Kamis, 02 Mei 2024

MEMASUKI KEHIDUPAN TANPA-RUMAH



Pada episode yang lalu, dikisahkan sang pangeran kita, Siddhārtha, dengan pertolongan para dewa berhasil ke luar dari istananya setelah lewat tengah malam. Saat yang bersejarah itu terjadi di hari purnama-siddhi di bulan Āsāḷha, genap dua bulan setelah sang pangeran merayakan hari ulang tahunnya yang ke-dua-puluh-sembilan. Segalanya berjalan mulus menurut skenario para dewata di Surga Tuṣita, yakni kerabat Siddhārtha di kehidupannya yang lampau. Saat yang menentukan terjadi ketika Kanthaka, sang kuda putih milik sang pangeran, menarik kereta-kuda kecil yang dipandu oleh sang kusir nan setia, Channa. Segera setelah melewati gerbang yang tadinya dijaga oleh sekelompok prajurit, akhirnya Siddhārtha dapat keluar dari lingkungan yang selama ini memperlakukan dirinya bak sesosok dewa.

 

Saat sang bintang pagi menampakkan dirinya,

Pada ketinggian setengah tombak dari ufuk-timur cakrawala;

Saat sang pertiwi mendesahkan nafas paginya

Tampaklah sungai Anoma di perbatasan, yang sedang mendendangkan air beriaknya.

 

Channa menarik tali-kekangnya, serta Siddhārtha melompat ke bumi dan menciumnya,

Dia peluk erat Kanthaka, menggosokkan kepalanya di antara kedua telinganya;

Kepada Channa dan kuda putihnya dia berseru, "Ini yang telah kalian lakukan,

Semuanya akan mendatangkan kebaikan bagi kalian berdua dan semua makhluk."

 

"Pimpin kembali kudaku dan bawa serta pula kereta kencana ini,

Pula jubah-kepangerananku, yang sejak saat ini tidak bermanfaat lagi bagiku;

Pedang permataku dan sarungnya yang bertatahkan batu permata,

Serta tiara-kerajaan berhiaskan berlian dan juga kalung yang selalu kukenakan.

 

Berikan semuanya kepada yang mulia sri baginda dan katakan,

Siddhārtha berdoa dan dia memohon, lupakan dia sampai dia kembali;

Sepuluh kali seorang pangeran, dengan kebijaksanaannya menang,

Dari pencarian nan sepi demi perjuangan mencari cahaya."

 

Sekarang aku akan bercerita tentang kepergianku,

Bagaimana dia, Yang Melihat nan perkasa, pergi dari kehidupan-berumah;

Bagaimana dia dipertanyakan dan digambarkan,

Alasan-alasannya untuk pergi dari kehidupan-berumah.

 

Kehidupan yang hiruk-pikuk dijalankan dalam sebuah rumah,

Menghembuskan nafas debu;

Tetapi kehidupan tanpa-rumah terbuka lebar,

Dia melihat ini, dan dia memilih meninggalkan rumah.

 

Dengan melakukannya dia menolak,

Semua perbuatan jahat yang dilakukan oleh tubuh;

Melawan semua jenis percakapan yang salah;

Serta di samping itu meluruskan kehidupannya.

 

Di sekeliling Rājagriha muncul lima bukit indah,

Menjaga kota sylvan sang Raja Bimbisāra;

Baibhāra hijau dengan tetumbuhan serai dan palem,

Tebing Bipulla, yang kakinya kurus menaungi sungai Sarsuti.

 

Mencuri dengan riak hangatnya terhampar Tapovan dalam bayangan,

Kolam uapnya mencerminkan bebatuan hitam yang mengeluarkan cairan;

Begitu perkasa mentega-bumi dari atapnya yang kasar,

Di tenggara Sailāgiri tampak Puncak Bukit Nasar.

 

Dan ke arah timur Ratnagiri, sang bukit permata,

Jalan yang berkelok-kelok di atas lempengan-lempengan yang diinjak;

Membawamu melewati ladang safflower dan hutan bambu

Di bawah remangnya rimba pohon mangga dan tanaman jujube,

 

Melewati jalur batu-batu gunung dan tebing jasper seputih susu,

Gawir rendah dan dataran bunga hutan yang menjulur entah kemana;

Bahu gunung itu, miring ke barat,

Menggantung sebuah gua dengan kanopi pohon ara liar.

 

Lihat! Engkau yang datang ke sini, lepaskanlah kasutmu,

Dan tundukkan kepalamu! Untuk memuliakan bumi yang lapang ini;

Tidak ada tempat yang lebih berharga dan suci selain di sini,

Sang pangeran yang kini menjadi sang petapa, menikmati musim panas yang terik.

 

Dalam hujan deras, dinginnya fajar, dan gelapnya sang malam,

Dia mengenakan jubah kuning demi pengabdian kepada semua orang;

Bersantap dengan porsi yang sedikit, dengan menyamar sebagai pengemis,

Dikumpulkannya setiap pagi dari pemberian orang-orang yang murah hati.

 

Berbaring di rumput bak tunawisma, sendirian dan kesepian,

Serigala yang tidak bisa tidur mengelilingi guanya sambil melolong-lolong;

Harimau yang kelaparan, mengintai keluar dari semak belukar,

Siang dan malam di sini berdiam Yang Maha Agung,

 

Menundukkan tubuh eloknya, yang terberi untuk menikmati kebahagiaan duniawi,

Dengan pengamatan yang cepat dan berulang-ulang;

Dia memasuki meditasi hening, yang berlangsung lama,

Seringkali dia merenung, dengan tubuh tetap bergeming.

 

Di batu kokoh yang dijadikan tempat duduknya, sekonyong-konyong tupai itu melompat,

Di atas lututnya, anak burung puyuh yang pemalu berjalan maju-mundur;

Sang induk puyuh bertengger di antara kakinya, dan merpati biru mematuk-matuk,

Mencari butiran nasi dari mangkuk-sedekahnya, di samping tangannya.

 

Demikianlah dia terlelap-sadar sejak tengah hari, ketika daratan

Berkilauan terkena gelombang panas, dan dinding serta kuil menari-nari;

Di tengah udara yang berbau busuk hingga matahari terbenam, tak usah dihiraukan

Bola bumi menyala-nyala bergulir ke bawah, belum juga malam tiba.

 

Gelombang ungu nas deras, melintasi ladang yang lunak

Juga tidak terlihat hadirnya bintang-bintang, yang biasanya berdenyar-denyar;

Tidak juga terasa hingar bingarnya selubung kota yang sibuk, yang kerap menggeret

Burung hantu dan penerbang-malam; sepertinya memilih mendekam dalam kesendirian.

 

Dengan tajam sang petapa mengurai benang arus-pemikiran,

Dan melangkah mantap dalam mengarungi labirin kehidupan;

Demikianlah dia akan duduk hingga tengah malam, turut membantu dunia hening

Aman, terhindar dari hewan buas yang tengah mendekam di belukar kegelapan.

 

Makhluk malam merayap keluar dan menangis, dengan ratapan ketakutan dan kebencian,

Saat nafsu, keserakahan, dan kemarahan menyeruak;

Di rimba kelam-hitam ketidaktahuan manusia,

Sang petapa tertidur seperti yang diminta oleh sang rembulan.

 

Menyelami sepersepuluh bagian dari lautnya yang keruh,

Namun muncul sang Fajar-Palsu, saat dia berdiri kembali;

Sayu memandang pentas gelap di bukitnya,

Diamatinya bumi yang tertidur dengan mata yang bersemangat.

 

Dan pikiran cinta kasih terpancar ke semua makhluk hidup,

Sementara di seberang ladang yang melambai-lambai, terdengar gumaman;

Yang merupakan ciuman sang bunda yang membangunkan daratan,

Dan di timur terbit mukjizat sang hari.

 

Berkumpul dan bertumbuh. Awalnya senja begitu redup,

Sang malam seakan masih tak sadar akan bisikan sang fajar;

Namun segera, sebelum ayam hutan berkokok dua kali,

Muncul pinggiran putih-jernih, putih yang cerah dan semakin melebar.

 

Tingginya bagaikan sang bintang pembawa-berita, yang memudar diterpa banjir

Dari keperak-perakan, menghangat menjadi emas pucat, bisa kita saksikan;

Di atas mega-mega dan menyala-nya di pinggirannya,

Memancarkan cahaya keemasan, memerah dari tepiannya.

 

Dari kuning-kunyit, merah-delima, merah-tua, hingga ungu-kecubung,

Ketika langit menyalakan keelokannya hingga tampak biru meluas;

Dan dengan bermandikan cahaya sukacita,

Sang Raja Kehidupan dan Kemuliaan telah datang!

 

Lalu Hyang kita,

Seperti yang dipuji untuk dilakukan oleh seorang Resi;

Membersihkan tubuh dan jubahnya,

Lalu menyusuri jalan setapak nan berkelok-kelok menuju kota.

 

Ke sana dia – sang petapa – pergi mencari sedekah makanan,

Disertai banyak tanda keistimewaannya;

Raja Bimbisāra dari sisi dalam

Istananya melihat dia melewatinya.

 

Dan ketika sang penguasa melihat keistimewaannya,

Yang muncul dari semua tanda, "Lihat, tuan-tuan," dia berkata;

"Betapa tampan orang itu, betapa anggunnya,

Betapa murni dan sempurna tingkah lakunya;

 

Dengan mata yang tertuju ke bawah dan penuh perhatian,

Hanya satu bentangan mata-bajak panjangnya dari matanya;

Dia bukan berasal dari keturunan rendah. Kirim kurir kerajaan segera,

Untuk mengikuti jalan yang ditempuh sang rahib."

 

Para kurir segera dikirim,

Serta mengikutinya dari dekat tanpa membuatnya terjaga;

"Sekarang jalan mana yang akan dilalui sang rahib?

Dimana dia memilih tempat tinggalnya?

 

Dia berjalan dari rumah ke rumah,

Dijaganya pintu-pintu indera dengan pengekangan yang benar;

Penuh kewaspadaan dan penuh perhatian,

Serta segera memenuhi mangkuk-sedekahnya.

 

Perjalanan mencari sedekah makanan telah dirampungkannya,

Sang Bijaksana kini melangkah keluar dan meninggalkan kota;

Mengambil jalan ke Pandava,

Dia mestinya tinggal di bukit Pandava."

 

Sekarang ketika sang petapa kembali ke kediamannya,

Para kurir ikut mendaki di belakangnya;

Satu diantara mereka kembali ke istana,

Memberi kabar kepada raja atas pertanyaannya:

 

"Sang rahib, paduka, seperti seekor harimau,

Atau seperti banteng, atau seperti singa,

Sedang duduk di sebuah goa-gunung

Di atas lereng timur Pandava."

 

Sang ksatria mendengar cerita si pencari jejak.

Kemudian dipanggilnya penasihat negeri,

Dia berkendara tergesa-gesa sejauh yang bisa ia tempuh,

Dan lalu dia turun dari kudanya,

 

Masih sedikit jalan kaki yang harus ditempuhnya,

Dia berjalan di atas kakinya sendiri, hingga mendekati Sang Bijaksana,"

Sang raja duduk bersila, dan dia bertukar salam, juga menanyakan kesehatannya,

Ketika tanya jawab tegur-sapa penghormatan selesai dilakukan.

 

Sang raja lalu berkata kepadanya, Demikianlah kata-katanya:

"Anda masih begitu belia, seorang pemuda;

Seorang lelaki yang berada di perode pertama dalam hidup ini,

Anda memiliki penampilan yang bagus.

 

Dari sediaan pejuang-luhur kelahiran-mulia,

Seseorang yang cocok dianugerahi bala tentara kelas-satu;

Guna memimpin pasukan gajah, Aku tawarkan Anda keberuntungan:

Mohon terimalah! Kelahiran Anda juga aku tanyakan: ceritakanlah."

 

"Di sana ada satu negeri nan sejahtera, tuanku,

Dan juga hebat, tepat di atas;

Kaki pegunungan Himalaya,

Didiami oleh rakyat Kosala

 

Yang ras-nya dinamai setelah Sang Matahari,

Yang keturunannya adalah wangsa Śākya;

Tetapi aku pergi bukan untuk mencari kesenangan indera,

Aku telah meninggalkannya untuk berjuang.

 

Setelah melihat bahaya di balik kesenangan itu,

Serta melihat perlindungan yang aman;

Dari bahayanya dengan melepaskan segalanya,

Itulah yang menjadi keinginan hatiku."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240502

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar