Rabu, 15 Januari 2020

MENGUPAYAKAN PENERBITAN BUKU-BUKU AGAMA DAN TRADISI KITA


MENGUPAYAKAN PENERBITAN BUKU-BUKU AGAMA DAN TRADISI KITA




Pada artikel pertama penulis telah memaparkan era disrupsi yang mengubah gaya hidup kita, sekaligus menggambarkan bahwa buku konvensional atau buku cetak masih berperan dalam kehidupan kita sehari-hari. Artikel berikutnya menceritakan perlunya kita mendukung literasi digital, yang jika mampu dimanfaatkan dengan benar, akan meningkatkan minat baca masyarakat dan nantinya akan membuat pengetahuan mereka semakin bertambah. Artikel ketiga mencoba menggambarkan seberapa jauh masyarakat luas mengenal agama dan tradisi kita. Lalu ada kabar mengenai dunia perpustakaan Indonesia yang kondisinya semakin menyedihkan. Penulis juga memberikan saran bagaimana perpustakaan seharusnya mentransformasikan diri agar mereka kembali menjadi dambaan masyarakat. Bagian terakhir dari rangkaian tulisan ini menyoroti perkembangan buku-buku agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur dalam beberapa tahun belakangan ini, serta apa yang akan dikerjakan oleh kami sebagai penerbit baru.

Sekarang terlebih dahulu kita melihat statistik perbukuan di Tanah Air. Dari data yang dikeluarkan oleh Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), pada tahun 2005 ada 1.328 penerbit yang menjadi anggota Ikapi dan 109 penerbit yang ada di luarnya. Dari seribuan penerbit yang ada, hanya 771 penerbit yang aktif, yaitu mereka yang menerbitkan sekurang-kurangnya 10 judul buku per tahun. Rata-rata oplag per buku yang bisa dijual mencapai sekitar 3.000 eksemplar, dan hanya tiga persen dari judul buku yang terbit yang bisa mencapai tiras di atas 15,000 eksemplar, serta yang tiga persen ini pun didominasi oleh buku-buku pelajaran sekolah dasar. Kemudian, menarik untuk melihat berapa besar pangsa pasar untuk setiap jenis buku. Untuk maksud itu kita ambil penjualan buku di Toko Buku Gramedia pada Tahun 2014, yang kemudian disusun berdasarkan peringkatnya. Pada peringkat pertama diisi oleh Buku Anak dengan angka penjualan 10.135.778 eksemplar dengan nilai Rp 394.073.340.000. Kemudian menyusul Buku Religi dan Spiritual 3.421.197 eksemplar, dengan sebagian besar berupa buku-buku agama Islam. Selanjutnya di peringkat ketiga Buku Fiksi sebanyak 3.264.185 eksemplar, yang terdiri dari beragam genre. Data yang lebih baru, yakni yang dipublikasikan oleh London Book Fair 2019 menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling aktif menerbitkan buku, yakni sebanyak 30 ribu judul buku. Indonesia mengalahkan Malaysia yang mencetak 19 ribu judul buku dan Thailand 17 ribu judul buku. Kita tidak boleh gembira, karena populasi penduduk kita jauh berlipat kali dibandingkan Malaysia.

Dengan melihat statistik di atas, boleh dikata bahwa buku fiksi dan buku agama / religi menempati urutan terbanyak yang berhasil dijual setelah buku anak dan buku pelajaran sekolah. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, wajar buku-buku agama Islam mengambil porsi yang cukup besar, seperti yang bisa kita saksikan sendiri di  toko-toko buku yang mana banyak  rak-buku yang disediakan untuk memajang buku agama. Dari penerbit buku agama Islam yang terkenal bisa disebutkan antara lain Mizan, Al-Kautsar, Gema Insani, Azzam, dan masih banyak lagi. Buku "Sejarah Tuhan"   yang legendaris itu yang dikarang oleh Karen Armstrong edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Sejak beberapa tahun terakhir ini Mizan juga menggarap buku lainnya tidak melulu buku Islam saja. Berikutnya kita lihat sekilas penerbit buku-buku agama selain Islam. Penerbit buku agama Kristen antara lain BPK Gunung Mulia, Kalam Hidup, Gloria, Immanuel, dan lain-lain; penerbit buku agama Katolik antara lain Kanisius, Dioma, Obor, Ave Maria, dan lain-lain; penerbit buku agama Hindu, yang penulis ketahui hanya Penerbit Paramita. Sedangkan penerbit buku agama Konghucu penulis tidak berhasil menemukannya, meskipun buku-bukunya dalam berbagai judul diterbitkan oleh penerbit buku umum, diantaranya oleh Penerbit Binarupa Aksara. Sekarang siapa penerbit buku agama Buddha? Kami mencatat: Karaniya, Ehipassiko, Hadaya Vatthu, Lamrinesia, Insight Vidyasena, Dian Dharma, Indonesia Tipitaka Center, dan masih banyak lagi.

Dipandang dari segi bisnis, industri perbukuan di Indonesia bukanlah industri yang menjanjikan guna mendapatkan keuntungan. Yang pasti hanya industri perbukuan untuk memenuhi kebutuhan pelajaran sekolah yang pasti menghasilkan laba yang menggiurkan walaupun kesempatan untuk berjualan hanya setahun sekali. Seperti yang disebutkan di atas, oplah rata-rata setiap judul buku di Indonesia hanya berkisar antara 2.000 sampai 3.000 buah buku. Jumlah sebesar itu (atau hanya sebagian besarnya) pun butuh waktu satu sampai dua tahun untuk terjual. Sebuah buku akan disebut laris atau best seller jika dalam beberapa bulan bisa terjual 5.000 sampai 8.000 eksemplar. Buku best seller yang pernah merajai pasar buku di Tanah Air kita contohnya adalah "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata. Jangan bandingkan Indonesia dengan negara-negara lainnya di dunia. Buku Stephen Hawking, "A Brief History of Time", telah terjual jutaan eksemplar. Sementara edisi Indonesianya, "Riwayat Sang Kala", dengan penerbit Pustaka Utama Grafiti hanya mampu mendulang beberapa puluh ribu eksemplar saja. Jadi di negara maju seorang penulis terkenal bisa menjadi kaya raya cukup dengan menulis, tetapi di Indonesia hal itu tampaknya mustahil, apalagi para penerbit dan Pemerintah tidak berdaya melawan pembajakan buku.

Dengan besaran oplah yang relatif kecil dan masa edar buku di toko buku yang bisa berlangsung sampai dua tahun, persaingan diantara penerbit pun menjadi ketat.  Seperti yang terjadi di khazanah buku-buku agama Islam yang dipenuhi oleh aneka macam buku, toko buku sampai kewalahan menyediakan beberapa almari-pajang yang berisi ratusan judul buku. Untuk topik yang populer bahkan satu judul pun bisa diterbitkan oleh beberapa penerbit. Bagaimana dengan buku Buddhis? Dibandingkan dengan penerbitan buku-buku agama Islam, penerbitan buku-buku agama Buddha tidak ada apa-apanya. Di atas telah disebutkan sejumlah penerbit buku agama Buddha, namun pihak yang menerbitkan buku sesungguhnya lebih banyak. Terkadang kumpulan individu atau vihara menerbitkan buku mereka sendiri. Penerbitan buku dengan cara swadaya dilakukan dengan cara mengumpulkan sumbangan sukarela dari umat sampai diperoleh jumlah dana yang memadai. Setelah dana terkumpul, buku baru dicetak sesuai kebutuhan, dan setelah selesai buku dibagikan secara gratis di lingkungan komunitas mereka. Biasanya buku dicetak berlebih, agar ada jatah untuk dibagi-bagikan kepada vihara, sekolah, atau dhammaduta.

Di atas penulis telah mencoba menggambarkan industri perbukuan di Indonesia dengan berbagai tantangan dan kesulitannya. Sekarang kita melihat kondisi perbukuan khususnya buku-buku agama Buddha (dan juga untuk ajaran Konfusius dan Tao), dilihat dari kacamata umat selaku konsumen buku. Dulu sekitar tiga atau empat tahun yang lalu buku-buku agama Buddha masih bisa dijumpai di toko buku besar seperti Toko Buku Gramedia. Sekarang dengan adanya disrupsi, buku-buku agama selain tentunya untuk buku agama Islam, semakin sukar didapatkan di toko buku umum. Buku agama Buddha hanya bisa diperoleh dari toko atau kios yang umumnya berada di kompleks vihara dan disatukan dengan barang dagangan lainnya yakni perlengkapan sembahyang. Keragaman buku-buku itu pun jauh dari lengkap. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika pertanyaan itu diajukan kepada pihak toko atau kios, mereka akan menjawab hanya sedikit orang yang datang ke sana menanyakan buku. Buku agama tidak lagi dilirik orang, kecuali buku cerita berbentuk komik atau sejenisnya yang diperuntukkan bagi anak-anak. Namun jika kita bertanya kepada umat yang sering membaca buku, mereka enggan untuk melirik buku yang ada dengan alasan bukunya hanya itu-itu saja dan jarang ada buku terbitan baru. Jadi penjual mengatakan buku tidak laku karena sedikit pembelinya, sedangkan pembeli bilang tidak berminat membelinya karena stok buku yang ada hanya sedikit. Penulis menyimpulkan masalah ini seperti lingkaran setan, yang tidak diketahui lagi penyebabnya.

Jika Anda seorang dosen atau orang yang serius mempelajari Dhamma dan ingin mencari buku agama, dimana Anda akan mencarinya? Anggap Anda sudah tahu  judul buku  dan pengarangnya. Lalu Anda bisa melakukan pencarian di internet. Setelah memasukkan kata kunci di mesin pencari, dalam beberapa detik akan muncul satu atau beberapa hasil. Biasanya buku yang Anda cari dijual secara online. Jika Anda merasa cocok dengan penawaran yang diberikan, Anda dapat langsung membelinya. Anda harus bersyukur jika ternyata buku tersebut masih baru dan bersegel. Bagaimana jika Anda hanya ingin melihat dahulu dan hanya ingin meminjamnya, karena Anda hanya perlu beberapa halaman atau bagian dari buku itu yang hendak Anda kutip? Berarti Anda harus mencarinya di perpustakaan Buddhis atau Perpustakaan Nasional. Anggap Anda ingin mencarinya di perpustakaan Buddhis. Celakanya perpustakaan Buddhis belum mampu menyediakan daftar buku mereka secara online. Setelah menjelajah dunia maya, penulis menemukan situs Dharmayana yang telah memiliki daftar buku yang bisa diakses langsung. Meskipun koleksi bukunya tidak terlalu banyak, upaya Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Tarumanagara Jakarta ini patut diacungi jempol. Ketiadaan daftar buku pada kebanyakan perpustakaan Buddhis memaksa kita untuk mendatangi perpustakaan itu satu demi satu, yang membuat pencarian buku Dhamma menjadi tidak efektif lagi.

Seperti yang disebutkan di atas, banyak buku Buddhis yang sebetulnya merupakan buku yang bagus, yang diterbitkan secara swadaya, yakni dari umat, oleh umat, dan untuk umat. Penerbitan model ini mengandalkan partisipasi umat dan diperuntukkan bagi umat, yang menyediakan kesempatan bagi umat untuk berdana dan hasilnya sebagian juga untuk umat itu sendiri. Kekurangan model ini biasanya baru dirasakan beberapa tahun kemudian. Setelah panitia yang menerbitkan buku itu pergi entah kemana, buku yang mereka pernah  terbitkan juga menghilang dan sulit didapatkan bahkan di perpustakaan Buddhis sekali pun. Juga tidak ada edisi penerbitan itu yang di serahkan kepada Perpustakaan  Nasional, sehingga sulit bagi akademisi Buddhis untuk melacaknya. Masih beruntung kita jika menemukan buku tadi di pasar loak karena pemilik asalnya tidak membutuhkannya lagi. Inilah kekurangannya kalau boleh dikata. Penerbit buku dadakan itu kalau kita ingin melacaknya, juga susah untuk menghubungi mereka. Setelah tugas menerbitkan buku selesai mereka pun bubar. Tidak terpikir jika di masa depan mungkin dibutuhkan cetak ulang atau naskah yang ada perlu untuk direvisi.

Keluhan yang menyebutkan bahwasanya buku Dhamma yang beredar hanya itu-itu saja sesungguhnya menggambarkan bahwa tidak banyak penulis Buddhis di Indonesia yang mampu menulis artikel dan buku yang menarik dan bermutu. Banyak buku yang bagus dan bermutu di Indonesia, yang berasal dari naskah penulis asing, yang bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (biasanya dari teks berbahasa Inggris). Untuk umat Buddha yang merupakan golongan minoritas di Indonesia, acuan untuk mencari ilmu ke negara-negara Buddhis adalah pilihan yang tepat. Buku-buku bisa diambil dari Thailand, Myanmar, Tiongkok, India, Tibet, Sri Lanka, dan lain-lain.

Sekarang kita periksa dulu naskah apa yang patut kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Contohnya adalah kitab suci Tipitaka. Dari tiga keranjang ini hanya Sutta Pitaka yang telah tersedia lebih dari separuhnya dalam bahasa Indonesia, mengingat empat Nikaya (Digha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya) sudah ada serta beberapa kitab dari Khuddaka Nikaya. Sedangkan untuk  kedua Pitaka yang Lainnya masih sedikit. Buku Komentar atau Sub-Komentar pun juga demikian, apalagi kitab suci yang berbahasa Sanskerta, Mandarin, dan Tibet. Seperti yang penulis kemukakan sebelumnya, yang kita perlukan sekarang ini adalah buku-buku referensi.

Mengapa buku referensi diperlukan? Buku referensi diperlukan untuk menunjang pendidikan tinggi agama Buddha. Kita sudah memiliki beberapa STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha), diantaranya STAB Nalanda, STAB Negeri Sriwijaya, STAB Kertarajasa, STAB Dharmaduta, dan masih ada beberapa lagi. Dari STAB tersebut bahkan ada yang  sudah membuka program S2.  Di perguruan tinggi, yang diperlukan adalah buku-buku referensi dan jurnal ilmiah. Kita sendiri sudah tahu kualitas penguasaan bahasa Inggris lulusan SMA dan SMK di republik ini, apalagi di perguruan tinggi mereka diharuskan mencerna buku teks  keagamaan yang menggunakan istilah-istilah yang lebih teknis. Dengan adanya buku referensi terjemahan dalam bahasa Indonesia, penguasaan materi kuliah akan lebih terakomodir

Jika kita ingin menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kita bisa mencontoh bangsa Jepang. Sampai pertengahan abad ke-19 Negeri Matahari Terbit tidak diperhitungkan untuk bersaing dengan bangsa-bangsa Eropa yang lebih maju. Perubahan mulai terjadi pada masa Kaisar Mutsuhito (1868-1912) yang terkenal dengan gelarnya Tenno Meiji. Berbagai macam buku berbahasa asing terutama buku sains dan teknologi berbahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.  Demikian pula buku tentang peradaban dan kebudayaan Barat, karya sastra, sampai kepada buku ilmu pengetahuan praktis.  Masa sang kaisar berkuasa dikenal sebagai Era of Enlightenment atau zaman pencerahan. Sebagai buah manisnya, Jepang merupakan negara Asia pertama yang menjadi negara maju.

Sebagai penerbit baru, kami dari Dharma Prima Niaga berupaya menerjemahkan buku-buku referensi yang berasal dari negara Buddhis. Dalam upaya kerja sama dengan penerbit buku Buddhis di luar negeri, kami telah ditunjuk oleh Buddhist Publication Society yang berkedudukan di Sri Lanka untuk menerjemahkan buku-buku agama Buddha dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kami menyadari adalah tugas berat untuk menerjemahkan karya-karya tersebut mengingat banyaknya buku disertai tingkat kesulitan yang tinggi. Untuk itu kami mengundang para penerjemah untuk ikut berkiprah di dalamnya. Kami pun menantikan pengarang lain di dalam negeri untuk menerbitkan karya-karya mereka. Dengan begitu menerbitkan buku-buku agama dan tradisi kita, dapat kami emban. Semoga.


penerbitan&perbukuan/sdjn/191119

Selasa, 14 Januari 2020

AGAMA DAN TRADISI KITA YANG TAK DIKENAL MASYARAKAT DAN MENURUNNYA PERAN PERPUSTAKAAN


AGAMA DAN TRADISI KITA YANG TAK DIKENAL MASYARAKAT DAN MENURUNNYA PERAN PERPUSTAKAAN




Seberapa jauh masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal agama dan tradisi kita? Andaikan kita melakukan survei dengan menanyai dua puluh orang yang lewat secara acak di sebuah jalan di kota, misalnya dengan bertanya dalam selang waktu lima atau sepuluh menit sekali kepada orang yang berlalu lalang. Pertanyaan yang kita ajukan: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab suci agama Buddha?" Setelah survei berlangsung selama kurang lebih dua jam, mungkin kita terkaget-kaget bahwa dari dua puluh orang itu, tidak ada seorang pun yang dapat menja-wab dengan benar. Sekarang jika pertanyaannya sedikit kita ubah: "Apakah Bapak (Ibu/Sdr./Adik) tahu, apakah nama kitab suci agama Islam / Kristen?" Barangkali kita akan menemukan hampir seluruhnya dari dua puluh orang itu tahu dan menjawab dengan benar.

Demikianlah kenyataannya, masyarakat Indonesia pada umumnya tidak banyak yang tahu nama kitab suci agama Buddha, bahkan jika  pertanyaan itu diajukan kepada orang yang di kolom agama pada KTP-nya bertuliskan 'Budha'. Lalu jika ditanya lebih jauh lagi apa ajaran agama Buddha, mereka sama sekali tidak memahaminya. Beruntunglah kita semenjak Tahun 1983, hari Nyepi dan Waisak dijadikan hari libur nasional. Masyarakat Indonesia pun sejak itu mengakui eksistensi umat Buddha, karena mereka ingat: "Wah, besok hari Waisak yang merupakan  hari raya umat Buddha, dan kita libur, tidak usah masuk kerja / sekolah, dan kita bisa jalan-jalan."  Penulis pun bersyukur salam umat Buddha juga telah dibudayakan untuk menyapa umat beragama. Presiden Jokowi pun sering memulai pidatonya dengan menyapa hadirin: "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh; Salam sejahtera untuk kita semua; Om swastyatsu;  Namo buddhaya, Salam kebajikan." Orang  belum tentu paham apa itu arti 'Namo buddhaya', tetapi masyarakat tahu bahwa itu adalah salam untuk menyapa umat Buddha.

Kitab suci agama-agama yang diakui oleh negara seyogianya diketahui oleh masyarakat luas, karena hal itu masuk ranah pengetahuan umum. Anak-anak sekolah dasar pun dituntut menguasai pengetahuan umum, seperti misalnya ibukota Jawa Barat adalah Bandung, dan jika air dipanaskan sampai 100 derajat Celcius akan mendidih. Jadi jika orang tidak bisa menjawab apa itu kitab suci agama Buddha, berarti ada yang salah dengan kita sebagai umat Buddha dalam memperkenalkan agama kita kepada masyarakat luas.

Kenyataan itu sekali lagi mengingatkan apa yang disebutkan dalam tulisan kami yang terdahulu, bahwasanya tingkat literasi atau minat baca orang Indonesia itu ada di peringkat bawah diantara negara-negara di dunia. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat literasi itu tidak lain dengan ketersediaan perpustakaan di seantero negeri. Sekarang berapa banyak perpustakaan di Indonesia? Kepala Perpustakaan Nasional Indonesia Muhammad Syarif Bando mengungkapkan jumlah perpustakaan di Indonesia kini mencapai 164.610 buah (Koran Sindo, 15-Mar-2019). Hal ini menempatkan Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di dunia. Urutan pertama ditempati India dengan 323.605 perpustakaan. Perpustakaan di Indonesia boleh banyak, tetapi yang lebih penting sekarang adalah berapa tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan atau sejauh mana perpustakaan itu memberi akses ke masyarakat.

Penghargaan masyarakat Indonesia terhadap buku dan perpustakaan, jika kita meneropongnya dari sisi orang kota dan orang desa seperti bumi dan langit. Orang kota khususnya generasi milenial yang terdiri dari anak sekolah (tingkat SD, SMP, SMU/SMK), mahasiswa, dan mereka yang telah bekerja membagi generasinya menjadi dua, yakni kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul dan kaum milenial yang gaul tapi tidak serius. Kaum milenial yang gaul itu lebih banyak mengisi waktu senggang mereka dengan bepergian ke mal dan menghabiskan waktu di kafe. Kaum milenial yang rajin tapi tidak gaul mengisi waktu mereka dengan bekerja di perpustakaan. Sering kali golongan kedua meledek: "Anak cupu kerjanya ke perpustakaan, gue kagak ngerti rajin amat mereka mainnya di perpustakaan." ABG (anak baru gede) yang pernah penulis temui di satu perpustakaan milik pemerintah, mengeluhkan kondisi perpustakaan: "Perpustakaan ini tidak menarik, AC-nya tidak dingin, ruangannya bau buku usang, koleksi bukunya kagak update, dan wifi-nya tidak kencang." Iseng-iseng penulis menyapa, mengapa mereka  masih datang ke sana.  Mereka mengatakan terpaksa melakukannya karena ada tugas dari sekolah yang mana kepustakaannya hanya bisa diperoleh di sana. Mereka juga menambahkan:  "Sebetulnya  kita-kita  ini  masih  suka  baca  buku, apalagi kalau ada novel-novel remaja seperti Dilan dan Milea."

Penghargaan orang desa yang tinggal di daerah terpencil  terhadap buku dan perpustakaan berbanding terbalik dengan orang kota. Orang desa menganggap adalah satu kemewahan jika mereka bisa membaca buku, karena buku tidak banyak tersedia di desanya. Sugeng Haryono, seorang sarjana ilmu perpustakaan, di Desa Klaten Lampung Selatan memprakarsai lahirnya motor-pustaka. Sugeng memodifikasi sepeda motor GL-Max-nya agar dapat dijadikan sebagai perpustakaan keliling. Pekerjaan ini dilakukan oleh Sugeng karena ia merasa prihatin akan kurangnya akses bahan bacaan bagi anak-anak Indonesia di daerah-daerah terpencil. Kedatangan Sugeng selalu ditunggu oleh masyarakat desa terutama anak-anak. Setiap hari ia harus menempuh jarak sekitar 8 hingga 10 km, namun pria ini ikhlas menjalaninya. Prinsip pria ini adalah satu dikurang satu menjadi sepuluh, bukan nol; dia yakin selama dilandasi niat baik, Allah akan membantunya melakukan niat baik tersebut. Beberapa penggiat perpustakaan berjibaku dengan mengorbankan dirinya demi kepentingan umum. Bila kita melihat kondisi TBM (Taman Bacaan Masyarakat) yang tumbuh di kota-kota maupun desa-desa di Indonesia, semuanya memiliki masalah kronis yang sama, yaitu suplai buku baru amat sedikit. Hal ini terbentur alokasi anggaran belanja buku yang terbatas dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah; sampai-sampai mereka menghimbau agar masyarakat luas menyumbangkan buku, dengan kompensasi menggratiskan ongkos angkutnya jika dikirim  melalui  PT Pos Indonesia pada tanggal tertentu setiap bulannya.

Mungkin ada pembaca yang bertanya, sebaiknya buku-buku apa yang disediakan di sebuah perpustakaan. Jawabannya perpustakaan didirikan demi pemberdayaan masyarakat yang dilayaninya. Perpustakaan sekolah idealnya menyediakan buku pelajaran sekolah, buku bacaan penunjang pelajaran, buku ilmu pengetahuan untuk anak dan remaja, serta buku cerita dan novel anak serta remaja. Taman Bacaan Masyarakat yang sering dikunjungi oleh kalangan ibu-ibu tentu lebih afdol jika disediakan buku-buku yang berkaitan dengan dunia wanita, artikel tentang kesehatan keluarga, kerajinan tangan, buku resep masakan, dan novel-novel yang ringan dan populer. Perpustakaan desa seyogianya menyediakan buku-buku tentang metode bercocok tanam yang benar, peternakan dan perikanan, industri pengolahan tepat guna, peluang agribisnis, dan jurus-jurus menjadi seorang wirausaha.

Sekarang, buku apa yang sebaiknya disediakan dalam satu perpustakaan Buddhis, seperti perpustakaan vihara, perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi Buddhis? Ya, jelas buku-buku agama Buddha atau buku Dhamma. Banyak orang mengira bahwa perpustakaan Buddhis seharusnya menyimpan kitab-kitab suci dan buku yang berkaitan dengan upacara keagamaan saja. Padahal yang perlu diperbanyak di sana semestinya buku-buku referensi. Buku referensi tidak lain satu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya fokus pada satu topik pengetahuan tertentu, misalnya buku yang membahas meditasi Buddhis. Perpustakaan Buddhis   semestinya menyediakan buku-buku referensi yang memudahkan para penggunanya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, lengkap, dan tepat tentang agama Buddha. Sekarang bagaimana kondisi perpustakaan Buddhis di Indonesia dewasa ini?

Penulis beberapa kali berkunjung ke Perpustakaan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang terletak di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Perpustakaannya sendiri terletak di Lantai 6 Gedung Narada yang megah. Gambaran awal, penulis di sana akan menemukan banyak koleksi buku agama Buddha yang terdiri dari berbagai bidang pembahasan. Namun saat pertama kali berkunjung ke sana, penulis kecewa, karena koleksi buku agama Buddha jumlahnya kalah jauh dibandingkan buku-buku lainnya (yakni buku yang tidak bersangkut paut dengan agama). Lagi pula untuk buku-buku referensi, koleksinya jauh dari lengkap. Tetapi kita tidak pada tempatnya menyalahkan pihak vihara, karena koleksi buku di sana merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Pernah juga penulis menyambangi dan kemudian menjadi anggota Perpustakaan Jawaharlal Nehru Cultural Center yang gedungnya terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Di sini ada banyak koleksi buku yang berasal dari India, hanya saja koleksi buku terbitan terbaru yang ada cuma sedikit. Keluhan terhadap dua perpustakaan terakhir yang dikunjungi penulis sebetulnya menggambarkan kondisi perpustakaan di Indonesia pada umumnya. Koleksi buku yang jauh dari lengkap, langkanya buku-buku pengetahuan yang bisa diandalkan oleh pengunjung, dan tidak ada penambahan buku-buku edisi terbaru, membuat masyarakat tidak dapat berharap banyak kepada perpustakaan. Jika keadaan di sekitar kita gelap, ketimbang berkeluh-kesah menyalahkan keadaan, adalah lebih bijak jika kita menyalakan lilin. Untuk itu meskipun mungkin tidak berarti, kami di Dharma Prima Niaga berupaya untuk menerbitkan buku-buku referensi yang nantinya diharapkan menambah khazanah pengetahuan tentang agama Buddha dan kebijaksanaan dari Timur, semoga.

Dengan demikian mau tidak mau perpustakaan Buddhis harus berkembang menjadi lebih baik jika tidak mau ditinggalkan oleh para pengunjungnya. Selama ini ada kesan bahwa institusi yang bernama perpustakaan itu adalah tempat yang angker dan formal. Perpustakaan  yang dikelola oleh Pemerintah pun terkesan kaku seperti adanya ketentuan bagi para pengunjung untuk berpakaian sopan, harus mengenakan sepatu, tidak boleh makan minum di dalam, dan sebagainya. Penulis jadi ingat ketentuan yang terdapat di satu vihara yang tidak membolehkan umat laki-laki bercelana pendek dan umat perempuan mengenakan tank top. Kita harus menanamkan kepada kaum milenial bahwa membaca itu kegiatan yang ringan dan menyenangkan, dan bahwa perpustakaan itu sesuatu yang menarik dan instagramable. Dengan sendirinya minat baca akan tumbuh sedikit demi sedikit, Kita harus melakukan desakralisasi kepada perpustakaan. Biarkan mereka berkunjung ke sana dengan membebaskan diri dari aturan formal, seperti bebas berpakaian, boleh duduk atau berbaring sesukanya, wifi yang kencang tersedia, AC cukup dingin, bahkan jika perlu disediakan kopi dan teh secara gratis serta dilengkapi dengan tempat makan. Serta yang perlu ditingkatkan adalah koleksi buku yang secara periodik ditambah dan tersedianya kumpulan e-book yang bisa diakses dengan mudah.

Tidak ada upaya untuk memperkenalkan ajaran agama Buddha kepada masyarakat luas – seperti gambaran yang diberikan pada awal tulisan ini tidaklah tepat. Di zaman yang memanjakan media sosial sebagai ruang untuk berinteraksi, kita umat Buddha berpeluang menyediakan informasi yang lebih baik dan lebih cepat ke berbagai golongan di masyarakat. Sejak penggunaan WhatsApp dan Facebook semakin marak di masyarakat Indonesia,  setiap hari ratusan bahkan ribuan konten yang berisikan ajaran agama kita berseliweran di media sosial. Di pagi hari kita telah disapa oleh kata-kata bijak dari Ajahn Chah, Y.M. Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, atau Master Cheng Yen. Selanjutnya kita bisa menyimak kutipan dari kitab suci dan artikel-artikel tentang Dhamma yang  mencerahkan. Sesekali ada petunjuk berlatih meditasi lewat video yang dibagikan, atau yang bisa kita akses kapan pun kita mau lewat saluran di YouTube. Berminat ikut seminar Buddhis atau sekedar ingin tahu siapa yang mengisi acara puja bakti di vihara tertentu, itu pun mudah karena kita tiap hari dibanjiri dengan undangan serupa. Singkatnya, semua informasi yang kita butuhkan yang berkaitan dengan menu-keagamaan sudah tersedia di depan mata kita. Sekarang segala sumber daya yang kita miliki untuk memperkenalkan wajah agama kita kepada masyarakat Indonesia telah tersedia secara luas. Tinggal bagaimana kita mengolah semuanya itu dengan takaran yang pas agar sesama kita dapat merasakan manfaatnya pula.



penerbitan&perbukuan/sdjn/191106