Jumat, 15 November 2024

SÌ MIÀN FÓ



Hari Sabtu tanggal 9 November 2024 bukan saja menjadi hari istimewa bagi para pemuja Sì Miàn Fó (四面佛) atau dialihbahasakan sebagai Buddha Berwajah Empat. Hari itu juga bertepatan dengan hari kebesarannya, yang dirayakan setiap tahun. Sì Miàn Fó dalam bahasa Thai dinamakan Phra Phrom, atau Vara Brahma. Dipuja sebagai dewa, mungkin lebih cocok kita namakan sosok ini sebagai Sì Miàn Shén (四面神), atau Dewa Berwajah Empat. Sì Miàn Fó selain dipuja oleh masyarakat Thailand, juga tidak asing bagi Diaspora Tionghoa yang berdominsili di Hongkong, Makau, dan Taiwan.

 

Di Asia Tenggara, terutama Thailand, Sì Miàn Fó dianggap sebagai dewa yang memiliki kekuatan tak terbatas dan mengendalikan kejayaan serta kekayaan dunia ini. Altar Buddha Berwajah Empat di Bangkok, merupakan salah satu tempat ibadah paling populer di Thailand. Altar ini terletak di persimpangan Jalan Ratchadamri dan Jalan Phloen Chit di Erawan, pusat kota Bangkok, dekat dengan Hotel Grand Hyatt dan Sogo Department Store. Arca ini diabadikan dalam kuil granit yang terbuka setinggi 4 meter yang didesain dengan sangat indah. Patung ini duduk tegak di tengah-tengahnya dengan tubuh berwarna emas, dan wajah serta postur yang sama di keempat sisinya.

 

Sì Miàn Fó memiliki empat wajah, delapan telinga, delapan lengan, dan delapan tangan. Masing-masing wajah tersebut menghadap ke empat arah mata angin. Masing-masing wajah tersebut melambangkan cinta kasih universal, welas-asih, simpati, dan ketenangseimbangan. Para peziarah biasanya memberikan persembahan yang terdiri dari 12 batang dupa, 1 buah lilin, dan 4 buah karangan bunga. Masing-masing tiga batang dupa dan sebuah karangan bunga ditempatkan di hadapan wajah arca Sì Miàn Fó. Konon, dewa ini bertanggung jawab atas semua urusan manusia, dan keempat sisinya memiliki tuah yang berbeda. Sisi depan untuk memohon agar bisnis berjalan dengan lancar, sisi kiri untuk memperoleh jodoh atau pernikahan yang bahagia, sisi kanan diperuntukkan untuk mendapatkan kesehatan, dan sisi belakang khusus permohonan guna mendapatkan kekayaan.

 

Banyak wisatawan melakukan perjalanan bolak-balik ke Thailand hingga berkali-kali untuk mengucapkan ikrar dan memenuhi keinginan mereka di hadapan Sì Miàn Fó, terutama di hari kebesarannya. Para bintang film Hong Kong dan Taiwan datang ke Thailand setiap tahun untuk memuja Buddha Berwajah Empat, yang memperlihatkan pesonanya yang begitu kuat. Misalnya, bintang film Deborah, Tony Leung, Sammo Hung, dan Nicholas Tse.

 

Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya, mengapa bisa ada kultus pemujaan Sì Miàn Fó di Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha Theravada? Semuanya ini bermula di tahun 1951. Saat itu ada proyek pembangunan hotel baru di pusat kota Bangkok yang dinamakan Erawan (yang menjadi pendahulu Hotel Grand Hyatt). Sebutan itu adalah nama gajah surgawi yang merupakan tunggangan Dewa Indra, yakni raja para dewa. Arca Dewa Indra yang sedang menunggang hewan peliharaannya ditempatkan di pojok sebelah depan hotel. Proyek pembangunan hotel tersebut sudah berjalan selama empat tahun, tetapi bangunannya tidak selesai juga. Malahan banyak terjadi kecelakaan kerja di proyek konstruksi tersebut.

 

Pemilik hotel kemudian mengundang Mayor Jenderal Luang Suvitsanpai, yang konon memiliki mata batin dan kemampuan cenayang yang mumpuni. Beliau lalu menginspeksi dan menemukan, bahwa arca Dewa Indra yang sedang menunggang gajah Erawan tidak memadai untuk dijadikan perlindungan. Beliau menganjurkan agar dihadirkan lagi sosok dewa yang lebih perkasa dibandingkan Dewa Indra. Pilihannya jatuh pada sosok yang lebih tinggi daripada Dewa Indra, yakni Dewa Brahma. Ada berbagai perwujudan Dewa Brahma dalam bentuk arca. Kebetulan pada kepercayaan Buddhis ada konsep Empat Brahma Vihara, maka dibuatlah patung Brahma yang berwajah empat. Perwujudan arca Brahma sebetulnya berasal dari keyakinan Hinduisme. Selanjutnya patung Dewa Brahma yang memiliki empat wajah itu didesain dan dibuat oleh para pengrajin. Setelah selesai arca itu ditempatkan di atas sebuah altar di depan hotel. Saat itu dimulai kembali pemujaan Brahma di Thailand, yang sempat padam selama berabad-abad.

 

Minggu lalu ada kabar gembira bagi para pemuja Sì Miàn Fó. Tepatnya di Kawasan Pantai Indah Kapuk, di Simpang Empat Riverwalk Island, sudah diresmikan arca yang serupa dengan yang terdapat di Bangkok. Adalah grup usaha Agung Sedayu Group (ASG), yang telah merintis pengadaannya sejak beberapa waktu sebelumnya. Sebelumnya telah ada tim yang melakukan perjalanan ke Thailand guna mengikuti proses pembuatan patung serta mahkota dan pilar yang dibuat secara handmade. Demikian yang penulis kutip dari laporan Nabila Els di detik.com. (Catat Tanggalnya! Buddha 4 Wajah Hadir di PIK2, 16-Jun-2023).

 

Arca Sì Miàn Fó yang hadir di PIK2 dibuat khusus oleh pengrajin ahlinya, Puan Sarunee Sangsee. Patung berlapis emas ini membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga mencapai bentuk akhirnya. Belum lagi bagian pedestal dan atapnya yang dibuat di daerah Suphan Buri, Thailand. Bagian dasar, atap, dan tiang penyangga pada seluruh permukaannya ditutupi oleh potongan-potongan kaca warna-warni yang disusun secara artistik. Setelah keseluruhan arca dan bagian pendukungnya rampung, masih ada inspeksi ketat dari Kementerian Kebudayaan Thailand. Seluruh karya seni ini adalah buatan tangan dan merupakan keunikan tersendiri.

Semoga dengan telah diresmikan dan dibukanya keberadaan Sì Miàn Fó di PIK2, properti yang dipersembahkan oleh Agung Sedayu Group ini, dapat dijadikan tempat beribadah yang baru bagi umat Buddha dan Tridharma di Indonesia.

 

 

sdjn/dpn/241111

  

Kamis, 16 Mei 2024

ZAMAN AKSIAL



Manusia modern atau dinamakan homo sapiens, yang kita kenal sekarang sudah ada sejak kurang lebih 300 ribu tahun yang silam. Dalam kurun waktu yang sedemikian panjang makhluk paling cerdas di bumi ini dikenal sebagai pemburu-pengumpul. Baru kira-kira 13 ribu tahun yang lalu homo sapiens mengenal cara bercocok tanam dan mereka mulai bermukim di satu tempat, alih-alih berpindah-pindah. Beranjak dari apa yang kita namakan sebagai Zaman Batu, ketika manusia mengenal perkakas dan alat bantu dari batu, perlahan-lahan mereka mulai mengenal penggunaan logam. Pengetahuan tentang metalurgi dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.

 

Demikianlah setelah itu peradaban manusia mulai meningkat secara berangsur-angsur, dan kebudayaan tumbuh secara ajeg. Tidak ada kemajuan berarti dalam masa waktu enam milenia itu. Kemudian, hanya dalam kurun waktu enam abad terjadi sesuatu yang luar biasa. Satu ledakan pemikiran yang sangat revolusioner terjadi. Dari sekitar tahun 800 hingga tahun 200 sebelum Masehi, beberapa peradaban besar melahirkan orang-orang yang luar biasa, pula dengan gagasan-gagasan yang tidak pernah ada sebelumnya.

 

Periode enam abad ini dikenal dengan sebutan "Zaman Aksial", atau bisa juga disebut "Zaman Poros". Ini mengacu pada satu periode ketika, kira-kira pada waktu yang bersamaan di sebagian wilayah; sistem intelektual, filosofis, dan keagamaan besar lahir di dunia ini. Nama Zaman Aksial berasal dari bahasa Jerman, yaitu Achsenzeit, yang diperkenalkan oleh filsuf dan psikiater Jerman, Karl Jaspers (1883-1969). Istilah ini mengacu pada perubahan yang besar dan drastis dalam pemikiran keagamaan dan filosofis, yang terjadi di berbagai lokasi. Kejadian yang tidak biasa ini belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, dan itulah alasannya Jaspers menyebutnya sebagai Zaman Poros, dimana Poros berarti "garis pemisah". Ada masa sebelumnya, dan ada zaman sesudahnya.

 

Zaman Aksial memberi kita gagasan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang jauh lebih penting daripada urusan duniawi yang sepele. Menurut Jaspers, selama periode ini, cara berpikir universalis muncul di Persia, India, Tiongkok, Levant, dan kawasan Yunani-Romawi. Semua pemikiran ini berkembang secara paralel, tanpa terjadinya percampuran yang kentara, di antara budaya-budaya yang berbeda ini. Jaspers mengidentifikasi para pemikir kunci pada zaman tersebut akan memiliki pengaruh besar pada filsafat dan agama di masa sesudahnya. Jaspers pun mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang umum, pada setiap bidang asal mula para pemikir tersebut.

 

"Banyak perkembangan luar biasa yang terjadi di era ini. Di Tiongkok hiduplah Konfusius dan Lao-tse, dan munculnya semua kecenderungan filosofis Tiongkok yang khas; para pemikir seperti Mòzǐ, Chuang-tze, Lia Dsi, dan banyak pemikir aktif lainnya. Di India berlangsung periode Upanishad, periode Buddha, dan seperti halnya di Tiongkok, setiap pemikian filosofis kemudian dikembangkan, termasuk skeptisisme, materialisme, sophistri, dan nihilisme. Di Persia, Zoroaster mengajarkan kosmologi dramatis tentang perjuangan antara Kebaikan dan Kejahatan. Di Palestina dan Israel memasuki zaman para Nabi, ditandai kelahiran Elia sampai Yesaya, Yeremia, hingga Deutero-Yesaya. Di Yunani merupakan zaman Homer, dan juga para filsuf seperti: Parmenides, Heraclitus, dan Plato; disusul pula oleh para dramawan, dari Thucydides dan Archimedes. Semua perkembangan besar yang ditunjukkan oleh nama-nama ini terjadi dalam beberapa abad tersebut – dan hampir bersamaan di Tiongkok, di India, dan di Barat. Walaupun demikian tidak satu pun dari ketiga dunia ini yang menyadari perkembangan di dunia lainnya." (Karl Jaspers, The Axial Age of Human History: A Base for the Unity of Mankind, dalam Commentary Magazine, November 1948).

 

Lebih lanjut Jaspers menjelaskan: "Hal baru yang muncul pada zaman ini adalah manusia menjadi sadar akan keberadaannya secara keseluruhan, akan dirinya sendiri, dan akan keterbatasannya. Dia mengalami kehebatan dunia dan kelemahan dirinya sendiri. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal dan, dalam usahanya untuk mencapai pembebasan dan penebusan, dia berhadapan dengan jurang yang dalam. Seraya menyadari keterbatasannya sendiri, dia telah menetapkan tujuan tertinggi untuk dirinya sendiri. Dia mengalami kemutlakan dalam kedalaman-kedirian, serta dalam kejelasan transendensi."

 

Jika dilihat dari dekat, para pemikir ini bisa terlihat sama berbedanya, seperti yang terjadi ketika kita membandingkan misalnya, perbedaan di antara sebatang kapur dengan sepotong keju. Apa persamaan antara Dao karya Lao Tzu dan Eudaimonia karya Aristoteles? Apa pula persamaan di antara Yahwe dan Brahman? Bagi Jaspers, jika Anda memperkecil tampilannya dan melihat para pemikir ini secara keseluruhan, ada banyak kesamaan yang dapat ditemukan. Yang terbesar adalah gerakan menuju apa yang disebut "universalisme". Kebenaran universal, agama universal, dan moral universal. Ini adalah gagasan bahwa ada nilai dan aturan tertentu yang harus diterapkan pada semua orang, di mana pun, apa pun kondisinya.

 

Kemudian mengenai "Transendensi". Transendensi secara harafiah berarti "melampaui". Dalam kasus "revolusi" Zaman Aksial sepanjang pemikiran manusia tentang dunia, "melampaui" memiliki beberapa arti. Menurut filsuf dan sosiolog Kanada Charles Taylor, di antaranya adalah pergeseran cara berpikir tentang alam semesta dan cara bekerjanya, dibandingkan dengan menganggap remeh bahwa alam semesta berjalan begitu saja secara serampangan. Munculnya pemikiran tingkat kedua tentang cara-cara manusia berpikir dan memahami alam semesta. Hal tersebut, beralih dari sekadar mendamaikan dewa-dewa suku atau masyarakat (yang disebut Taylor sebagai "memberi makan para dewa"); serta menuju spekulasi tentang nasib umat manusia, tentang hubungan manusia dengan kosmos, tentang "Yang Baik, dan bagaimana caranya manusia bisa menjadi "baik".

 

Para pemikir Zaman Aksial menunjukkan orisinalitas yang luar biasa, namun menunjukkan kesamaan yang mengejutkan sehubungan dengan keprihatinan mereka yang utama. Para pemikir India mulai memikirkan karma, akibat sisa dari tindakan masa lalu, yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan manusia. Lalu mereka mengusulkan solusi bagaimana manusia dapat mencapai pembebasan atau moksa dari akibat karma. Di Yunani kuno Socrates adalah teladan bagi para pemikir, yang menekankan penggunaan akal dalam penyelidikan kebenaran yang tiada-henti. Dan siswa utamanya Plato (bisa dibilang dia dijuluki sebagai Bapak Filsafat Barat), mengadaptasi wawasan gurunya dalam berteori, bagaimana dunia keberadaan sehari-hari dan dunia abadi. Gagasan-gagasan tersebut saling berhubungan. Para pemikir Tiongkok berupaya menyatukan kerajaan dan mencegah perang saudara, mempersoalkan dan memperdebatkan "sang jalan" (Dao) yang tepat bagi masyarakat manusia. Murid-murid Konfusius, misalnya, berpendapat bahwa Dao bertujuan untuk memajukan peradaban yang manusiawi, sedangkan murid-murid pemikir seperti Zhuangzi mengambil Dao Kosmik sebagai panduan hidup. Para nabi Ibrani mulai memandang tuhan bangsa mereka, Israel, sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan yang membentuk nasib semua orang. Tradisi Zoroastrianisme (dinamai demikian untuk Zoroaster) memahami sejarah manusia sebagai mikrokosmos perjuangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan, dan setiap kehidupan manusia sebagai penghidupan terus-menerus dari perjuangan memilih yang baik daripada yang jahat. Namun, dalam semua kasus, para pemikir yang representatif ini memandang diri mereka sebagai orang yang mendalilkan solusi atas pertanyaan dan permasalahan kehidupan. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri atau bahkan bagi budaya mereka, namun juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Meskipun penyelidikan mereka dimulai pada tingkat lokal dan tradisional, kekhawatiran mereka bersifat global, bahkan universal.

 

Mengapa periode 600 tahun yang sangat spesifik diperlukan agar Zaman Aksial dapat berlangsung? Sedikit sejarah dunia akan membantu menjelaskannya. Zaman Aksial adalah era di mana kerajaan-kerajaan berkembang menjadi sangat besar, baik dari segi ukuran maupun jumlah penduduk. Itu adalah masa kerajaan Persia dan Kartago, Republik Romawi, dan Kekaisaran Zhou. Artinya beberapa hal penting telah terjadi:

 

Pertama, kota-kota besar mulai terbentuk, penuh dengan orang-orang dan ide-ide dari berbagai wilayah yang luas. Suasana perkotaan ini menjadi tempat di mana para pemikir hebat dapat berkolaborasi, berdebat, dan menulis hal-hal yang menakjubkan. Adalah sebuah kebenaran, yang terlihat berulang kali sepanjang sejarah, bahwa ketika budaya, ideologi, dan masyarakat bersatu, maka langkah maju yang besar akan terjadi. Ini adalah daya tarik abadi kota besar zaman itu.

 

Kedua, raja bukan lagi sekedar raja kaleng-kaleng – mereka adalah "raja di atas raja". Sebelum Zaman Aksial, biasanya seorang penguasa, dan bahkan suatu agama, hanya berpengaruh pada suatu wilayah kecil. Seorang raja hanya mempunyai klaim atas wilayahnya sendiri. Dewa-dewa Yunani, bahkan Zeus yang mahakuasa, tidak berdaya di Kashmir. Namun hal ini berubah seiring dengan perluasan kerajaan. Sekarang raja-raja seperti Alexander dan Cyrus (keduanya dengan julukan "Agung") menguasai wilayah yang luas, dan para dewa tidak lagi cukup hanya menjadi salah satu dari sekian banyak dewa.

 

Ketiga, ketika kerajaan-kerajaan duniawi menjadi begitu kuat, orang-orang menjadi merasa tidak berdaya dan tidak penting. Moral dan aturan generasi sebelumnya digantikan oleh dekadensi perkotaan yang baru. Tidak ada lagi nilai-nilai yang bisa dijalankan sepenuhnya. Dengan demikian, ideologi dan gagasan yang baru menjadi kuat dengan sendirinya. Mereka adalah senjata dan sarana yang digunakan masyarakat untuk melawan gangguan penguasa digdaya dan tentaranya.

 

Karena alasan-alasan ini, kita melihat bahwa tema-tema umum tertentu muncul dari Zaman Aksial. Misalnya, dalam Teori Bentuk karya Plato, Empat Kebenaran Mulia dari Buddha, dan Monoteisme Yesaya. Kita melihat visi cita-cita transenden, yang bertentangan dengan upaya-upaya dunia material yang tidak bermoral dan berujung pada kesia-siaan.

 

Di atas disebutkan bahwa Zaman Aksial membawa perubahan besar pada dua bidang, yakni agama dan filsafat. Untuk selanjutnya penulis hanya akan berkonsentrasi di bidang agama saja. Salah satu tokoh yang menjadi panutan penulis adalah Karen Armstrong. Siapa gerangan Armstrong itu? Karen Armstrong adalah seorang penulis dan komentator ternama dari Inggris. Dia lahir pada 14 November 1944. Dia memulai kehidupannya sebagai seorang biarawati Katolik, lalu meneruskan pendidikannya di Universitas Oxford dengan mendalami bahasa dan sastra Inggris. Ketertarikannya pada studi agama secara universal membuatnya meninggalkan kehidupan kebiaraan. Buku-buku yang dikarangnya membuat dirinya menjadi termashyur. Buku-bukunya antara lain, A History of God (1993), Buddha (2004), dan The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006). Ketiga buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Bagi Anda para pembaca yang berminat menelaah lebih lanjut, bisa mencarinya di perpustakaan atau di bursa buku bekas di market place. Sebagai contohnya A History of God dialihbahasakan sebagai Sejarah Tuhan adalah buku yang luar biasa, yang menjelaskan sejarah tentang pemikiran atau pemahaman orang tentang Tuhan dari zaman purba hingga menjadi agama-agama besar dunia. Tuhan yang dimaksud di sini bukan saja Tuhan Monoteistik agama Wahyu, tetapi juga mencakup Dewa dan kekuasaan supranatural lainnya.

 

Dalam prakata bukunya yang menceritakan Transformasi Besar di masa lalu, Armstrong menulis: "Akan tetapi, bagaimana bisa para guru bijak Zaman Aksial itu, yang hidup dalam lingkungan yang sangat berbeda, bicara untuk kondisi zaman sekarang? Mengapa kita mesti menengok kepada Konfusius atau Buddha untuk mencari pertolongan? Tentunya kajian tentang periode yang jauh ini hanya merupakan latihan dalam arkeologi spiritual, ketika yang kita butuhkan sekarang adalah menciptakan lebih banyak inovasi iman untuk mencerminkan realitas dunia kita sendiri. Namun pada kenyataannya, kita tidak pernah melampaui kearifan wawasan Zaman Aksial itu. Pada masa-masa krisis spiritual dan sosial, umat mansia telah senantiasa berpaling kembali ke periode ini untuk mencari bimbingan. Mereka mungkin telah menafsirkan penemuan-penemuan Aksial secara berbeda, tetapi mereka tidak pernah berhasil melampauinya. Yudaisme Rabbinik, Kekristenan, dan Islam, sebagai contoh, semuanya merupakan pemekaran belakangan dari akar-akarnya di Zaman Aksial." (Armstrong, Karen, The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan, hal. xxix)

 

Yang membuat kita tercengang adalah para tokoh ini, para bijak, yang telah menemukan dimensi luhur dalam keberadaan mereka; tetapi mereka tidak memandang ini sebagai adialami, dan banyak di antara mereka yang menolak untuk mendiskusikannya: "… Setiap orang perlu mempertanyakan segala sesuatu dan menguji setiap ajaran secara empiris, diperhadapkan dengan pengalaman pribadi mereka. Pada kenyataanya, seperti yang akan kita lihat, jika seorang nabi atau filsuf mulai mendesakkan doktrin-doktrin yang mengikat, itu biasanya pertanda bahwa Zaman Aksial telah kehilangan momentumnya. Jika Sang Buddha atau Konfusius ditanya apakah dia percaya pada Tuhan, keduanya barangkali akan memejamkan matanya sesaat kemudian menjelaskan – dengan sangat rendah hati – bahwa ini bukanlah pertanyaan yang tepat. Jika ada seorang yang bertanya kepada Amos atau Yehezkiel apakah dia seorang "monoteis", yang percaya hanya pada satu Tuhan, dia mungkin akan sama bingungnya. Monoteisme bukanlah persoalannya. Kita menemukan sangat sedikit penegasan eksplisit tentang monoteisme di dalam Alkitab, justru – menariknya – kekasaran sebagian dari pertanyaan doktrinal ini sesungguhnya jauh dari semangat yang mendasari Zaman Aksial."

 

"Yang penting bukanlah apa yang Anda percayai, melainkan bagaimana Anda berperilaku. Agama adalah soal melakukan hal-hal yang mengubah kita pada tingkatan yang sangat mendasar. Sebelum Zaman Aksial, ritual dan pengurbanan hewan menjadi inti agama. Orang mengalami yang ilahi dalam drama-drama kudus yang, seperti pengalaman teatrikal hebat di zaman sekarang, mengantarkan kita masuk ke tingkatan eksistensi yang lain. Para bijak bestari Zaman Aksial mengubah ini, mereka masih menjunjung tinggi ritual, tetapi memberinya arti penting etis yang baru dan meletakkan moralitas di jantung kehidupan spiritual. Satu-satunya jalan untuk berjumpa dengan apa yang mereka sebut "Tuhan", "Nirwana", "Brahman", atau "Jalan" adalah dengan hidup yang berbela rasa." (The Great Transformation ..., hal. xxx-xxxi).

 

Pada artikel-artikel yang selanjutnya, penulis akan mencoba mengupas, apa sesungguhnya yang terjadi pada Zaman Aksial ini. Setelah kita menyelesaikannya, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada zaman emas peradaban umat manusia ini. Semoga para pembaca dapat memperoleh cakrawala pengetahuan yang lebih luas.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240516


Kamis, 02 Mei 2024

MEMASUKI KEHIDUPAN TANPA-RUMAH



Pada episode yang lalu, dikisahkan sang pangeran kita, Siddhārtha, dengan pertolongan para dewa berhasil ke luar dari istananya setelah lewat tengah malam. Saat yang bersejarah itu terjadi di hari purnama-siddhi di bulan Āsāḷha, genap dua bulan setelah sang pangeran merayakan hari ulang tahunnya yang ke-dua-puluh-sembilan. Segalanya berjalan mulus menurut skenario para dewata di Surga Tuṣita, yakni kerabat Siddhārtha di kehidupannya yang lampau. Saat yang menentukan terjadi ketika Kanthaka, sang kuda putih milik sang pangeran, menarik kereta-kuda kecil yang dipandu oleh sang kusir nan setia, Channa. Segera setelah melewati gerbang yang tadinya dijaga oleh sekelompok prajurit, akhirnya Siddhārtha dapat keluar dari lingkungan yang selama ini memperlakukan dirinya bak sesosok dewa.

 

Saat sang bintang pagi menampakkan dirinya,

Pada ketinggian setengah tombak dari ufuk-timur cakrawala;

Saat sang pertiwi mendesahkan nafas paginya

Tampaklah sungai Anoma di perbatasan, yang sedang mendendangkan air beriaknya.

 

Channa menarik tali-kekangnya, serta Siddhārtha melompat ke bumi dan menciumnya,

Dia peluk erat Kanthaka, menggosokkan kepalanya di antara kedua telinganya;

Kepada Channa dan kuda putihnya dia berseru, "Ini yang telah kalian lakukan,

Semuanya akan mendatangkan kebaikan bagi kalian berdua dan semua makhluk."

 

"Pimpin kembali kudaku dan bawa serta pula kereta kencana ini,

Pula jubah-kepangerananku, yang sejak saat ini tidak bermanfaat lagi bagiku;

Pedang permataku dan sarungnya yang bertatahkan batu permata,

Serta tiara-kerajaan berhiaskan berlian dan juga kalung yang selalu kukenakan.

 

Berikan semuanya kepada yang mulia sri baginda dan katakan,

Siddhārtha berdoa dan dia memohon, lupakan dia sampai dia kembali;

Sepuluh kali seorang pangeran, dengan kebijaksanaannya menang,

Dari pencarian nan sepi demi perjuangan mencari cahaya."

 

Sekarang aku akan bercerita tentang kepergianku,

Bagaimana dia, Yang Melihat nan perkasa, pergi dari kehidupan-berumah;

Bagaimana dia dipertanyakan dan digambarkan,

Alasan-alasannya untuk pergi dari kehidupan-berumah.

 

Kehidupan yang hiruk-pikuk dijalankan dalam sebuah rumah,

Menghembuskan nafas debu;

Tetapi kehidupan tanpa-rumah terbuka lebar,

Dia melihat ini, dan dia memilih meninggalkan rumah.

 

Dengan melakukannya dia menolak,

Semua perbuatan jahat yang dilakukan oleh tubuh;

Melawan semua jenis percakapan yang salah;

Serta di samping itu meluruskan kehidupannya.

 

Di sekeliling Rājagriha muncul lima bukit indah,

Menjaga kota sylvan sang Raja Bimbisāra;

Baibhāra hijau dengan tetumbuhan serai dan palem,

Tebing Bipulla, yang kakinya kurus menaungi sungai Sarsuti.

 

Mencuri dengan riak hangatnya terhampar Tapovan dalam bayangan,

Kolam uapnya mencerminkan bebatuan hitam yang mengeluarkan cairan;

Begitu perkasa mentega-bumi dari atapnya yang kasar,

Di tenggara Sailāgiri tampak Puncak Bukit Nasar.

 

Dan ke arah timur Ratnagiri, sang bukit permata,

Jalan yang berkelok-kelok di atas lempengan-lempengan yang diinjak;

Membawamu melewati ladang safflower dan hutan bambu

Di bawah remangnya rimba pohon mangga dan tanaman jujube,

 

Melewati jalur batu-batu gunung dan tebing jasper seputih susu,

Gawir rendah dan dataran bunga hutan yang menjulur entah kemana;

Bahu gunung itu, miring ke barat,

Menggantung sebuah gua dengan kanopi pohon ara liar.

 

Lihat! Engkau yang datang ke sini, lepaskanlah kasutmu,

Dan tundukkan kepalamu! Untuk memuliakan bumi yang lapang ini;

Tidak ada tempat yang lebih berharga dan suci selain di sini,

Sang pangeran yang kini menjadi sang petapa, menikmati musim panas yang terik.

 

Dalam hujan deras, dinginnya fajar, dan gelapnya sang malam,

Dia mengenakan jubah kuning demi pengabdian kepada semua orang;

Bersantap dengan porsi yang sedikit, dengan menyamar sebagai pengemis,

Dikumpulkannya setiap pagi dari pemberian orang-orang yang murah hati.

 

Berbaring di rumput bak tunawisma, sendirian dan kesepian,

Serigala yang tidak bisa tidur mengelilingi guanya sambil melolong-lolong;

Harimau yang kelaparan, mengintai keluar dari semak belukar,

Siang dan malam di sini berdiam Yang Maha Agung,

 

Menundukkan tubuh eloknya, yang terberi untuk menikmati kebahagiaan duniawi,

Dengan pengamatan yang cepat dan berulang-ulang;

Dia memasuki meditasi hening, yang berlangsung lama,

Seringkali dia merenung, dengan tubuh tetap bergeming.

 

Di batu kokoh yang dijadikan tempat duduknya, sekonyong-konyong tupai itu melompat,

Di atas lututnya, anak burung puyuh yang pemalu berjalan maju-mundur;

Sang induk puyuh bertengger di antara kakinya, dan merpati biru mematuk-matuk,

Mencari butiran nasi dari mangkuk-sedekahnya, di samping tangannya.

 

Demikianlah dia terlelap-sadar sejak tengah hari, ketika daratan

Berkilauan terkena gelombang panas, dan dinding serta kuil menari-nari;

Di tengah udara yang berbau busuk hingga matahari terbenam, tak usah dihiraukan

Bola bumi menyala-nyala bergulir ke bawah, belum juga malam tiba.

 

Gelombang ungu nas deras, melintasi ladang yang lunak

Juga tidak terlihat hadirnya bintang-bintang, yang biasanya berdenyar-denyar;

Tidak juga terasa hingar bingarnya selubung kota yang sibuk, yang kerap menggeret

Burung hantu dan penerbang-malam; sepertinya memilih mendekam dalam kesendirian.

 

Dengan tajam sang petapa mengurai benang arus-pemikiran,

Dan melangkah mantap dalam mengarungi labirin kehidupan;

Demikianlah dia akan duduk hingga tengah malam, turut membantu dunia hening

Aman, terhindar dari hewan buas yang tengah mendekam di belukar kegelapan.

 

Makhluk malam merayap keluar dan menangis, dengan ratapan ketakutan dan kebencian,

Saat nafsu, keserakahan, dan kemarahan menyeruak;

Di rimba kelam-hitam ketidaktahuan manusia,

Sang petapa tertidur seperti yang diminta oleh sang rembulan.

 

Menyelami sepersepuluh bagian dari lautnya yang keruh,

Namun muncul sang Fajar-Palsu, saat dia berdiri kembali;

Sayu memandang pentas gelap di bukitnya,

Diamatinya bumi yang tertidur dengan mata yang bersemangat.

 

Dan pikiran cinta kasih terpancar ke semua makhluk hidup,

Sementara di seberang ladang yang melambai-lambai, terdengar gumaman;

Yang merupakan ciuman sang bunda yang membangunkan daratan,

Dan di timur terbit mukjizat sang hari.

 

Berkumpul dan bertumbuh. Awalnya senja begitu redup,

Sang malam seakan masih tak sadar akan bisikan sang fajar;

Namun segera, sebelum ayam hutan berkokok dua kali,

Muncul pinggiran putih-jernih, putih yang cerah dan semakin melebar.

 

Tingginya bagaikan sang bintang pembawa-berita, yang memudar diterpa banjir

Dari keperak-perakan, menghangat menjadi emas pucat, bisa kita saksikan;

Di atas mega-mega dan menyala-nya di pinggirannya,

Memancarkan cahaya keemasan, memerah dari tepiannya.

 

Dari kuning-kunyit, merah-delima, merah-tua, hingga ungu-kecubung,

Ketika langit menyalakan keelokannya hingga tampak biru meluas;

Dan dengan bermandikan cahaya sukacita,

Sang Raja Kehidupan dan Kemuliaan telah datang!

 

Lalu Hyang kita,

Seperti yang dipuji untuk dilakukan oleh seorang Resi;

Membersihkan tubuh dan jubahnya,

Lalu menyusuri jalan setapak nan berkelok-kelok menuju kota.

 

Ke sana dia – sang petapa – pergi mencari sedekah makanan,

Disertai banyak tanda keistimewaannya;

Raja Bimbisāra dari sisi dalam

Istananya melihat dia melewatinya.

 

Dan ketika sang penguasa melihat keistimewaannya,

Yang muncul dari semua tanda, "Lihat, tuan-tuan," dia berkata;

"Betapa tampan orang itu, betapa anggunnya,

Betapa murni dan sempurna tingkah lakunya;

 

Dengan mata yang tertuju ke bawah dan penuh perhatian,

Hanya satu bentangan mata-bajak panjangnya dari matanya;

Dia bukan berasal dari keturunan rendah. Kirim kurir kerajaan segera,

Untuk mengikuti jalan yang ditempuh sang rahib."

 

Para kurir segera dikirim,

Serta mengikutinya dari dekat tanpa membuatnya terjaga;

"Sekarang jalan mana yang akan dilalui sang rahib?

Dimana dia memilih tempat tinggalnya?

 

Dia berjalan dari rumah ke rumah,

Dijaganya pintu-pintu indera dengan pengekangan yang benar;

Penuh kewaspadaan dan penuh perhatian,

Serta segera memenuhi mangkuk-sedekahnya.

 

Perjalanan mencari sedekah makanan telah dirampungkannya,

Sang Bijaksana kini melangkah keluar dan meninggalkan kota;

Mengambil jalan ke Pandava,

Dia mestinya tinggal di bukit Pandava."

 

Sekarang ketika sang petapa kembali ke kediamannya,

Para kurir ikut mendaki di belakangnya;

Satu diantara mereka kembali ke istana,

Memberi kabar kepada raja atas pertanyaannya:

 

"Sang rahib, paduka, seperti seekor harimau,

Atau seperti banteng, atau seperti singa,

Sedang duduk di sebuah goa-gunung

Di atas lereng timur Pandava."

 

Sang ksatria mendengar cerita si pencari jejak.

Kemudian dipanggilnya penasihat negeri,

Dia berkendara tergesa-gesa sejauh yang bisa ia tempuh,

Dan lalu dia turun dari kudanya,

 

Masih sedikit jalan kaki yang harus ditempuhnya,

Dia berjalan di atas kakinya sendiri, hingga mendekati Sang Bijaksana,"

Sang raja duduk bersila, dan dia bertukar salam, juga menanyakan kesehatannya,

Ketika tanya jawab tegur-sapa penghormatan selesai dilakukan.

 

Sang raja lalu berkata kepadanya, Demikianlah kata-katanya:

"Anda masih begitu belia, seorang pemuda;

Seorang lelaki yang berada di perode pertama dalam hidup ini,

Anda memiliki penampilan yang bagus.

 

Dari sediaan pejuang-luhur kelahiran-mulia,

Seseorang yang cocok dianugerahi bala tentara kelas-satu;

Guna memimpin pasukan gajah, Aku tawarkan Anda keberuntungan:

Mohon terimalah! Kelahiran Anda juga aku tanyakan: ceritakanlah."

 

"Di sana ada satu negeri nan sejahtera, tuanku,

Dan juga hebat, tepat di atas;

Kaki pegunungan Himalaya,

Didiami oleh rakyat Kosala

 

Yang ras-nya dinamai setelah Sang Matahari,

Yang keturunannya adalah wangsa Śākya;

Tetapi aku pergi bukan untuk mencari kesenangan indera,

Aku telah meninggalkannya untuk berjuang.

 

Setelah melihat bahaya di balik kesenangan itu,

Serta melihat perlindungan yang aman;

Dari bahayanya dengan melepaskan segalanya,

Itulah yang menjadi keinginan hatiku."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240502

 


Kamis, 18 April 2024

JALUR SUTRA


 

 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam artikel yang lalu kita telah membahas Jalur Sutra Darat yang menghubungkan kotaraja Cháng'ān di titik paling timur hingga kota-kota di Eropa bagian selatan. Sebetulnya tidak boleh dilupakan Jalur Sutra Maritim. Jalur Maritim ini mengacu pada bagian maritim dari Jalur Sutra bersejarah yang menghubungkan Tiongkok ke Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, anak benua India, semenanjung Arab, hingga Mesir dan akhirnya Eropa. Jalur perdagangan yang dilayaninya meliputi sejumlah perairan; meliputi Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Teluk Benggala, Laut Arab, Teluk Persia, dan Laut Merah. Jalur maritim ini tumpang tindih dengan perdagangan maritim bersejarah Asia Tenggara, perdagangan rempah-rempah, perdagangan Samudera Hindia, dan setelah abad ke-8: jaringan perdagangan angkatan laut Arab. Jaringan tersebut juga meluas ke arah timur hingga Laut Tiongkok Timur dan Laut Kuning, yang menghubungkan Tiongkok dengan Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang.

 

Apa saja yang diperdagangkan orang di Jalur Sutra? Dari Timur ke Barat berbagai komoditi dibawa. Selain sutra, barang berharga yang lazim diperdagangkan adalah: teh; pewarna pakaian; batu mulia; kerajinan keramik dan porselen, meliputi piring, mangkok, gelas, dan berbagai bejana; rempah-rempah seperti kayu manis dan jahe; artefak perunggu dan emas; obat-obatan tradisional; parfum; gading; beras; kertas; dan bubuk mesiu. Dari Barat ke Timur ditawarkan berbagai macam barang, di antaranya: kuda; unta; pelana dan perlengkapan berkuda lainnya; anggur dan produk turunannya; anjing dan hewan peliharaan lainnya, baik yang eksotik maupun domestik; bulu dan kulit binatang; buah-buahan; peralatan dari bahan gelas; selimut wol, permadani, karpet; tekstil tertentu seperti tirai; emas dan perak; senjata tajam dan baju zirah; dan juga budak.

 

Sutra, sebagai komoditi utama pertama kali diproduksi di Tiongkok sejak 3000 tahun sebelum Masehi, merupakan barang perdagangan darat yang ideal bagi pedagang dan para diplomat, yang mungkin telah melakukan perjalanan ribuan mil untuk mencapai tujuan mereka. Hal tersebut dikatakan oleh Xin Wen, sejarawan Tiongkok dan Asia Tengah abad pertengahan di Universitas Princeton dalam bukunya: The King's Road: Diplomatic Travelers and the Making of the Silk Road in Eastern Eurasia, 850–1000. "Apa yang dapat Anda bawa dalam perjalanan panjang dan jauh ini sangat terbatas. Jadi Anda hanya akan membawa barang yang paling berharga, namun juga yang berbobot paling ringan,” Wen memberikan alasannya, “Sutra memenuhi karakteristik ini. Barang tersebut bernilai tinggi, berbobot rendah, juga sangat serbaguna."

 

Elit Romawi menghargai sutra Tiongkok sebagai tekstil tipis yang mewah, dan kemudian, ketika teknologi pembuatan sutra dibawa ke Mediterania, pengrajin di Damaskus menciptakan tekstil tenun sutra yang dapat dibalik yang dikenal sebagai damask. Namun sutra lebih dari sekadar pakaian, kata Wen. Di bawah pengaruh budaya Buddhisme, lembaran sutra dibuat menjadi spanduk ritual atau digunakan pula sebagai sebagai kanvas lukisan. "Di pemukiman penting Jalur Sutra di Turfan di Tiongkok Timur, sutra digunakan pula sebagai mata uang," tulis sejarawan Valerie Hansen. Serta pada Dinasti Tang (618 hingga 907 M.), sutra dikumpulkan sebagai tanda lunas pembayaran kewajiban pajak oleh pejabat Tiongkok.     

 

"Kertas, ditemukan di Tiongkok pada abad kedua Masehi, pertama kali menyebar ke seluruh Asia seiring dengan penyebaran agama Buddha. Pada tahun 751, kertas diperkenalkan ke Dunia Islam ketika pasukan Arab bentrok dengan bala tentara Dinasti Tang pada Pertempuran Talas. Khalifah Harun al-Rashid membangun pabrik kertas di Baghdad, yang mana sang khalifah memperkenalkan pembuatan kertas ke Mesir, Afrika Utara, dan sampai ke Spanyol. Kertas akhirnya diperkenalkan ke masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan ke-13," demikian tulis Millward.

 

Di Jalur Sutra, para pelancong membawa dokumen kertas yang berfungsi sebagai paspor untuk melintasi wilayah nomaden atau bermalam di caravansera, yakni oasis di Jalur Sutra. Namun fungsi terpenting kertas di sepanjang Jalur Sutra adalah untuk menulis naskah dan buku yang menyampaikan sistem pemikiran yang benar-benar baru, khususnya ajaran-ajaran agama. "Bukan suatu kebetulan bahwa agama Buddha menyebar ke Tiongkok pada saat yang sama ketika kertas menjadi lazim di wilayah tersebut," kata Wen. “Sama dengan penyebaran ajaran Manikheisme dan Zoroastrianisme. Salah satu arti penting Jalur Sutra adalah bahwa jalur ini berfungsi sebagai saluran penyebaran berbagai ide dan interaksi budaya, dan sebagian besar dari hal tersebut bergantung pada kertas."

 

Rempah-rempah dari Asia Timur dan Selatan, seperti kayu manis dari Sri Lanka dan cassia dari Tiongkok, merupakan barang dagangan yang eksotik dan juga didambakan oleh banyak orang, namun rempah-rempah tersebut biasanya tidak melintasi jalur darat Jalur Sutra. Sebaliknya, rempah-rempah terutama diangkut melalui Jalur Sutra Maritim Kuno yang menghubungkan kota-kota pelabuhan dari India ke arah barat melalui Asia Tengah dan Semenanjung Arab. Di seberang Jalur Sutra, rempah-rempah dihargai tidak hanya karena digunakan dalam masakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dan sebagai obat. Dan tidak seperti sutra, yang dapat diproduksi di mana pun ulat sutra dapat dibudidayakan, banyak rempah-rempah yang berasal dari tanaman yang hanya tumbuh di lingkungan yang sangat spesifik. "Artinya, rempah-rempah memiliki asal muasal yang lebih jelas dibandingkan beberapa barang mewah lainnya, sehingga menambah nilainya," kata Wen.

 

Giok, batu permata berwarna hijau kristal, merupakan pusat budaya ritual Tiongkok. Ketika persediaan batu giok menipis pada abad ke-5 seb.M., Tiongkok perlu membangun hubungan perdagangan dengan tetangga barat seperti Kerajaan Khotan di Iran kuno, yang sungainya kaya akan bongkahan batu giok nephrite, jenis batu giok terbaik untuk mengukir patung-patung rumit dan perhiasan. Perdagangan batu giok ke Tiongkok berkembang pesat sepanjang periode Jalur Sutra, begitu pula perdagangan permata semi mulia lainnya seperti mutiara.

 

Orang Barat sering beranggapan bahwa sebagian besar barang Jalur Sutra bergerak dari Timur Jauh yang eksotis ke arah barat menuju Mediterania dan Eropa, namun perdagangan Jalur Sutra mengarah ke segala arah. Misalnya, para arkeolog yang menggali gundukan kuburan di Tiongkok, Korea, Thailand, dan Filipina telah menemukan peralatan gelas Romawi di antara barang-barang berharga yang menjadi harta karun kaum elit Asia. Jenis gelas soda-kapur yang dibuat di Roma dan dibuat menjadi vas dan gelas pasti akan ditukar dengan sutra, yang merupakan barang obsesi orang Romawi.

 

Taiga adalah hamparan luas hutan hijau yang melintasi Siberia di Eurasia dan berlanjut ke Kanada di Amerika Utara. Pada zaman Jalur Sutra, tulis Millward, "Taiga menarik sekelompok pemburu tangguh yang memanen kulit rubah, musang, berang-berang, dan cerpelai. 'Jalan berbulu' di utara ini memasok mantel dan topi mewah kepada Dinasti Tiongkok dan Elit Eurasia lainnya." Millward menulis bahwa Jenghis Khan memperkuat salah satu aliansi politiknya yang paling awal dengan hadiah mantel bulu musang. Pada abad ke-17, di masa memudarnya Jalur Sutra, penguasa Dinasti Qing di Tiongkok dapat membeli bulu dari para penjerat Siberia.

 

"Orang-orang yang dijadikan budak adalah 'barang dagangan' yang sangat umum di sepanjang Jalur Sutra. Tentara penyerang akan menangkap tawanan dan menjualnya kepada pedagang swasta yang akan menemukan para pembeli di pelabuhan dan ibu kota yang jauh dari Dublin di Barat hingga Shandong di Tiongkok Timur," demikian tulis sejarawan Jalur Sutra, Susan Whitfield. "Para budak menjadi pelayan, penghibur, dan orang-kasim di istana kerajaan." Wen mengatakan bahwa meskipun perbudakan merajalela di Eurasia pra-modern di sepanjang Jalur Sutra, tidak satupun dari kerajaan atau masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai "berbasis budak", seperti yang terjadi pada perdagangan budak Afrika di Dunia Baru. "Budak lebih merupakan hiasan kehidupan elit Jalur Sutra," kata Wen, "Bukan sumber ekonomi utama."

 

Penulis memberi catatan pada dua komoditi yang berasal dari Tiongkok, yakni kertas dan bubuk mesiu. Kertas diperdagangkan di Jalur Sutra sejak abad ke-2 Masehi, yakni pada jalur Loulan, Kotan, Kusha, dan Dunhuang. Tiongkok berusaha merahasiakan seni pembuatan kertas untuk mencegah negara lain meniru dan memproduksi sendiri, namun hal ini tidak berjalan efektif. Negara-negara tetangga berhasil membuat kertas produksi mereka sendiri. Semula kertas hanya digunakan untuk membungkus dan mengemas barang, dan itu pun sudah memadai karena teksturnya yang masih kasar. Belakangan disadari bahwa kertas itu bisa digunakan sebagai media untuk menulis. Dengan begitu banyak hal yang bisa dicatat dan ditulis sehingga banyak pemikiran yang bisa diabadikan. Lebih jauh dengan adanya tulisan di atas kertas, catatan sejarah dan ilmu pengetahuan dapat ditransfer kepada banyak orang. Puncak pemanfaatan kertas terjadi di Eropa dengan lahirnya mesin cetak pertama yang diciptakan oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15.

 

Selain sutra dan kertas, bubuk mesiu adalah penemuan lain oleh Tiongkok dan Jalur Sutra membantunya menyebar ke barat. Bubuk mesiu sudah dikenal orang sejak tahun 850 M. Penemuan ini tampaknya ditemukan di Tiongkok secara tidak sengaja, oleh para ahli alkimia yang mencari ramuan keabadian. Kisah paling awal menyebutkan eksperimen tersebut: "beberapa orang memanaskan sendawa, belerang, dan karbon arang dengan madu; timbul asap dan nyala api, sehingga tangan dan wajah mereka terbakar, dan bahkan seluruh rumah terbakar." Bubuk mesiu yang digunakan untuk keperluan militer pertama kali tercatat pada tahun 919 M. Pada abad ke-11, bom eksplosif yang diisi dengan bubuk mesiu dan ditembakkan dari ketapel diperkenalkan dan digunakan di Tiongkok. Kata "meriam api", "roket", "misil", dan "bola api" muncul berkali-kali dalam catatan sejarah zaman itu. Penemuan bubuk mesiu di Tiongkok tidak pernah melampaui bentuknya yang paling kasar, dan tak lama setelah itu bubuk mesiu ditinggalkan sebagai senjata militer. Bubuk mesiu mencapai Jepang, Dunia Islam, dan kemudian Eropa pada abad ke-13 dan orang-orang Arab mengembangkan bubuk mesiu untuk keperluan militer. Pada tahun 1280, al-Hasan ar-Rammah dari Suriah menulis Buku Pertarungan Menunggang Kuda dan Mesin Perang. Di sini diperkenalkan perangkat roket, yang disebutnya "panah cina". Catatan awal mengenai bubuk mesiu di Eropa dicatat oleh filsuf Inggris Roger Bacon pada abad ke-13. Satu abad  kemudian orang-orang Arab menggunakannya untuk menyerang kota Baza di Spanyol dan pada tahun berikutnya pada tahun 1326 Florence memerintahkan pembuatan meriam dan bola meriam. Dari Italia, pembuatan bubuk mesiu segera menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, dan pada tahun 1350-an bubuk mesiu telah menjadi senjata yang efektif di medan perang. Kisah tentang kertas dan bubuk mesiu, yang sebetulnya bermula dari penemuan orang Tionghoa justru dimanfaatkan secara maksimal oleh orang Eropa. Inilah dua barang yang turut menentukan jalannya sejarah dunia setelah itu.

 

Jalur Sutra tidak hanya menyediakan sarana bagi para pedagang dan penjelajah untuk melakukan perniagaan berbagai komoditi yang langka dan eksotis, namun juga di sana terjadi penyebaran ide-ide antar bangsa serta pertukaran tradisi dan budaya. Penyebaran agama dan tradisi budaya di sepanjang Jalur Sutra, menurut Jerry H. Bentley, juga menimbulkan sinkretisme. Salah satu contohnya adalah konflik panjang antara orang Tionghoa dengan balatentara Xiōngnú. Meskipun pada awalnya keduanya saling bermusuhan namun belakangan terjadi kontak lintas budaya yang tidak terduga. Kedua tradisi dan budaya ini beradaptasi satu sama lain sebagai cara hidup alternatif. Suku Xiōngnú mengadopsi teknik pertanian, gaya berpakaian, dan gaya hidup orang Tionghoa, sedangkan Tiongkok mengadopsi teknik militer Xiōngnú, gaya berpakaian, musik, dan tarian. Mungkin yang paling mengejutkan dari pertukaran budaya antara Tiongkok dan Xiōngnú, tentara Tiongkok terkadang membelot dan berpindah ke cara hidup Xiōngnú, dan tinggal di stepa karena takut akan hukuman.

 

Selain pertukaran tradisi dan budaya, Jalur Sutra selama berabad-abad memfasilitasi gagasan-gagasan di bidang keagamaan. Zoroastrianisme, Judaisme, Buddhisme, Kristen, Manikheisme, dan Islam semuanya tersebar di Eurasia melalui jaringan perdagangan yang terikat pada komunitas agama tertentu dan institusi mereka. Khususnya, biara-biara Buddha yang didirikan di sepanjang Jalur Sutra menawarkan surga dan agama baru bagi orang asing. Penyebaran agama Buddha ke Tiongkok melalui Jalur Sutra dimulai sejak abad ke-1 Masehi, menurut kisah semi-legendaris dari seorang duta besar yang dikirim ke Barat oleh Kaisar Tiongkok Ming (58–75). Selama periode ini agama Buddha mulai menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Tengah. Mahayana, Theravada, dan Vajrayana adalah tiga bentuk utama agama Buddha yang menyebar ke seluruh Asia melalui Jalur Sutra.

 

Penyebaran ajaran Buddha adalah gerakan misionaris berskala besar pertama dalam sejarah agama-agama dunia. Para misionaris Tiongkok mampu mengasimilasikan agama Buddha, hingga ke tingkat tertentu dan dapat diterima oleh penganut Taoisme asli Tiongkok; yang kemudian menyatukan kedua kepercayaan tersebut. Komunitas pengikut Buddha, berbentuk perhimpunan para rahib (Sangha) serta umat awam pria dan wanita. Para misionaris ini berpindah ke seluruh India dan sekitarnya untuk menyebarkan ajaran Buddha. Seiring bertambahnya jumlah anggota Sangha yang mengembara hingga melewati perbatasan negara lain, biaya perjalanan dan akomodasi mereka menjadi mahal sehingga hanya kota-kota besar yang mampu membiayai kunjungan para misionaris tersebut. Dipercaya bahwa di bawah kendali suku Kushan, agama Buddha menyebar ke Tiongkok dan wilayah Asia lainnya dari pertengahan abad pertama hingga pertengahan abad ketiga. Kontak ekstensif dimulai pada abad ke-2, mungkin sebagai konsekuensi dari perluasan kerajaan Kushan ke wilayah Tiongkok di Cekungan Tarim. Para misionaris pertama dan penerjemah kitab suci Buddha ke dalam bahasa Mandarin adalah orang Parthia, Kushan, Sogdiana, atau Kuchean.

 

Sejak abad ke-4 Masehi dan seterusnya, peziarah Tiongkok juga mulai melakukan perjalanan di Jalur Sutra menuju India untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kitab suci Buddhis yang asli. Kita pasti pernah mendengar perjalanan Fa-hsien ke India (395–414), dan kemudian Xuanzang (629–644), juga Hyecho (723-729), yang melakukan perjalanan dari Korea ke India. Ada banyak aliran agama Buddha berbeda yang melakukan perjalanan di Jalur Sutra. Dharmaguptaka dan Sarvastivadin adalah dua aliran Nikaya yang utama. Keduanya akhirnya digantikan oleh Mahayana, yang juga dikenal sebagai "Kendaraan Besar". Aliran-aliran dan gerakan-gerakan agama Buddha yang berbeda-beda ini merupakan hasil dari pengaruh dan keyakinan yang beragam dan kompleks di Jalur Sutra. Dengan bangkitnya agama Buddha Mahayana, arah awal perkembangan agama Buddha pun ikut berubah.

 

Pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi, para pedagang dan saudagar berperan besar dalam penyebaran agama, khususnya agama Buddha. Para pedagang menganggap ajaran moral dan etika Buddhis merupakan alternatif yang menarik dibandingkan agama-agama sebelumnya. Sebagai dampaknya para pedagang mendukung biara-biara Buddha di sepanjang Jalur Sutra, dan sebagai imbal-baliknya, umat Buddha memberikan tempat tinggal kepada para pedagang, saat mereka melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sebagai hasil kerjasama yang saling menguntungkan, komunitas-komunitas ini menjelma menjadi pusat literasi dan budaya dengan pasar, penginapan, dan gudang yang terorganisir dengan baik. Perpindahan keyakinan secara sukarela dari elit penguasa Tiongkok membantu penyebaran agama Buddha di Asia Timur, serta menyebabkan agama Buddha tersebar luas di masyarakat Tiongkok. Penyebaran agama Buddha di Jalur Sutra berakhir sekitar abad ke-7 dengan bangkitnya misionaris Islam di Asia Tengah.

 

Sebelum kita mengakhiri cerita kita di Jalur Sutra yang berlangsung selama ratusan tahun, penulis akan mengajak para pembaca melihat kondisinya antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi. Inilah periode stabil yang berlangsung cukup lama di Eurasia, di bawah kekuasaan Pax Mongolica. Setelah kematian kaisar Mongol pertama, Jenghis Khan, pada tahun 1227, kekaisaran yang diwariskan meluas dari pantai Pasifik Tiongkok hingga Eropa Timur. Ini berarti bahwa jaringan Jalur Sutra, yang berbahaya untuk dilalui karena kerajaan-kerajaan yang bertikai di sepanjang rute tersebut, sekarang sepenuhnya berada di bawah kendali Mongol.

 

Stabilitas yang dihasilkan oleh pemerintahan Mongol membuka jalur perdagangan kuno ini seluas-luasnya, sehingga pertukaran barang antara masyarakat dari Eropa hingga Asia Timur tidak terganggu. Di sepanjang Jalur Sutra, orang-orang memperdagangkan barang-barang seperti kuda, porselen, permata, sutra, kertas, dan mesiu. Wisatawan sekaligus penjelajah terkenal Eropa yang berasal dari Venesia, yakni Marco Polo (1254-1324), dapat melakukan perjalanan jauh ke Tiongkok dan kembali lagi. Bahkan dia pernah bekerja sebagai diplomat dan pemungut pajak di otoritas Pemerintahan Mongol. Polo selanjutnya menggambarkan pengalamannya di negeri-negeri yang jauh dalam sebuah kronik, yang mampu memikat para pembaca bukunya di Eropa.

 

Selain memfasilitasi perdagangan, pengaruh Mongol juga meningkatkan komunikasi di sepanjang Jalur Sutra dengan membangun sistem estafet pos. Bangsa Mongol secara budaya meningkatkan Jalur Sutra dengan mengizinkan orang-orang dari berbagai agama dan keyakinan yang berbeda untuk hidup berdampingan. Penggabungan masyarakat dan budaya dari wilayah yang ditaklukkan membawa kebebasan beragama di seluruh kekaisaran. Di padang rumput Asia yang luas, wisatawan mungkin akan bertemu dengan umat Islam dan Kristen yang tinggal dan bekerja bersama bangsa Mongol, yang terus menjalankan agama tradisional mereka.

 

Dalam perdagangan antar bangsa Pax Mongolica begitu baik dan efisien, namun jalan-raya-super abad pertengahan ini juga memiliki warisan yang lebih gelap dan mematikan: Hal ini memungkinkan salah satu pandemi besar pertama, yakni wabah yang dikenal sebagai Kematian Hitam (atau black death), menyebar di sepanjang rutenya dan akhirnya mencapai Benua Eropa pada tahun 1346. Dalam perjalanannya para pedagang dan pelancong itu menyinggahi berbagai pemberhentian – dusun kecil, desa, kota kecil, dan pos terdepan yang disebut cavaransera – tersebar dalam jarak sekitar satu hari perjalanan. Mereka melintasi hamparan Jalur Sutra, yang membentang ribuan mil dari Asia Timur hingga Turki. Sayangnya, rute tersebut juga membawa para pedagang ke dekat tempat yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai sumber penyakit yang sangat berbahaya.

 

Dalam sebuah penelitian pada tahun 2015, para ilmuwan Norwegia dan Swedia menyatakan bahwa fluktuasi iklim di stepa Asia Tengah menyebabkan populasi hewan pengerat di wilayah tersebut – terutama gerbil (sejenis tikus yang hidup di stepa) dan marmut – menurun drastis. Hal ini, pada gilirannya, mungkin telah memaksa kutu yang membawa bakteri Yersinia Pestis, yang menyebabkan Wabah Sampar atau Wabah Pes, meninggalkan hewan indungnya dan mencari tempat tinggal baru, seperti unta dan manusia pemiliknya. Setelah beberapa tahun berlangsungnya relokasi kutu, sesuai teori para ilmuwan, dibutuhkan satu dekade lagi bagi karavan untuk secara bertahap membawa wabah ke arah barat, hingga mencapai tepian Benua Eropa. Kutu menggigit manusia dan bakteri sampar tersebut berpindah ke manusia, ketika kutu memuntahkan air liurnya ke dalam aliran darah kita. Dampak penyakit pes sama buruknya dengan cara penyebarannya. Segera setelah terinfeksi, si penderita mengalami pembengkakan di kelenjar getah beningnya atau disebut bubo. Setelah mengalami bubo, pendarahan internal menyebabkan pembengkakan darah dan nanah hingga mengubah warna kulit menjadi hitam. Itu adalah penyakit mengerikan yang menyebar dengan cepat dan tanpa peringatan. Kebanyakan orang yang tertular wabah tersebut langsung tewas tak tertolong lagi.

 

Kematian Hitam membunuh populasi besar manusia di abad keempat-belas. Sebanyak kurang lebih 100 juta orang di Afro-Eurasia mungkin telah tewas karena wabah ini. Jika epidemi terjadi di abad ke-21 dengan skala sebesar Kematian Hitam, maka umat manusia yang akan binasa setara dengan 1 miliar hingga 2 miliar orang. Secara umum, wabah ini merupakan yang terburuk di Eropa, yang memiliki kota-kota yang padat, lembab, dan bersanitasi buruk. Wabah ini membunuh hingga 25 juta orang Eropa (dari total populasi 75 juta jiwa) dari tahun 1347 hingga 1351, yang merupakan sepertiga dari populasi Eropa. Namun, di beberapa kota di Italia dan pedesaan Perancis, angka kematian mendekati 60 persen. Mereka yang berhasil selamat melihat sekeliling dan menyimpulkan bahwa mereka sedang menyaksikan akhir-dunia. Setelah Eropa mengalami wabah hebat, kemudian giliran Tiongkok dan Asia Tengah yang terjangkit serangan penyakit yang sama. Puluhan juta orang tewas, namun tidak dapat diperkirakan berapa jumlahnya. Wabah juga menyerang para elit dan pemegang kekuasaan Mongol. Pax Mongolica melemah dan menuju pada keruntuhannya. Jadi penyebab hancurnya kekaisaran yang agung ini bukan karena diserang oleh musuh yang lebih kuat, tetapi mereka dikalahkan oleh wabah yang tidak dapat diatasi oleh kemampuan dunia kedokteran zaman itu.

 

Meskipun berulang kali mengalami banyak perubahan dan gangguan geopolitik, Jalur Sutra tiba-tiba kehilangan arti penting seiring bangkitnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453 atau seratus tahun setelah Kematian Hitam. Ottoman menutup perdagangan antara Timur dan Barat. Hal ini mendorong upaya beberapa negara Eropa untuk mencari jalur alternatif menuju Dunia Timur yang makmur, sehingga mengawali Zaman Penemuan atau Age of Discovery, kolonialisme Eropa, dan proses globalisasi yang lebih intensif, yang bisa dibilang merupakan kelanjutan dari Jalur Sutra yang legendaris itu. Pada abad ke-21, nama "Jalur Sutra Baru" digunakan untuk menggambarkan beberapa proyek infrastruktur besar di sepanjang jalur perdagangan bersejarah tersebut; di antaranya yang paling terkenal adalah Jembatan Darat Eurasia dan Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok atau Chinese Belt and Road Initiative (BRI). Pada bulan Juni 2014, UNESCO menetapkan koridor Jalur Sutra Cháng'ān-Tiānshān sebagai Situs Warisan Dunia.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240418