Kamis, 18 April 2024

JALUR SUTRA


 

 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam artikel yang lalu kita telah membahas Jalur Sutra Darat yang menghubungkan kotaraja Cháng'ān di titik paling timur hingga kota-kota di Eropa bagian selatan. Sebetulnya tidak boleh dilupakan Jalur Sutra Maritim. Jalur Maritim ini mengacu pada bagian maritim dari Jalur Sutra bersejarah yang menghubungkan Tiongkok ke Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, anak benua India, semenanjung Arab, hingga Mesir dan akhirnya Eropa. Jalur perdagangan yang dilayaninya meliputi sejumlah perairan; meliputi Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Teluk Benggala, Laut Arab, Teluk Persia, dan Laut Merah. Jalur maritim ini tumpang tindih dengan perdagangan maritim bersejarah Asia Tenggara, perdagangan rempah-rempah, perdagangan Samudera Hindia, dan setelah abad ke-8: jaringan perdagangan angkatan laut Arab. Jaringan tersebut juga meluas ke arah timur hingga Laut Tiongkok Timur dan Laut Kuning, yang menghubungkan Tiongkok dengan Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang.

 

Apa saja yang diperdagangkan orang di Jalur Sutra? Dari Timur ke Barat berbagai komoditi dibawa. Selain sutra, barang berharga yang lazim diperdagangkan adalah: teh; pewarna pakaian; batu mulia; kerajinan keramik dan porselen, meliputi piring, mangkok, gelas, dan berbagai bejana; rempah-rempah seperti kayu manis dan jahe; artefak perunggu dan emas; obat-obatan tradisional; parfum; gading; beras; kertas; dan bubuk mesiu. Dari Barat ke Timur ditawarkan berbagai macam barang, di antaranya: kuda; unta; pelana dan perlengkapan berkuda lainnya; anggur dan produk turunannya; anjing dan hewan peliharaan lainnya, baik yang eksotik maupun domestik; bulu dan kulit binatang; buah-buahan; peralatan dari bahan gelas; selimut wol, permadani, karpet; tekstil tertentu seperti tirai; emas dan perak; senjata tajam dan baju zirah; dan juga budak.

 

Sutra, sebagai komoditi utama pertama kali diproduksi di Tiongkok sejak 3000 tahun sebelum Masehi, merupakan barang perdagangan darat yang ideal bagi pedagang dan para diplomat, yang mungkin telah melakukan perjalanan ribuan mil untuk mencapai tujuan mereka. Hal tersebut dikatakan oleh Xin Wen, sejarawan Tiongkok dan Asia Tengah abad pertengahan di Universitas Princeton dalam bukunya: The King's Road: Diplomatic Travelers and the Making of the Silk Road in Eastern Eurasia, 850–1000. "Apa yang dapat Anda bawa dalam perjalanan panjang dan jauh ini sangat terbatas. Jadi Anda hanya akan membawa barang yang paling berharga, namun juga yang berbobot paling ringan,” Wen memberikan alasannya, “Sutra memenuhi karakteristik ini. Barang tersebut bernilai tinggi, berbobot rendah, juga sangat serbaguna."

 

Elit Romawi menghargai sutra Tiongkok sebagai tekstil tipis yang mewah, dan kemudian, ketika teknologi pembuatan sutra dibawa ke Mediterania, pengrajin di Damaskus menciptakan tekstil tenun sutra yang dapat dibalik yang dikenal sebagai damask. Namun sutra lebih dari sekadar pakaian, kata Wen. Di bawah pengaruh budaya Buddhisme, lembaran sutra dibuat menjadi spanduk ritual atau digunakan pula sebagai sebagai kanvas lukisan. "Di pemukiman penting Jalur Sutra di Turfan di Tiongkok Timur, sutra digunakan pula sebagai mata uang," tulis sejarawan Valerie Hansen. Serta pada Dinasti Tang (618 hingga 907 M.), sutra dikumpulkan sebagai tanda lunas pembayaran kewajiban pajak oleh pejabat Tiongkok.     

 

"Kertas, ditemukan di Tiongkok pada abad kedua Masehi, pertama kali menyebar ke seluruh Asia seiring dengan penyebaran agama Buddha. Pada tahun 751, kertas diperkenalkan ke Dunia Islam ketika pasukan Arab bentrok dengan bala tentara Dinasti Tang pada Pertempuran Talas. Khalifah Harun al-Rashid membangun pabrik kertas di Baghdad, yang mana sang khalifah memperkenalkan pembuatan kertas ke Mesir, Afrika Utara, dan sampai ke Spanyol. Kertas akhirnya diperkenalkan ke masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan ke-13," demikian tulis Millward.

 

Di Jalur Sutra, para pelancong membawa dokumen kertas yang berfungsi sebagai paspor untuk melintasi wilayah nomaden atau bermalam di caravansera, yakni oasis di Jalur Sutra. Namun fungsi terpenting kertas di sepanjang Jalur Sutra adalah untuk menulis naskah dan buku yang menyampaikan sistem pemikiran yang benar-benar baru, khususnya ajaran-ajaran agama. "Bukan suatu kebetulan bahwa agama Buddha menyebar ke Tiongkok pada saat yang sama ketika kertas menjadi lazim di wilayah tersebut," kata Wen. “Sama dengan penyebaran ajaran Manikheisme dan Zoroastrianisme. Salah satu arti penting Jalur Sutra adalah bahwa jalur ini berfungsi sebagai saluran penyebaran berbagai ide dan interaksi budaya, dan sebagian besar dari hal tersebut bergantung pada kertas."

 

Rempah-rempah dari Asia Timur dan Selatan, seperti kayu manis dari Sri Lanka dan cassia dari Tiongkok, merupakan barang dagangan yang eksotik dan juga didambakan oleh banyak orang, namun rempah-rempah tersebut biasanya tidak melintasi jalur darat Jalur Sutra. Sebaliknya, rempah-rempah terutama diangkut melalui Jalur Sutra Maritim Kuno yang menghubungkan kota-kota pelabuhan dari India ke arah barat melalui Asia Tengah dan Semenanjung Arab. Di seberang Jalur Sutra, rempah-rempah dihargai tidak hanya karena digunakan dalam masakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dan sebagai obat. Dan tidak seperti sutra, yang dapat diproduksi di mana pun ulat sutra dapat dibudidayakan, banyak rempah-rempah yang berasal dari tanaman yang hanya tumbuh di lingkungan yang sangat spesifik. "Artinya, rempah-rempah memiliki asal muasal yang lebih jelas dibandingkan beberapa barang mewah lainnya, sehingga menambah nilainya," kata Wen.

 

Giok, batu permata berwarna hijau kristal, merupakan pusat budaya ritual Tiongkok. Ketika persediaan batu giok menipis pada abad ke-5 seb.M., Tiongkok perlu membangun hubungan perdagangan dengan tetangga barat seperti Kerajaan Khotan di Iran kuno, yang sungainya kaya akan bongkahan batu giok nephrite, jenis batu giok terbaik untuk mengukir patung-patung rumit dan perhiasan. Perdagangan batu giok ke Tiongkok berkembang pesat sepanjang periode Jalur Sutra, begitu pula perdagangan permata semi mulia lainnya seperti mutiara.

 

Orang Barat sering beranggapan bahwa sebagian besar barang Jalur Sutra bergerak dari Timur Jauh yang eksotis ke arah barat menuju Mediterania dan Eropa, namun perdagangan Jalur Sutra mengarah ke segala arah. Misalnya, para arkeolog yang menggali gundukan kuburan di Tiongkok, Korea, Thailand, dan Filipina telah menemukan peralatan gelas Romawi di antara barang-barang berharga yang menjadi harta karun kaum elit Asia. Jenis gelas soda-kapur yang dibuat di Roma dan dibuat menjadi vas dan gelas pasti akan ditukar dengan sutra, yang merupakan barang obsesi orang Romawi.

 

Taiga adalah hamparan luas hutan hijau yang melintasi Siberia di Eurasia dan berlanjut ke Kanada di Amerika Utara. Pada zaman Jalur Sutra, tulis Millward, "Taiga menarik sekelompok pemburu tangguh yang memanen kulit rubah, musang, berang-berang, dan cerpelai. 'Jalan berbulu' di utara ini memasok mantel dan topi mewah kepada Dinasti Tiongkok dan Elit Eurasia lainnya." Millward menulis bahwa Jenghis Khan memperkuat salah satu aliansi politiknya yang paling awal dengan hadiah mantel bulu musang. Pada abad ke-17, di masa memudarnya Jalur Sutra, penguasa Dinasti Qing di Tiongkok dapat membeli bulu dari para penjerat Siberia.

 

"Orang-orang yang dijadikan budak adalah 'barang dagangan' yang sangat umum di sepanjang Jalur Sutra. Tentara penyerang akan menangkap tawanan dan menjualnya kepada pedagang swasta yang akan menemukan para pembeli di pelabuhan dan ibu kota yang jauh dari Dublin di Barat hingga Shandong di Tiongkok Timur," demikian tulis sejarawan Jalur Sutra, Susan Whitfield. "Para budak menjadi pelayan, penghibur, dan orang-kasim di istana kerajaan." Wen mengatakan bahwa meskipun perbudakan merajalela di Eurasia pra-modern di sepanjang Jalur Sutra, tidak satupun dari kerajaan atau masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai "berbasis budak", seperti yang terjadi pada perdagangan budak Afrika di Dunia Baru. "Budak lebih merupakan hiasan kehidupan elit Jalur Sutra," kata Wen, "Bukan sumber ekonomi utama."

 

Penulis memberi catatan pada dua komoditi yang berasal dari Tiongkok, yakni kertas dan bubuk mesiu. Kertas diperdagangkan di Jalur Sutra sejak abad ke-2 Masehi, yakni pada jalur Loulan, Kotan, Kusha, dan Dunhuang. Tiongkok berusaha merahasiakan seni pembuatan kertas untuk mencegah negara lain meniru dan memproduksi sendiri, namun hal ini tidak berjalan efektif. Negara-negara tetangga berhasil membuat kertas produksi mereka sendiri. Semula kertas hanya digunakan untuk membungkus dan mengemas barang, dan itu pun sudah memadai karena teksturnya yang masih kasar. Belakangan disadari bahwa kertas itu bisa digunakan sebagai media untuk menulis. Dengan begitu banyak hal yang bisa dicatat dan ditulis sehingga banyak pemikiran yang bisa diabadikan. Lebih jauh dengan adanya tulisan di atas kertas, catatan sejarah dan ilmu pengetahuan dapat ditransfer kepada banyak orang. Puncak pemanfaatan kertas terjadi di Eropa dengan lahirnya mesin cetak pertama yang diciptakan oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15.

 

Selain sutra dan kertas, bubuk mesiu adalah penemuan lain oleh Tiongkok dan Jalur Sutra membantunya menyebar ke barat. Bubuk mesiu sudah dikenal orang sejak tahun 850 M. Penemuan ini tampaknya ditemukan di Tiongkok secara tidak sengaja, oleh para ahli alkimia yang mencari ramuan keabadian. Kisah paling awal menyebutkan eksperimen tersebut: "beberapa orang memanaskan sendawa, belerang, dan karbon arang dengan madu; timbul asap dan nyala api, sehingga tangan dan wajah mereka terbakar, dan bahkan seluruh rumah terbakar." Bubuk mesiu yang digunakan untuk keperluan militer pertama kali tercatat pada tahun 919 M. Pada abad ke-11, bom eksplosif yang diisi dengan bubuk mesiu dan ditembakkan dari ketapel diperkenalkan dan digunakan di Tiongkok. Kata "meriam api", "roket", "misil", dan "bola api" muncul berkali-kali dalam catatan sejarah zaman itu. Penemuan bubuk mesiu di Tiongkok tidak pernah melampaui bentuknya yang paling kasar, dan tak lama setelah itu bubuk mesiu ditinggalkan sebagai senjata militer. Bubuk mesiu mencapai Jepang, Dunia Islam, dan kemudian Eropa pada abad ke-13 dan orang-orang Arab mengembangkan bubuk mesiu untuk keperluan militer. Pada tahun 1280, al-Hasan ar-Rammah dari Suriah menulis Buku Pertarungan Menunggang Kuda dan Mesin Perang. Di sini diperkenalkan perangkat roket, yang disebutnya "panah cina". Catatan awal mengenai bubuk mesiu di Eropa dicatat oleh filsuf Inggris Roger Bacon pada abad ke-13. Satu abad  kemudian orang-orang Arab menggunakannya untuk menyerang kota Baza di Spanyol dan pada tahun berikutnya pada tahun 1326 Florence memerintahkan pembuatan meriam dan bola meriam. Dari Italia, pembuatan bubuk mesiu segera menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, dan pada tahun 1350-an bubuk mesiu telah menjadi senjata yang efektif di medan perang. Kisah tentang kertas dan bubuk mesiu, yang sebetulnya bermula dari penemuan orang Tionghoa justru dimanfaatkan secara maksimal oleh orang Eropa. Inilah dua barang yang turut menentukan jalannya sejarah dunia setelah itu.

 

Jalur Sutra tidak hanya menyediakan sarana bagi para pedagang dan penjelajah untuk melakukan perniagaan berbagai komoditi yang langka dan eksotis, namun juga di sana terjadi penyebaran ide-ide antar bangsa serta pertukaran tradisi dan budaya. Penyebaran agama dan tradisi budaya di sepanjang Jalur Sutra, menurut Jerry H. Bentley, juga menimbulkan sinkretisme. Salah satu contohnya adalah konflik panjang antara orang Tionghoa dengan balatentara Xiōngnú. Meskipun pada awalnya keduanya saling bermusuhan namun belakangan terjadi kontak lintas budaya yang tidak terduga. Kedua tradisi dan budaya ini beradaptasi satu sama lain sebagai cara hidup alternatif. Suku Xiōngnú mengadopsi teknik pertanian, gaya berpakaian, dan gaya hidup orang Tionghoa, sedangkan Tiongkok mengadopsi teknik militer Xiōngnú, gaya berpakaian, musik, dan tarian. Mungkin yang paling mengejutkan dari pertukaran budaya antara Tiongkok dan Xiōngnú, tentara Tiongkok terkadang membelot dan berpindah ke cara hidup Xiōngnú, dan tinggal di stepa karena takut akan hukuman.

 

Selain pertukaran tradisi dan budaya, Jalur Sutra selama berabad-abad memfasilitasi gagasan-gagasan di bidang keagamaan. Zoroastrianisme, Judaisme, Buddhisme, Kristen, Manikheisme, dan Islam semuanya tersebar di Eurasia melalui jaringan perdagangan yang terikat pada komunitas agama tertentu dan institusi mereka. Khususnya, biara-biara Buddha yang didirikan di sepanjang Jalur Sutra menawarkan surga dan agama baru bagi orang asing. Penyebaran agama Buddha ke Tiongkok melalui Jalur Sutra dimulai sejak abad ke-1 Masehi, menurut kisah semi-legendaris dari seorang duta besar yang dikirim ke Barat oleh Kaisar Tiongkok Ming (58–75). Selama periode ini agama Buddha mulai menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Tengah. Mahayana, Theravada, dan Vajrayana adalah tiga bentuk utama agama Buddha yang menyebar ke seluruh Asia melalui Jalur Sutra.

 

Penyebaran ajaran Buddha adalah gerakan misionaris berskala besar pertama dalam sejarah agama-agama dunia. Para misionaris Tiongkok mampu mengasimilasikan agama Buddha, hingga ke tingkat tertentu dan dapat diterima oleh penganut Taoisme asli Tiongkok; yang kemudian menyatukan kedua kepercayaan tersebut. Komunitas pengikut Buddha, berbentuk perhimpunan para rahib (Sangha) serta umat awam pria dan wanita. Para misionaris ini berpindah ke seluruh India dan sekitarnya untuk menyebarkan ajaran Buddha. Seiring bertambahnya jumlah anggota Sangha yang mengembara hingga melewati perbatasan negara lain, biaya perjalanan dan akomodasi mereka menjadi mahal sehingga hanya kota-kota besar yang mampu membiayai kunjungan para misionaris tersebut. Dipercaya bahwa di bawah kendali suku Kushan, agama Buddha menyebar ke Tiongkok dan wilayah Asia lainnya dari pertengahan abad pertama hingga pertengahan abad ketiga. Kontak ekstensif dimulai pada abad ke-2, mungkin sebagai konsekuensi dari perluasan kerajaan Kushan ke wilayah Tiongkok di Cekungan Tarim. Para misionaris pertama dan penerjemah kitab suci Buddha ke dalam bahasa Mandarin adalah orang Parthia, Kushan, Sogdiana, atau Kuchean.

 

Sejak abad ke-4 Masehi dan seterusnya, peziarah Tiongkok juga mulai melakukan perjalanan di Jalur Sutra menuju India untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kitab suci Buddhis yang asli. Kita pasti pernah mendengar perjalanan Fa-hsien ke India (395–414), dan kemudian Xuanzang (629–644), juga Hyecho (723-729), yang melakukan perjalanan dari Korea ke India. Ada banyak aliran agama Buddha berbeda yang melakukan perjalanan di Jalur Sutra. Dharmaguptaka dan Sarvastivadin adalah dua aliran Nikaya yang utama. Keduanya akhirnya digantikan oleh Mahayana, yang juga dikenal sebagai "Kendaraan Besar". Aliran-aliran dan gerakan-gerakan agama Buddha yang berbeda-beda ini merupakan hasil dari pengaruh dan keyakinan yang beragam dan kompleks di Jalur Sutra. Dengan bangkitnya agama Buddha Mahayana, arah awal perkembangan agama Buddha pun ikut berubah.

 

Pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi, para pedagang dan saudagar berperan besar dalam penyebaran agama, khususnya agama Buddha. Para pedagang menganggap ajaran moral dan etika Buddhis merupakan alternatif yang menarik dibandingkan agama-agama sebelumnya. Sebagai dampaknya para pedagang mendukung biara-biara Buddha di sepanjang Jalur Sutra, dan sebagai imbal-baliknya, umat Buddha memberikan tempat tinggal kepada para pedagang, saat mereka melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sebagai hasil kerjasama yang saling menguntungkan, komunitas-komunitas ini menjelma menjadi pusat literasi dan budaya dengan pasar, penginapan, dan gudang yang terorganisir dengan baik. Perpindahan keyakinan secara sukarela dari elit penguasa Tiongkok membantu penyebaran agama Buddha di Asia Timur, serta menyebabkan agama Buddha tersebar luas di masyarakat Tiongkok. Penyebaran agama Buddha di Jalur Sutra berakhir sekitar abad ke-7 dengan bangkitnya misionaris Islam di Asia Tengah.

 

Sebelum kita mengakhiri cerita kita di Jalur Sutra yang berlangsung selama ratusan tahun, penulis akan mengajak para pembaca melihat kondisinya antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi. Inilah periode stabil yang berlangsung cukup lama di Eurasia, di bawah kekuasaan Pax Mongolica. Setelah kematian kaisar Mongol pertama, Jenghis Khan, pada tahun 1227, kekaisaran yang diwariskan meluas dari pantai Pasifik Tiongkok hingga Eropa Timur. Ini berarti bahwa jaringan Jalur Sutra, yang berbahaya untuk dilalui karena kerajaan-kerajaan yang bertikai di sepanjang rute tersebut, sekarang sepenuhnya berada di bawah kendali Mongol.

 

Stabilitas yang dihasilkan oleh pemerintahan Mongol membuka jalur perdagangan kuno ini seluas-luasnya, sehingga pertukaran barang antara masyarakat dari Eropa hingga Asia Timur tidak terganggu. Di sepanjang Jalur Sutra, orang-orang memperdagangkan barang-barang seperti kuda, porselen, permata, sutra, kertas, dan mesiu. Wisatawan sekaligus penjelajah terkenal Eropa yang berasal dari Venesia, yakni Marco Polo (1254-1324), dapat melakukan perjalanan jauh ke Tiongkok dan kembali lagi. Bahkan dia pernah bekerja sebagai diplomat dan pemungut pajak di otoritas Pemerintahan Mongol. Polo selanjutnya menggambarkan pengalamannya di negeri-negeri yang jauh dalam sebuah kronik, yang mampu memikat para pembaca bukunya di Eropa.

 

Selain memfasilitasi perdagangan, pengaruh Mongol juga meningkatkan komunikasi di sepanjang Jalur Sutra dengan membangun sistem estafet pos. Bangsa Mongol secara budaya meningkatkan Jalur Sutra dengan mengizinkan orang-orang dari berbagai agama dan keyakinan yang berbeda untuk hidup berdampingan. Penggabungan masyarakat dan budaya dari wilayah yang ditaklukkan membawa kebebasan beragama di seluruh kekaisaran. Di padang rumput Asia yang luas, wisatawan mungkin akan bertemu dengan umat Islam dan Kristen yang tinggal dan bekerja bersama bangsa Mongol, yang terus menjalankan agama tradisional mereka.

 

Dalam perdagangan antar bangsa Pax Mongolica begitu baik dan efisien, namun jalan-raya-super abad pertengahan ini juga memiliki warisan yang lebih gelap dan mematikan: Hal ini memungkinkan salah satu pandemi besar pertama, yakni wabah yang dikenal sebagai Kematian Hitam (atau black death), menyebar di sepanjang rutenya dan akhirnya mencapai Benua Eropa pada tahun 1346. Dalam perjalanannya para pedagang dan pelancong itu menyinggahi berbagai pemberhentian – dusun kecil, desa, kota kecil, dan pos terdepan yang disebut cavaransera – tersebar dalam jarak sekitar satu hari perjalanan. Mereka melintasi hamparan Jalur Sutra, yang membentang ribuan mil dari Asia Timur hingga Turki. Sayangnya, rute tersebut juga membawa para pedagang ke dekat tempat yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai sumber penyakit yang sangat berbahaya.

 

Dalam sebuah penelitian pada tahun 2015, para ilmuwan Norwegia dan Swedia menyatakan bahwa fluktuasi iklim di stepa Asia Tengah menyebabkan populasi hewan pengerat di wilayah tersebut – terutama gerbil (sejenis tikus yang hidup di stepa) dan marmut – menurun drastis. Hal ini, pada gilirannya, mungkin telah memaksa kutu yang membawa bakteri Yersinia Pestis, yang menyebabkan Wabah Sampar atau Wabah Pes, meninggalkan hewan indungnya dan mencari tempat tinggal baru, seperti unta dan manusia pemiliknya. Setelah beberapa tahun berlangsungnya relokasi kutu, sesuai teori para ilmuwan, dibutuhkan satu dekade lagi bagi karavan untuk secara bertahap membawa wabah ke arah barat, hingga mencapai tepian Benua Eropa. Kutu menggigit manusia dan bakteri sampar tersebut berpindah ke manusia, ketika kutu memuntahkan air liurnya ke dalam aliran darah kita. Dampak penyakit pes sama buruknya dengan cara penyebarannya. Segera setelah terinfeksi, si penderita mengalami pembengkakan di kelenjar getah beningnya atau disebut bubo. Setelah mengalami bubo, pendarahan internal menyebabkan pembengkakan darah dan nanah hingga mengubah warna kulit menjadi hitam. Itu adalah penyakit mengerikan yang menyebar dengan cepat dan tanpa peringatan. Kebanyakan orang yang tertular wabah tersebut langsung tewas tak tertolong lagi.

 

Kematian Hitam membunuh populasi besar manusia di abad keempat-belas. Sebanyak kurang lebih 100 juta orang di Afro-Eurasia mungkin telah tewas karena wabah ini. Jika epidemi terjadi di abad ke-21 dengan skala sebesar Kematian Hitam, maka umat manusia yang akan binasa setara dengan 1 miliar hingga 2 miliar orang. Secara umum, wabah ini merupakan yang terburuk di Eropa, yang memiliki kota-kota yang padat, lembab, dan bersanitasi buruk. Wabah ini membunuh hingga 25 juta orang Eropa (dari total populasi 75 juta jiwa) dari tahun 1347 hingga 1351, yang merupakan sepertiga dari populasi Eropa. Namun, di beberapa kota di Italia dan pedesaan Perancis, angka kematian mendekati 60 persen. Mereka yang berhasil selamat melihat sekeliling dan menyimpulkan bahwa mereka sedang menyaksikan akhir-dunia. Setelah Eropa mengalami wabah hebat, kemudian giliran Tiongkok dan Asia Tengah yang terjangkit serangan penyakit yang sama. Puluhan juta orang tewas, namun tidak dapat diperkirakan berapa jumlahnya. Wabah juga menyerang para elit dan pemegang kekuasaan Mongol. Pax Mongolica melemah dan menuju pada keruntuhannya. Jadi penyebab hancurnya kekaisaran yang agung ini bukan karena diserang oleh musuh yang lebih kuat, tetapi mereka dikalahkan oleh wabah yang tidak dapat diatasi oleh kemampuan dunia kedokteran zaman itu.

 

Meskipun berulang kali mengalami banyak perubahan dan gangguan geopolitik, Jalur Sutra tiba-tiba kehilangan arti penting seiring bangkitnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453 atau seratus tahun setelah Kematian Hitam. Ottoman menutup perdagangan antara Timur dan Barat. Hal ini mendorong upaya beberapa negara Eropa untuk mencari jalur alternatif menuju Dunia Timur yang makmur, sehingga mengawali Zaman Penemuan atau Age of Discovery, kolonialisme Eropa, dan proses globalisasi yang lebih intensif, yang bisa dibilang merupakan kelanjutan dari Jalur Sutra yang legendaris itu. Pada abad ke-21, nama "Jalur Sutra Baru" digunakan untuk menggambarkan beberapa proyek infrastruktur besar di sepanjang jalur perdagangan bersejarah tersebut; di antaranya yang paling terkenal adalah Jembatan Darat Eurasia dan Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok atau Chinese Belt and Road Initiative (BRI). Pada bulan Juni 2014, UNESCO menetapkan koridor Jalur Sutra Cháng'ān-Tiānshān sebagai Situs Warisan Dunia.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240418


Tidak ada komentar:

Posting Komentar