(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Jika kita menyebut "Jalur Sutra" atau dalam bahasa Inggris "the
Silk Road", atau 丝绸之路 (Sīchóu Zhī Lù), itu
merupakan jaringan jalur perdagangan Eurasia yang aktif sejak abad ke-2 seb.M.
hingga pertengahan abad ke-15. Orang secara sembrono menerjemahkannya sebagai "Jalan
Sutra", yang sebenarnya keliru. Dalam kenyataanya ada beberapa rute jalan
yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman, namun jaringan jalur ini
membentang dari ujung timur Asia hingga benua Eropa. Nama "Jalur
Sutra" bukanlah berasal dari bangsa Tiongkok, seperti yang sering dikira
orang. Nama ini pertama kali diciptakan pada akhir abad ke-19 oleh orang Jerman
yang bernama Ferdinand von Richthofen, dengan sebutan Seidenstraße, yang
secara harfiah berarti "Jalan Sutra". Beliau melakukan tujuh
ekspedisi ke Tiongkok dari tahun 1868 hingga 1872, dan nama ini pertama kali
dipopulerkan pada tahun 1877.
Mengapa dinamakan "Jalur Sutra"? Hal ini mengacu pada komoditi
yang diperdagangkan di sana. Sutra adalah bahan busana yang paling berharga di
zaman kuno dan pertama kali serangga penghasil serat sutra berhasil
dibudidayakan oleh bangsa Tiongkok. Sutra merupakan serat protein alami yang
diproduksi oleh larva serangga tertentu. Setelah mencapai umurnya larva ulat
berproses menjadi kepompong. Serat protein sutra terutama terdiri dari fibroin
yang dipanen setelah kepompongnya masak. Sutra paling terkenal diperoleh dari
kepompong larva ulat-sutra-murbei atau Bombyx Mori yang dipelihara di
penangkaran, bukan yang diambil begitu saja dari alam. "Sutra liar" bisa
pula dihasilkan oleh ulat sutra liar, yang mana serangga ini terdapat di
Tiongkok, Asia Selatan, dan Eropa. Sejak zaman kuno orang telah memanen ulat
sutra liar, tetapi skala produksinya selalu jauh lebih kecil daripada ulat sutra
budidaya. Sutra liar berbeda dari sutra ternakan dari segi warna dan tekstur. Kepompong
liar yang dikumpulkan orang dari alam biasanya sudah dirusak oleh ngengat yang tinggal
di sana, sebelum kepompong tersebut masak sehingga benang sutra yang dipanen
mudah putus menjadi serat berukuran pendek, yang membuat kualitasnya jelek. Kelemahan
serat sutra liar yang sering dijumpai pengrajin, terjadi saat mereka
mencelupkan benang atau kain ke dalam zat pewarna. Produk sutra ini lebih sulit
menyerap pewarna dibandingkan dengan produk serupa yang dihasilkan dari serat sutra
budidaya.
Mungkin Anda pernah melihat ulat sutra peliharaan peternak, yang diberi
makan daun murbei dalam kotak-kotak penangkaran. Si ulat yang berwarna putih
ini cepat tumbuh besar karena dipasok oleh daun murbei segar sepanjang masa
hidupnya. Setelah mencapai tahap kepompong dan telah cukup umur, makhluk ini
dibunuh dengan cara dicelupkan ke dalam air mendidih, sebelum serangga ini memasuki
tahap pembentukan ngengat-sutra. Atau kepompongnya ditusuk dengan jarum,
sehingga seluruh sisa tubuhnya dapat diurai menjadi untaian benang yang tak-terputus.
Proses ini membuat serat sutra bisa dipintal menjadi benang yang liat dan kuat,
serta selanjutnya bisa ditenun menjadi sehelai kain panjang. Tampilan serat sutra
yang berkilauan disebabkan oleh struktur serat yang menyerupai prisma segitiga,
yang membuat kain sutra yang dihasilkan mampu membiaskan cahaya yang masuk dari
berbagai sudut berbeda, sehingga menghasilkan warna dan tampilan yang bervariasi.
Di tangan para pengrajin yang terampil serat-serat yang telah memiliki
aneka warna ini memasuki tahap berikutnya: menenun. Di sini sampailah kita pada
mahakarya zaman kuno: sehelai kain brokat. Brokat adalah kain-timbul. Brokat
yang paling sederhana adalah tenunan tiga benang berbeda: Benang lusi (vertikal)
dan benang pakan (horizontal) –yang digunakan untuk membuat gulungan
kain apa pun – ditambah benang pakan-tambahan yang mampu menciptakan
pola hias nan menakjubkan. Metode fabrikasi ini memberikan ilusi sulaman yang
terangkat ke depan. Di luar definisi sederhana ini, tidak ada yang bersahaja
tentang brokat. Ini adalah bahan yang sangat bervariasi dan hampir setua
peradaban itu sendiri. Brokat kuno dibuat dengan tangan menggunakan alat tenun
konvensional. Meskipun prosesnya membosankan dan memakan waktu lama, namun popularitas
kain brokat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Para pembuat busana
menggunakan benang sutra untuk membuat brokat mewah yang dikenakan oleh
bangsawan dan orang kaya.
Menurut legenda purba, kain sutra
awalnya diperuntukkan bagi Kaisar Tiongkok untuk digunakan sendiri, atau
dihadiahkan kepada orang tertentu. Namun kemudian kain sutra mulai
diperkenalkan secara bertahap lewat budaya dan perdagangan, mula-mula menyebar
ke seluruh negeri, kemudian ke banyak wilayah di Asia. Karena tekstur dan
kilaunya, sutra dengan cepat menjadi kain mewah yang populer di banyak wilayah,
sejauh yang dapat diakses oleh pedagang Tiongkok. Sutra sangat diminati dan
menjadi komoditi pokok perdagangan internasional pra-industri. Sutra juga
digunakan sebagai permukaan tulisan, terutama pada periode Negara-negara
Berperang (475 - 221 seb.M.). Kain sutra itu ringan, tahan terhadap iklim lembab
di wilayah Yangtze, menyerap tinta dengan baik, dan memberikan latar belakang
putih pada teks yang umumnya berwarna hitam. Para kaisar Tiongkok berusaha
keras merahasiakan pengetahuan tentang budidaya ulat sutra, untuk
mempertahankan monopoli negeri besar ini. Meskipun sedemikian ketat mereka
menjaga rahasianya, peternakan ulat sutra maupun pengiriman larva ulat sutra budidaya
akhirnya sampai juga di Korea, berkat bantuan teknologi dari Tiongkok sekitar
tahun 200 seb.M. Kemudian kerajaan kuno Khotan mendapatkannya pada tahun 50 M.,
dan setelah itu India pada tahun 140 M.
Siapa yang mempelopori adanya Jalur
Sutra? Menurut catatan sejarah, jalur perdagangan ini bermula dari inisiatif
Kekaisaran Hàn yang menginginkan meluasnya perdagangan dengan wilayah lain.
Menjelang akhir abad kedua seb.M., Kaisar Wǔ dari Hàn (漢武帝, Hàn Wǔ Dì, 156 – 87 seb.M.) melakukan upaya
besar untuk melawan suku Xiōngnú (匈奴) yang nomaden dan bermukim di Tiongkok Utara.
Para penunggang kuda Xiōngnú seringkali menyerbu dan merampok penduduk Tiongkok
di sepanjang perbatasan utara selama bertahun-tahun (ini juga alasan yang
membuat rakyat Tiongkok membangun Tembok Besar). Guna menandingi kedigdayaan
suku nomaden ini, Kaisar Wǔ mencari pasokan kuda baru untuk memperkuat pasukan
kavalerinya. Dia mengirim utusan yang dikepalai oleh Zhāng Qiān (張騫), seorang
politikus, diplomat dan penjelajah; dengan tujuan mencari sekutu baru dalam kampanye
perangnya melawan Xiōngnú.
Pada tahun 138 seb.M., Zhāng berangkat
menuju Wilayah Barat dengan disertai sembilan-puluh-sembilan anak buahnya untuk
melakukan kontak, dan membangun aliansi dengan Yuè Zhī (月氏) di Tajikistas
modern. Ia ditemani oleh seorang pemandu bernama Gān Fù (甘父), seorang Xiōngnú
yang pernah ditangkap dalam perang sebelumnya. Namun untuk sampai ke wilayah Yuè
Zhī mereka terpaksa melewati tanah yang dikuasai oleh Xiōngnú, yang mana mereka
menangkap Zhāng dan rombongannya serta memperbudaknya selama tiga belas tahun.
Selama masa ini dia menikah dengan orang Xiōngnú, yang memberinya seorang putera,
dan akhirnya mendapatkan kepercayaan dari pemimpin suku itu. Zhāng dan Gān Fù
(serta isteri dan putera Zhāng) akhirnya dapat melarikan diri dan sampai di Lop
Nor. Selanjutnya mereka mengikuti tepi utara Cekungan Tarim, mengitari
Pegunungan Kunlun, menuju daerah berbenteng kecil di tengah oasis, di tempat
yang sekarang disebut Xinjiang. Setelah itu mereka tiba di Dàyuān (大宛), Uzbekistan modern, dan akhirnya ke tanah Yuè
Zhī.
Suku Yuè Zhī adalah masyarakat agraris
yang menghasilkan kuda yang kuat dan banyak tanaman yang tidak dikenal oleh
rakyat Tiongkok, termasuk alfalfa untuk pakan ternak. Zhāng menghabiskan
satu tahun di Yuè Zhī dan wilayah Baktria yang berdekatan, mendokumentasikan
budaya, gaya hidup dan perekonomian mereka, sebelum memulai perjalanan kembali
ke Tiongkok. Kali ini mereka berempat mengikuti tepi selatan Cekungan Tarim.
Dalam perjalanan pulang dia kembali ditangkap oleh orang Xiōngnú, yang sekali
lagi menyelamatkan nyawanya, karena mereka menghargai keberaniannya. Dua tahun
kemudian pemimpin suku Xiōngnú meninggal dan di tengah kekacauan dan pertikaian
di antara mereka, Zhāng Qiān melarikan diri. Dari misi awal yang berjumlah
lebih dari seratus orang, hanya Zhāng Qiān dan Gān Fù yang berhasil kembali ke
Tiongkok
Setelah pengembaraannya yang memakan
waktu belasan tahun, Zhāng kembali ke Tiongkok, dan dia bersemangat untuk
mendiskusikan keajaiban yang dia lihat di kerajaan Dàyuān di Ferghana. "Dàyuān terletak
di barat daya wilayah Xiōngnú, sekitar 10.000 li atau sekitar 5.000
kilometer, tepat di sebelah barat Tiongkok. Penduduknya bermukim di tanah
pertanian, membajak ladang, menanam padi dan gandum. Mereka juga membuat minuman
keras dari buah anggur. Orang-orang tinggal di rumah di kota-kota yang
berbentuk benteng. Di sana terdapat sekitar tujuh puluh atau lebih kota dengan
berbagai ukuran. Populasinya berjumlah beberapa ratus ribu orang." (Shiji,
123, kutipan Zhāng Qiān, terjemahan Burton Watson). Selain beras, gandum, dan
anggur, wilayah ini juga menghasilkan kuda-kuda "surgawi" yang
tangguh.
Kuda Ferghana menjadi komoditi yang
sangat diinginkan di Tiongkok. Tiongkok mengimpor begitu banyak kuda sehingga
orang Dàyuān yang menguasai lembah Ferghana menolak menjual kuda lagi! Hal ini
menyebabkan konflik tiga tahun yang dikenal sebagai "Perang Kuda Surgawi".
Melalui penaklukan yang agresif pada 101 seb.M., Lembah Ferghana menjadi milik Kekaisan
Hàn. Penguasaan Lembah Ferghana juga membuka jalur ke Barat. Dengan pasokan
kuda baru, Hàn Tiongkok memproyeksikan kekuatan militer barunya di seluruh
Asia. Perluasan kendali Hàn membuahkan Pax Sinica ,atau "Abad
Keemasan Imperialis Tiongkok" yang pertama. Pada masa ini, standar hidup
di Tiongkok meningkat dan kota-kotanya bertambah besar. Pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas politik menyebabkan peningkatan permintaan barang-barang mewah dari
tempat yang jauh.
Pada saat Tiongkok bangkit menuju
kejayaan di Asia Timur, demikian juga halnya yang terjadi pada Kekaisaran
Romawi. Kemenangan Romawi dalam Perang Punisia memberi Roma kendali atas Laut
Mediterania bagian barat. Selama beberapa abad berikutnya, Roma memperluas
kekuasaannya dengan menguasai seluruh garis pantai Mediterania. Abad pertama Masehi
merupakan awal dari Pax Romana atau "Abad Keemasan Imperialis Romawi".
Pax Romana berlangsung sekitar 200 tahun dan merupakan zaman dengan periode
perang yang relatif sedikit. Seperti halnya Hàn Tiongkok, stabilitas politik
menghasilkan lebih banyak perdagangan. Roma memperoleh akses ke jalur
perdagangan luar negeri ke India melalui Mesir dan mulai berdagang secara
teratur.
Selama abad permulaan Masehi ada dua
negara adidaya di dunia. Meskipun Romawi dan Hàn Tiongkok berkembang pesat,
masih ada jarak yang jauh yang menghalangi mereka untuk berkonflik satu sama
lain. Asia Tengah ditutupi oleh pegunungan, gurun, dan padang rumput yang luas.
Hanya para pedagang yang menjadi penghubung penting di antara kekaisaran Romawi
dan Hàn Tiongkok. Kita akan meninjau Jalur Sutra sesungguhnya, yang terbentuk
dari jaringan rute jalan yang membentang sepanjang kira-kira 4.000 mil atau
6.400 kilometer, atau setara dengan delapan kali lipat dari jarak Jakarta
menuju Surabaya.
Jalur Sutra Darat terbagi menjadi dua, yakni Jalur Sutra Utara dan Jalur Sutra Selatan. Titik paling timur dari jalur utara adalah Cháng'ān (长安), sebuah kota penting di Tiongkok tengah. Cháng'ān adalah kotaraja lebih dari sepuluh dinasti Tiongkok yang berbeda. Rute utara menjadi populer sekitar abad pertama seb.M. dan merupakan gagasan dari Kaisar Wǔ. Dari Chang’an, rute ini menuju arah barat laut melalui provinsi Shǎnxī (陕西) dan Gānsù (甘肃) di Tiongkok, sebelum terbagi menjadi tiga sub-rute yang berbeda.
Sub-rute 1 menyusuri barisan pegunungan
di sisi utara Gurun Taklamakan. Sub-rute 2 menyusuri barisan pegunungan di sisi
selatan Gurun Taklamakan. Sedangkan Sub-rute 3 menuju ke utara Pegunungan Tiān
Shān melalui Turpan, Talgar dan Almaty di tempat yang sekarang menjadi wilayah
tenggara Republik Kazakhstan. Pembaca bisa memperhatikan Peta yang ditunjukkan
pada Gambar yang menyertai artikel ini. Sub-rute 1 dan Sub-rute 2 bertemu kembali di Kashgar, sebuah
kota oasis di Xīnjiāng saat ini. Setelah Kashgar rute utara terbagi lagi di
sebelah barat Kashgar, dengan cabang selatan mengarah ke Lembah Alai menuju
Termez (di Uzbekistan modern) dan Balkh (Afghanistan). Sementara cabang lainnya
melewati Kokand di Lembah Ferghana (di Uzbekistan timur saat ini), dan kemudian
menuju barat melintasi Gurun Karakum. Kedua rute tersebut bergabung dengan rute
utama selatan sebelum mencapai Merv kuno, Turkmenistan. Cabang lain dari jalur
utara berbelok ke barat laut melewati Laut Aral dan utara Laut Kaspia, lalu
terus ke Laut Hitam.
Jalur selatan berangkat dari Tiongkok
melalui pegunungan Karakoram. Oleh karena itu, jalur ini juga dikenal sebagai Jalur
Karakoram. Pegunungan Karakoram membentang di perbatasan Pakistan, India, dan
Tiongkok, serta meluas hingga Afghanistan dan Tajikistan di barat laut. Di
sebelah barat pegunungan Karakoram, jalur selatan memiliki banyak jalur yang
mengarah ke selatan menuju ke laut, karena banyak pedagang ingin melanjutkan
perjalanan dengan kapal daripada melalui darat. Bagi mereka yang tidak menuju
ke selatan melewati lautan, jalur selatan dilanjutkan melewati pegunungan Hindu
Kush. Dari sana masuk ke Afghanistan, bergabung dengan jalur utara sebelum
mencapai Merv di Turkmenistan.
Dari Merv, rute selatan mengarah ke
barat hampir dalam garis lurus, melalui Iran Utara, Mesopotamia, dan tepi utara
Gurun Suriah, untuk mencapai Levant. Di sana kapal-kapal menunggu untuk membawa
kargo berharga melintasi Laut Mediterania ke Eropa Selatan. Perjalanan lanjutan
melalui darat juga dimungkinkan dari Levant, baik ke utara melalui Anatolia
atau ke selatan ke Afrika Utara. Ada juga cabang Jalur Sutra yang berangkat
dari Herat di Afghanistan ke kota pelabuhan kuno Charax Spasinu di Teluk
Persia, melewati Susa dalam perjalanannya. Dari Charax Spasinu, perjalanan
dilanjutkan dengan kapal laut menuju berbagai pelabuhan Mediterania, seperti
Petra.
Orang banyak beranggapan bahwa seorang
pedagang atau penjelajah memulai perjalanannya dari ujung timur, yakni Kotaraja
Cháng'ān. Kemudian dia menyusuri jarak sepanjang 6.400 km menuju barat, hingga
tiba di satu kota di Eropa Selatan. Dalam kenyataannya hanya sedikit orang yang
berhasil melakukannya. Jika dia ingin menjalankan rencana gilanya ini mungkin
dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau melebihi waktu dua tahun. Jalur Sutra
bukanlah jalan tol yang mulus, namun melewati medan alam yang berbahaya. Kondisi
jalan raya umumnya buruk, karena sebagian besar merupakan tanah tak-bertuan.
Ada pegunungan yang sukar untuk didaki, dan ada pula padang pasir yang
mahaluas. Sepanjang perjalanan orang akan dihadang dengan cuaca panas, angin
kencang, hujan deras, dan bahkan iklim yang sangat dingin. Di jalur itu pun
banyak begal atau perampoknya, yang akan menghadang setiap orang yang lewat.
Pedagang harus menemukan cara untuk
memindahkan barang mereka secara efisien. Untuk melakukan perjalanan darat
melalui medan yang berat di Asia Tengah, para pedagang wajib memilih moda
transportasi yang diandalkan. Di jalur sub-rute 1 dan sub-rute 2 para
penjelajah harus melintasi Gurun Taklamakan. Ini adalah rintangan alam yang
amat berat. Tanpa menyiapkan perlengkapan yang memadai, maka mereka yang melintasi
gurun ini sama saja dengan menjemput maut. Masyarakat nomaden di Asia Tengah
mulai memelihara unta sejak milenium kedua sebelum Masehi. Misalnya, suku Hàn
Tiongkok menggunakan unta yang ditangkap dari Xiōngnú untuk membawa perbekalan
militer. Unta dapat bertahan dalam kondisi gurun yang keras di Asia Tengah dan
juga mampu membawa beban hingga 250 kilogram sekaligus! Hewan pengangkut –
terutama unta – membuat pengangkutan barang melalui darat di Jalur Sutra dapat
dilakukan. Tentu saja sepanjang jalur 4.000 mil ini orang memanfaatkan moda
transportasi yang berbeda. Kadang dipergunakan kuda atau keledai, dan pada
wilayah dingin mereka memanfaatkan yak, sapi tibet yang tahan udara
dingin.
Di padang pasir yang tidak bertepi
manusia berhadapan dengan lingkungan yang ekstrim dan kejam. Sejauh mata
memandang hanya terlihat hamparan pasir yang tidak bertepi. Matahari yang
bersinar di langit menambah hawa panas yang menerpa tubuh, belum lagi angin
gurun yang kerap bertiup membawa semburan pasir halus, sehingga sulit bagi mata
kita untuk menatap ke depan. Di tengah udara panas dan tubuh berkeringat, orang
tergoda untuk selalu meminta minum, padahal persediaan air yang dibawa amatlah
terbatas. Untuk mencari sumber air terdekat hanya bisa didapatkan di beberapa
oasis, yang letaknya paling dekat berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Jika di
siang hari udara panas mencekat, maka di malam hari hawa dingin menyerang tubuh
tanpa ampun.
Untunglah ada hewan yang bisa hidup di
gurun dengan mudah. Unta sudah dibudidayakan oleh masyarakat Baktria sejak
ribuan tahun yang lampau, Punuk unta sering dikaitkan dengan kemampuan hewan
ini untuk bertahan lama tanpa minum. Tapi punuk unta tidak berisi air di
dalamnya. Sebaliknya punuk hewan ini menyimpan lemak. Unta umumnya hidup di
daerah dengan persediaan air dan vegetasi yang terbatas. Simpanan lemak mereka
dapat diubah menjadi energi, ketika mereka tidak memiliki akses terhadap sumber
daya yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Unta dapat bertahan seminggu
tanpa minum dan lebih dari sebulan tanpa makan.
Unta jarang berkeringat. Mereka jauh
lebih baik daripada kita dalam menoleransi cuaca panas. Suhu tubuh mereka
berfluktuasi, naik di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan,
dan turun di malam hari saat cuaca lebih dingin. Mungkin tampak aneh melihat
unta yang berbulu jika ditemukan di gurun yang sangat panas, namun bulu mereka
sebenarnya berfungsi sebagai penyekat, melindungi mereka dari panas. Agar dapat
bertahan dalam waktu lama di daerah kering, unta juga telah beradaptasi untuk
meminimalkan jumlah air yang hilang. Misalnya, unta memiliki urin yang kental
seperti sirup, serta kotorannya sangat kering sehingga dapat digunakan sebagai arang
yang cepat terbakar. Unta dapat menahan kehilangan hingga bobot air di tubuhnya
hingga 30 persen, jauh lebih banyak daripada kemampuan mamalia lain untuk
bertahan hidup. Tapi hewan ini tidak bisa hidup tanpa air selamanya. Ketika unta
berkesempatan minum di oasis, mereka menyedot cairan dalam jumlah besar dengan
cukup cepat, namun mereka tidak menyimpannya di dalam tubuhnya, tetapi cairan
tersebut cukup untuk merehidrasi dirinya sendiri.
Lingkungan gurun menawarkan pilihan
makanan yang terbatas bagi unta herbivora. Unta Dromedari dan Baktria
kebanyakan memakan daun kasar dan berduri yang kaya serat, dengan akses ke
beberapa semak, pohon, tumbuhan, dan rerumputan liar. Tetapi unta dengan senang
hati mengunyah tanaman berduri. Bibir dan lidah mereka keras, dan mulut mereka
dilapisi papila yang kuat (tonjolan berdaging). Ini membantu unta mampu memanipulasi
dan menelan makanannya, tetapi juga mencegahnya agar tidak tergores, tertusuk,
atau terluka pada mulutnya. Saat unta menelan rumput atau tanaman, pakan itu
masuk ke dalam ruang perutnya yang disebut rumen, tempat apa yang ditelannya
mulai berfermentasi dan melunak dengan bantuan mikroba. Sama seperti sapi yang
memamah-biak, unta pun mengolah makanan yang ditelannya dengan cara yang
serupa, sebelum makanan itu dapat tercerna dengan baik.
Mereka yang melintasi Jalur Sutra bersiasat
melindungi diri mereka, dengan cara para pedagang berkumpul dan berkonvoi dalam
jumlah besar. Untuk mengarungi Gurun Taklamakan yang keras dan kejam itu,
mereka banyak melakukan perjalanan di musim dingin. Mereka membawa karavan
dengan bantuan unta atau hewan pengangkut lainnya. Umumnya kumpulan pedagang
ini adalah pedagang setempat yang menyalurkan komoditi di wilayah yang biasa
mereka jelajahi. Jadi banyak pedagang perantara atau middle man di
sepanjang Jalur Sutra. Seiring berjalannya waktu, penginapan besar yang disebut
caravanserai muncul menjadi rumah bagi para pedagang tersebut. Caravanserai
boleh disetarakan dengan hotel-singgah bagi para pedagang yang kelelahan ini.
Di tempat ini mereka bisa beristirahat, tidur hingga tenaga mereka pulih
kembali, dan barang-barang berharga bisa disimpan dengan aman. Unta dan hewan
pengangkut lainnya turut melepas lelah, dan biasanya tersedia cukup air dan
rumput yang bisa mereka minum dan makan.
Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/240404
Tidak ada komentar:
Posting Komentar