Dalam artikel sebelumnya kita sudah membahas “Ketuhanan Dalam Agama
Buddha”, dan sekarang penulis akan coba membahas “Tuhan Dalam Agama Orang
Tionghoa”. Jika ditanyakan kepada pemuka agama Konghucu atau agama Tao, apakah
sebutan Tuhan dalam agama yang mereka anut, maka mereka akan menyebut Tuhan itu
disebut Thian (dalam pelafalan versi lama), yang sebetulnya berasal dari
aksara 天 (Tiān). Atau Tuhan dipanggil sebagai Thi-Kong yang sebenarnya
berasal dari 天公, dalam bahasa Hokkian. Sebutan dalam bahasa Mandarin-nya adalah Tiān Gōng.
Dalam Agama Orang Tionghoa sembahyang kepada Tuhan dilakukan di lingkungan
rumah tangga, yang diadakan pada tanggal sembilan bulan pertama menurut
penanggalan Tionghoa. Upacara sembahyang ini tidak dilakukan oleh suku-suku bangsa
Tionghoa di seluruh Daratan Tiongkok, tetapi populer dilakukan oleh suku
Hokkian, orang Taiwan, dan diaspora Tionghoa di mancanegara. Nama upacara
sembahyang itu adalah King Thi Kong atau Jìng Tiān Gōng (敬天公), dan bisa
dimasukkan sebagai rangkaian ritual yang dilakukan oleh orang Tionghoa selama
perayaan menyambut musim semi atau Tahun Baru Imlek.
Dilihat dari sejarah persembahyangannya, King Thi Kong ini baru dilakukan
setelah Dinasti Qīng mulai menguasai seluruh Daratan Tiongkok pada tahun 1644. Pada
saat itu Huáng Tài Jí (皇太極, memerintah: 1636-1643) yang berasal dari Suku Manchu
berhasil menghancurkan kekuasaan Kekaisaran Míng (1368–1644). Bangsa Manchu
berhasil mengkonsolidasikan kekuatannya di Kotaraja Mukden di Shěnyáng, dan
setelah tujuh hingga delapan tahun kemudian mereka memasuki Propinsi Fújiàn di
selatan, yang banyak didiami oleh suku Hokkian. Menghadapi kuatnya pasukan dari
utara, warga Fújiàn tidak punya pilihan selain mengungsi ke perkebunan
tebu. Konon, segelintir orang Fújiàn yang beruntung memanfaatkan hari
ketika mereka meninggalkan perkebunan tebu, yaitu hari kesembilan bulan lunar
pertama, yang kemudian menjadi kebiasaan bagi mereka untuk merayakan Tahun Baru
Imlek pada tanggal tersebut. Setelah malam hari kedelapan bulan pertama lunar, tibalah
saatnya bagi mereka untuk melaksanakan upacara King Thi Kong.
Waktu persembahyangan Thi-Kong dimulai kira-kira tengah malam pada
hari kedelapan bulan lunar pertama, antara pukul sebelas malam hingga pukul satu
dinihari, dan dapat berlangsung hingga sebelum jam tujuh pagi keesokan harinya.
Karena Thi-Kong adalah dewa yang paling penting di kalangan
orang Tionghoa, mereka harus mandi dan keramas, serta mengenakan
pakaian yang bersih sebelum beribadah. Hari kesembilan bulan pertama lunar juga
dianggap sebagai hari kelahiran Thi-Kong. Selama beribadah, para tetua
keluarga terlebih dahulu akan mempersembahkan dupa, kemudian mereka berlutut
tiga kali dan bersujud sembilan kali dengan dahi menyentuh tanah, lalu
mempersembahkan dupa dimulai dari anggota keluarga yang tertua hingga yang
termuda.
Pemujaan kepada Thian harus berlangsung
sangat khusyuk. Untuk melakukannya keluarga harus
menyediakan meja bersusun yang diberi taplak merah. Meja paling atas berisi
persembahan kepada Thian harus dihias sangat indah. Di meja paling atas harus
disediakan tiga cawan berisi air teh, tiga buah mangkuk yang berisi misoa
(diikat dengan tali merah), gunungan-wajik, kue mangkok, kue keranjang, dan kue
khu yang yang berbentuk kura-kura. Lalu di sisi depan meja ditaruh lima
jenis buah-buahan dan enam macam sayuran vegetarian. Pada meja yang lebih
rendah boleh disediakan makanan yang terbuat dari tiga atau lima macam hewan; karena
hidangan ini diperuntukkan bagi para bawahan Thian. Selain makanan dan
minuman, di atas meja juga terdapat sepasang vas bunga dan lilin merah. Sedangkan
untuk kertas-uang yang dipersembahkan kepada Thian, harus dipilih yang
berwarna emas atau berbentuk emas-batangan, yang melambangkan rasa hormat yang
tinggi terhadap Thian. Beberapa keluarga melengkapi meja sembahyang
mereka dengan sepasang rumpun tebu, yang masih ada akar dan daunnya.
Itulah sekilas mengenai persembahyangan kepada Tuhan, sejarah terjadinya
ritual tersebut, dan apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan upacara
persembahyangannya. Namun kembali kepada pokok pembicaraan kita, siapakah yang
dimaksud dengan Thian atau Thi-Kong itu? 天公 atau Tiān Gōng artinya "Kakek
Surgawi” atau Heavenly Grandfather (Ingg.). Dalam pandangan kebanyakan rakyat
Tiongkok Tuhan itu adalah pribadi, yang dikenal sebagai Kaisar Langit atau Yù
Huáng (玉皇) atau Yù Dì (玉帝). Lalu
diperluas menjadi Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok Hong Siong Tee
(Hokkian), diindonesiakan sebagai Kaisar Kemala atau Kaisar Pualam,
atau bahasa Inggrisnya: Jade Emperor.
Hanya saja konsepsi Tuhan dalam Agama Orang Tionghoa ini berbeda dengan yang
terdapat dalam Agama Wahyu, yang seringkali kita dengar dari ajaran agama Islam
dan Nasrani. Dalam pandangan orang
Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa (dan
juga dewi). Para dewa ini memiliki jabatan dan kekuasaan tersendiri, serta mengepalai
wilayah tertentu. Bahkan birokrasi yang terjadi dalam Istana Tuhan di Tahta
Langit, mirip dengan yang terjadi pada istana Kaisar Tiongkok di masa lalu. Kaisar
Kemala sering diidentikkan pula dengan Śakra (Sans.) atau Sakka, yakni Raja para Dewa,
dalam kosmologi Buddhis.
Alkisah ratusan tahun yang lalu saat Surga yang dipimpin oleh Kaisar
Kemala, yang mana biasanya suasana di kahyangan itu aman, tenteram, dan damai.
Namun seekor siluman kera yang memiliki kesaktian yang luar biasa, yang
sebenarnya dia telah diangkat menjadi warga kehormatan di sana dan memiliki
jabatan, tiba-tiba saja membuat ulah serta selanjutnya terjadi kegaduhan dan
kegemparan di Istana Langit. Siapakah si pengacau itu? Dia adalah Sūn Wùkōng (孙悟空) alias Si Kera Sakti atau Sang Raja Kerja, dan
kemudian diberi gelar "Sang Bijak Agung Setara Surga". Pada puncak
pemberontakan itu, Sūn Wùkōng berhasil memporakporandakan Istana Langit, dan
tidak ada satu pun Jenderal Surgawi yang mampu mengalahkannya. Penulis
menceritakan kembali kejadian gonjang-ganjing di Kahyangan, dengan mengutip
novel terkenal Perjalanan ke Barat atau 西游记 (Xī Yóu Jì) Bab ke-7, karya Wú Chéng'ēn
(吳承恩, 1500-1582).
Meskipun para dewa telah memojokkan
Sang Bijak Agung, mereka tidak mampu mendekatinya. Keributan berupa suara
perkelahian dan teriakan telah menyadarkan Sang Kaisar Kemala, yang segera
memerintahkan Youyi Pejabat Mukjizat pergi ke Barat dengan ditemani oleh Sang
Bijak Pengayom dan Tuan Sejati, guna meminta pertolongan Sang Buddha untuk
menaklukkan sang pengacau.
Setelah kedua bijak ini menerima
perintah junjungan mereka, keduanya segera pergi ke Gunung Mukjizat, tempat
mereka memberikan penghormatan kepada empat Vajrapani dan delapan Bodhisattva. Di sana mereka meminta izin untuk menyampaikan pesan,
sebelum para dewa membawanya ke Kuil Halilintar. Di kuil mereka pergi ke kaki
tempat-duduk-teratai guna memberitahukan Sang Tathagata, yang kemudian
mengundang dua bijak itu ke hadapannya. Setelah kedua utusan itu melakukan puja
hormat sebanyak tiga kali kepada Sang Buddha, mereka berdiri di bawah
singgasana tahta.
"Mengapa sampai Kaisar Kemala
merepotkan kalian, dua bijak, guna datang kemari?" tanya Sang Buddha.
"Seekor kera," mereka
melaporkan, "yang terlahir di Gunung Bunga dan Buah, yang telah
menggunakan kekuatan magisnya untuk mempersatukan semua kera, kemudian membawa
dunia ini ke dalam kekacauan. Sang Kaisar Kemala lalu mengirimkan sebuah maklumat
pengampunan serta menunjuknya sebagai 'Sang Pelindung Kuda', namun hal itu
tidak cukup bagi dia, sehingga dia minggat begitu saja dari Surga. Ketika King
Li Surgawi dan Pangeran Nezha gagal dalam upaya untuk menangkapnya, Kaisar
Kemala mengirimkan lagi maklumat pengampunan yang kedua dengan penunjukan
dirinya sebagai 'Sang Bijak Agung Setara Surga.' Pada mulanya penunjukan ini
murni berupa gelar semata, tetapi belakangan dia diberi tugas tambahan sebagai
pengawas Kebun Buah Persik. Tanpa diduga, sebagai pengawas kebun dia malahan
mencuri buah-buah persik. Kemudian dia pergi ke Kolam Kemala tanpa diundang,
dan di sana dia menggasak hidangan surgawi, menenggak anggur sepuasnya, dan
memporakporandakan pesta. Dalam keadaan mabuk berat dia tersesat hingga terdampar di Istana Tushita. Di istana itu dia mencuri pil-pil-keabadian milik Tuan Lao Zi. Setelah itu dia melarikan diri dari Surga untuk yang kedua kalinya. Selanjutnya Kaisar
Kemala mengirimkan seratus ribu bala tentara surgawi, tetapi mereka tetap tidak
mampu untuk membekuk dia. Lalu Guanyin merekomendasikan Sang Tuan Sejati Erlang
dan para saudara angkatnya untuk mengalahkan sang kera. Lagi-lagi sang kera
memanfaatkan banyak kesaktian ubah-wujudnya, hingga akhirnya Erlang mampu
menangkap sang kera. Itu pun berhasil setelah Tuan Lao Zi melempar dia dengan 'Kemala
Intan' kepunyaannya. Si kera kemudian dihadapkan pada kuasa kekaisaran, dan
hukuman yang setimpal langsung dijatuhkan kepadanya. Namun walaupun tubuhnya
diiris dengan kapak dan dipotong dengan pedang, juga setelah dirinya dibakar
dengan api serta dihantam dengan sambaran petir, tetap saja semua upaya ini tak
mampu mencelakakannya. Selanjutnya Tuan Lao Zi meminta izin untuk membawanya
pergi dan dia menyuling tubuh si kera dengan api.
Tetapi ketika dapur dibuka setelah empat-puluh-sembilan hari proses
penyulingan, dia tetap bertahan malahan melompat ke
luar dari 'Tungku Delapan Trigram', dan mengalahkan tentara-tentara surgawi
yang mencoba menghalanginya. Sampai akhirnya ia tiba di 'Aula Kecerahan
Universal' yang terletak di depan 'Aula Kabut Ajaib'. Di tempat ini dia berhasil dihentikan dan kemudian terlibat
pertarungan sengit dengan Pejabat Penjaga Kekaisaran, Letnan Bijak Pengayom dan
Tuan Sejati. Para jenderal halilintar pun telah dikirim ke sana untuk mengepung
si kera, namun tidak ada seorang pun yang mampu mendekatinya. Dalam kondisi
krisis ini Sang Kaisar Kemala lalu mengajukan himbauan khusus kepada Paduka
Yang Mulia, Sang Tathagata, untuk menyelamatkan tahtanya."
Setelah mendengar penuturan kedua bijak
ini, Sang Tathagata berbicara kepada para Bodhisattva yang tengah berkumpul,
"Kalian tinggallah dalam keheningan di aula dharma ini, serta
berperilakulah sepantasnya di tempat duduk meditasi ini, sementara aku
berurusan dengan siluman itu dan menyelamatkan tahta kekaisaran."
Beliau lalu meminta Yang Mulia Ananda dan Yang Mulia Kasyapa
untuk menemaninya. Sang Tathagata meninggalkan Kuil Halilintar dan langsung
menuju ke 'Aula Kabut Ajaib', tempat telinganya mendengar teriakan orang yang
sedang bertempur. Di sana mereka menyaksikan tiga-puluh-enam jenderal
halilintar sedang mengepung Sang Bijak Agung. Sang Buddha menerbitkan sebuah
dekrit yang berbunyi: "Beri tahu semua jenderal halilintar untuk
menghentikan pertempuran, kembalikan mereka semua ke istana mereka, dan panggil
ke luar Sang Bijak Agung, sehingga aku dapat menanyakan kemampuan kedewataan
apa yang dimilikinya."
Para jenderal pun mematuhi dekrit
tersebut dan mereka semua mundur dari sana. Setelah itu Sang Bijak Agung
melepaskan penampilan magisnya dan berubah wujud ke bentuk aslinya. Dia masih dalam suasana hati ingin meluapkan amukannya, namun dia bertanya, "Dari mana engkau datang? Engkau adalah orang baik.
Engkau memberanikan diri untuk melakukan hal yang sulit, menghentikan
perkelahian, dan malahan bertanya kepadaku!"
"Aku dikenal sebagai Yang Mulia
Sakyamuni dari 'Tanah Kebahagiaan Sempurna' di sebelah Barat," jawab Sang
Buddha sambil tersenyum. "Aku telah mendengar perilakumu yang liar dan
kasar, serta pemberontakan yang engkau lakukan berulang kali terhadap Surga.
Aku ingin mengetahui dimana engkau dilahirkan, kapan engkau menemukan Sang
Jalan, dan alasannya mengapa engkau tampak begitu garang."
"Diriku," Sang Bijak Agung menjawab,
"Satu kerja-mukjizat Yang Kekal
kelahiran Surga dan Bumi,
Seekor monyet tua dari Gunung Bunga dan
Buah.
Rumahku berada di Goa Tirai Air,
Aku mencari teman dan guru, serta
menjadi sadar tentang Misteri Agung."
"Aku telah melatih banyak metode
guna mencapai hidup abadi,
Tak-terbilang ubah-wujud yang telah
kupelajari.
Itulah mengapa aku mendapatkan dunia
fana begitu sesaknya,
Serta kuputuskan untuk tinggal di Surga
Kemala."
"Tidak seorang pun dapat
memerintah secara abadi di Aula Kabut Ajaib;*
Raja-raja sepanjang sejarah harus
mewarisi kekuasaan mereka.
Yang kuat seharusnya dihormati – dia semestinya memberi jalan kepadaku;
Inilah satu-satunya alasan aku
melancarkan pengembaraan kepahlawananku."
Sang
Buddha tertawa terbahak-bahak.
"Engkau bedebah! Engkau hanyalah seekor jiwa kera dan
engkau telah berupaya keras untuk memangku tahta Kaisar Kemala.
Ketahuilah, dia telah melatih dirinya sendiri sejak masih kanak-kanak, serta
menjalani perjuangan panjang yang penuh dengan penderitaan selama seribu tujuh
ratus dan lima puluh kalpa. Masing-masing kalpa berlangsung 129.600 tahun,
sehingga engkau harus bekerja keras melatih dirimu sendiri sepanjang kurun
waktu itu, agar dirimu bisa menikmati Jalan yang agung dan tak-terhingga ini.
Namun engkau hanyalah seekor makhluk buas yang baru saja menjadi manusia untuk
yang pertama kalinya. Betapa lancangnya engkau bicara omong kosong seperti ini?
Engkau bukanlah manusia, bahkan bukan manusia! Aku akan memperpendek
kurun-waktu-hidupmu. Terimalah ajaranku segera setelah ini dan berhentilah
membicarakan bualanmu itu! Jika tidak, engkau akan dihadapkan pada masalah
besar dan hidupmu akan cepat berakhir. Serta akan membuat keburukan lebih jauh
pada wujud aslimu juga."
"Walaupun dia telah melatih dirinya sendiri sepanjang
kurun waktu yang sangat lama, bahkan sejak masa kanak-kanaknya, dia tetap tidak
memiliki hak untuk menduduki tempat ini selamanya, kata Sang Bijak Agung.
Seperti pepatah mengatakan, 'Kaisar naik tahta bergiliran; tahun depan mungkin
itu giliranku.' Jika dia bisa dibujuk untuk pindah ke luar dan menyerahkan
Surga kepadaku, hal itu akan baik jadinya. Namun jika dia tidak meladeni
permintaanku untuk turun tahta, aku pasti akan membuat segala hal menjadi panas
baginya, dan dia tidak pernah lagi merasakan keamanan dan ketenteraman."
"Apa yang telah kau miliki, selain keabadian dan
kemampuanmu untuk mengubah-wujud atas dirimu sendiri, yang membuat engkau
mempunyai nyali untuk merebut Istana Kahyangan?" Sang Buddha bertanya.
"Aku sesungguhnya dapat membuat banyak mukjizat,"
jawab Sang Bijak Agung. "Aku dapat melakukan tujuh-puluh-dua transformasi
ubah-wujud, dan aku dapat merawat kemudaanku selama sepuluh ribu kalpa. Aku
dapat mengendarai sebuah awan membumbung yang membawaku sepanjang
tiga-puluh-enam ribu mil dengan sekali lompatan pokrol. Jadi, apakah tidak
semestinya, bahwasanya aku tidak pantas untuk duduk di singgasana Surga?"
"Aku mempunyai pemikiran seperti ini. Aku ingin kita
berdua bertaruh," kata Sang Buddha. "Jika engkau cukup pintar untuk
ke melintas ke luar melewati telapak tangan kananku hanya dengan satu kali
lompatan pokrol, engkau akan menjadi pemenangnya. Dengan demikian tidak
diperlukan lagi senjata atau perkelahian. Aku akan mengundang Kaisar Kemala
untuk datang dan tinggal di Barat serta menyerahkan tahta Kahyangan kepadamu.
Tetapi jika engkau gagal melintasi jarak selebar telapak tanganku, engkau harus
pergi ke dunia yang lebih bawah sebagai iblis serta latihlah dirimu sendiri
selama beberapa kalpa, sebelum engkau datang lagi ke sini untuk berdebat lagi
tentang hal itu."
Ketika dia mendengar penawaran ini Sang Bijak Agung
tersenyum dan berpikir, "Sang Buddha ini sungguh-sungguh idiot. Aku dapat
menempuh tiga-puluh-enam ribu mil dengan sekali lompat pokrol, jadi bagaimana
aku bisa gagal jika melompat ke luar melintasi jarak selebar telapak tangannya,
yang berukuran kurang dari satu kaki?"
Dengan berpikiran bahwa tawaran itu mudah untuk dijalankan,
ia bertanya dengan antusias, "Apakah engkau bisa memegang
kata-katamu?"
"Tentu saja, tentu saja," Sang Buddha menjawab,
dan ia merentangkan telapak tangan kanannya, yang sekarang terbuka dengan
ukuran sekitar lebar sebuah daun lotus.
Sang Bijak Agung kesayangan kita
bergegas untuk kembali melakukan lompatan pokrolnya, namun Sang Buddha segera
membalikkan telapak tangannya, mengepalkannya, membuat si raja kera masuk ke
dalam genggamannya. Ia lalu mendorong Sang Raja Kera ke luar dari Surga melalui
Gerbang Barat. Selanjutnya dia mengubah kelima jarinya menjadi
sebuah rantai-pegunungan yang memiliki unsur-unsur Logam, Kayu, Air, Api, dan
Tanah, menamakannya kembali sebagai 'Gunung Lima Unsur', lalu meletakkan Sang
Raja Kera dengan perlahan-lahan di sana.
Semua dewa halilintar dan kedua siswa,
Ananda dan Kasyapa, menangkupkan kedua telapak tangannya bersama-sama, serta
mereka memuji Sang Buddha: "Sungguh menakjubkan, sungguh
mengagumkan."
"Sebutir telur belajar menjadi manusia,
Mengembangkan perilakunya, dan mencapai
Sang Jalan.
Surga yang tenteram tanpa-gangguan
selama sepuluh ribu kalpa.
Hingga satu hari jiwa-jiwa dan
dewa-dewa menjadi tercerai-berai.
Pemberontakan melawan Surga, demi
menginginkan jabatan tinggi,
Menghina para Yang Kekal, mencuri pil,
dan memporakporandakan moralitas.
Hari ini dosa besarnya mendapatkan
ganjaran yang setimpal,
Siapa yang tahu kapan dia bisa bangkit kembali?"
Cerita 'Perjalanan
ke Barat' tentang perseteruan antara Sang
Raja Kera dengan Kaisar Kemala menjadi cerita rakyat atau folklore yang
diceritakan dari generasi ke generasi. Masyarakat Tiongkok mendapatkan gambaran
seperti apa Thian atau Thi-Kong itu. Konsep Tuhan yang mempunyai
hari kelahiran, yakni pada tanggal 9 bulan 1, kemudian naik tahta, selanjutnya
menghadapi berbagai persoalan di kerajaannya, mirip dengan yang dialami oleh
para kaisar Tiongkok terdahulu. Artinya Tuhan itu tidak kekal. Tuhan menduduki
singgasananya untuk kurun waktu tertentu, seperti yang terjadi pada Presiden
kita. Tuhan juga tidak selamanya bisa memerintah dengan tenang. Seperti Kaisar
Kemala yang menghadapi coup d'état alias kudeta, dari makhluk lain yang menginginkan
tahtanya.
Jadi konsep Tuhan menurut agama orang Tionghoa tidak sama dengan gambaran
Tuhan yang diceritakan orang dalam Agama Samawi. Kaisar Kemala, seperti yang
diceritakan di atas sebetulnya adalah Sakka, raja para dewa yang sering kita
baca pada kitab suci Buddhis. Sakka sendiri tidak kekal dan dia memerintah di
Surga untuk kurun waktu tertentu. Pemerintahannya pun tidak selalu berjalan mulus,
dan balatentaranya sering berperang melawan makhluk asura, yang ingin
menguasai tahta surgawi. Setelah Sakka yang sekarang ini wafat, dia akan
digantikan oleh Sakka yang berikutnya.
Sedangkan Tuhan yang sesungguhnya menurut ajaran Taoisme adalah yang kita
kenal sebagai Sānqīng
(三清), atau Tiga Yang Suci. Yang pertama dari Tiga Yang
Suci adalah Yuánshǐ Tīanzūn (元始天尊) atau diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Surgawi dari
Awal Primordial" atau "Penguasa Langit Purba". Dia adalah yang tertinggi
dari Tiga Yang Suci, dan dikenal pula sebagai 玉清 atau Yùqīng, artinya "Yang Suci Kemala". Yuanshi Tianzun
sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua
makhluk. Dia sebenarnya adalah representasi dari prinsip semua makhluk. Dari
dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Penting
untuk dicatat bahwa pada awalnya Yuanshi Tianzun tidak pernah diwakili dalam
bentuk gambar atau patung.
sdjn/dharmaprimapustaka/240307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar