Jumat, 08 Maret 2024

TUHAN DALAM AGAMA ORANG TIONGHOA



Dalam artikel sebelumnya kita sudah membahas “Ketuhanan Dalam Agama Buddha”, dan sekarang penulis akan coba membahas “Tuhan Dalam Agama Orang Tionghoa”. Jika ditanyakan kepada pemuka agama Konghucu atau agama Tao, apakah sebutan Tuhan dalam agama yang mereka anut, maka mereka akan menyebut Tuhan itu disebut Thian (dalam pelafalan versi lama), yang sebetulnya berasal dari aksara (Tiān). Atau Tuhan dipanggil sebagai Thi-Kong yang sebenarnya berasal dari 天公, dalam bahasa Hokkian. Sebutan dalam bahasa Mandarin-nya adalah Tiān Gōng­.

 

Dalam Agama Orang Tionghoa sembahyang kepada Tuhan dilakukan di lingkungan rumah tangga, yang diadakan pada tanggal sembilan bulan pertama menurut penanggalan Tionghoa. Upacara sembahyang ini tidak dilakukan oleh suku-suku bangsa Tionghoa di seluruh Daratan Tiongkok, tetapi populer dilakukan oleh suku Hokkian, orang Taiwan, dan diaspora Tionghoa di mancanegara. Nama upacara sembahyang itu adalah King Thi Kong atau Jìng Tiān Gōng (敬天公), dan bisa dimasukkan sebagai rangkaian ritual yang dilakukan oleh orang Tionghoa selama perayaan menyambut musim semi atau Tahun Baru Imlek.

 

Dilihat dari sejarah persembahyangannya, King Thi Kong ini baru dilakukan setelah Dinasti Qīng mulai menguasai seluruh Daratan Tiongkok pada tahun 1644. Pada saat itu Huáng Tài Jí (皇太極, memerintah: 1636-1643) yang berasal dari Suku Manchu berhasil menghancurkan kekuasaan Kekaisaran Míng (1368–1644). Bangsa Manchu berhasil mengkonsolidasikan kekuatannya di Kotaraja Mukden di Shěnyáng, dan setelah tujuh hingga delapan tahun kemudian mereka memasuki Propinsi Fújiàn di selatan, yang banyak didiami oleh suku Hokkian. Menghadapi kuatnya pasukan dari utara, warga Fújiàn tidak punya pilihan selain mengungsi ke perkebunan tebu. Konon, segelintir orang Fújiàn yang beruntung memanfaatkan hari ketika mereka meninggalkan perkebunan tebu, yaitu hari kesembilan bulan lunar pertama, yang kemudian menjadi kebiasaan bagi mereka untuk merayakan Tahun Baru Imlek pada tanggal tersebut. Setelah malam hari kedelapan bulan pertama lunar, tibalah saatnya bagi mereka untuk melaksanakan upacara King Thi Kong.

 

Waktu persembahyangan Thi-Kong dimulai kira-kira tengah malam pada hari kedelapan bulan lunar pertama, antara pukul sebelas malam hingga pukul satu dinihari, dan dapat berlangsung hingga sebelum jam tujuh pagi keesokan harinya. Karena Thi-Kong adalah dewa yang paling penting di kalangan orang Tionghoa, mereka harus mandi dan keramas, serta mengenakan pakaian yang bersih sebelum beribadah. Hari kesembilan bulan pertama lunar juga dianggap sebagai hari kelahiran Thi-Kong. Selama beribadah, para tetua keluarga terlebih dahulu akan mempersembahkan dupa, kemudian mereka berlutut tiga kali dan bersujud sembilan kali dengan dahi menyentuh tanah, lalu mempersembahkan dupa dimulai dari anggota keluarga yang tertua hingga yang termuda.

 

Pemujaan kepada Thian  harus berlangsung sangat khusyuk. Untuk melakukannya keluarga harus menyediakan meja bersusun yang diberi taplak merah. Meja paling atas berisi persembahan kepada Thian harus dihias sangat indah. Di meja paling atas harus disediakan tiga cawan berisi air teh, tiga buah mangkuk yang berisi misoa (diikat dengan tali merah), gunungan-wajik, kue mangkok, kue keranjang, dan kue khu yang yang berbentuk kura-kura. Lalu di sisi depan meja ditaruh lima jenis buah-buahan dan enam macam sayuran vegetarian. Pada meja yang lebih rendah boleh disediakan makanan yang terbuat dari tiga atau lima macam hewan; karena hidangan ini diperuntukkan bagi para bawahan Thian. Selain makanan dan minuman, di atas meja juga terdapat sepasang vas bunga dan lilin merah. Sedangkan untuk kertas-uang yang dipersembahkan kepada Thian, harus dipilih yang berwarna emas atau berbentuk emas-batangan, yang melambangkan rasa hormat yang tinggi terhadap Thian. Beberapa keluarga melengkapi meja sembahyang mereka dengan sepasang rumpun tebu, yang masih ada akar dan daunnya.

 

Itulah sekilas mengenai persembahyangan kepada Tuhan, sejarah terjadinya ritual tersebut, dan apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan upacara persembahyangannya. Namun kembali kepada pokok pembicaraan kita, siapakah yang dimaksud dengan Thian atau Thi-Kong itu? 天公 atau Tiān Gōng artinya "Kakek Surgawi” atau Heavenly Grandfather (Ingg.). Dalam pandangan kebanyakan rakyat Tiongkok Tuhan itu adalah pribadi, yang dikenal sebagai Kaisar Langit atau Yù Huáng (玉皇) atau Yù Dì (玉帝). Lalu diperluas menjadi Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok Hong Siong Tee (Hokkian), diindonesiakan sebagai Kaisar Kemala atau Kaisar Pualam, atau bahasa Inggrisnya: Jade Emperor.

 

Hanya saja konsepsi Tuhan dalam Agama Orang Tionghoa ini berbeda dengan yang terdapat dalam Agama Wahyu, yang seringkali kita dengar dari ajaran agama Islam dan Nasrani.  Dalam pandangan orang Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa (dan juga dewi). Para dewa ini memiliki jabatan dan kekuasaan tersendiri, serta mengepalai wilayah tertentu. Bahkan birokrasi yang terjadi dalam Istana Tuhan di Tahta Langit, mirip dengan yang terjadi pada istana Kaisar Tiongkok di masa lalu. Kaisar Kemala sering diidentikkan pula dengan Śakra (Sans.) atau Sakka, yakni Raja para Dewa, dalam kosmologi Buddhis.

 

Alkisah ratusan tahun yang lalu saat Surga yang dipimpin oleh Kaisar Kemala, yang mana biasanya suasana di kahyangan itu aman, tenteram, dan damai. Namun seekor siluman kera yang memiliki kesaktian yang luar biasa, yang sebenarnya dia telah diangkat menjadi warga kehormatan di sana dan memiliki jabatan, tiba-tiba saja membuat ulah serta selanjutnya terjadi kegaduhan dan kegemparan di Istana Langit. Siapakah si pengacau itu? Dia adalah Sūn Wùkōng (孙悟空) alias Si Kera Sakti atau Sang Raja Kerja, dan kemudian diberi gelar "Sang Bijak Agung Setara Surga". Pada puncak pemberontakan itu, Sūn Wùkōng berhasil memporakporandakan Istana Langit, dan tidak ada satu pun Jenderal Surgawi yang mampu mengalahkannya. Penulis menceritakan kembali kejadian gonjang-ganjing di Kahyangan, dengan mengutip novel terkenal Perjalanan ke Barat atau 西游 (Xī Yóu Jì) Bab ke-7, karya Wú Chéng'ēn (吳承恩, 1500-1582).

 

 

Meskipun para dewa telah memojokkan Sang Bijak Agung, mereka tidak mampu mendekatinya. Keributan berupa suara perkelahian dan teriakan telah menyadarkan Sang Kaisar Kemala, yang segera memerintahkan Youyi Pejabat Mukjizat pergi ke Barat dengan ditemani oleh Sang Bijak Pengayom dan Tuan Sejati, guna meminta pertolongan Sang Buddha untuk menaklukkan sang pengacau.

 

Setelah kedua bijak ini menerima perintah junjungan mereka, keduanya segera pergi ke Gunung Mukjizat, tempat mereka memberikan penghormatan kepada empat Vajrapani dan delapan Bodhisattva. Di sana mereka meminta izin untuk menyampaikan pesan, sebelum para dewa membawanya ke Kuil Halilintar.  Di kuil mereka pergi ke kaki tempat-duduk-teratai guna memberitahukan Sang Tathagata, yang kemudian mengundang dua bijak itu ke hadapannya. Setelah kedua utusan itu melakukan puja hormat sebanyak tiga kali kepada Sang Buddha, mereka berdiri di bawah singgasana tahta.

 

"Mengapa sampai Kaisar Kemala merepotkan kalian, dua bijak, guna datang kemari?" tanya Sang Buddha.

 

"Seekor kera," mereka melaporkan, "yang terlahir di Gunung Bunga dan Buah, yang telah menggunakan kekuatan magisnya untuk mempersatukan semua kera, kemudian membawa dunia ini ke dalam kekacauan. Sang Kaisar Kemala lalu mengirimkan sebuah maklumat pengampunan serta menunjuknya sebagai 'Sang Pelindung Kuda', namun hal itu tidak cukup bagi dia, sehingga dia minggat begitu saja dari Surga. Ketika King Li Surgawi dan Pangeran Nezha gagal dalam upaya untuk menangkapnya, Kaisar Kemala mengirimkan lagi maklumat pengampunan yang kedua dengan penunjukan dirinya sebagai 'Sang Bijak Agung Setara Surga.' Pada mulanya penunjukan ini murni berupa gelar semata, tetapi belakangan dia diberi tugas tambahan sebagai pengawas Kebun Buah Persik. Tanpa diduga, sebagai pengawas kebun dia malahan mencuri buah-buah persik. Kemudian dia pergi ke Kolam Kemala tanpa diundang, dan di sana dia menggasak hidangan surgawi, menenggak anggur sepuasnya, dan memporakporandakan pesta. Dalam keadaan mabuk berat dia tersesat hingga terdampar di Istana Tushita. Di istana itu dia mencuri pil-pil-keabadian milik Tuan Lao Zi. Setelah itu dia melarikan diri dari Surga untuk yang kedua kalinya. Selanjutnya Kaisar Kemala mengirimkan seratus ribu bala tentara surgawi, tetapi mereka tetap tidak mampu untuk membekuk dia. Lalu Guanyin merekomendasikan Sang Tuan Sejati Erlang dan para saudara angkatnya untuk mengalahkan sang kera. Lagi-lagi sang kera memanfaatkan banyak kesaktian ubah-wujudnya, hingga akhirnya Erlang mampu menangkap sang kera. Itu pun berhasil setelah Tuan Lao Zi melempar dia dengan 'Kemala Intan' kepunyaannya. Si kera kemudian dihadapkan pada kuasa kekaisaran, dan hukuman yang setimpal langsung dijatuhkan kepadanya. Namun walaupun tubuhnya diiris dengan kapak dan dipotong dengan pedang, juga setelah dirinya dibakar dengan api serta dihantam dengan sambaran petir, tetap saja semua upaya ini tak mampu mencelakakannya. Selanjutnya Tuan Lao Zi meminta izin untuk membawanya pergi dan dia menyuling tubuh si kera dengan api. Tetapi ketika dapur dibuka setelah empat-puluh-sembilan hari proses penyulingan, dia tetap bertahan malahan melompat ke luar dari 'Tungku Delapan Trigram', dan mengalahkan tentara-tentara surgawi yang mencoba menghalanginya. Sampai akhirnya ia tiba di 'Aula Kecerahan Universal' yang terletak di depan 'Aula Kabut Ajaib'. Di tempat ini dia berhasil dihentikan dan kemudian terlibat pertarungan sengit dengan Pejabat Penjaga Kekaisaran, Letnan Bijak Pengayom dan Tuan Sejati. Para jenderal halilintar pun telah dikirim ke sana untuk mengepung si kera, namun tidak ada seorang pun yang mampu mendekatinya. Dalam kondisi krisis ini Sang Kaisar Kemala lalu mengajukan himbauan khusus kepada Paduka Yang Mulia, Sang Tathagata, untuk menyelamatkan tahtanya."

 

Setelah mendengar penuturan kedua bijak ini, Sang Tathagata berbicara kepada para Bodhisattva yang tengah berkumpul, "Kalian tinggallah dalam keheningan di aula dharma ini, serta berperilakulah sepantasnya di tempat duduk meditasi ini, sementara aku berurusan dengan siluman itu dan menyelamatkan tahta kekaisaran."

 

Beliau lalu meminta Yang Mulia Ananda dan Yang Mulia Kasyapa untuk menemaninya. Sang Tathagata meninggalkan Kuil Halilintar dan langsung menuju ke 'Aula Kabut Ajaib', tempat telinganya mendengar teriakan orang yang sedang bertempur. Di sana mereka menyaksikan tiga-puluh-enam jenderal halilintar sedang mengepung Sang Bijak Agung. Sang Buddha menerbitkan sebuah dekrit yang berbunyi: "Beri tahu semua jenderal halilintar untuk menghentikan pertempuran, kembalikan mereka semua ke istana mereka, dan panggil ke luar Sang Bijak Agung, sehingga aku dapat menanyakan kemampuan kedewataan apa yang dimilikinya."

 

Para jenderal pun mematuhi dekrit tersebut dan mereka semua mundur dari sana. Setelah itu Sang Bijak Agung melepaskan penampilan magisnya dan berubah wujud ke bentuk aslinya. Dia masih dalam suasana hati ingin meluapkan amukannya, namun dia bertanya, "Dari mana engkau datang? Engkau adalah orang baik. Engkau memberanikan diri untuk melakukan hal yang sulit, menghentikan perkelahian, dan malahan bertanya kepadaku!"

 

"Aku dikenal sebagai Yang Mulia Sakyamuni dari 'Tanah Kebahagiaan Sempurna' di sebelah Barat," jawab Sang Buddha sambil tersenyum. "Aku telah mendengar perilakumu yang liar dan kasar, serta pemberontakan yang engkau lakukan berulang kali terhadap Surga. Aku ingin mengetahui dimana engkau dilahirkan, kapan engkau menemukan Sang Jalan, dan alasannya mengapa engkau tampak begitu garang."

 

"Diriku," Sang Bijak Agung menjawab,

 

"Satu kerja-mukjizat Yang Kekal kelahiran Surga dan Bumi,

Seekor monyet tua dari Gunung Bunga dan Buah.

Rumahku berada di Goa Tirai Air,

Aku mencari teman dan guru, serta menjadi sadar tentang Misteri Agung."

 

"Aku telah melatih banyak metode guna mencapai hidup abadi,

Tak-terbilang ubah-wujud yang telah kupelajari.

Itulah mengapa aku mendapatkan dunia fana begitu sesaknya,

Serta kuputuskan untuk tinggal di Surga Kemala."

 

"Tidak seorang pun dapat memerintah secara abadi di Aula Kabut Ajaib;*

Raja-raja sepanjang sejarah harus mewarisi kekuasaan mereka.

Yang kuat seharusnya dihormati – dia semestinya memberi jalan kepadaku;

Inilah satu-satunya alasan aku melancarkan pengembaraan kepahlawananku."

 

Sang Buddha tertawa terbahak-bahak.

 

"Engkau bedebah! Engkau hanyalah seekor jiwa kera dan engkau telah berupaya keras untuk memangku tahta Kaisar Kemala. Ketahuilah, dia telah melatih dirinya sendiri sejak masih kanak-kanak, serta menjalani perjuangan panjang yang penuh dengan penderitaan selama seribu tujuh ratus dan lima puluh kalpa. Masing-masing kalpa berlangsung 129.600 tahun, sehingga engkau harus bekerja keras melatih dirimu sendiri sepanjang kurun waktu itu, agar dirimu bisa menikmati Jalan yang agung dan tak-terhingga ini. Namun engkau hanyalah seekor makhluk buas yang baru saja menjadi manusia untuk yang pertama kalinya. Betapa lancangnya engkau bicara omong kosong seperti ini? Engkau bukanlah manusia, bahkan bukan manusia! Aku akan memperpendek kurun-waktu-hidupmu. Terimalah ajaranku segera setelah ini dan berhentilah membicarakan bualanmu itu! Jika tidak, engkau akan dihadapkan pada masalah besar dan hidupmu akan cepat berakhir. Serta akan membuat keburukan lebih jauh pada wujud aslimu juga."

 

"Walaupun dia telah melatih dirinya sendiri sepanjang kurun waktu yang sangat lama, bahkan sejak masa kanak-kanaknya, dia tetap tidak memiliki hak untuk menduduki tempat ini selamanya, kata Sang Bijak Agung. Seperti pepatah mengatakan, 'Kaisar naik tahta bergiliran; tahun depan mungkin itu giliranku.' Jika dia bisa dibujuk untuk pindah ke luar dan menyerahkan Surga kepadaku, hal itu akan baik jadinya. Namun jika dia tidak meladeni permintaanku untuk turun tahta, aku pasti akan membuat segala hal menjadi panas baginya, dan dia tidak pernah lagi merasakan keamanan dan ketenteraman."

 

"Apa yang telah kau miliki, selain keabadian dan kemampuanmu untuk mengubah-wujud atas dirimu sendiri, yang membuat engkau mempunyai nyali untuk merebut Istana Kahyangan?" Sang Buddha bertanya.

 

"Aku sesungguhnya dapat membuat banyak mukjizat," jawab Sang Bijak Agung. "Aku dapat melakukan tujuh-puluh-dua transformasi ubah-wujud, dan aku dapat merawat kemudaanku selama sepuluh ribu kalpa. Aku dapat mengendarai sebuah awan membumbung yang membawaku sepanjang tiga-puluh-enam ribu mil dengan sekali lompatan pokrol. Jadi, apakah tidak semestinya, bahwasanya aku tidak pantas untuk duduk di singgasana Surga?"

 

"Aku mempunyai pemikiran seperti ini. Aku ingin kita berdua bertaruh," kata Sang Buddha. "Jika engkau cukup pintar untuk ke melintas ke luar melewati telapak tangan kananku hanya dengan satu kali lompatan pokrol, engkau akan menjadi pemenangnya. Dengan demikian tidak diperlukan lagi senjata atau perkelahian. Aku akan mengundang Kaisar Kemala untuk datang dan tinggal di Barat serta menyerahkan tahta Kahyangan kepadamu. Tetapi jika engkau gagal melintasi jarak selebar telapak tanganku, engkau harus pergi ke dunia yang lebih bawah sebagai iblis serta latihlah dirimu sendiri selama beberapa kalpa, sebelum engkau datang lagi ke sini untuk berdebat lagi tentang hal itu."

 

Ketika dia mendengar penawaran ini Sang Bijak Agung tersenyum dan berpikir, "Sang Buddha ini sungguh-sungguh idiot. Aku dapat menempuh tiga-puluh-enam ribu mil dengan sekali lompat pokrol, jadi bagaimana aku bisa gagal jika melompat ke luar melintasi jarak selebar telapak tangannya, yang berukuran kurang dari satu kaki?"

 

Dengan berpikiran bahwa tawaran itu mudah untuk dijalankan, ia bertanya dengan antusias, "Apakah engkau bisa memegang kata-katamu?"

 

"Tentu saja, tentu saja," Sang Buddha menjawab, dan ia merentangkan telapak tangan kanannya, yang sekarang terbuka dengan ukuran sekitar lebar sebuah daun lotus.

 

Sang Bijak Agung kesayangan kita bergegas untuk kembali melakukan lompatan pokrolnya, namun Sang Buddha segera membalikkan telapak tangannya, mengepalkannya, membuat si raja kera masuk ke dalam genggamannya. Ia lalu mendorong Sang Raja Kera ke luar dari Surga melalui Gerbang Barat. Selanjutnya dia mengubah kelima jarinya menjadi sebuah rantai-pegunungan yang memiliki unsur-unsur Logam, Kayu, Air, Api, dan Tanah, menamakannya kembali sebagai 'Gunung Lima Unsur', lalu meletakkan Sang Raja Kera dengan perlahan-lahan di sana.

 

Semua dewa halilintar dan kedua siswa, Ananda dan Kasyapa, menangkupkan kedua telapak tangannya bersama-sama, serta mereka memuji Sang Buddha: "Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan."

 

"Sebutir telur belajar menjadi manusia,

Mengembangkan perilakunya, dan mencapai Sang Jalan.

Surga yang tenteram tanpa-gangguan selama sepuluh ribu kalpa.

Hingga satu hari jiwa-jiwa dan dewa-dewa menjadi tercerai-berai.

 

Pemberontakan melawan Surga, demi menginginkan jabatan tinggi,

Menghina para Yang Kekal, mencuri pil, dan memporakporandakan moralitas.

Hari ini dosa besarnya mendapatkan ganjaran yang setimpal,

Siapa yang tahu kapan dia bisa bangkit kembali?"

 

 

Cerita 'Perjalanan ke Barat' tentang perseteruan antara Sang Raja Kera dengan Kaisar Kemala menjadi cerita rakyat atau folklore yang diceritakan dari generasi ke generasi. Masyarakat Tiongkok mendapatkan gambaran seperti apa Thian atau Thi-Kong itu. Konsep Tuhan yang mempunyai hari kelahiran, yakni pada tanggal 9 bulan 1, kemudian naik tahta, selanjutnya menghadapi berbagai persoalan di kerajaannya, mirip dengan yang dialami oleh para kaisar Tiongkok terdahulu. Artinya Tuhan itu tidak kekal. Tuhan menduduki singgasananya untuk kurun waktu tertentu, seperti yang terjadi pada Presiden kita. Tuhan juga tidak selamanya bisa memerintah dengan tenang. Seperti Kaisar Kemala yang menghadapi coup d'état alias kudeta, dari makhluk lain yang menginginkan tahtanya.

 

Jadi konsep Tuhan menurut agama orang Tionghoa tidak sama dengan gambaran Tuhan yang diceritakan orang dalam Agama Samawi. Kaisar Kemala, seperti yang diceritakan di atas sebetulnya adalah Sakka, raja para dewa yang sering kita baca pada kitab suci Buddhis. Sakka sendiri tidak kekal dan dia memerintah di Surga untuk kurun waktu tertentu. Pemerintahannya pun tidak selalu berjalan mulus, dan balatentaranya sering berperang melawan makhluk asura, yang ingin menguasai tahta surgawi. Setelah Sakka yang sekarang ini wafat, dia akan digantikan oleh Sakka yang berikutnya.

 

Sedangkan Tuhan yang sesungguhnya menurut ajaran Taoisme adalah yang kita kenal sebagai Sānqīng (三清), atau Tiga Yang Suci. Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah Yuánshǐ Tīanzūn (元始天尊) atau diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Surgawi dari Awal Primordial" atau "Penguasa Langit Purba". Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci, dan dikenal pula sebagai 玉清 atau Yùqīng, artinya "Yang Suci Kemala". Yuanshi Tianzun sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia sebenarnya adalah representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Penting untuk dicatat bahwa pada awalnya Yuanshi Tianzun tidak pernah diwakili dalam bentuk gambar atau patung.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240307

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar