penerbit buku Buddhis di luar negeri, kami telah ditunjuk
oleh Buddhist Publication Society yang berkedudukan di Sri Lanka untuk
menerjemahkan buku-buku agama Buddha dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kami menyadari adalah tugas berat untuk menerjemahkan
karya-karya tersebut mengingat banyaknya buku disertai tingkat kesulitan yang
tinggi. Untuk itu kami mengundang para penerjemah untuk ikut berkiprah di
dalamnya. Kami pun menantikan pengarang lain di dalam negeri untuk menerbitkan
karya-karya mereka. Dengan begitu menerbitkan buku-buku agama dan tradisi kita, dapat kami emban. Semoga.
penerbitan&perbukuan/sdjn/191119