Kamis, 16 Mei 2024

ZAMAN AKSIAL



Manusia modern atau dinamakan homo sapiens, yang kita kenal sekarang sudah ada sejak kurang lebih 300 ribu tahun yang silam. Dalam kurun waktu yang sedemikian panjang makhluk paling cerdas di bumi ini dikenal sebagai pemburu-pengumpul. Baru kira-kira 13 ribu tahun yang lalu homo sapiens mengenal cara bercocok tanam dan mereka mulai bermukim di satu tempat, alih-alih berpindah-pindah. Beranjak dari apa yang kita namakan sebagai Zaman Batu, ketika manusia mengenal perkakas dan alat bantu dari batu, perlahan-lahan mereka mulai mengenal penggunaan logam. Pengetahuan tentang metalurgi dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.

 

Demikianlah setelah itu peradaban manusia mulai meningkat secara berangsur-angsur, dan kebudayaan tumbuh secara ajeg. Tidak ada kemajuan berarti dalam masa waktu enam milenia itu. Kemudian, hanya dalam kurun waktu enam abad terjadi sesuatu yang luar biasa. Satu ledakan pemikiran yang sangat revolusioner terjadi. Dari sekitar tahun 800 hingga tahun 200 sebelum Masehi, beberapa peradaban besar melahirkan orang-orang yang luar biasa, pula dengan gagasan-gagasan yang tidak pernah ada sebelumnya.

 

Periode enam abad ini dikenal dengan sebutan "Zaman Aksial", atau bisa juga disebut "Zaman Poros". Ini mengacu pada satu periode ketika, kira-kira pada waktu yang bersamaan di sebagian wilayah; sistem intelektual, filosofis, dan keagamaan besar lahir di dunia ini. Nama Zaman Aksial berasal dari bahasa Jerman, yaitu Achsenzeit, yang diperkenalkan oleh filsuf dan psikiater Jerman, Karl Jaspers (1883-1969). Istilah ini mengacu pada perubahan yang besar dan drastis dalam pemikiran keagamaan dan filosofis, yang terjadi di berbagai lokasi. Kejadian yang tidak biasa ini belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, dan itulah alasannya Jaspers menyebutnya sebagai Zaman Poros, dimana Poros berarti "garis pemisah". Ada masa sebelumnya, dan ada zaman sesudahnya.

 

Zaman Aksial memberi kita gagasan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang jauh lebih penting daripada urusan duniawi yang sepele. Menurut Jaspers, selama periode ini, cara berpikir universalis muncul di Persia, India, Tiongkok, Levant, dan kawasan Yunani-Romawi. Semua pemikiran ini berkembang secara paralel, tanpa terjadinya percampuran yang kentara, di antara budaya-budaya yang berbeda ini. Jaspers mengidentifikasi para pemikir kunci pada zaman tersebut akan memiliki pengaruh besar pada filsafat dan agama di masa sesudahnya. Jaspers pun mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang umum, pada setiap bidang asal mula para pemikir tersebut.

 

"Banyak perkembangan luar biasa yang terjadi di era ini. Di Tiongkok hiduplah Konfusius dan Lao-tse, dan munculnya semua kecenderungan filosofis Tiongkok yang khas; para pemikir seperti Mòzǐ, Chuang-tze, Lia Dsi, dan banyak pemikir aktif lainnya. Di India berlangsung periode Upanishad, periode Buddha, dan seperti halnya di Tiongkok, setiap pemikian filosofis kemudian dikembangkan, termasuk skeptisisme, materialisme, sophistri, dan nihilisme. Di Persia, Zoroaster mengajarkan kosmologi dramatis tentang perjuangan antara Kebaikan dan Kejahatan. Di Palestina dan Israel memasuki zaman para Nabi, ditandai kelahiran Elia sampai Yesaya, Yeremia, hingga Deutero-Yesaya. Di Yunani merupakan zaman Homer, dan juga para filsuf seperti: Parmenides, Heraclitus, dan Plato; disusul pula oleh para dramawan, dari Thucydides dan Archimedes. Semua perkembangan besar yang ditunjukkan oleh nama-nama ini terjadi dalam beberapa abad tersebut – dan hampir bersamaan di Tiongkok, di India, dan di Barat. Walaupun demikian tidak satu pun dari ketiga dunia ini yang menyadari perkembangan di dunia lainnya." (Karl Jaspers, The Axial Age of Human History: A Base for the Unity of Mankind, dalam Commentary Magazine, November 1948).

 

Lebih lanjut Jaspers menjelaskan: "Hal baru yang muncul pada zaman ini adalah manusia menjadi sadar akan keberadaannya secara keseluruhan, akan dirinya sendiri, dan akan keterbatasannya. Dia mengalami kehebatan dunia dan kelemahan dirinya sendiri. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal dan, dalam usahanya untuk mencapai pembebasan dan penebusan, dia berhadapan dengan jurang yang dalam. Seraya menyadari keterbatasannya sendiri, dia telah menetapkan tujuan tertinggi untuk dirinya sendiri. Dia mengalami kemutlakan dalam kedalaman-kedirian, serta dalam kejelasan transendensi."

 

Jika dilihat dari dekat, para pemikir ini bisa terlihat sama berbedanya, seperti yang terjadi ketika kita membandingkan misalnya, perbedaan di antara sebatang kapur dengan sepotong keju. Apa persamaan antara Dao karya Lao Tzu dan Eudaimonia karya Aristoteles? Apa pula persamaan di antara Yahwe dan Brahman? Bagi Jaspers, jika Anda memperkecil tampilannya dan melihat para pemikir ini secara keseluruhan, ada banyak kesamaan yang dapat ditemukan. Yang terbesar adalah gerakan menuju apa yang disebut "universalisme". Kebenaran universal, agama universal, dan moral universal. Ini adalah gagasan bahwa ada nilai dan aturan tertentu yang harus diterapkan pada semua orang, di mana pun, apa pun kondisinya.

 

Kemudian mengenai "Transendensi". Transendensi secara harafiah berarti "melampaui". Dalam kasus "revolusi" Zaman Aksial sepanjang pemikiran manusia tentang dunia, "melampaui" memiliki beberapa arti. Menurut filsuf dan sosiolog Kanada Charles Taylor, di antaranya adalah pergeseran cara berpikir tentang alam semesta dan cara bekerjanya, dibandingkan dengan menganggap remeh bahwa alam semesta berjalan begitu saja secara serampangan. Munculnya pemikiran tingkat kedua tentang cara-cara manusia berpikir dan memahami alam semesta. Hal tersebut, beralih dari sekadar mendamaikan dewa-dewa suku atau masyarakat (yang disebut Taylor sebagai "memberi makan para dewa"); serta menuju spekulasi tentang nasib umat manusia, tentang hubungan manusia dengan kosmos, tentang "Yang Baik, dan bagaimana caranya manusia bisa menjadi "baik".

 

Para pemikir Zaman Aksial menunjukkan orisinalitas yang luar biasa, namun menunjukkan kesamaan yang mengejutkan sehubungan dengan keprihatinan mereka yang utama. Para pemikir India mulai memikirkan karma, akibat sisa dari tindakan masa lalu, yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan manusia. Lalu mereka mengusulkan solusi bagaimana manusia dapat mencapai pembebasan atau moksa dari akibat karma. Di Yunani kuno Socrates adalah teladan bagi para pemikir, yang menekankan penggunaan akal dalam penyelidikan kebenaran yang tiada-henti. Dan siswa utamanya Plato (bisa dibilang dia dijuluki sebagai Bapak Filsafat Barat), mengadaptasi wawasan gurunya dalam berteori, bagaimana dunia keberadaan sehari-hari dan dunia abadi. Gagasan-gagasan tersebut saling berhubungan. Para pemikir Tiongkok berupaya menyatukan kerajaan dan mencegah perang saudara, mempersoalkan dan memperdebatkan "sang jalan" (Dao) yang tepat bagi masyarakat manusia. Murid-murid Konfusius, misalnya, berpendapat bahwa Dao bertujuan untuk memajukan peradaban yang manusiawi, sedangkan murid-murid pemikir seperti Zhuangzi mengambil Dao Kosmik sebagai panduan hidup. Para nabi Ibrani mulai memandang tuhan bangsa mereka, Israel, sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan yang membentuk nasib semua orang. Tradisi Zoroastrianisme (dinamai demikian untuk Zoroaster) memahami sejarah manusia sebagai mikrokosmos perjuangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan, dan setiap kehidupan manusia sebagai penghidupan terus-menerus dari perjuangan memilih yang baik daripada yang jahat. Namun, dalam semua kasus, para pemikir yang representatif ini memandang diri mereka sebagai orang yang mendalilkan solusi atas pertanyaan dan permasalahan kehidupan. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri atau bahkan bagi budaya mereka, namun juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Meskipun penyelidikan mereka dimulai pada tingkat lokal dan tradisional, kekhawatiran mereka bersifat global, bahkan universal.

 

Mengapa periode 600 tahun yang sangat spesifik diperlukan agar Zaman Aksial dapat berlangsung? Sedikit sejarah dunia akan membantu menjelaskannya. Zaman Aksial adalah era di mana kerajaan-kerajaan berkembang menjadi sangat besar, baik dari segi ukuran maupun jumlah penduduk. Itu adalah masa kerajaan Persia dan Kartago, Republik Romawi, dan Kekaisaran Zhou. Artinya beberapa hal penting telah terjadi:

 

Pertama, kota-kota besar mulai terbentuk, penuh dengan orang-orang dan ide-ide dari berbagai wilayah yang luas. Suasana perkotaan ini menjadi tempat di mana para pemikir hebat dapat berkolaborasi, berdebat, dan menulis hal-hal yang menakjubkan. Adalah sebuah kebenaran, yang terlihat berulang kali sepanjang sejarah, bahwa ketika budaya, ideologi, dan masyarakat bersatu, maka langkah maju yang besar akan terjadi. Ini adalah daya tarik abadi kota besar zaman itu.

 

Kedua, raja bukan lagi sekedar raja kaleng-kaleng – mereka adalah "raja di atas raja". Sebelum Zaman Aksial, biasanya seorang penguasa, dan bahkan suatu agama, hanya berpengaruh pada suatu wilayah kecil. Seorang raja hanya mempunyai klaim atas wilayahnya sendiri. Dewa-dewa Yunani, bahkan Zeus yang mahakuasa, tidak berdaya di Kashmir. Namun hal ini berubah seiring dengan perluasan kerajaan. Sekarang raja-raja seperti Alexander dan Cyrus (keduanya dengan julukan "Agung") menguasai wilayah yang luas, dan para dewa tidak lagi cukup hanya menjadi salah satu dari sekian banyak dewa.

 

Ketiga, ketika kerajaan-kerajaan duniawi menjadi begitu kuat, orang-orang menjadi merasa tidak berdaya dan tidak penting. Moral dan aturan generasi sebelumnya digantikan oleh dekadensi perkotaan yang baru. Tidak ada lagi nilai-nilai yang bisa dijalankan sepenuhnya. Dengan demikian, ideologi dan gagasan yang baru menjadi kuat dengan sendirinya. Mereka adalah senjata dan sarana yang digunakan masyarakat untuk melawan gangguan penguasa digdaya dan tentaranya.

 

Karena alasan-alasan ini, kita melihat bahwa tema-tema umum tertentu muncul dari Zaman Aksial. Misalnya, dalam Teori Bentuk karya Plato, Empat Kebenaran Mulia dari Buddha, dan Monoteisme Yesaya. Kita melihat visi cita-cita transenden, yang bertentangan dengan upaya-upaya dunia material yang tidak bermoral dan berujung pada kesia-siaan.

 

Di atas disebutkan bahwa Zaman Aksial membawa perubahan besar pada dua bidang, yakni agama dan filsafat. Untuk selanjutnya penulis hanya akan berkonsentrasi di bidang agama saja. Salah satu tokoh yang menjadi panutan penulis adalah Karen Armstrong. Siapa gerangan Armstrong itu? Karen Armstrong adalah seorang penulis dan komentator ternama dari Inggris. Dia lahir pada 14 November 1944. Dia memulai kehidupannya sebagai seorang biarawati Katolik, lalu meneruskan pendidikannya di Universitas Oxford dengan mendalami bahasa dan sastra Inggris. Ketertarikannya pada studi agama secara universal membuatnya meninggalkan kehidupan kebiaraan. Buku-buku yang dikarangnya membuat dirinya menjadi termashyur. Buku-bukunya antara lain, A History of God (1993), Buddha (2004), dan The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006). Ketiga buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Bagi Anda para pembaca yang berminat menelaah lebih lanjut, bisa mencarinya di perpustakaan atau di bursa buku bekas di market place. Sebagai contohnya A History of God dialihbahasakan sebagai Sejarah Tuhan adalah buku yang luar biasa, yang menjelaskan sejarah tentang pemikiran atau pemahaman orang tentang Tuhan dari zaman purba hingga menjadi agama-agama besar dunia. Tuhan yang dimaksud di sini bukan saja Tuhan Monoteistik agama Wahyu, tetapi juga mencakup Dewa dan kekuasaan supranatural lainnya.

 

Dalam prakata bukunya yang menceritakan Transformasi Besar di masa lalu, Armstrong menulis: "Akan tetapi, bagaimana bisa para guru bijak Zaman Aksial itu, yang hidup dalam lingkungan yang sangat berbeda, bicara untuk kondisi zaman sekarang? Mengapa kita mesti menengok kepada Konfusius atau Buddha untuk mencari pertolongan? Tentunya kajian tentang periode yang jauh ini hanya merupakan latihan dalam arkeologi spiritual, ketika yang kita butuhkan sekarang adalah menciptakan lebih banyak inovasi iman untuk mencerminkan realitas dunia kita sendiri. Namun pada kenyataannya, kita tidak pernah melampaui kearifan wawasan Zaman Aksial itu. Pada masa-masa krisis spiritual dan sosial, umat mansia telah senantiasa berpaling kembali ke periode ini untuk mencari bimbingan. Mereka mungkin telah menafsirkan penemuan-penemuan Aksial secara berbeda, tetapi mereka tidak pernah berhasil melampauinya. Yudaisme Rabbinik, Kekristenan, dan Islam, sebagai contoh, semuanya merupakan pemekaran belakangan dari akar-akarnya di Zaman Aksial." (Armstrong, Karen, The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan, hal. xxix)

 

Yang membuat kita tercengang adalah para tokoh ini, para bijak, yang telah menemukan dimensi luhur dalam keberadaan mereka; tetapi mereka tidak memandang ini sebagai adialami, dan banyak di antara mereka yang menolak untuk mendiskusikannya: "… Setiap orang perlu mempertanyakan segala sesuatu dan menguji setiap ajaran secara empiris, diperhadapkan dengan pengalaman pribadi mereka. Pada kenyataanya, seperti yang akan kita lihat, jika seorang nabi atau filsuf mulai mendesakkan doktrin-doktrin yang mengikat, itu biasanya pertanda bahwa Zaman Aksial telah kehilangan momentumnya. Jika Sang Buddha atau Konfusius ditanya apakah dia percaya pada Tuhan, keduanya barangkali akan memejamkan matanya sesaat kemudian menjelaskan – dengan sangat rendah hati – bahwa ini bukanlah pertanyaan yang tepat. Jika ada seorang yang bertanya kepada Amos atau Yehezkiel apakah dia seorang "monoteis", yang percaya hanya pada satu Tuhan, dia mungkin akan sama bingungnya. Monoteisme bukanlah persoalannya. Kita menemukan sangat sedikit penegasan eksplisit tentang monoteisme di dalam Alkitab, justru – menariknya – kekasaran sebagian dari pertanyaan doktrinal ini sesungguhnya jauh dari semangat yang mendasari Zaman Aksial."

 

"Yang penting bukanlah apa yang Anda percayai, melainkan bagaimana Anda berperilaku. Agama adalah soal melakukan hal-hal yang mengubah kita pada tingkatan yang sangat mendasar. Sebelum Zaman Aksial, ritual dan pengurbanan hewan menjadi inti agama. Orang mengalami yang ilahi dalam drama-drama kudus yang, seperti pengalaman teatrikal hebat di zaman sekarang, mengantarkan kita masuk ke tingkatan eksistensi yang lain. Para bijak bestari Zaman Aksial mengubah ini, mereka masih menjunjung tinggi ritual, tetapi memberinya arti penting etis yang baru dan meletakkan moralitas di jantung kehidupan spiritual. Satu-satunya jalan untuk berjumpa dengan apa yang mereka sebut "Tuhan", "Nirwana", "Brahman", atau "Jalan" adalah dengan hidup yang berbela rasa." (The Great Transformation ..., hal. xxx-xxxi).

 

Pada artikel-artikel yang selanjutnya, penulis akan mencoba mengupas, apa sesungguhnya yang terjadi pada Zaman Aksial ini. Setelah kita menyelesaikannya, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada zaman emas peradaban umat manusia ini. Semoga para pembaca dapat memperoleh cakrawala pengetahuan yang lebih luas.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240516


Tidak ada komentar:

Posting Komentar