Pada artikel yang lalu diceritakan bagaimana Miào Shàn (妙善),
seorang puteri raja, yang minggat dari istananya lalu menjalani hidup sebagai
petapa wanita. Meskipun ayahnya seorang yang kejam dan berupaya mencelakakan
dirinya, Miào Shàn tidak gentar. Di usia tuanya sang ayah menderita sakit yang
parah dan tidak ada tabib yang mampu menolongnya. Pada saat yang kritis itu,
justru Miào Shàn orang yang sanggup menyembuhkan penyakitnya dengan
mengorbankan dirinya sendiri. Melihat kisah hidupnya, orang Tiongkok Kuno
percaya bahwa Miào Shàn bukanlah seorang manusia biasa, tetapi dia sebenarnya
adalah penjelmaan sosok dewi welas-asih, yang sering dipanggil masyarakat zaman
itu sebagai Dewi Kwan Im atau Guānyīn (观音). Orang percaya bahwa
segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan
niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan
tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah
berhadapan dengan marabahaya. Dalam artikel kali
ini kita akan mencoba menelaah apa yang sebenarnya diajarkan oleh Guānyīn.
Apa yang diajarkan oleh Guānyīn kepada
umatnya? Ajaran Guānyīn yang paling sering dikutip orang tidak lain berisi 20
proposisi yang dikatakan diucapkan oleh Sang Dewi. Penulis menyalin kembali dan
inilah isinya: (1) Jika orang lain membuatmu susah, anggaplah itu tumpukan rejeki. (2) Mulai hari ini belajarlah menyenangkan hati
orang lain. (3) Jika kamu merasa pahit
dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah bahagia. (4) Lari dan berlarilah untuk mengejar hari esok. (5) Setiap hari kamu sudah harus merasa puas
dengan apa yang kamu miliki saat ini. (6) Setiap
kali ada orang memberimu satu kebaikan, kamu harus mengembalikannya sepuluh
kali lipat. (7) Nilailah kebaikan orang
lain kepadamu, tetapi hapuskanlah jasa yang pernah kamu berikan pada orang
lain. (8) Dalam keadaan benar kamu
difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala. (9) Dalam keadaan salah kamu dipuji dan
dibenarkan, itu merupakan hukuman.(10) Orang
yang benar kita bela tetapi yang salah kita beri nasihat. (11) Jika perbuatan kamu benar, kamu difitnah dan
dipersalahkan, tetapi kamu menerimanya, maka akan datang kepadamu rezeki yang
berlimpah-ruah. (12) Jangan selalu
melihat/mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri
itulah kebenaran. (13) Orang yang baik diajak
bergaul, tetapi yang jahat dikasihani. (14) Kalau
wajahmu senyum hatimu senang, pasti kamu akan aku terima. (15) Dua orang saling mengakui kesalahan
masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa. (16) Saling salah menyalahkan, maka akan
mengakibatkan putus hubungan. (17) Kalau
kamu rela dan tulus menolong orang yang dalam keadaan susah, maka jangan sampai
diketahui bahwa kamu sebagai penolongnya. (18) Jangan
membicarakan sedikitpun kejelekan orang lain dibelakangnya, sebab kamu akan
dinilai jelek oleh si pendengar. (19) Kalau
kamu mengetahui seseorang berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan
kata-kata yang lemah lembut hingga orang itu insaf. (20) Doamu akan diterima, apabila kamu bisa sabar
dan menuruti jalanku.
Dibaca sepintas lalu, tampaknya
kedua-puluh nasihat Guānyīn itu sederhana dan mudah bagi kita sekalian untuk
menjalankannya. Tetapi setelah dicoba untuk dipraktikkan, ternyata tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Kita ambil pelajaran No. 5: "Setiap
hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini."
Anda yang mengikuti grup WA mungkin sering membaca ungkapan seperti ini:
"Orang yang paling bahagia adalah orang yang bersyukur," "Jangan
berhenti mengucap syukur," "Selalu ada yang mesti disyukuri setiap
pagi," dan masih banyak lagi. Setiap pagi kita mendapat khotbah yang
itu-itu saja, sampai kita bosan membacanya. Misalnya kita seorang karyawan yang
setiap hari pergi ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Anda para pembaca
bisa memakluminya. Orang yang naik motor harus memakai helm dan juga jaket. Di
Jakarta yang panas ini, di siang hari bolong kita merasa kepanasan dan juga sumuk.
Keringat bercucuran dan debu mengotori tubuh kita. Di saat-saat seperti itu
kita berpikir: "Alangkah enaknya jika kita bepergian naik mobil. Di dalam
kendaraan pasti ada AC yang menyejukkan, serta tubuh kita pasti tidak
kotor dan tetap wangi." Nah, kita lupa bersyukur. Kita hanya memandang ke
atas. Seyogianya kita melihat pula ke bawah. Tentu masih lebih baik mereka yang
bisa berkendara sepeda motor, dibandingkan dengan orang yang hanya punya
sepeda, atau orang yang harus mengejar-ngejar kendaraan umum.
Berikutnya kita lihat pelajaran No. 9:
"Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan
hukuman." Jika proposisi ini disimak sepintas lalu, tampaknya hukum
tabur-tuai tidak berjalan dengan baik, dan kita berpikir saat ini kita sedang
mujur. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Yang terjadi adalah buah karma
baik kita telah berbuah, sedangkan akibat perbuatan buruk yang baru kita
lakukan, belum masak. Kebalikannya ada pada pelajaran No. 8: "Dalam
keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan
mendapatkan pahala."
Kita kembali pada 20 proposisi yang
katanya merupakan ajaran dari Dewi Kwan Im. Penulis telah mencoba menelusuri
dari kitab mana ajaran ini berasal, dan hingga sampai saat ini belum berhasil
menemukannya. Dewi Kwan Im yang dimaksud tentu yang terdapat di Daratan
Tiongkok, dan ini mengacu pada sosok Guānyīn Niángniáng (觀音娘娘)
dari Taoisme maupun Guānyīn Púsà (观音菩萨) dari Buddhisme. Namun tidak dapat disangkal bahwa 20 proposisi
itu merupakan bagian dari ajaran Agama Orang Tionghoa, yang telah berkembang
sejak Periode Musim Semi dan Musim Gugur serta Periode Negara-negara Berperang.
Dua-puluh proposisi ini berasal dari teori pengembangan diri, atau kultivasi
diri, atau pertumbuhan akhlak. Dalam bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan 修身 (Xiūshēn), yang bermakna
menumbuhkan keutamaan dan mempercantik tubuh. Banyak teori filsafat Tiongkok yang membicarakan pengembangan kebajikan. Begitu
pentingnya Xiūshēn ini sehingga seseorang
pertama-tama harus mengultivasi dirinya sendiri, baru setelah itu dia dapat mengatur
keluarganya. Kemudian pada tingkat selanjutnya
dia akan mampu mengatur negaranya, serta terakhir dia bisa
membawa kesejahteraan dan perdamaian bagi umat manusia.
Kǒng Zǐ mengatakan bahwa ada lima keutamaan
yang harus dimiliki seorang manusia di kolong langit ini agar dia bisa menjadi orang yang berbudi luhur. Saat ditanya apa saja
kelima hal tersebut, dia menjawab,
"Kesopanan, kemurahan hati, kesetiaan, ketekunan, dan kebaikan hati. Jika kamu berlaku sopan, kamu tidak akan dihina; bila kamu
murah hati, kamu akan memenangkan hati orang banyak; jika kamu setia, orang lain akan mempercayaimu; bila kamu
tekun, kamu akan berhasil; dan jika kamu baik hati, kamu akan mampu memimpin orang lain." (Lunyu XVIII:6)
"Lima Keutamaan" atau Wǔcháng (五常), terdiri dari
kebajikan atau kebaikan hati (Rén, 仁), kesalehan atau kebenaran (Yì, 義),
kesopanan atau kepantasan (Lǐ, 禮), kebijaksanaan, termasuk ketekunan (Zhì, 智), dan kesetiaan atau dapat dipercaya (Xìn, 信). Empat
kebajikan pertama dikelompokkan bersama dalam Mèng Zǐ (孟子). Kebajikan kelima, Xìn,
ditambahkan oleh Dǒng Zhòng Shū (董仲舒).
Kebajikan atau kebaikan
hati, termasuk kemurahan hati, digambarkan sebagai "membentuk satu
tubuh" dalam hubungannya dengan orang lain.
Kebaikan hati atau kemurahan hati mengharuskan kita melihat diri kita
sebagai perpanjangan tangan orang lain dan sebaliknya. Contoh
aplikasi kebaikan hati mencakup
tindakan cinta, atau tindakan demi kepentingan
orang lain, seperti menjaga anggota keluarga sendiri.
Kesalehan atau kebenaran adalah ketika
seseorang menolak melanggar larangan yang dianggap memalukan atau merendahkan
martabat, seperti penyuapan. Kesopanan
atau li memiliki cakupan yang lebih luas daripada istilah
yang serupa dalam bahasa Indonesia. Contohnya
ketika seseorang melakukan ritual dengan penuh khidmat, meliputi protokol
sosial dalam situasi yang memerlukan rasa hormat, seperti pernikahan,
pemakaman, salam, serta penyajian makanan dan
minuman. Dalam percakapan orang Tionghoa sehari-hari
dikenal istilah bo ceng li, yang artinya tidak pantas atau tidak wajar,
bisa juga berarti kurang ajar atau lancang. Kebijaksanaan adalah
memahami motif dan perasaan diri sendiri, menilai dengan benar kualitas karakter
seseorang, dan mengetahui cara terbaik untuk mencapai tujuan kebajikan. Kepercayaan
atau kesetiaan dipahami sebagai komitmen terhadap kenyataan secara konsisten
dan dapat diandalkan.
Jadi apa yang menjadi ajaran dari Guānyīn
Púsà itu sendiri? Penulis akan mengambil sepenggal novel klasik Tiongkok
yang terkenal, yakni Perjalanan ke Barat (西遊記, Xī Yóu Jì), yang dikarang oleh Wú Chéng'ēn (吳承恩) kurang lebih tahun 1592.
Tokoh-tokoh kita ini mungkin Anda
pembaca telah mengenalnya karena sangat populer dalam kesusasteraan Tionghoa. Táng Sān Zàng (唐三藏)
atau Sang Biarawan Táng
adalah tokoh utama dalam novel ini, yang secara harfiah bermakna "Guru Tripitaka dari (Kekaisaran) Táng", selanjutnya
disingkat Sānzàng. Kemudian ada Sūn Wùkōng (孫悟空). Nama ini diberikan oleh gurunya, yang berarti "Kera yang Sadar
pada Kekosongan". Dia sering dijuluki si "Raja Kera", atau si "Kera
Sakti", dan selanjutnya kita singkat "Kera". Lalu ada Zhū Bājiè
(豬八戒), secara harfiah
berarti "Babi dengan Delapan Pantangan", adalah nama-Buddhis yang
diberikan oleh Sānzàng.
Dia juga dikenal dengan panggilan Zhū Wùnéng (豬悟能), maknanya "Babi
yang Terbangun untuk Berkuasa". Nama yang kedua ini diberikan oleh Guānyīn; dan untuk selanjutnya kita panggil "Babi". Dengan demikian Sūn Wùkōng
adalah siswa Sānzàng yang pertama, dan Zhū Bājiè adalah siswa yang kedua. Masih ada siswa
yang ketiga, tetapi ketika penggalan cerita ini dinarasikan, siswa ketiga belum
bergabung dalam rombongan Táng Sān Zàng.
Setelah melakukan perjalanan ke Barat dengan aman selama satu bulan,
ketiganya meninggalkan teritori Stubet, dan mereka sekarang melihat di depan
ada sebuah gunung yang menjulang tinggi. Sānzàng berhenti menunggang kudanya, lalu menuntunnya, dan dia berkata, "Kera, Kera, ada gunung
tinggi di depan kita. Mohon engkau pergi duluan dan melakukan
pengintaian."
"Tidak
perlu," kata Babi. "Tempat itu dinamakan Gunung Pagoda, dan di sana
ada seorang Petapa Sarang Gagak yang sedang mengembangkan perilakunya. Aku
pernah bertemu dengannya."
"Apa yang
dia lakukan terhadapmu?" Sānzàng bertanya.
"Dia
memiliki ilmu," Babi menjawab. "Sekali waktu ia mengundangku untuk mengembangkan
perilakuku dengannya, tetapi aku tidak jadi pergi." Selagi guru dan siswa
bercakap-cakap mereka sudah berada di gunung. Ternyata itu adalah gunung yang
indah:
Di selatan
terhampar pinus biru dan pepohonan nan menghijau,
Ke Utara
ditutupi dedalu hijau dan persik bertunas-merah.
Berbunyi
berisik,
Burung liar berciutan satu sama lain;
Membumbung
tinggi penuh keberkahan,
Burung bangau
terbang bersama.
Kaya dalam
wewangian
Seribu bunga
yang berbeda-beda;
Gelap lembut
Dedaunan yang
jenisnya tak-berakhir.
Di parit-parit
arus air bergelembung kehijauan,
Tebing
diselubungi dalam awan pertanda baik.
Itulah
sesungguhnya pemandangan langka dengan keelokan yang anggun.
Demikian
hening, tempat tidak ada orang yang datang dan pergi.
Sewaktu sang
guru memeriksa pemandangan itu dari punggung kudanya, dia melihat sebuah pondok
rumput di tengah kerimbunan pepohonan yang wangi. Di sebelah kiri pondok itu
ada sekelompok rusa dengan bunga-bunga di mulutnya, dan di sebelah kanannya
kumpulan kera sedang memegang buah-buahan untuk dipersembahkan. Sementara burung-api dalam berbagai
warna berseliweran mengelilingi puncak pepohonan, yang mana di dahan pohon itu
berkumpul burung bangau dan burung pegar. Babi menunjuk dengan jarinya dan
berkata, "Itu adalah Sang Petapa Sarang Gagak." Sānzàng menarik tali
kekang kudanya, melangkah ke muka, dan langsung pergi menuju kaki pepohonan.
Ketika sang
petapa melihat ketiganya mendatanginya dia melompat turun dari sarang
burungnya. Sānzàng segera turun dan membungkuk di hadapan petapa itu, dan
kemudian dia membalas sambil membimbing agar Sānzàng berdiri kembali,
"Harap bangun, wahai biarawan suci. Aku minta maaf karena tidak
menyambutmu dengan selayaknya."
"Selamat
berjumpa, yang mulia petapa," kata Babi.
"Bukankah
engkau Sang Babi berambut-Besi dari Gunung Keberkahan? Bagaimana bisa engkau
memiliki peruntungan yang bagus dengan melakukan perjalanan bersama seorang
rahib suci?"
"Tahun
lalu," jawab Babi, "aku beralih-keyakinan atas jasa Bodhisattva Guānyīn,
dan aku bersumpah bahwasanya aku akan pergi bersamanya sebagai seorang
siswanya."
"Sungguh
mengagumkan, sungguh menakjubkan," seru sang petapa dengan gembira. Dia
kemudian menunjuk pada Kera dan bertanya, "Siapakah tuan yang satu
ini?"
"Petapa
tua," kata Kera, "bagaimana bisa sampai engkau mengenalnya, tetapi
tidak mengetahui siapa diriku?" - "Mohon maafkan atas
kebodohanku," sang petapa menjawab. - "Dia adalah Sūn Wùkōng, siswa
seniorku," Sānzàng menjelaskan. - "Aku minta maaf atas
ketidaksopananku," kata sang petapa.
Sānzàng
membungkuk sekali lagi dan bertanya kepadanya jalan menuju Kuil Halilintar
Agung di Surga Barat. "Masih jauh," sang petapa menjawab, "masih
jauh. Perjalanan itu akan panjang dan di sepanjang jalan ada banyak siluman dan harimau. Banyak sekali
tantangannya."
"Masih
berapa jauh lagi?" tanya Sānzàng dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Walaupun perjalanan ini sangat jauh dan panjang," jawab sang petapa,
"kalian pasti sampai di sana pada akhirnya. Tetapi pengaruh-pengaruh jahat
yang akan kalian hadapi sukar untuk dihalau. Aku memiliki sebuah Sutra Hati
(心經, Xīn Jīng), yang terdiri dari 270 kata dalam 54
kalimat, dan jika engkau mendaraskannya ketika engkau bertemu dengan
pengaruh-pengaruh buruk, engkau tidak akan menemui marabahaya." Sānzàng
segera berlutut di hadapannya dan memohon kepada si petapa untuk mengajarkannya kepadanya. Lalu sang petapa itu pun
membacakan-ulang khusus ditujukan kepadanya, yang berbunyi:
"Ketika Sang Bodhisattva Avalokiteśvara
sedang bermeditasi pada Prajñāpāramitā (般若波羅蜜多, Bōrě bōluómì duō) yang mendalam, dia memahami bahwa lima
gugus ini kosong dan hampa, serta dengan memahaminya dia terbebas dari
penderitaan dan marabahaya.
'Śariputra,
materi itu tidak berbeda dengan kekosongan dan kekosongan itu tidak berlainan dengan materi: materi adalah kehampaan dan
kehampaan adalah materi. Demikian pula halnya dengan perasaan, pencerapan,
bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Śariputra, kelima gugus ini pada
hakikatnya adalah kosong, tidak memiliki permulaan atau pun pengakhiran, bukan
suci bukan pula tak-suci, dan tidak-bertambah juga tidak-berkurang. Dengan
demikian, dalam kekosongan tidak ada materi, tidak ada perasaan, tidak ada
pencerapan, tidak ada bentuk-bentuk pikiran, dan tidak ada kesadaran. Tidak ada
mata, tidak ada telinga, tidak ada hidung, tidak ada lidah, tidak ada tubuh,
dan tidak ada batin. Tidak ada penglihatan, tidak ada bunyi, tidak ada bebauan,
tidak ada rasa, tidak ada sentuhan, dan tidak ada proses batin. Tidak ada
kategori mata tidak juga ada kategori kesadaran. Tidak ada kebodohan, tidak ada
pula penghentian kebodohan. Tidak ada usia tua dan kematian, tidak juga
penghentian usia tua dan kematian. Tidak ada penderitaan, tidak ada
sebab-musabab penderitaan, tidak ada penghentian penderitaan, tidak ada jalan
menuju penghentian penderitaan. Serta dengan tidak adanya kebijaksanaan, tidak
ada pula sesuatu yang diperoleh. Karena tidak ada yang diperoleh, seorang
Bodhisattva bergantung pada Prajñāpāramitā, yang membuatnya terbebaskan dalam batinnya.
Dan karena dia terbebaskan dalam batinnya dia tidak memiliki ketakutan, serta
dia terbersihkan dari pikiran menyerupai mimpi terhadap bukan-realitas, dan dia
menikmati Nirvāṇa pada akhirnya. Dengan bergantung pada Prajñāpāramitā semua Buddha yang lampau, yang sekarang, dan
yang akan datang merealisasi anuttarā samyak-saṃbodhi.
Maka dari itu,
kita mengetahui sebuah pengejaan yang agung, pengejaan dewata, pengejaan
pencerahan dewata, pengejaan tertinggi, dan sebuah pengejaan tanpa ada yang
menyerupainya, yang dapat mengenyahkan semua penderitaan tanpa kegagalan.
Marilah kita mendaraskan pengejaan Prajñāpāramitā dan mengucapkan: Gate, gate, paragate,
parasamgate, bodhi, svaha!' "
Ketika Sang
Patriakh dari Táng telah mendapatkan asal-mula pencerahan di dalam dirinya
sendiri, dia mampu mengingat Sutra Hati cukup dengan mendengarkannya
sekali saja, dan sutra ini telah diturunkan pula sejak hari itu. Sutra
ini menjadi inti pengembangan kebenaran, dan sekaligus pintu-gerbang menjadi
seorang Buddha. (diambil dari: Wú Chéng'ēn, Perjalanan ke Barat, Bab
ke-19).
Demikianlah ajaran inti dari Guānyīn Púsà.
sdjn/dharmaprimapustaka/231101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar