Hari masih pagi ketika Kisā Gotamī, seorang ibu muda, sedang
bermain-main di pekarangan bersama dengan putera semata wayangnya, Rajesh. Ibu
dan anak itu bergembira di hari yang cerah, serta sang surya pun memancarkan
cahaya bening dan lembutnya. Rajesh yang berumur hampir dua tahun itu sedang
lucu-lucunya, dan dia melangkah dengan tertatih-tatih mengikuti ibunya yang
berjalan beberapa depa di mukanya. Namun siapa yang bisa menduganya,
kegembiraan ibu dan anak itu dalam sekejap mata bisa menjadi awal dukacita yang
mendalam? Sekonyong-konyong tubuh kecil yang limbung itu tersandung gundukan
semak yang ada di hadapannya. Rajesh kecil yang malang! Tubuhnya terayun ke
depan dan seketika kepalanya terantuk membentur bumi. Gotamī yang berjalan
pelan dan kepalanya sedang menengok ke belakang, tiba-tiba terperanjat
menyaksikan putera kesayangannya terjatuh.
Dihampirinya, dibangunkannya, dan digendong kembali anaknya. Gotamī pun
memanggil-manggil namanya: "Rajesh! Rajesh!" Tetapi anak kecil itu
tidak meresponnya. Dia masih terdiam tak berdaya. Gotamī menjadi panik dan dia
menjerit-jerit, minta bantuan pada orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Orang-orang
dusun segera berkerumun. Sebagian dari mereka mencoba memijat tengkuk dan
kepala bocah itu, yang lain mencoba menghembuskan udara melalui mulut anak itu,
namun Rajesh tetap bergeming. Tangis Gotamī semakin menjadi-jadi. Seorang ibu
tua mengusulkan, "panggil pak Tabib!" Tidak beberapa lama kemudian
sang tabib pun datang. Dia memeriksa tubuh kaku itu dengan teliti, mendengarkan
sisa napasnya, dan meraba urat nadinya. Sesaat kemudian dia berucap: "Anak
ini sudah meninggal."
Pecah tangis Gotamī. Tak disangka bahwa putera kesayangannya akan
berpisah begitu cepat dengan dirinya. Padahal kelahiran puteranya ini telah
mengubah jalan hidupnya ke arah keberuntungan. Gotamī yang dulunya miskin dan
papa bisa mendapatkan suami yang terpandang. Menjadi isteri orang pun tidak
serta-merta membuatnya bahagia. Dia masih disepelekan dan dihina oleh famili
suaminya. Barulah setelah Rajesh lahir, keluarga suaminya menghormati dirinya. Jika
sekarang dia tidak punya Rajesh lagi, entah perlakuan buruk apa yang akan
menimpanya kelak. Tidak bisa menerima kematian puteranya, Gotamī pun mulai
menyangkal. Digendongnya anak itu dan dia menganggap Rajesh masih pingsan.
Sambil membopong anaknya yang terkulai di pundaknya, Gotamī meninggalkan
kerumunan orang dusun itu, beserta sang Tabib yang masih berusaha
mengingatkannya. Namun perempuan muda itu tidak peduli. Dia pergi meninggalkan desanya,
berkelana untuk mendapatkan obat yang sekiranya mampu menghidupkan kembali
putera kesayangannya. Sepanjang perjalanan jika dia bertemu dengan orang asing,
dia akan menanyakan siapa yang memiliki ramuan yang bisa membuat anaknya sadar
atau siuman kembali. Sebagian dari mereka malahan mencibir, melecehkan, dan
bahkan menghinanya; menganggap Gotamī sudah gila. Namun ada juga yang merasa
iba dan menasehatinya, agar dia mengikhlaskan kepergian puteranya.
Matahari sudah condong ke barat sewaktu Gotamī bertemu dengan seorang
petani tua di sebuah pondok di tepi jalan. Keheranan melihat ada perempuan asing
yang berjalan dengan ringkih sambil menggendong anaknya, sang petani menanyakan
ikhwal sang pengelana itu. Setelah mendengar ceritanya, sang petani berkata: "Ketahuilah
anakku, seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Beliau memiliki pengetahuan
dan kesaktian yang sangat tinggi. Cobalah engkau memohon pertolongan kepadanya.
Semoga puteramu dapat diselamatkan." - "Dimanakah beliau tinggal? Aku
akan meminta bantuannya." - "Di luar kotaraja Srāvastī. Di tempat
tetirah beliau yang bernama Kuil Jetavana." - "Jika demikian, aku
akan segera berangkat ke sana." – "Mohon jangan pergi sekarang.
Sebentar lagi hari sudah beranjak gelap. Engkau boleh pergi ke sana esok subuh."
- "Baiklah, kakek." Petani tua yang baik hati segera menyediakan
makan malam dan tumpangan untuk perempuan muda yang malang itu.
Keesokan harinya pagi-pagi buta, Gotamī sambil menggendong anaknya
berpamitan kepada kakek petani, dan dia segera menuju kotaraja Srāvastī. Setelah
bertanya kepada penduduk setempat, dia berhasil mencapai Kuil Jetavana. Saat
itu masih pagi dan para bhiksu sedang memulai aktivitas mereka di komplek kuil,
ketika Kisā Gotamī memasuki tempat itu sambil menggendong jasad anak
kesayangannya. Yang Mulia Ānanda mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Sang
Guru sedang duduk di atas sebuah dipan. Seorang Manusia Agung dengan kulit
tubuh keemasan dan di sekeliling kepalanya dipenuhi oleh aura putih yang bersinar
cemerlang.
Dengan takjub Kisā Gotamī memandang Sang Buddha yang tepat berada di
hadapannya. Dia meletakkan jasad anaknya dengan hati-hati di depan dipan Sang
Guru. Seraya melakukan penghormatan layaknya seorang yang berkedudukan lebih
rendah, perempuan muda itu pun bersimpuh di hadapan Sang Guru. "Wahai
Tabib Agung. Aku mohon agar anakku dapat hidup kembali. Tolong berikan aku obat
atau ramuan yang mujarab." Sang Guru dengan penuh welas asih menatap perempuan
itu, yang sedang mengharapkan mukjizat yang bisa membuat anaknya hidup kembali.
"Baiklah, Gotamī. Aku dapat membangunkan anakmu kembali. Bawakanlah aku
segenggam biji lada.“
Bak disambar petir wajah Gotamī dalam sekejap menjadi sumringah. Pikirnya:
"Ternyata obatnya mudah saja. Hanya segenggam biji lada." Tetapi Sang
Buddha menambahkan: "Wahai, Gotamī. Lada itu harus engkau dapatkan dari
seseorang yang belum pernah kehilangan sanak saudaranya." Masih berpikir optimistis,
Gotamī pun berpamitan kepada Sang Buddha sambil membawa jasad anaknya.
Setelah berjalan beberapa saat perempuan muda itu mendapati sebuah rumah
seorang ibu paruh baya. Gotamī meminta segenggam biji lada kepada perempuan
setengah umur itu. Dengan tatapan penuh iba, dia lalu mengajak Gotamī pergi ke
dapurnya yang berada di belakang pondoknya. Dari dalam sebuah almari
dikeluarkannya sejumlah buli-buli yang terbuat dari keramik. Lalu perempuan setengah
baya itu membuka wadah-wadah tembikar itu. Di dalamnya bisa ditemukan lada
putih, lada hitam, cengkeh, kapulaga, jinten, kayu manis, biji dan bunga pala
kering, dan masih banyak rempah-rempah lainnya. Bahkan di satu wadah ada saffron
yang berwarna merah. Semua bumbu masak itu banyak tersedia di Jambudvipa pada masa
itu, dan penduduk menggunakannya untuk memasak kari. Si ibu tua itu kemudian mengambil
sejumput lada putih, lalu dia memasukkannya ke dalam kantung kecil yang terbuat
dari kulit domba. Gotamī dengan gembira menerima kantung berisi biji lada putih
itu, namun tiba-tiba dia teringat pesan Sang Buddha. "Apakah Ibu memiliki
sanak saudara yang telah meninggal dunia?" Ibu itu menjawab: "Benar,
suamiku tercinta wafat setengah tahun yang lalu." Mendengar jawaban itu, Gotamī
pun menjadi lemas dan kecewa. "Maafkan aku, Ibu. Aku tidak bisa menerima
pemberianmu." Dia pun meninggalkan pondok itu dan meneruskan
perjalanannya.
Di sepanjang jalan yang dia tempuh, Gotamī mengemis segenggam biji lada dari
rumah ke rumah. Orang banyak dengan senang hati memberikan barang yang dimintanya.
Namun begitu perempuan malang itu bertanya, apakah si empunya biji lada itu
belum pernah kehilangan sanak saudaranya, jawaban yang sama yang selalu
didapatkannya. "Oh, orang tuaku telah tiada lima tahun berselang,"
Kakak lelakiku sudah berpulang kemarin dulu," "Anak perempuanku telah
meninggal dunia tahun yang lalu."
Matahari sudah hampir menuju peraduannya dan lembayung senja menyinari
angkasa dengan semburat jingganya. Gotamī yang kelelahan terkulai lemah di
bawah sebatang pohon, di tepi jalan besar di luar kotaraja Srāvastī. Seberkas
cahaya menerangi batinnya:
"Sesungguhnya lebih banyak orang mati di dunia ini,
Dibandingkan dengan mereka yang masih bertahan hidup;
Manusia yang ada di sekelilingku,
Tak ada satu pun yang belum pernah kehilangan sanak keluarganya."
Dipandangi, diciumi, dan dipeluknya jasad Rajesh, puteranya yang
tercinta. Lalu dibungkusnya jasad si kecil yang selama ini menjadi pendamping
hidupnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Gotamī pun menguburkan putera
kesayangannya.
Keesokan harinya Gotamī sudah kembali ke Kuil Jetavana. Dia tidak ingin
kembali ke kediaman suaminya. Sang Buddha bertanya kepadanya: "Wahai,
Gotamī. Apakah engkau sudah mendapatkan biji lada yang aku minta kemarin?"
"Biji lada dengan mudah bisa aku dapatkan, tetapi mustahil aku peroleh dari
orang yang tidak pernah kehilangan sanak saudaranya. Sekarang aku punya
permintaan lain, wahai Tabib Agung." - "Apa itu Gotamī?" - "Aku
ingin menjadi siswa Yang Mulia." Sang Buddha menyetujui dengan berdiam
diri. Lalu beliau memerintahkan agar Ānanda memfasilitasi keinginan mulia Kisā Gotamī.
sdjn/dpn/241129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar