Rabu, 01 November 2023

GŪANYĪN DAN AJARANNYA



Pada artikel yang lalu diceritakan bagaimana Miào Shàn (妙善), seorang puteri raja, yang minggat dari istananya lalu menjalani hidup sebagai petapa wanita. Meskipun ayahnya seorang yang kejam dan berupaya mencelakakan dirinya, Miào Shàn tidak gentar. Di usia tuanya sang ayah menderita sakit yang parah dan tidak ada tabib yang mampu menolongnya. Pada saat yang kritis itu, justru Miào Shàn orang yang sanggup menyembuhkan penyakitnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Melihat kisah hidupnya, orang Tiongkok Kuno percaya bahwa Miào Shàn bukanlah seorang manusia biasa, tetapi dia sebenarnya adalah penjelmaan sosok dewi welas-asih, yang sering dipanggil masyarakat zaman itu sebagai Dewi Kwan Im atau Guānyīn (观音). Orang percaya bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan marabahaya.  Dalam artikel kali ini kita akan mencoba menelaah apa yang sebenarnya diajarkan oleh Guānyīn.

 

Apa yang diajarkan oleh Guānyīn kepada umatnya? Ajaran Guānyīn yang paling sering dikutip orang tidak lain berisi 20 proposisi yang dikatakan diucapkan oleh Sang Dewi. Penulis menyalin kembali dan inilah isinya: (1) Jika orang lain membuatmu susah, anggaplah itu tumpukan rejeki. (2) Mulai hari ini belajarlah menyenangkan hati orang lain. (3) Jika kamu merasa pahit dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah bahagia. (4) Lari dan berlarilah untuk mengejar hari esok. (5) Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini. (6) Setiap kali ada orang memberimu satu kebaikan, kamu harus mengembalikannya sepuluh kali lipat. (7) Nilailah kebaikan orang lain kepadamu, tetapi hapuskanlah jasa yang pernah kamu berikan pada orang lain. (8) Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala. (9) Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman.(10) Orang yang benar kita bela tetapi yang salah kita beri nasihat. (11) Jika perbuatan kamu benar, kamu difitnah dan dipersalahkan, tetapi kamu menerimanya, maka akan datang kepadamu rezeki yang berlimpah-ruah. (12) Jangan selalu melihat/mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri itulah kebenaran. (13) Orang yang baik diajak bergaul, tetapi yang jahat dikasihani. (14) Kalau wajahmu senyum hatimu senang, pasti kamu akan aku terima. (15) Dua orang saling mengakui kesalahan masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa. (16) Saling salah menyalahkan, maka akan mengakibatkan putus hubungan. (17) Kalau kamu rela dan tulus menolong orang yang dalam keadaan susah, maka jangan sampai diketahui bahwa kamu sebagai penolongnya. (18) Jangan membicarakan sedikitpun kejelekan orang lain dibelakangnya, sebab kamu akan dinilai jelek oleh si pendengar. (19) Kalau kamu mengetahui seseorang berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan kata-kata yang lemah lembut hingga orang itu insaf. (20) Doamu akan diterima, apabila kamu bisa sabar dan menuruti jalanku.

 

Dibaca sepintas lalu, tampaknya kedua-puluh nasihat Guānyīn itu sederhana dan mudah bagi kita sekalian untuk menjalankannya. Tetapi setelah dicoba untuk dipraktikkan, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita ambil pelajaran No. 5: "Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini." Anda yang mengikuti grup WA mungkin sering membaca ungkapan seperti ini: "Orang yang paling bahagia adalah orang yang bersyukur," "Jangan berhenti mengucap syukur," "Selalu ada yang mesti disyukuri setiap pagi," dan masih banyak lagi. Setiap pagi kita mendapat khotbah yang itu-itu saja, sampai kita bosan membacanya. Misalnya kita seorang karyawan yang setiap hari pergi ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Anda para pembaca bisa memakluminya. Orang yang naik motor harus memakai helm dan juga jaket. Di Jakarta yang panas ini, di siang hari bolong kita merasa kepanasan dan juga sumuk. Keringat bercucuran dan debu mengotori tubuh kita. Di saat-saat seperti itu kita berpikir: "Alangkah enaknya jika kita bepergian naik mobil. Di dalam kendaraan pasti ada AC yang menyejukkan, serta tubuh kita pasti tidak kotor dan tetap wangi." Nah, kita lupa bersyukur. Kita hanya memandang ke atas. Seyogianya kita melihat pula ke bawah. Tentu masih lebih baik mereka yang bisa berkendara sepeda motor, dibandingkan dengan orang yang hanya punya sepeda, atau orang yang harus mengejar-ngejar kendaraan umum.

 

Berikutnya kita lihat pelajaran No. 9: "Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman." Jika proposisi ini disimak sepintas lalu, tampaknya hukum tabur-tuai tidak berjalan dengan baik, dan kita berpikir saat ini kita sedang mujur. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Yang terjadi adalah buah karma baik kita telah berbuah, sedangkan akibat perbuatan buruk yang baru kita lakukan, belum masak. Kebalikannya ada pada pelajaran No. 8: "Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala."

 

Kita kembali pada 20 proposisi yang katanya merupakan ajaran dari Dewi Kwan Im. Penulis telah mencoba menelusuri dari kitab mana ajaran ini berasal, dan hingga sampai saat ini belum berhasil menemukannya. Dewi Kwan Im yang dimaksud tentu yang terdapat di Daratan Tiongkok, dan ini mengacu pada sosok Guānyīn Niángniáng (觀音娘娘) dari Taoisme maupun Guānyīn Púsà (观音菩萨) dari Buddhisme. Namun tidak dapat disangkal bahwa 20 proposisi itu merupakan bagian dari ajaran Agama Orang Tionghoa, yang telah berkembang sejak Periode Musim Semi dan Musim Gugur serta Periode Negara-negara Berperang. Dua-puluh proposisi ini berasal dari teori pengembangan diri, atau kultivasi diri, atau pertumbuhan akhlak. Dalam bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan 修身 (Xiūshēn), yang bermakna menumbuhkan keutamaan dan mempercantik tubuh. Banyak teori filsafat Tiongkok yang membicarakan pengembangan kebajikan. Begitu pentingnya Xiūshēn ini sehingga seseorang pertama-tama harus mengultivasi dirinya sendiri, baru setelah itu dia dapat mengatur keluarganya. Kemudian pada tingkat selanjutnya dia akan mampu mengatur negaranya, serta terakhir dia bisa membawa kesejahteraan dan perdamaian bagi umat manusia.

 

Kǒng Zǐ mengatakan bahwa ada lima keutamaan yang harus dimiliki seorang manusia di kolong langit ini agar dia bisa menjadi orang yang berbudi luhur. Saat ditanya apa saja kelima hal tersebut, dia menjawab, "Kesopanan, kemurahan hati, kesetiaan, ketekunan, dan kebaikan hati. Jika kamu berlaku sopan, kamu tidak akan dihina; bila kamu murah hati, kamu akan memenangkan hati orang banyak; jika kamu setia, orang lain akan mempercayaimu; bila kamu tekun, kamu akan berhasil; dan jika kamu baik hati, kamu akan mampu memimpin orang lain." (Lunyu XVIII:6)

 

"Lima Keutamaan" atau Wǔcháng (五常), terdiri dari kebajikan atau kebaikan hati (Rén, ), kesalehan atau kebenaran (, ), kesopanan atau kepantasan (Lǐ, 禮), kebijaksanaan, termasuk ketekunan (Zhì, ), dan kesetiaan atau dapat dipercaya (Xìn, ). Empat kebajikan pertama dikelompokkan bersama dalam Mèng Zǐ (孟子). Kebajikan kelima, Xìn, ditambahkan oleh Dǒng Zhòng Shū (董仲舒).

 

Kebajikan atau kebaikan hati, termasuk kemurahan hati, digambarkan sebagai "membentuk satu tubuh" dalam hubungannya dengan orang lain. Kebaikan hati atau kemurahan hati mengharuskan kita melihat diri kita sebagai perpanjangan tangan orang lain dan sebaliknya. Contoh aplikasi kebaikan hati mencakup tindakan cinta, atau tindakan demi kepentingan orang lain, seperti menjaga anggota keluarga sendiri. Kesalehan atau kebenaran adalah ketika seseorang menolak melanggar larangan yang dianggap memalukan atau merendahkan martabat, seperti penyuapan. Kesopanan atau li memiliki cakupan yang lebih luas daripada istilah yang serupa dalam bahasa Indonesia. Contohnya ketika seseorang melakukan ritual dengan penuh khidmat, meliputi protokol sosial dalam situasi yang memerlukan rasa hormat, seperti pernikahan, pemakaman, salam, serta penyajian makanan dan minuman. Dalam percakapan orang Tionghoa sehari-hari dikenal istilah bo ceng li, yang artinya tidak pantas atau tidak wajar, bisa juga berarti kurang ajar atau lancang. Kebijaksanaan adalah memahami motif dan perasaan diri sendiri, menilai dengan benar kualitas karakter seseorang, dan mengetahui cara terbaik untuk mencapai tujuan kebajikan. Kepercayaan atau kesetiaan dipahami sebagai komitmen terhadap kenyataan secara konsisten dan dapat diandalkan.

 

​Jadi apa yang menjadi ajaran dari Guānyīn Púsà itu sendiri? Penulis akan mengambil sepenggal novel klasik Tiongkok yang terkenal, yakni Perjalanan ke Barat (西遊記, Xī Yóu Jì), yang dikarang oleh Wú Chéng'ēn (吳承恩) kurang lebih tahun 1592.

 

Tokoh-tokoh kita ini mungkin Anda pembaca telah mengenalnya karena sangat populer dalam kesusasteraan Tionghoa. Táng Sān Zàng (唐三藏) atau Sang Biarawan Táng adalah tokoh utama dalam novel ini, yang secara harfiah bermakna "Guru Tripitaka dari (Kekaisaran) Táng", selanjutnya disingkat Sānzàng. Kemudian ada Sūn Wùkōng (孫悟空). Nama ini diberikan oleh gurunya, yang berarti "Kera yang Sadar pada Kekosongan". Dia sering dijuluki si "Raja Kera", atau si "Kera Sakti", dan selanjutnya kita singkat "Kera". Lalu ada Zhū Bājiè (豬八戒), secara harfiah berarti "Babi dengan Delapan Pantangan", adalah nama-Buddhis yang diberikan oleh Sānzàng. Dia juga dikenal dengan panggilan Zhū Wùnéng (豬悟能), maknanya "Babi yang Terbangun untuk Berkuasa". Nama yang kedua ini diberikan oleh Guānyīn; dan untuk selanjutnya kita panggil "Babi". Dengan demikian Sūn Wùkōng adalah siswa Sānzàng yang pertama, dan Zhū Bājiè adalah siswa yang kedua. Masih ada siswa yang ketiga, tetapi ketika penggalan cerita ini dinarasikan, siswa ketiga belum bergabung dalam rombongan Táng Sān Zàng.

 

Setelah melakukan perjalanan ke Barat dengan aman selama satu bulan, ketiganya meninggalkan teritori Stubet, dan mereka sekarang melihat di depan ada sebuah gunung yang menjulang tinggi. Sānzàng berhenti menunggang kudanya, lalu menuntunnya, dan dia berkata, "Kera, Kera, ada gunung tinggi di depan kita. Mohon engkau pergi duluan dan melakukan pengintaian."

 

"Tidak perlu," kata Babi. "Tempat itu dinamakan Gunung Pagoda, dan di sana ada seorang Petapa Sarang Gagak yang sedang mengembangkan perilakunya. Aku pernah bertemu dengannya."

 

"Apa yang dia lakukan terhadapmu?" Sānzàng bertanya.

 

"Dia memiliki ilmu," Babi menjawab. "Sekali waktu ia mengundangku untuk mengembangkan perilakuku dengannya, tetapi aku tidak jadi pergi." Selagi guru dan siswa bercakap-cakap mereka sudah berada di gunung. Ternyata itu adalah gunung yang indah:

 

Di selatan terhampar pinus biru dan pepohonan nan menghijau,

Ke Utara ditutupi dedalu hijau dan persik bertunas-merah.

Berbunyi berisik,

 

Burung liar berciutan satu sama lain;

Membumbung tinggi penuh keberkahan,

Burung bangau terbang bersama.

 

Kaya dalam wewangian

Seribu bunga yang berbeda-beda;

Gelap lembut

Dedaunan yang jenisnya tak-berakhir.

 

Di parit-parit arus air bergelembung kehijauan,

Tebing diselubungi dalam awan pertanda baik.

Itulah sesungguhnya pemandangan langka dengan keelokan yang anggun.

Demikian hening, tempat tidak ada orang yang datang dan pergi.

 

Sewaktu sang guru memeriksa pemandangan itu dari punggung kudanya, dia melihat sebuah pondok rumput di tengah kerimbunan pepohonan yang wangi. Di sebelah kiri pondok itu ada sekelompok rusa dengan bunga-bunga di mulutnya, dan di sebelah kanannya kumpulan kera sedang memegang buah-buahan untuk dipersembahkan. Sementara burung-api dalam berbagai warna berseliweran mengelilingi puncak pepohonan, yang mana di dahan pohon itu berkumpul burung bangau dan burung pegar. Babi menunjuk dengan jarinya dan berkata, "Itu adalah Sang Petapa Sarang Gagak." Sānzàng menarik tali kekang kudanya, melangkah ke muka, dan langsung pergi menuju kaki pepohonan.

 

Ketika sang petapa melihat ketiganya mendatanginya dia melompat turun dari sarang burungnya. Sānzàng segera turun dan membungkuk di hadapan petapa itu, dan kemudian dia membalas sambil membimbing agar Sānzàng berdiri kembali, "Harap bangun, wahai biarawan suci. Aku minta maaf karena tidak menyambutmu dengan selayaknya."

 

"Selamat berjumpa, yang mulia petapa," kata Babi.

 

"Bukankah engkau Sang Babi berambut-Besi dari Gunung Keberkahan? Bagaimana bisa engkau memiliki peruntungan yang bagus dengan melakukan perjalanan bersama seorang rahib suci?"

 

"Tahun lalu," jawab Babi, "aku beralih-keyakinan atas jasa Bodhisattva Guānyīn, dan aku bersumpah bahwasanya aku akan pergi bersamanya sebagai seorang siswanya."

 

"Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan," seru sang petapa dengan gembira. Dia kemudian menunjuk pada Kera dan bertanya, "Siapakah tuan yang satu ini?"

 

"Petapa tua," kata Kera, "bagaimana bisa sampai engkau mengenalnya, tetapi tidak mengetahui siapa diriku?" - "Mohon maafkan atas kebodohanku," sang petapa menjawab. - "Dia adalah Sūn Wùkōng, siswa seniorku," Sānzàng menjelaskan. - "Aku minta maaf atas ketidaksopananku," kata sang petapa.

 

Sānzàng membungkuk sekali lagi dan bertanya kepadanya jalan menuju Kuil Halilintar Agung di Surga Barat. "Masih jauh," sang petapa menjawab, "masih jauh. Perjalanan itu akan panjang dan di sepanjang jalan ada banyak siluman dan harimau. Banyak sekali tantangannya."

 

"Masih berapa jauh lagi?" tanya Sānzàng dengan rasa ingin tahu yang besar. "Walaupun perjalanan ini sangat jauh dan panjang," jawab sang petapa, "kalian pasti sampai di sana pada akhirnya. Tetapi pengaruh-pengaruh jahat yang akan kalian hadapi sukar untuk dihalau. Aku memiliki sebuah Sutra Hati (心經, Xīn Jīng), yang terdiri dari 270 kata dalam 54 kalimat, dan jika engkau mendaraskannya ketika engkau bertemu dengan pengaruh-pengaruh buruk, engkau tidak akan menemui marabahaya." Sānzàng segera berlutut di hadapannya dan memohon kepada si petapa untuk mengajarkannya kepadanya. Lalu sang petapa itu pun membacakan-ulang khusus ditujukan kepadanya, yang berbunyi:

 

"Ketika Sang Bodhisattva Avalokiteśvara sedang bermeditasi pada Prajñāpāramitā (般若波羅蜜多, Bōrě bōluómì duō) yang mendalam, dia memahami bahwa lima gugus ini kosong dan hampa, serta dengan memahaminya dia terbebas dari penderitaan dan marabahaya.

 

'Śariputra, materi itu tidak berbeda dengan kekosongan dan kekosongan itu tidak berlainan dengan materi: materi adalah kehampaan dan kehampaan adalah materi. Demikian pula halnya dengan perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Śariputra, kelima gugus ini pada hakikatnya adalah kosong, tidak memiliki permulaan atau pun pengakhiran, bukan suci bukan pula tak-suci, dan tidak-bertambah juga tidak-berkurang. Dengan demikian, dalam kekosongan tidak ada materi, tidak ada perasaan, tidak ada pencerapan, tidak ada bentuk-bentuk pikiran, dan tidak ada kesadaran. Tidak ada mata, tidak ada telinga, tidak ada hidung, tidak ada lidah, tidak ada tubuh, dan tidak ada batin. Tidak ada penglihatan, tidak ada bunyi, tidak ada bebauan, tidak ada rasa, tidak ada sentuhan, dan tidak ada proses batin. Tidak ada kategori mata tidak juga ada kategori kesadaran. Tidak ada kebodohan, tidak ada pula penghentian kebodohan. Tidak ada usia tua dan kematian, tidak juga penghentian usia tua dan kematian. Tidak ada penderitaan, tidak ada sebab-musabab penderitaan, tidak ada penghentian penderitaan, tidak ada jalan menuju penghentian penderitaan. Serta dengan tidak adanya kebijaksanaan, tidak ada pula sesuatu yang diperoleh. Karena tidak ada yang diperoleh, seorang Bodhisattva bergantung pada Prajñāpāramitā, yang membuatnya terbebaskan dalam batinnya. Dan karena dia terbebaskan dalam batinnya dia tidak memiliki ketakutan, serta dia terbersihkan dari pikiran menyerupai mimpi terhadap bukan-realitas, dan dia menikmati Nirvāṇa pada akhirnya. Dengan bergantung pada Prajñāpāramitā semua Buddha yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang merealisasi anuttarā samyak-saṃbodhi.

 

Maka dari itu, kita mengetahui sebuah pengejaan yang agung, pengejaan dewata, pengejaan pencerahan dewata, pengejaan tertinggi, dan sebuah pengejaan tanpa ada yang menyerupainya, yang dapat mengenyahkan semua penderitaan tanpa kegagalan. Marilah kita mendaraskan pengejaan Prajñāpāramitā dan mengucapkan: Gate, gate, paragate, parasamgate, bodhi, svaha!' "

 

Ketika Sang Patriakh dari Táng telah mendapatkan asal-mula pencerahan di dalam dirinya sendiri, dia mampu mengingat Sutra Hati cukup dengan mendengarkannya sekali saja, dan sutra ini telah diturunkan pula sejak hari itu. Sutra ini menjadi inti pengembangan kebenaran, dan sekaligus pintu-gerbang menjadi seorang Buddha. (diambil dari: Wú Chéng'ēn, Perjalanan ke Barat, Bab ke-19).

 

Demikianlah ajaran inti dari Guānyīn Púsà.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231101 

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar