Kamis, 04 April 2024

JALUR SUTRA


 

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Jika kita menyebut "Jalur Sutra" atau dalam bahasa Inggris "the Silk Road", atau 丝绸之路 (Sīchóu Zhī Lù), itu merupakan jaringan jalur perdagangan Eurasia yang aktif sejak abad ke-2 seb.M. hingga pertengahan abad ke-15. Orang secara sembrono menerjemahkannya sebagai "Jalan Sutra", yang sebenarnya keliru. Dalam kenyataanya ada beberapa rute jalan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman, namun jaringan jalur ini membentang dari ujung timur Asia hingga benua Eropa. Nama "Jalur Sutra" bukanlah berasal dari bangsa Tiongkok, seperti yang sering dikira orang. Nama ini pertama kali diciptakan pada akhir abad ke-19 oleh orang Jerman yang bernama Ferdinand von Richthofen, dengan sebutan Seidenstraße, yang secara harfiah berarti "Jalan Sutra". Beliau melakukan tujuh ekspedisi ke Tiongkok dari tahun 1868 hingga 1872, dan nama ini pertama kali dipopulerkan pada tahun 1877.

 

Mengapa dinamakan "Jalur Sutra"? Hal ini mengacu pada komoditi yang diperdagangkan di sana. Sutra adalah bahan busana yang paling berharga di zaman kuno dan pertama kali serangga penghasil serat sutra berhasil dibudidayakan oleh bangsa Tiongkok. Sutra merupakan serat protein alami yang diproduksi oleh larva serangga tertentu. Setelah mencapai umurnya larva ulat berproses menjadi kepompong. Serat protein sutra terutama terdiri dari fibroin yang dipanen setelah kepompongnya masak. Sutra paling terkenal diperoleh dari kepompong larva ulat-sutra-murbei atau Bombyx Mori yang dipelihara di penangkaran, bukan yang diambil begitu saja dari alam. "Sutra liar" bisa pula dihasilkan oleh ulat sutra liar, yang mana serangga ini terdapat di Tiongkok, Asia Selatan, dan Eropa. Sejak zaman kuno orang telah memanen ulat sutra liar, tetapi skala produksinya selalu jauh lebih kecil daripada ulat sutra budidaya. Sutra liar berbeda dari sutra ternakan dari segi warna dan tekstur. Kepompong liar yang dikumpulkan orang dari alam biasanya sudah dirusak oleh ngengat yang tinggal di sana, sebelum kepompong tersebut masak sehingga benang sutra yang dipanen mudah putus menjadi serat berukuran pendek, yang membuat kualitasnya jelek. Kelemahan serat sutra liar yang sering dijumpai pengrajin, terjadi saat mereka mencelupkan benang atau kain ke dalam zat pewarna. Produk sutra ini lebih sulit menyerap pewarna dibandingkan dengan produk serupa yang dihasilkan dari serat sutra budidaya.

 

Mungkin Anda pernah melihat ulat sutra peliharaan peternak, yang diberi makan daun murbei dalam kotak-kotak penangkaran. Si ulat yang berwarna putih ini cepat tumbuh besar karena dipasok oleh daun murbei segar sepanjang masa hidupnya. Setelah mencapai tahap kepompong dan telah cukup umur, makhluk ini dibunuh dengan cara dicelupkan ke dalam air mendidih, sebelum serangga ini memasuki tahap pembentukan ngengat-sutra. Atau kepompongnya ditusuk dengan jarum, sehingga seluruh sisa tubuhnya dapat diurai menjadi untaian benang yang tak-terputus. Proses ini membuat serat sutra bisa dipintal menjadi benang yang liat dan kuat, serta selanjutnya bisa ditenun menjadi sehelai kain panjang. Tampilan serat sutra yang berkilauan disebabkan oleh struktur serat yang menyerupai prisma segitiga, yang membuat kain sutra yang dihasilkan mampu membiaskan cahaya yang masuk dari berbagai sudut berbeda, sehingga menghasilkan warna dan tampilan yang bervariasi.

 

Di tangan para pengrajin yang terampil serat-serat yang telah memiliki aneka warna ini memasuki tahap berikutnya: menenun. Di sini sampailah kita pada mahakarya zaman kuno: sehelai kain brokat. Brokat adalah kain-timbul. Brokat yang paling sederhana adalah tenunan tiga benang berbeda: Benang lusi (vertikal) dan benang pakan (horizontal) –yang digunakan untuk membuat gulungan kain apa pun – ditambah benang pakan-tambahan yang mampu menciptakan pola hias nan menakjubkan. Metode fabrikasi ini memberikan ilusi sulaman yang terangkat ke depan. Di luar definisi sederhana ini, tidak ada yang bersahaja tentang brokat. Ini adalah bahan yang sangat bervariasi dan hampir setua peradaban itu sendiri. Brokat kuno dibuat dengan tangan menggunakan alat tenun konvensional. Meskipun prosesnya membosankan dan memakan waktu lama, namun popularitas kain brokat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Para pembuat busana menggunakan benang sutra untuk membuat brokat mewah yang dikenakan oleh bangsawan dan orang kaya.

 

Menurut legenda purba, kain sutra awalnya diperuntukkan bagi Kaisar Tiongkok untuk digunakan sendiri, atau dihadiahkan kepada orang tertentu. Namun kemudian kain sutra mulai diperkenalkan secara bertahap lewat budaya dan perdagangan, mula-mula menyebar ke seluruh negeri, kemudian ke banyak wilayah di Asia. Karena tekstur dan kilaunya, sutra dengan cepat menjadi kain mewah yang populer di banyak wilayah, sejauh yang dapat diakses oleh pedagang Tiongkok. Sutra sangat diminati dan menjadi komoditi pokok perdagangan internasional pra-industri. Sutra juga digunakan sebagai permukaan tulisan, terutama pada periode Negara-negara Berperang (475 - 221 seb.M.). Kain sutra itu ringan, tahan terhadap iklim lembab di wilayah Yangtze, menyerap tinta dengan baik, dan memberikan latar belakang putih pada teks yang umumnya berwarna hitam. Para kaisar Tiongkok berusaha keras merahasiakan pengetahuan tentang budidaya ulat sutra, untuk mempertahankan monopoli negeri besar ini. Meskipun sedemikian ketat mereka menjaga rahasianya, peternakan ulat sutra maupun pengiriman larva ulat sutra budidaya akhirnya sampai juga di Korea, berkat bantuan teknologi dari Tiongkok sekitar tahun 200 seb.M. Kemudian kerajaan kuno Khotan mendapatkannya pada tahun 50 M., dan setelah itu India pada tahun 140 M.

 

Siapa yang mempelopori adanya Jalur Sutra? Menurut catatan sejarah, jalur perdagangan ini bermula dari inisiatif Kekaisaran Hàn yang menginginkan meluasnya perdagangan dengan wilayah lain. Menjelang akhir abad kedua seb.M., Kaisar Wǔ dari Hàn (漢武帝, Hàn Wǔ Dì, 156 – 87 seb.M.) melakukan upaya besar untuk melawan suku Xiōngnú (匈奴) yang nomaden dan bermukim di Tiongkok Utara. Para penunggang kuda Xiōngnú seringkali menyerbu dan merampok penduduk Tiongkok di sepanjang perbatasan utara selama bertahun-tahun (ini juga alasan yang membuat rakyat Tiongkok membangun Tembok Besar). Guna menandingi kedigdayaan suku nomaden ini, Kaisar Wǔ mencari pasokan kuda baru untuk memperkuat pasukan kavalerinya. Dia mengirim utusan yang dikepalai oleh Zhāng Qiān (張騫), seorang politikus, diplomat dan penjelajah; dengan tujuan mencari sekutu baru dalam kampanye perangnya melawan Xiōngnú.

 

Pada tahun 138 seb.M., Zhāng berangkat menuju Wilayah Barat dengan disertai sembilan-puluh-sembilan anak buahnya untuk melakukan kontak, dan membangun aliansi dengan Yuè Zhī (月氏) di Tajikistas modern. Ia ditemani oleh seorang pemandu bernama Gān Fù (甘父), seorang Xiōngnú yang pernah ditangkap dalam perang sebelumnya. Namun untuk sampai ke wilayah Yuè Zhī mereka terpaksa melewati tanah yang dikuasai oleh Xiōngnú, yang mana mereka menangkap Zhāng dan rombongannya serta memperbudaknya selama tiga belas tahun. Selama masa ini dia menikah dengan orang Xiōngnú, yang memberinya seorang putera, dan akhirnya mendapatkan kepercayaan dari pemimpin suku itu. Zhāng dan Gān Fù (serta isteri dan putera Zhāng) akhirnya dapat melarikan diri dan sampai di Lop Nor. Selanjutnya mereka mengikuti tepi utara Cekungan Tarim, mengitari Pegunungan Kunlun, menuju daerah berbenteng kecil di tengah oasis, di tempat yang sekarang disebut Xinjiang. Setelah itu mereka tiba di Dàyuān (大宛), Uzbekistan modern, dan akhirnya ke tanah Yuè Zhī.

 

Suku Yuè Zhī adalah masyarakat agraris yang menghasilkan kuda yang kuat dan banyak tanaman yang tidak dikenal oleh rakyat Tiongkok, termasuk alfalfa untuk pakan ternak. Zhāng menghabiskan satu tahun di Yuè Zhī dan wilayah Baktria yang berdekatan, mendokumentasikan budaya, gaya hidup dan perekonomian mereka, sebelum memulai perjalanan kembali ke Tiongkok. Kali ini mereka berempat mengikuti tepi selatan Cekungan Tarim. Dalam perjalanan pulang dia kembali ditangkap oleh orang Xiōngnú, yang sekali lagi menyelamatkan nyawanya, karena mereka menghargai keberaniannya. Dua tahun kemudian pemimpin suku Xiōngnú meninggal dan di tengah kekacauan dan pertikaian di antara mereka, Zhāng Qiān melarikan diri. Dari misi awal yang berjumlah lebih dari seratus orang, hanya Zhāng Qiān dan Gān Fù yang berhasil kembali ke Tiongkok

 

Setelah pengembaraannya yang memakan waktu belasan tahun, Zhāng kembali ke Tiongkok, dan dia bersemangat untuk mendiskusikan keajaiban yang dia lihat di kerajaan Dàyuān di Ferghana. "Dàyuān terletak di barat daya wilayah Xiōngnú, sekitar 10.000 li atau sekitar 5.000 kilometer, tepat di sebelah barat Tiongkok. Penduduknya bermukim di tanah pertanian, membajak ladang, menanam padi dan gandum. Mereka juga membuat minuman keras dari buah anggur. Orang-orang tinggal di rumah di kota-kota yang berbentuk benteng. Di sana terdapat sekitar tujuh puluh atau lebih kota dengan berbagai ukuran. Populasinya berjumlah beberapa ratus ribu orang." (Shiji, 123, kutipan Zhāng Qiān, terjemahan Burton Watson). Selain beras, gandum, dan anggur, wilayah ini juga menghasilkan kuda-kuda "surgawi" yang tangguh.

 

Kuda Ferghana menjadi komoditi yang sangat diinginkan di Tiongkok. Tiongkok mengimpor begitu banyak kuda sehingga orang Dàyuān yang menguasai lembah Ferghana menolak menjual kuda lagi! Hal ini menyebabkan konflik tiga tahun yang dikenal sebagai "Perang Kuda Surgawi". Melalui penaklukan yang agresif pada 101 seb.M., Lembah Ferghana menjadi milik Kekaisan Hàn. Penguasaan Lembah Ferghana juga membuka jalur ke Barat. Dengan pasokan kuda baru, Hàn Tiongkok memproyeksikan kekuatan militer barunya di seluruh Asia. Perluasan kendali Hàn membuahkan Pax Sinica ,atau "Abad Keemasan Imperialis Tiongkok" yang pertama. Pada masa ini, standar hidup di Tiongkok meningkat dan kota-kotanya bertambah besar. Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menyebabkan peningkatan permintaan barang-barang mewah dari tempat yang jauh.

 

Pada saat Tiongkok bangkit menuju kejayaan di Asia Timur, demikian juga halnya yang terjadi pada Kekaisaran Romawi. Kemenangan Romawi dalam Perang Punisia memberi Roma kendali atas Laut Mediterania bagian barat. Selama beberapa abad berikutnya, Roma memperluas kekuasaannya dengan menguasai seluruh garis pantai Mediterania. Abad pertama Masehi merupakan awal dari Pax Romana atau "Abad Keemasan Imperialis Romawi". Pax Romana berlangsung sekitar 200 tahun dan merupakan zaman dengan periode perang yang relatif sedikit. Seperti halnya Hàn Tiongkok, stabilitas politik menghasilkan lebih banyak perdagangan. Roma memperoleh akses ke jalur perdagangan luar negeri ke India melalui Mesir dan mulai berdagang secara teratur.

 

Selama abad permulaan Masehi ada dua negara adidaya di dunia. Meskipun Romawi dan Hàn Tiongkok berkembang pesat, masih ada jarak yang jauh yang menghalangi mereka untuk berkonflik satu sama lain. Asia Tengah ditutupi oleh pegunungan, gurun, dan padang rumput yang luas. Hanya para pedagang yang menjadi penghubung penting di antara kekaisaran Romawi dan Hàn Tiongkok. Kita akan meninjau Jalur Sutra sesungguhnya, yang terbentuk dari jaringan rute jalan yang membentang sepanjang kira-kira 4.000 mil atau 6.400 kilometer, atau setara dengan delapan kali lipat dari jarak Jakarta menuju Surabaya.

 

Jalur Sutra Darat terbagi menjadi dua, yakni Jalur Sutra Utara dan Jalur Sutra Selatan. Titik paling timur dari jalur utara adalah Cháng'ān (长安), sebuah kota penting di Tiongkok tengah. Cháng'ān adalah kotaraja lebih dari sepuluh dinasti Tiongkok yang berbeda. Rute utara menjadi populer sekitar abad pertama seb.M. dan merupakan gagasan dari Kaisar Wǔ. Dari Chang’an, rute ini menuju arah barat laut melalui provinsi Shǎnxī (陕西) dan Gānsù () di Tiongkok, sebelum terbagi menjadi tiga sub-rute yang berbeda.

 

Sub-rute 1 menyusuri barisan pegunungan di sisi utara Gurun Taklamakan. Sub-rute 2 menyusuri barisan pegunungan di sisi selatan Gurun Taklamakan. Sedangkan Sub-rute 3 menuju ke utara Pegunungan Tiān Shān melalui Turpan, Talgar dan Almaty di tempat yang sekarang menjadi wilayah tenggara Republik Kazakhstan. Pembaca bisa memperhatikan Peta yang ditunjukkan pada Gambar yang menyertai artikel ini. Sub-rute 1 dan  Sub-rute 2 bertemu kembali di Kashgar, sebuah kota oasis di Xīnjiāng saat ini. Setelah Kashgar rute utara terbagi lagi di sebelah barat Kashgar, dengan cabang selatan mengarah ke Lembah Alai menuju Termez (di Uzbekistan modern) dan Balkh (Afghanistan). Sementara cabang lainnya melewati Kokand di Lembah Ferghana (di Uzbekistan timur saat ini), dan kemudian menuju barat melintasi Gurun Karakum. Kedua rute tersebut bergabung dengan rute utama selatan sebelum mencapai Merv kuno, Turkmenistan. Cabang lain dari jalur utara berbelok ke barat laut melewati Laut Aral dan utara Laut Kaspia, lalu terus ke Laut Hitam.

 

Jalur selatan berangkat dari Tiongkok melalui pegunungan Karakoram. Oleh karena itu, jalur ini juga dikenal sebagai Jalur Karakoram. Pegunungan Karakoram membentang di perbatasan Pakistan, India, dan Tiongkok, serta meluas hingga Afghanistan dan Tajikistan di barat laut. Di sebelah barat pegunungan Karakoram, jalur selatan memiliki banyak jalur yang mengarah ke selatan menuju ke laut, karena banyak pedagang ingin melanjutkan perjalanan dengan kapal daripada melalui darat. Bagi mereka yang tidak menuju ke selatan melewati lautan, jalur selatan dilanjutkan melewati pegunungan Hindu Kush. Dari sana masuk ke Afghanistan, bergabung dengan jalur utara sebelum mencapai Merv di Turkmenistan.

 

Dari Merv, rute selatan mengarah ke barat hampir dalam garis lurus, melalui Iran Utara, Mesopotamia, dan tepi utara Gurun Suriah, untuk mencapai Levant. Di sana kapal-kapal menunggu untuk membawa kargo berharga melintasi Laut Mediterania ke Eropa Selatan. Perjalanan lanjutan melalui darat juga dimungkinkan dari Levant, baik ke utara melalui Anatolia atau ke selatan ke Afrika Utara. Ada juga cabang Jalur Sutra yang berangkat dari Herat di Afghanistan ke kota pelabuhan kuno Charax Spasinu di Teluk Persia, melewati Susa dalam perjalanannya. Dari Charax Spasinu, perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju berbagai pelabuhan Mediterania, seperti Petra.

 

Orang banyak beranggapan bahwa seorang pedagang atau penjelajah memulai perjalanannya dari ujung timur, yakni Kotaraja Cháng'ān. Kemudian dia menyusuri jarak sepanjang 6.400 km menuju barat, hingga tiba di satu kota di Eropa Selatan. Dalam kenyataannya hanya sedikit orang yang berhasil melakukannya. Jika dia ingin menjalankan rencana gilanya ini mungkin dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau melebihi waktu dua tahun. Jalur Sutra bukanlah jalan tol yang mulus, namun melewati medan alam yang berbahaya. Kondisi jalan raya umumnya buruk, karena sebagian besar merupakan tanah tak-bertuan. Ada pegunungan yang sukar untuk didaki, dan ada pula padang pasir yang mahaluas. Sepanjang perjalanan orang akan dihadang dengan cuaca panas, angin kencang, hujan deras, dan bahkan iklim yang sangat dingin. Di jalur itu pun banyak begal atau perampoknya, yang akan menghadang setiap orang yang lewat.

 

Pedagang harus menemukan cara untuk memindahkan barang mereka secara efisien. Untuk melakukan perjalanan darat melalui medan yang berat di Asia Tengah, para pedagang wajib memilih moda transportasi yang diandalkan. Di jalur sub-rute 1 dan sub-rute 2 para penjelajah harus melintasi Gurun Taklamakan. Ini adalah rintangan alam yang amat berat. Tanpa menyiapkan perlengkapan yang memadai, maka mereka yang melintasi gurun ini sama saja dengan menjemput maut. Masyarakat nomaden di Asia Tengah mulai memelihara unta sejak milenium kedua sebelum Masehi. Misalnya, suku Hàn Tiongkok menggunakan unta yang ditangkap dari Xiōngnú untuk membawa perbekalan militer. Unta dapat bertahan dalam kondisi gurun yang keras di Asia Tengah dan juga mampu membawa beban hingga 250 kilogram sekaligus! Hewan pengangkut – terutama unta – membuat pengangkutan barang melalui darat di Jalur Sutra dapat dilakukan. Tentu saja sepanjang jalur 4.000 mil ini orang memanfaatkan moda transportasi yang berbeda. Kadang dipergunakan kuda atau keledai, dan pada wilayah dingin mereka memanfaatkan yak, sapi tibet yang tahan udara dingin.

 

Di padang pasir yang tidak bertepi manusia berhadapan dengan lingkungan yang ekstrim dan kejam. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir yang tidak bertepi. Matahari yang bersinar di langit menambah hawa panas yang menerpa tubuh, belum lagi angin gurun yang kerap bertiup membawa semburan pasir halus, sehingga sulit bagi mata kita untuk menatap ke depan. Di tengah udara panas dan tubuh berkeringat, orang tergoda untuk selalu meminta minum, padahal persediaan air yang dibawa amatlah terbatas. Untuk mencari sumber air terdekat hanya bisa didapatkan di beberapa oasis, yang letaknya paling dekat berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Jika di siang hari udara panas mencekat, maka di malam hari hawa dingin menyerang tubuh tanpa ampun.

 

Untunglah ada hewan yang bisa hidup di gurun dengan mudah. Unta sudah dibudidayakan oleh masyarakat Baktria sejak ribuan tahun yang lampau, Punuk unta sering dikaitkan dengan kemampuan hewan ini untuk bertahan lama tanpa minum. Tapi punuk unta tidak berisi air di dalamnya. Sebaliknya punuk hewan ini menyimpan lemak. Unta umumnya hidup di daerah dengan persediaan air dan vegetasi yang terbatas. Simpanan lemak mereka dapat diubah menjadi energi, ketika mereka tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Unta dapat bertahan seminggu tanpa minum dan lebih dari sebulan tanpa makan.

 

Unta jarang berkeringat. Mereka jauh lebih baik daripada kita dalam menoleransi cuaca panas. Suhu tubuh mereka berfluktuasi, naik di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, dan turun di malam hari saat cuaca lebih dingin. Mungkin tampak aneh melihat unta yang berbulu jika ditemukan di gurun yang sangat panas, namun bulu mereka sebenarnya berfungsi sebagai penyekat, melindungi mereka dari panas. Agar dapat bertahan dalam waktu lama di daerah kering, unta juga telah beradaptasi untuk meminimalkan jumlah air yang hilang. Misalnya, unta memiliki urin yang kental seperti sirup, serta kotorannya sangat kering sehingga dapat digunakan sebagai arang yang cepat terbakar. Unta dapat menahan kehilangan hingga bobot air di tubuhnya hingga 30 persen, jauh lebih banyak daripada kemampuan mamalia lain untuk bertahan hidup. Tapi hewan ini tidak bisa hidup tanpa air selamanya. Ketika unta berkesempatan minum di oasis, mereka menyedot cairan dalam jumlah besar dengan cukup cepat, namun mereka tidak menyimpannya di dalam tubuhnya, tetapi cairan tersebut cukup untuk merehidrasi dirinya sendiri.

 

Lingkungan gurun menawarkan pilihan makanan yang terbatas bagi unta herbivora. Unta Dromedari dan Baktria kebanyakan memakan daun kasar dan berduri yang kaya serat, dengan akses ke beberapa semak, pohon, tumbuhan, dan rerumputan liar. Tetapi unta dengan senang hati mengunyah tanaman berduri. Bibir dan lidah mereka keras, dan mulut mereka dilapisi papila yang kuat (tonjolan berdaging). Ini membantu unta mampu memanipulasi dan menelan makanannya, tetapi juga mencegahnya agar tidak tergores, tertusuk, atau terluka pada mulutnya. Saat unta menelan rumput atau tanaman, pakan itu masuk ke dalam ruang perutnya yang disebut rumen, tempat apa yang ditelannya mulai berfermentasi dan melunak dengan bantuan mikroba. Sama seperti sapi yang memamah-biak, unta pun mengolah makanan yang ditelannya dengan cara yang serupa, sebelum makanan itu dapat tercerna dengan baik.

 

Mereka yang melintasi Jalur Sutra bersiasat melindungi diri mereka, dengan cara para pedagang berkumpul dan berkonvoi dalam jumlah besar. Untuk mengarungi Gurun Taklamakan yang keras dan kejam itu, mereka banyak melakukan perjalanan di musim dingin. Mereka membawa karavan dengan bantuan unta atau hewan pengangkut lainnya. Umumnya kumpulan pedagang ini adalah pedagang setempat yang menyalurkan komoditi di wilayah yang biasa mereka jelajahi. Jadi banyak pedagang perantara atau middle man di sepanjang Jalur Sutra. Seiring berjalannya waktu, penginapan besar yang disebut caravanserai muncul menjadi rumah bagi para pedagang tersebut. Caravanserai boleh disetarakan dengan hotel-singgah bagi para pedagang yang kelelahan ini. Di tempat ini mereka bisa beristirahat, tidur hingga tenaga mereka pulih kembali, dan barang-barang berharga bisa disimpan dengan aman. Unta dan hewan pengangkut lainnya turut melepas lelah, dan biasanya tersedia cukup air dan rumput yang bisa mereka minum dan makan.

 

Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240404

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar