Rabu, 29 November 2023

DIPA MA



Pada suatu kesempatan Sang Buddha menyebutkan nama-nama dari dua puluh satu siswa perumah-tangga terkemuka (upāsaka dan upāsaka) yang telah mencapai realisasi jalan (magga) dan buah (phala). Yang keempat dalam daftar ini kita temukan nama umat awam bernama Citta dari Macchikāsaṇḍa, dekat Sāvatthī (Aṅguttara Nikāya 6:120). Pada kesempatan lain Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: "Jika seorang ibu yang berbakti ingin memberi semangat kepada putera tunggal kesayangannya dengan cara yang benar, dia dapat mengatakan kepadanya: 'Cobalah menjadi seperti perumah-tangga Citta, sayangku, atau seperti perumah-tangga Hatthaka dari Ālavi.' Keduanya, Citta dan Hatthaka, adalah teladan dan standar pembimbing bagi umat awamku." Kini sudah lebih dari dua-ribu-lima-ratus tahun lewat sejak Sang Buddha mangkat, dan pertanyaan penting ini: Apakah ada seorang perumah-tangga yang bisa kita jadikan suri-tauladan di zaman ini?

 

Selama masa hidupnya yang bermula di permulaan abad kedua puluh hingga mendekati pergantian abad yang berikutnya, tokoh kita ini telah berhasil mengatasi tragedi-tragedi yang dialaminya dengan melakukan meditasi secara intens, lalu menjalani kehidupannya dengan tenang. Dia dikelilingi oleh keluarga-keluarga, para sahabat, dan siswa-siswanya. Dia menjadi tokoh penting dalam sejarah agama Buddha modern, dengan menjadikannya sebagai guru dan tauladan bagi masyarakat awam, yang mana mereka berupaya mencapai pencerahan sambil tetap menjalankan tanggung jawab keluarga. Kehidupannya merupakan sumber inspirasi besar bagi siswa-siswanya, banyak di antara mereka yang kemudian menyebarkan pesan dharma Buddhis versinya kepada orang lain.

 

Dipa Ma terlahir sebagai Nani Bala Barua pada tanggal 25 Maret 1911. Tempat kelahirannya adalah sebuah dusun kecil di Dataran Chittagong, dalam kawasan etno-linguistik Benggala di sebelah timur India, yang sejak tahun 1971 berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat Bangladesh. Chittagong sendiri letaknya dekat dengan perbatasan Burma (kemudian berganti nama menjadi Myanmar). Meskipun jumlah umat Buddha di Bangladesh hanya 0,61 persen dari populasi penduduk di negeri itu, keluarga Nani berasal dari sebuah klen yang silsilahnya bisa ditelusuri hingga zaman Buddha Gautama. Orang-orang di komunitasnya menjalankan ritual dan adat istiadat Buddhis, namun mereka tidak sampai mempraktikkan meditasi dalam setiap ritual keagamaan mereka. Urusan pengembangan batin, seperti meditasi, hanya menjadi tradisi para bhikkhu dan bhikkhuni di negeri tersebut.

 

Sejak usia dini Nani menunjukkan minat yang besar terhadap ritual dan praktik Buddha. Dia kerap membantu para bhikkhu di kuil setempat dan membuat patung Buddha. Alih-alih bermain dengan anak-anak sebayanya, dia banyak membaca dan belajar, dan sering kali mendiskusikan masalah keyakinan dan praktik Dhamma dengan ayahnya. Karena dia perempuan, nasibnya memang tidak berbeda jauh dengan anak-anak gadis seusianya, yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal di desanya. Anak perempuan begitu mencapai masa akil balig diharapkan menikah dini, dan dalam usia yang amat muda menurut ukuran zaman kita, mereka harus mulai melahirkan dan mengasuh bayi. Pernikahan ini biasanya diatur dan ditentukan oleh orang tua dari pasangan tersebut. Ketika Nani berumur dua-belas tahun, dia telah meninggalkan rumah dan dusunnya, dan dinikahkan dengan seorang insinyur muda. Suaminya telah berusia dua-puluh-lima tahun atau dua kali lipat umur Nani, bernama Rajani Ranjan Barua. Baru saja menjadi pengantin baru, Nani hanya bisa menangis ketika seminggu kemudian suaminya harus pergi meninggalkannya. Rajani harus bekerja di Rangoon, ibukota Burma (Rangoon kemudian berganti nama menjadi Yangon pada tahun 1989). Selama dua tahun dia tinggal bersama mertuanya, hingga akhirnya dia berangkat dengan perahu untuk bergabung dengan suaminya, di kota terbesar di negeri itu.

 

Segera setelah tiba di Rangoon, Nani melihat kehidupan di negeri Buddhis itu berbeda dengan dusun kelahirannya. Suasana kehidupan keagamaan di sana masih terasa, seperti zaman ketika Sang Guru Agung masih hidup. Nani melihat begitu banyak bhaddanta, ashin, dan sayadaw hilir mudik di jalan-jalan di kota Rangoon. Mereka dalam kesehariannya banyak menghabiskan waktu untuk bermeditasi secara khusyuk di dalam biara-biara. Meditasi bagi para biarawan bukanlah duduk bersila dengan mata dipejamkan selama 5 hingga 10 menit dalam suasana hening, seperti yang sering dilakukan oleh umat yang melakukan pujabakti di vihara. Mereka melakukannya dengan intens dalam waktu yang relatif panjang, dengan ditunjang oleh teori-teori yang bersumber dari kitab-kitab suci, dan biasanya selalu dipandu oleh seorang guru meditasi yang handal. Tanpa bimbingannya seorang meditator pemula bisa salah jalan. Nani yang sudah berumur empat-belas tahun meminta izin suaminya untuk belajar meditasi. Suaminya tidak menentang gagasan tersebut, namun dia dan isterinya masih berstatus perumah-tangga, yakni bukan biarawan. Secara tradisional, para perumah-tangga tidak melakukan praktik keagamaan yang sedemikian intensnya; sampai mereka telah memenuhi tanggung jawab khususnya, yaitu setelah mereka berhasil membesarkan anak-anak mereka. Karena itu Rajani menyuruh Nani untuk menunda belajar meditasi sampai dia dewasa.

 

Nani menemui kesulitan besar ketika mencoba memiliki anak. Sesungguhnya dalam usia yang begitu muda, seorang gadis seusai dia belum memiliki rahim yang cukup kuat. Namun masyarakat pada masa itu mengharapkan perempuan muda sudah pantas menjadi seorang ibu. Jika dia sampai tidak memilikinya, akan mendatangkan aib bagi keluarganya. Belakangan dia hamil juga, namun anaknya meninggal saat masih bayi. Anak kedua juga meninggal saat puteranya itu masih sangat kecil. Akhirnya, setelah menikah selama dua-puluh-tujuh tahun, Nani melahirkan seorang puteri dengan selamat. Nama puterinya adalah Dipa, yang dalam bahasa Bengali bermakna "Cahaya". Untuk selanjutnya Nani dipanggil dengan merujuk pada Dipa, yakni Dipa Ma yang artinya "ibu dari Dipa". Orang kemudian memanggil dan mengenangnya sebagai Sang Ibu Cahaya. Bersamaan dengan kelahiran puteri semata wayangnya, Dipa Ma dan suaminya juga mengadopsi adik laki-laki Dipa Ma, yang bernama Bijoy.

 

Segera setelah puterinya lahir, kesehatan Dipa Ma berangsur-angsur turun. Dia menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi yang kronis, dan selama beberapa tahun dia tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Suaminya sendiri yang kemudian merawatnya, namun suatu hari di tahun 1957, yakni ketika dia berumur lima-puluh-sembilan tahun, dia pulang kerja sambil mengeluh bahwa dia juga mengalami nyeri di bagian dadanya. Saat itulah terbukti bahwa mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Rajani yang menjadi andalan utama dalam keluarga itu, meninggal beberapa jam sesudahnya, karena dia terkena serangan jantung. Dipa Ma yang sudah tidak berdaya di tempat pembaringannya, langsung merasakan kegelapan dan kesedihan yang amat sangat. Dia pun merasa ajal akan segera menjemputnya. Namun dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup dalam mobilitasnya yang terbatas, adalah mengendalikan dirinya melalui meditasi. Dia mengatakan bahwa selama periode kesedihan dan kebingungan ini, dia bermimpi melihat Sang Buddha mendatanginya. Kemudian Sang Guru melantunkan syair berikut dari kitab suci Dhammapada:

 

"Piyato jāyatī soko,

piyato jāyatī bhayaṁ;

piyato vippamuttassa natthi soko,

kuto bhayaṁ?"

 

"Dari rasa cinta timbul kesedihan,

Dari rasa cinta timbul ketakutan;

Bagi orang yang bebas dari rasa cinta, tidak ada kesedihan,

Jadi bagaimana bisa muncul ketakutan?"

 

Dipa Ma lalu memutuskan untuk melakukan satu langkah penting dalam hidupnya. Dia menyerahkan harta benda dan pengasuhan puterinya kepada tetangga, dan dia sendiri mendaftarkan diri ke Pusat Meditasi Kamayut di Rangoon. Niatnya semula tidak lain menghabiskan sisa hidupnya di sana, namun kejadian berubah secara tak terduga. Pada hari pertamanya, dia berhasil masuk ke dalam konsentrasi meditasi yang mendalam. Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai dia menyadari bahwa dia tidak mampu menggerakkan kakinya, dan anehnya dia tidak merasakan sakit sama sekali. Akhirnya dia menyadari seekor anjing sedang menggigit kakinya, dan makhluk keparat itu tidak mau melepaskannya. Para bhikkhu segera mengusir anjing itu, dan mereka segera membawa Dipa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Setelah dia diberikan suntikan anti rabies, Dipa Ma dipersilahkan pulang ke rumah agar luka-lukanya segera pulih. Puterinya yang senang ibunya kembali, bersikeras agar ibunya tidak kembali ke pusat pelatihan tersebut. Dipa Ma kemudian memutuskan akan berlatih meditasi di rumah. Para pembaca hendaknya memahami bahwa Dipa Na ini seorang manusia yang luar biasa. Hanya dengan pelatihan mandiri, dia berhasil dalam sekejap untuk masuk ke dalam tingkat konsentrasi yang mendalam. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki kemampuan seperti itu. Sungguh dia seorang yang memiliki bakat untuk mencapai samadhi setinggi itu.

 

Selama beberapa tahun Dipa Ma bermeditasi di rumah. Seorang sahabatnya, Anagārika Shri Munindra (1915 - 14-Okt-2003), sering dipanggil Munindraji, yang merupakan pemuka agama Buddha di India, juga pengawas Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā dari tahun 1953 sampai 1957. Munindra, yang belakangan menjadi seorang guru meditasi vipassanā, kemudian mendorong Dipa Ma untuk berlatih di Pusat Meditasi Thathana Yeiktha di Burma, guna belajar di bawah bimbingan guru yang tersohor: Mahasi Sayadaw. Saat ini Dipa Ma berusia lima puluh tiga tahun dan sangat lemah, sehingga dia hampir tidak bisa menaiki tangga menuju pusat pelatihan. Setelah belajar sebentar, Dipa Ma mampu memasuki tahap konsentrasi yang mendalam dan sekarang terbukti meditasi pula yang berhasil mengubah kondisi hidupnya. Kondisi tubuhnya secara keseluruhan membaik. Tekanan darahnya pun turun, dan kelemahan di kakinya hilang perlahan-lahan. Alih-alih merasa berpenyakitan dan berduka, Dipa Ma mendapati dirinya terlahir kembali sebagai wanita yang sehat, bertenaga, dan bahagia.

 

Para kerabat dan sahabat tercengang-cengang melihat kondisi Dipa Ma sekarang, dari seorang perempuan setengah baya yang ringkih didera berbagai penyakit, sekarang bertransformasi menjadi sesosok wanita yang kuat. Beberapa dari mereka, termasuk puterinya sendiri dan saudara perempuan Dipa Ma, Hema, bergabung dengannya di pusat meditasi tersebut. Hema sendiri memiliki delapan anak dengan lima di antaranya masih tinggal di rumah. Selama hampir satu tahun, mereka semua mengikuti praktik meditasi secara intensif di pusat pelatihan tersebut. Mereka selalu menjaga keheningan, menghindari kontak mata dengan orang lain, tidur hanya empat jam setiap malam, dan berpantang makan setelah tengah hari. Meditasi yang diajarkan oleh Mahasi Sayadaw, biasanya dilakukan dengan pengamatan terhadap keluar-masuknya napas. Jadi pikiran kita tidak dibiarkan mengembara kemana-mana. Kita cukup mengamati napas yang masuk dan napas yang keluar setiap saat, dengan fokus pada gerakan yang terjadi di perut kita. Pengamatan terhadap gerakan perut yang naik dan turun, sebagai adanya aktivitas pernapasan, bisa diamati sepanjang hari. Lama kelamaan sang meditator menyadari kefanaan secara jelas. Kefanaan dan ketidakkekalan adalah salah satu metode Buddhis, yang dituntut agar setiap orang menyelidiki dirinya sendiri.

 

Namun pada tahun 1967, Pemerintah Burma memerintahkan semua orang asing untuk meninggalkan negaranya. Para bhikkhu di pusat pelatihan tersebut percaya bahwa Dipa Ma bisa saja tetap tinggal jika dia mau, namun dia memutuskan untuk pindah ke Calcutta (sekarang Kolkata, ibukota Benggala Barat), India. Dia percaya bahwa di Calcutta puterinya akan memiliki lebih banyak kesempatan melanjutkan pendidikannya. Dia dan Dipa pindah ke sana, dan mereka tinggal di sebuah ruangan kecil di atas sebuah bengkel mesin. Ruangan tersebut tidak dilengkapi oleh air keran, dan keduanya harus berbagi kamar mandi dengan keluarga lainnya. Mereka memasak di atas panggangan arang kecil di lantai. Dipa Ma sendiri tidur di atas kasur jerami tipis di atas lantai.

 

Kabar dengan cepat menyebar ke seluruh kota bahwa seorang guru meditasi berbakat telah tiba dari Burma. Tak lama kemudian orang-orang muncul di depan pintu rumah Dipa Ma untuk mendapatkan petunjuk. Dalam pikiran orang-orang yang akan berkunjung, guru meditasi adalah bhikkhu atau guru spiritual yang cukup umur, dan selalu laki-laki. Faktanya, penganut agama Buddha tradisional di sana percaya bahwa hanya laki-laki yang bisa mencapai pencerahan, seperti Buddha. Seorang wanita harus terlahir kembali sebagai pria di kehidupan mendatang agar bisa mencapai tataran serupa. Dipa Ma, bagaimana pun, mengajarkan meditasi kepada orang-orang yang berumah tangga, kebanyakan dari mereka adalah wanita; yang mencoba menyeimbangkan pekerjaan rumah tangga dengan keinginan untuk mendapatkan pencerahan spiritual. Beberapa pengikutnya menyebut Dipa Ma sebagai "Santo pelindung para perumah-tangga".

 

Karir panjang Dipa Ma dalam membimbing umat perumah-tangga telah dimulai di Burma. Salah satu siswa pertamanya, Malati, adalah seorang janda dan ibu tunggal yang mengasuh enam anak kecil. Dipa Ma merancang praktik yang dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti menghadirkan pikiran sepenuhnya, pada saat berlangsungnya sensasi bayi menyusu di dadanya. Seperti yang diharapkan Dipa Ma, dengan melatih kewaspadaan ketika dia menyusui bayinya, Malati mencapai pencerahan tingkat pertama. Mungkin ada pembaca yang seringkali mendengar istilah ini: mindfulness, yang maknanya adalah "kewaspadaan". Mindfulness membuat seseorang menyadari dan mendalami aktivitas yang sedang dilakukannya, serta menjadikan aktivitas tersebut sebagai kepuasan yang sedang dijalaninya.

 

Di Calcutta, Dipa Ma berulang kali menangani situasi yang serupa. Sudipti, seorang ibu rumah tangga yang cacat, berjuang merawat seorang anak laki-laki yang sakit jiwa. Dipa Ma mengajarinya latihan vipassanā, tetapi Sudipti bersikeras bahwa dia tidak punya waktu untuk mempraktikkan meditasi, karena dia mempunyai begitu banyak tanggung jawab untuk mencari nafkah dan mengurus keluarganya. Dipa Ma memberi tahu Sudipti bahwa ketika dia memikirkan tentang keluarga atau sedang mencari nafkah, dia bisa melakukannya dengan penuh perhatian. "Manusia tidak akan pernah menyelesaikan semua masalahnya," ajarnya. “Satu-satunya cara adalah dengan memberikan perhatian pada apa pun yang Anda alami. Dan jika Anda hanya bisa bermeditasi lima menit sehari, Anda wajib melaksanakannya."

 

Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya kepada Sudipti apakah dia boleh bermeditasi saat itu juga selama lima menit." Jadi saya duduk bersamanya selama lima menit," kenang Sudipti. "Kemudian dia memberi saya petunjuk meditasi, meskipun saya bilang saya tidak punya waktu. Entah bagaimana saya menemukan waktu lima menit sehari, dan saya mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi sangat terinspirasi. Saya dapat menemukan waktu yang lebih lama dan lebih lama untuk bermeditasi, dan tak lama kemudian saya bermeditasi berjam-jam sehari, hingga larut malam; terkadang sepanjang malam, setelah pekerjaan saya selesai. Saya menemukan energi dan waktu yang sebelumnya tidak saya sadari."

 

Siswa India lainnya, Dipak, ingat Dipa Ma menggodanya: "Oh, kamu datang dari kantor. Pikiranmu pasti sangat sibuk." Tapi kemudian dia dengan keras memerintahkannya untuk berubah pikiran. "Saya bilang padanya bahwa bekerja di bank itu banyak perhitungannya, dan pikiran saya selalu gelisah," kata Dipak. "Tidak mungkin untuk berlatih. Aku terlalu sibuk." Namun Dipa Ma tetap teguh, bersikeras bahwa, "Jika kamu sibuk, maka kesibukan adalah meditasi. Dan ketika kamu melakukan perhitungan, ketahuilah bahwa kamu sedang melakukan perhitungan. Meditasi selalu memungkinkan, kapan saja. Jika Anda terburu-buru ke kantor, maka Anda harus berhati-hati dalam keterburu-buruanmu."

 

Jenis meditasi yang diaplikasikan oleh Dipa Ma dinamakan vipassanā bhāvanā, atau meditasi "wawasan" atau "meditasi pandangan terang". Jenis meditasi ini dipraktikkan oleh Sang Buddha sendiri dan merupakan jenis pemusatan pikiran yang khas Buddhistik. Tujuan vipassanā adalah memusatkan kesadaran pada tubuh dan pengalaman indera. Beberapa praktisi memusatkan perhatian secara terpisah pada berbagai bagian tubuh mereka, melakukan apa yang kadang-kadang disebut "sapuan tubuh", berkonsentrasi secara bergantian pada jari kaki, telapak kaki, tungkai, dan seterusnya. Yang lain fokus pada pernapasan mereka. Dengan memusatkan perhatian pada ritme pernapasan, seseorang dikatakan mampu "mengeluarkan napas" pikiran-pikiran negatif dan "menghirup" kualitas-kualitas seperti toleransi dan kesabaran. Seseorang mungkin juga memvisualisasikan napasnya sebagai cahaya yang memancar dari tubuh, yang mampu menyebarkan kedamaian dan kebahagiaan.

 

Murid-murid Dipa Ma mengatakan bahwa mereka belajar bukan dari apa yang dia lakukan, tapi dari siapa dia. Jadi dalam berlatih meditasi, hubungan personal antara guru dan siswa adalah hal yang penting. Mereka mengklaim kehadirannya saja sudah cukup untuk meningkatkan rasa damai dan perhatian pada diri mereka. Dia adalah seorang guru yang banyak menuntut, bersikeras agar murid-muridnya tidak malas saat mereka berlatih meditasi, namun di balik semua itu dia juga sosok yang baik hati dan penuh kasih sayang. Dia akan menyapa murid-muridnya dengan memberkati mereka dan membelai rambut mereka, dan dia membagikan berkahnya kepada orang-orang, hewan, dan bahkan benda mati di jalan.

 

Pada tahun 1980-an Dipa Ma melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mengajarkan tekniknya di Insight Meditation Society di Massachusetts. Perkumpulan ini didirikan oleh tiga orang Barat, yakni Joseph Goldstein, Jack Kornfield, dan Sharon Salzberg. Ketiganya sering bepergian ke Calcutta untuk bertemu dan belajar dari Dipa Ma. Seperti dikutip Amy Schmidt dalam buku Dipa Ma: Kehidupan dan Warisan Seorang Guru Buddha, Goldstein berkata, "Mungkin ada beberapa saat dalam hidup kita ketika kita bertemu seseorang yang sangat tidak biasa sehingga dia mengubah cara hidup kita; dengan menjadi diri mereka sendiri. Dipa Ma adalah orang yang seperti itu ... Keheningan dan cintanya berbeda dari siapa pun yang pernah saya temui sebelumnya."

 

Dipa Ma meninggal pada tanggal 1 September 1989. Menurut seorang tetangga yang berada di sisinya pada saat kematiannya, di saat-saat terakhirnya dia melipat tangan dengan sikap anjali, lalu membungkuk di hadapan patung Buddha. Dia kemudian berhenti bernapas, meninggal dunia dengan tenang, sama seperti yang dia alami selama beberapa dekade terakhir dalam hidupnya. Ajarannya bertahan melalui upaya siswa-siswanya. Banyak di antaranya kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231129



Tidak ada komentar:

Posting Komentar