Kamis, 21 Maret 2024

MAHĀMAUDGALYĀYANA



Mahāmaudgalyāyana (Sans.) atau Mahā Moggallāna (Pali), yang  bermakna Maudgalyāyana Yang Agung, untuk membedakannya dengan Maudgalyāyana yang lain. Mahāmaudgalyāyana lahir dengan nama Kolita, adalah salah satu murid kepala Sang Buddha; dan dia sering kali disandingkan dengan Śāriputra (Pali: Sāriputta). Dalam bahasa Mandarin Mahāmaudgalyāyana dipanggil 目連 / 摩诃目犍乾连 (Mù Lián / Mó Hē Mù Jiān Qián Lián). Penulis pernah menerbitkan artikel perihal riwayat hidup Śāriputra. Para pembaca bisa melihat kembali tulisan tersebut untuk membandingkannya dengan artikel kita hari ini.

 

Seperti yang pernah dikisahkan sebelumnya, kira-kira 2600 tahun yang lalu di dua dusun brahmana di India, yang letaknya tidak begitu jauh dari kota Rājagaha, yakni kotaraja Kerajaan Magadha Kuno. Sebelum Buddha yang kita kenal muncul di dunia ini, seorang wanita brahmana yang bernama Moggallī, yang bertempat tinggal di di sana sekali waktu hamil. Kejadian yang serupa dialami pula oleh wanita brahmana kedua yang tinggal di dusun yang berdekatan. Wanita itu bernama Rūpasārī, juga hamil pada hari yang bersamaan. Dua keluarga brahmana ini sesungguhnya telah lama bersahabat satu sama lainnya, bukan saja terbatas antar dua keluarga, namun persahabatan mereka telah terjalin selama tujuh generasi. Sejak hari pertama kehamilan kedua wanita brahmana itu, keluarga besar mereka merawat dengan penuh ketelatenan kepada kedua calon ibu tadi, hingga sepuluh bulan ke depan. Setelah genap sepuluh bulan kedua wanita brahmana itu melahirkan masing-masing seorang bayi lelaki, juga berbarengan pada hari yang sama. Pada hari pemberian-nama putera Moggallī menerima nama Kolita, mengingat ia adalah anak lelaki keluarga terpandang di desa itu. Dengan alasan yang sama putera Rūpasārī dinamakan Upatiṣya.

 

Ketika kedua anak lelaki itu bertumbuh-kembang mereka berdua dididik dengan baik dan menguasai semua ilmu pengetahuan yang tersedia di zaman itu. Sekali waktu di Rājagaha diadakan satu acara tahunan, yang dinamakan "Perayaan Puncak Bukit". Di zaman kuno yang mana setiap orang sibuk setiap hari mencari nafkah, tidak banyak pilihan untuk mencari hiburan. Bagi masyarakat masa itu satu-satunya acara tahunan yang ditunggu-tunggu adalah pasar malam yang bisa dinikmati oleh setiap penduduk. Di atas panggung yang digelar di sana, para aktor dan artis mempertontonkan kebisaan mereka untuk menghibur para pennton. Ketika pertunjukan memancing pemirsa untuk tertawa, mereka semua ikut tertawa; sewaktu permainan berubah menjadi menegangkan, mereka semua menyaksikannya dengan rasa tegang. Sampai hari ketiga, kedua sahabat ini masih menikmati pertunjukan itu. Namun di akhir hari tersebut, pikiran-pikiran yang aneh membayangi batin mereka, sebegitu rupa sampai mereka tidak mampu lagi tertawa atau berbagi sensasi ketegangan atas pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Selagi mereka berdua duduk di sana, sambil menonton drama dan tari-tarian, hanya dalam hitungan sekejap mata, bayangan hantu kefanaan-manusia mendadak muncul dalam visi batin mereka. Bayangan siluman kegelapan itu yang walaupun muncul hanya sekilas, membuat sikap batin mereka tidak pernah sama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Bagi keduanya, suasana hati yang muram ini secara perlahan-lahan mengkristal menjadi satu pertanyaan yang mencuat: "Apa gerangan yang kalian cari di sini? Sebelum orang-orang di sini mencapai usia seratus tahun, mereka semua telah menemui ajalnya. Bukankah sebaiknya kita mencari ajaran tentang kebebasan dari semua hantu kegelapan ini?"

 

Keduanya saling bertatapan satu sama lain, lalu bersama para pengikutnya mereka beranjak pergi dari pesta rakyat itu. Setelah sampai di dusun mereka, Kolita dan Upatiṣya sepakat untuk pergi mengembara guna mencari seorang guru spiritual. Keduanya berharap dengan bantuan seorang guru yang mumpuni, mereka bisa meniti jalan menuju kebebasan. Pada waktu itu di Rājagaha menetap seorang petapa pengelana atau paribbājaka yang bernama Sañjaya, yang memiliki banyak siswa. Setelah memutuskan untuk menerima penahbisan dari dia, Kolita dan Upatiṣya menemuinya, dengan mengajak pengikut mereka yang masing-masing berjumlah lima ratus orang brahmana muda. Semuanya menerima penahbisan dari Sañjaya. Sejak mereka semua menjadi pengikutnya, reputasi Sañjaya menanjak dengan cepat dan dukungan terhadapnya pun melimpah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kedua sahabat itu telah selesai mempelajari seluruh ajaran Sañjaya. Kemudian mereka mendatanginya dan bertanya: "Wahai, Guru, apakah ajaranmu hanya sampai sejauh ini, atau masih ada kelanjutannya?" Sañjaya menjawab: "Sejauh ini hanya itu yang dapat aku ajarkan. Kalian berdua telah merampungkannya." Mendengar jawaban Sañjaya, mereka berdua berpikir: "Jika demikian keadaannya, adalah sia-sia belaka kami melanjutkan kehidupan suci di bawah bimbingannya. Kami telah pergi dari kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa-rumah guna memperoleh ajaran tentang pembebasan, tetapi di bawah pengajarannya kami tidak berhasil mendapatkannya. Jambudvipa ini begitu luas, dan jika kami mengembara melalui desa-desa, kota-kota, dan kota raja, kami pasti akan menemukan lagi seorang guru yang dapat menunjukkan jalan yang sedang kami cari."

 

Dan dengan keyakinan sedemikian, kapan saja mereka mendengar ada petapa atau brahmana yang bijaksana di satu tempat, mereka langsung pergi ke sana dan mempelajari doktrin mereka. Setelah berkelana ke seluruh Jambudvipa, mereka akhirnya kembali ke Rājagaha. Di sana mereka membuat satu perjanjian yang menyatakan bahwa barang siapa yang pertama kali menemukan Yang Tanpa-Kematian, akan segera memberitahukannya kepada yang lain. Itu adalah ikrar-persaudaraan, yang terlahir dari persahabatan sejati di antara dua orang muda. Selang beberapa waktu kemudian, Yang Terberkahi, Sang Buddha, melakukan perjalanan ke Rājagaha. Diantara enam puluh satu orang arahanta yang mana Sang Guru mengirimkan mereka ke seantero negeri untuk menyebarkan pesan pembebasan kepada dunia, ada seorang siswa sesepuh yang bernama Aśvajit. Aśvajit adalah salah satu dari lima petapa yang melayani Sang Bodhisattva ketika beliau mempraktikkan asketisme ekstrim, dan dia sendiri juga salah satu dari lima siswa Sang Buddha yang pertama.

 

Pada suatu pagi ketika Aśvajit sedang berjalan berkeliling di Rājagaha untuk mengumpulkan dana makanan, Upatiṣya melihatnya sewaktu dia berjalan dari pintu ke pintu sambil membawa mangkuk-sedekahnya. Terpesona oleh penampilan Aśvajit yang tenang dan berwibawa, Upatiṣya mengikutinya dan setelah sang petapa menyelesaikan makan siangnya. Upatiṣya menanyakan siapa gurunya dan apa isi ajarannya. Sebagai jawabannya, Sang Sesepuh Aśvajit mengutarakan syair berikut ini:

 

"Ye dhammā hetuppabhavā, tesaṃ hetuṃ Tathāgatāha; tesaṃ ca yo nirodho: evaṃvādi mahāsamaṇo." Terjemahannya :

 

"Dari semua fenomena yang muncul oleh suatu sebab,

Sang Tathāgata telah menyebutkan sebab tersebut;

Serta juga penghentiannya:

Demikianlah ajaran Sang Rahib Agung."

 

Pernyataan singkat Aśvajit, yang dikenal sebagai bait Ye Dhammā Hetu ("Dari semua fenomena ..."), secara tradisional digambarkan sebagai inti ajaran Buddha, dan merupakan syair yang paling banyak dituliskan di seluruh dunia Buddhis. Petikan ini dapat ditemukan di semua sekolah Buddhis, diukir di banyak media, serta dapat ditemukan di banyak patung Buddha dan stupa.  Filsuf Paul Carus menjelaskan bahwa bait tersebut merupakan tanggapan yang berani dan ikonoklastik terhadap tradisi Brahmanisme, karena bait tersebut "menolak keajaiban campur tangan supernatural dengan tanpa-syarat, serta mengakui hukum sebab dan akibat sebagai hal yang tidak dapat diintervensi"

 

Sesaat setelah mendengar dua bait syair yang pertama, seketika muncul dalam diri si pengelana Upatiṣya pandangan benar Dhamma yang jernih dan tanpa-noda penglihatan sekilas tentang Yang Tanpa-Kematian, yakni jalan menuju pemasuk-arus (tingkat kesucian pertama) serta pada akhir dua bait pamungkasnya, dia telah mendengarnya sebagai seorang pemasuk-arus. Dalam sekejap mata dia telah memahaminya: "Inilah makna pembebasan yang baru saja kutemukan!" Lalu dia berkata kepada sang sesepuh: "Dimana Guru kita bermukim?" - "Di Hutan Bambu, wahai petapa pengelana." - "Kalau begitu jalanlah terlebih dahulu, Yang Mulia. Aku mempunyai seorang sahabat yang dengannya aku telah membuat ikrar persaudaraan, yang mana aku terikat untuk membagi Dhamma yang baru saja kuperoleh. Aku akan memberitahukan dia terlebih dahulu, baru kemudian kami berdua akan datang menghadap Sang Guru." Upatiṣya lalu bersimpuh dengan kepalanya di kaki sang sesepuh, selanjutnya dia kembali ke taman para pengelana.

 

Kolita melihat kedatangan sahabatnya dari jauh dan dengan segera dia telah mengetahuinya: "Hari ini penampilan sahabatku sudah sedemikian berubah. Pasti dia telah menemukan Yang Tanpa-Kematian. Dan sewaktu dia ditanya, Upatiṣya menjawab: "Ya, benar wahai sahabatku, Yang Tanpa-Kematian telah kutemukan!" Selanjutnya Upatiṣya menceritakan perjumpaannya dengan Sang Sesepuh Aśvajit, serta ketika dia mengulangi bait-bait syair yang dilantunkannya, Kolita juga menjadi mapan dalam buah seorang pemasuk-arus. "

 

Selanjutnya kedua siswa tersebut, bersama dengan para pengikutnya, pergi untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu di bawah bimbingan Sang Buddha di Veṇuvana (Pali: Veḷuvana). Sejak penahbisan mereka, Upatiṣya dan Kolita masing-masing dikenal sebagai Śāriputra dan Maudgalyāyana, Maudgalyāyana adalah nama marga Kolita, yang diambil dari nama ibunya: Moggallī. Setelah ditahbiskan, semua orang kecuali Śāriputra dan Maudgalyāyana mencapai tataran Arhat (Pali: Arahat; tahap pencerahan terakhir). Maudgalyāyana dan Śāriputra mencapai pencerahan satu sampai dua minggu kemudian, Maudgalyāyana di Magadha, di sebuah desa bernama Kallavala. Pada saat itu, rasa kantuk menghalanginya untuk mencapai kemajuan lebih lanjut di jalan tersebut. Setelah dia mendapat penglihatan dari Sang Buddha yang menasihatinya bagaimana mengatasinya, dia mendapat terobosan dan mencapai pencerahan.

 

Śāriputra dianggap sebagai siswa utama Buddha yang pertama, terkemuka dalam kebijaksanaan, serta Maudgalyāyana yang kedua, termasyhur dalam kekuatan batinnya; seperti yang digambarkan dalam Mahāpadāna Sutta, sebagai "pasangan siswa utama, pasangan yang unggul". Dalam Mahāvagga, Sang Buddha menyatakan kedua siswa laki-laki utamanya sebagai yang terdepan dalam kebijaksanaan dan yang terdepan dalam kekuatan batin, masing-masing mengacu pada Śāriputra dan Maudgalyāyana. Tradisi Buddhis Theravāda menyatakan bahwa siswa utama pertama, Sariputra, biasanya duduk di sebelah kanan Sang Buddha, sedangkan siswa utama kedua, Maudgalyāyana, duduk di sebelah kirinya.

 

Tentu Anda para pembaca ingin tahu, apa yang membedakan antara peran siswa utama yang pertama dengan yang kedua. Hubungan yang terjalin, di antara dua siswa kepala berdiri satu sama lain dalam lingkup pengajaran, seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Saccavibhaṅga Sutta: "Harap dicontoh, oh para bhikkhu. Lihatlah Śāriputra dan Maudgalyāyana, dan tetap bersahabatlah dengan mereka berdua! Mereka adalah bhikkhu-bhikkhu yang bijaksana, juga sang penolong bagi bhikkhu lainnya. Śāriputra layaknya seorang ibu yang melahirkan, dan Maudgalyāyana bagaikan seorang perawat yang mengasuh sang bayi yang baru lahir. Śāriputra melatih (siswa-siswanya) hingga mencapai buah pemasuk-arus, serta Maudgalyāyana membimbing mereka hingga meraih sasaran akhir". (Majjhima Nikāya, 141)

 

Dalam khotbah tentang para murid yang unggul dalam kapasitas dan kualitas khusus (Aṅguttara Nikāya, 1:13), Sang Buddha bersabda bahwa Maudgalyāyana adalah yang terdepan di antara para Bhikkhu yang memiliki kemampuan magis. Dibandingkan dengan bhikkhu atau bhikkhuni lain yang hanya memiliki satu atau beberapa kemampuan magis, maka Maudgalyāyana memiliki semua kemampuan itu secara lengkap. Seperti kecakapan yang pertama: Menembus atau melakukan penetrasi terhadap pikiran orang lain dan membaca pikiran seseorang (diindonesiakan: telepati). Suatu ketika pada hari yang bertepatan dengan hari Uposatha, Sang Buddha duduk diam sepanjang malam di depan kumpulan para bhikkhu. Saat fajar menyingsing, dia hanya berkata: “Ketahuilah kalian, pasamuan para bhikkhu di sini tidak murni.” Setelah mendapat alasan mengapa Sang Guru tetap berdiam diri, dan tidak bersedia beranjak ke acara yang berikutnya, Moggallāna memindai dengan kekuatan pikirannya, keadaan batin para bhikkhu yang sedang berkumpul di ruangan itu. Dia menemukan salah satu penyusup, orang yang memakai pakaian bhikkhu dan mengaku sebagai salah satu anggota Sangha, namun sesungguhnya dia bukan bhikkhu. Maudgalyāyana menghampiri orang itu dan memintanya untuk segera ke luar dari sana. Ditegur seperti itu si oknum bhikkhu bergeming dan sang siswa kepala memintanya hingga tiga kali. Tetap saja orang itu tidak menggubrisnya, hingga Maudgalyāyana memegang lengannya, menyeretnya ke luar pintu, dan mencampakkannya ke pekarangan. Kemudian dia kembali ke tempatnya dan memohon kepada Sang Bhagavā untuk melafalkan Peraturan Disiplin Monastik atau Pātimokkha, karena sekarang kumpulan bhikkhu di dalamnya telah menjadi suci kembali. (Aṅguttara Nikāya, 8:20)

 

Suatu malam ketika Śāriputra pergi menemui Maudgalyāyana dia menemukan sahabatnya memiliki ekspresi yang begitu tenang, sehingga Śāriputra merasa tergerak untuk bertanya apakah Maudgalyāyana pernah berdiam di salah satu Kediaman Luhur (maksudnya, salah satu alam Dewa-Brahma). Maudgalyāyana menjawab dia hanya bermukim di tempat yang lebih rendah, tetapi dari sana dia mendengarkan ceramah tentang ajaran yang menggugahnya. Ketika ditanya siapa orang yang menyampaikan ajaran itu, dia menjawab bahwa ajaran itu tengah dibabarkan oleh Yang Terberkahi. Śāriputra terheran-heran dan berkata bahwa Sang Guru sedang berada di tempat yang sangat jauh yakni di Sāvatthī, sementara mereka sendiri sekarang berada di sini di Rājagaha. Apakah Maudgalyāyana, dengan kekuatan supernormalnya, pergi menemui Sang Buddha, atau Yang Terberkahi sendiri yang diam-diam datang kepadanya? Maudgalyāyana menjawab bahwa kedua hal tersebut tidak terjadi. Sang siswa kepala berkata bahwa dengan bantuan mata-dewa dan telinga-dewa yang telah dimurnikan dan disempurnakannya, yang membuatnya bisa mendengarkan ceramah Dhamma yang tengah disampaikan oleh Sang Buddha dari tempat yang sangat jauh. Kemudian Śāriputra berseru bahwa Maudgalyāyana, yang telah diberkahi dengan kekuatan batin yang sedemikian hebatnya; mungkin bisa hidup sepanjang satu kalpa, jika dia menginginkannya. (Saṃyutta Nikāya, 21:3)

 

Seperti disebutkan di atas, Maudgalyāyana, dengan mata-dewanya, mampu melihat

Sang Buddha dari jarak yang sangat jauh. Suatu ketika kejadian berikut ini terjadi. Ketika itu Śāriputra sedang duduk bermeditasi dengan khusyuknya, sesosok Yakkha pengganggu dengan tangannya yang besar memukul kepala gundul Śāriputra. Maudgalyāyana menyaksikannya dengan bantuan mata-dewanya. Dia terperanjat dan setelah Sang Yakkha berlalu dari tempat itu, Maudgalyāyana bertanya kepada sahabatnya apakah dia merasakan sakit akibat pukulan yang dahsyat itu. Śāriputra tersenyum dan berkata bahwa dia baru saja merasakannya kepalanya sedikit sakit. Maudgalyāyana bercerita bahwa pukulan yang dilakukan oleh Yakkha itu begitu kuatnya, sehingga mampu menjatuhkan seekor gajah. Sang siswa kepala memuji kekuatan konsentrasi Śāriputra, yang hanya merasakan sedikit sakit kepala. Namun Śāriputra memuji Maudgalyāyana, bahwa sahabatnya mampu mengamati Yakkha yang tidak kasat mata itu, padahal dia sendiri tidak mampu melihatnya. (Udāna, IV.4)

 

Kemampuan batin berikutnya dari Maudgalyāyana adalah Perjalanan Astral dengan bantuan "tubuh buatan pikiran". "Sama seperti seseorang yang menekuk lengannya yang terentang atau merentangkan lengannya yang tertekuk," begitu cepatnya Maudgalyāyana meninggalkan dunia manusia secara jasmani, dan sesaat kemudian dia sudah muncul kembali di alam surga. Berulang kali dia menggunakan kemampuannya ini untuk mengajar makhluk lain yang tidak terlihat oleh manusia biasa, juga merawat apa yang semestinya dilakukan oleh Sangha. Selanjutnya dia mengajar kepada dewa dan dewi di Alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa faktor-faktor yang menuju jalan menuju pemasuk arus. Pernah juga Maudgalyāyana menguji Sakka, raja para dewa, apakah dia memahami ajaran tentang padamnya nafsu keinginan (Majjhima Nikāya, 37).

 

Kemampuan batin Maudgalyāyana berikutnya adalah Telekinesis atau Pergerakan-Supernormal. Tubuh Maudgalyāyana mampu menembus apa pun yang tampak sebagai benda padat. Pernah terjadi pada beberapa bhikkhu yang tinggal di vihara, yang pikirannya lalai dan kacau. Mereka sibuk sendiri dan mereka terlalu banyak mencurahkan diri dengan hal-hal sepele tentang materi. Mengetahui hal ini, Sang Buddha meminta Maudgalyāyana untuk menggoyahkan keyakinan mereka yang berlebihan terhadap materi, dengan cara melakukan pergerakan-supernormal sekaligus mendemonstrasikan hal tersebut di hadapan para bhikkhu. Menanggapi permintaan Sang Buddha, Maudgalyāyana mendorong bangunan itu dengan jempol kakinya, sehingga seluruh vihara berguncang. Kemudian tampak "Teras Ibu Migāra", bergetar dan bergoyang seolah-olah ada gempa bumi. Lewat pengalaman langsung ini para bhikkhu langsung tunduk dan menerima kembali intruksi Sang Buddha. Kemudian Sang Guru menjelaskan Empat Jalan Menuju Kekuatan atau Iddhipāda, yang merupakan sumber kekuatan supernormal Maudgalyāyana (Saṃyutta Nikāya, 51:14; Jātaka, 299).

 

Melalui teks-teks pasca-kanonik, Maudgalyāyana menjadi terkenal karena kesalehan anak melalui kisah populer tentang cara dia mentransfer jasa-jasanya kepada ibunya. Hal ini memunculkan tradisi di banyak negara Buddhis yang dikenal sebagai Festival Hantu, yang mana orang-orang mendedikasikan jasa mereka kepada leluhur mereka. Perbuatan tersebut kita kenal sebagai patidana. Dalam Kanon Pali dijelaskan bahwa Maudgalyāyana memiliki warna kulit seperti teratai biru atau awan hujan. Tradisi lisan di Sri Lanka mengatakan bahwa warna kulit yang gelap ini disebabkan karena dia dilahirkan di neraka dalam banyak masa kehidupannya yang lampau.

 

Kisah Maudgalyāyana mencari ibunya setelah kematiannya tersebar luas. Selain digunakan untuk mengilustrasikan prinsip pembalasan karma dan kelahiran kembali, di Tiongkok cerita ini mengembangkan penekanan baru. Di sana Maudgalyāyana dikenal sebagai " Mù Lián", dan kisahnya diajarkan dalam campuran ajaran agama dan hiburan, untuk mengingatkan orang akan kewajiban mereka terhadap kerabat yang telah meninggal. Versi paling awal adalah Sutra Ullambana dalam bahasa Sansekerta, Dalam sebagian besar versi cerita, Maudgalyāyana menggunakan kekuatan batinnya untuk mencari orang tuanya yang telah meninggal dan melihat di dunia apa mereka dilahirkan kembali. Meskipun dia dapat menemukan ayahnya di surga, dia tidak dapat menemukan ibunya. Kemudian dia meminta bantuan Sang Buddha. Sang Buddha membawanya menemui ibunya, yang berada di alam neraka, tetapi Maudgalyāyana tidak dapat membantunya. Sang Buddha kemudian menasihatinya untuk melakukan kebajikan demi nama ibunya, yang membantunya terlahir kembali di tempat yang lebih baik.

 

Dalam cerita versi Laos, dia melakukan perjalanan ke Alam Dewa Yama, penguasa dunia bawah, hanya untuk menemukan dunia yang ditinggalkan. Dewa Yama kemudian memberitahu Maudgalyāyana, bahwa dia mengizinkan semua penghuni neraka keluar dari gerbang neraka untuk bebas selama satu hari, yaitu pada hari bulan purnama di bulan lunar kesembilan. Pada hari ini, makhluk neraka dapat menerima jasa kebajikan, jika jasa kebajikan tersebut ditransfer kepada mereka. Dalam beberapa kisah Tiongkok lainnya, Maudgalyāyana menemukan ibunya terlahir kembali sebagai hantu kelaparan. Ketika Maudgalyāyana mencoba mempersembahkan makanannya melalui kuil leluhur, makanan tersebut selalu terbakar. Oleh karena itu Maudgalyāyana meminta nasihat Sang Buddha, yang merekomendasikan dia untuk melakukan kebajikan kepada Sangha dan mentransfernya kepada ibunya. Upaya tersebut tidak hanya membantu ibunya untuk terlahir kembali di surga, tetapi juga bermanfaat membantu tujuh generasi orang tua dan leluhur mereka.

 

Pendiri Jainisme, Nigaṇṭha Nāthaputta, wafat lebih dulu dari Sang Buddha dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama. Setelah Sang Pemimpin mencapai Nirvāna, timbul perselisihan sengit di antara para pengikutnya mengenai ajarannya. Akibat rivalitas di antara pengikut Buddhis dan Jain, muncul rasa tidak suka satu sama lain. Golongan Jain yang paling bawah di Magadha merasakan kemunduran dalam organisasi mereka dan menyalahkan pimpinan Buddhis. Salah satu orang yang dijadikan musuh mereka adalah Maudgalyāyana. Ragu untuk melakukan eksekusi terhadap sang bhikkhu sepuh dengan tangan mereka sendiri, penganut yang dengki dan iri ini menyusun rencana lain. Bahkan pada masa itu pun sudah ada penjahat profesional yang siap melakukan pembunuhan demi mendapatkan imbalan. Jadi beberapa pengikut Jain yang berpikiran sempit menyewa pembunuh bayaran dan memerintahkan mereka untuk membunuh Maudgalyāyana.

 

Pada saat itu, Mahāmaudgalyāyana tinggal sendirian di sebuah gubuk hutan di Kālasilā. Sang siswa kepala mengetahui bahwa akhir hidupnya sudah dekat. Setelah menikmati

kebahagiaan pembebasan, dia sekarang merasa tubuhnya hanya menjadi beban dan penghalang. Dia tidak punya keinginan sedikit pun untuk memanfaatkan kemampuannya dan menjaga agar tubuhnya tetap bertahan selama satu kalpa. Namun ketika dia melihat para perampok mendekat, dia langsung menghilang begitu saja, menggunakan kekuatan supernormalnya. Para pembunuh tiba di sebuah gubuk kosong, lalu mereka mencarinya kemana-mana, namun tidak berhasil menemukannya. Mereka pergi dengan kecewa, tetapi kembali pada hari berikutnya. Selama enam hari berturut-turut Maudgalyāyana menghindar dari kejaran para penjahat dengan cara yang sama. Motivasinya bukanlah untuk melindungi tubuhnya sendiri, tapi menyelamatkan para pembunuh dari akibat buah karma yang akan ditanggung mereka, dengan langsung terjeblos di alam neraka yang mengerikan. Tapi keserakahan mereka terhadap uang yang dijanjikan begitu besar sehingga mereka ngotot berupaya dan kembali bahkan hingga hari ketujuh. Ternyata kegigihan mereka "terbayar" pada akhirnya. Maudgalyāyana kehilangan kemampuan untuk menghilangkan dirinya. Sebuah perbuatan keji yang dilakukannya dalam salah satu kehidupannya yang lampau – yang menyebabkan kematian kedua orang tuanya – belum sempat membuahkan akibat yang buruk pada dirinya hingga hari itu. Para pembunuh masuk, menjatuhkannya, menganiayanya dengan merusak seluruh anggota tubuhnya. Mereka membiarkan jasadnya yang masih berlumuran darah di tanah begitu saja. Merasa berhasil menjalankan misinya dan terlampau gembira untuk segera mendapatkan imbal jasa yang menggiurkan. Mereka pergi terburu-buru tanpa memeriksa korbannya apakah dia sudah tewas atau belum.

 

Namun kekuatan fisik dan mental Moggallana yang luar biasa masih membuatnya bertahan. Dia sadar kembali dan mampu membawa tubuhnya ke hadapan Sang Buddha. Di sana, di hadapan Sang Guru, di tempat yang paling suci di dunia, Maudgalyāyana menghembuskan nafas terakhirnya. Kedamaian batin yang diperolehnya sejak dia mencapai kesucian tertinggi, tidak pernah meninggalkannya. Mahāmaudgalyāyana dan Śāriputra adalah murid-murid yang luar biasa dari Sang Buddha. Beberapa minggu setelah parinirvāna keduanya, Beliau mengatakan bahwa perhimpunan para bhikkhu tampak kosong setelah kematian keduanya. Adalah hal yang luar biasa ada sepasang siswa yang memiliki kualitas yang begitu hebat. Tetapi yang sungguh menakjubkan dan mengagumkan, meskipun keduanya begitu unggul; tidak ada kesedihan, tidak ada ratapan, tidak ada isak tangis pada wajah Sang Guru, ketika keduanya meninggal dunia.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240321


Tidak ada komentar:

Posting Komentar