Pada suatu kesempatan Sang Buddha
menyebutkan nama-nama dari dua puluh satu siswa perumah-tangga terkemuka
(upāsaka dan upāsaka) yang telah mencapai realisasi jalan (magga) dan
buah (phala). Yang keempat dalam daftar ini kita temukan nama umat awam
bernama Citta dari Macchikāsaṇḍa, dekat Sāvatthī (Aṅguttara Nikāya
6:120). Pada kesempatan lain Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:
"Jika seorang ibu yang berbakti ingin memberi semangat kepada putera
tunggal kesayangannya dengan cara yang benar, dia dapat mengatakan kepadanya:
'Cobalah menjadi seperti perumah-tangga Citta, sayangku, atau seperti
perumah-tangga Hatthaka dari Ālavi.' Keduanya, Citta dan Hatthaka,
adalah teladan dan standar pembimbing bagi umat awamku." Kini sudah lebih
dari dua-ribu-lima-ratus tahun lewat sejak Sang Buddha mangkat, dan pertanyaan
penting ini: Apakah ada seorang perumah-tangga yang bisa kita jadikan
suri-tauladan di zaman ini?
Selama masa hidupnya yang bermula di permulaan abad kedua puluh hingga
mendekati pergantian abad yang berikutnya, tokoh kita ini telah berhasil
mengatasi tragedi-tragedi yang dialaminya dengan melakukan meditasi secara
intens, lalu menjalani kehidupannya dengan tenang. Dia dikelilingi oleh
keluarga-keluarga, para sahabat, dan siswa-siswanya. Dia menjadi tokoh penting
dalam sejarah agama Buddha modern, dengan menjadikannya sebagai guru dan
tauladan bagi masyarakat awam, yang mana mereka berupaya mencapai pencerahan
sambil tetap menjalankan tanggung jawab keluarga. Kehidupannya merupakan sumber
inspirasi besar bagi siswa-siswanya, banyak di antara mereka yang kemudian
menyebarkan pesan dharma Buddhis versinya kepada orang lain.
Dipa Ma terlahir sebagai Nani Bala Barua pada tanggal 25 Maret 1911. Tempat
kelahirannya adalah sebuah dusun kecil di Dataran Chittagong, dalam kawasan
etno-linguistik Benggala di sebelah timur India, yang sejak tahun 1971 berada
di bawah kekuasaan Republik Rakyat Bangladesh. Chittagong sendiri letaknya
dekat dengan perbatasan Burma (kemudian berganti nama menjadi Myanmar).
Meskipun jumlah umat Buddha di Bangladesh hanya 0,61 persen dari populasi
penduduk di negeri itu, keluarga Nani berasal dari sebuah klen yang silsilahnya
bisa ditelusuri hingga zaman Buddha Gautama. Orang-orang di komunitasnya
menjalankan ritual dan adat istiadat Buddhis, namun mereka tidak sampai
mempraktikkan meditasi dalam setiap ritual keagamaan mereka. Urusan
pengembangan batin, seperti meditasi, hanya menjadi tradisi para bhikkhu dan
bhikkhuni di negeri tersebut.
Sejak usia dini Nani menunjukkan minat yang besar terhadap ritual dan
praktik Buddha. Dia kerap membantu para bhikkhu di kuil setempat dan membuat
patung Buddha. Alih-alih bermain dengan anak-anak sebayanya, dia banyak membaca
dan belajar, dan sering kali mendiskusikan masalah keyakinan dan praktik Dhamma
dengan ayahnya. Karena dia perempuan, nasibnya memang tidak berbeda jauh dengan
anak-anak gadis seusianya, yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
mengenyam pendidikan formal di desanya. Anak perempuan begitu mencapai masa
akil balig diharapkan menikah dini, dan dalam usia yang amat muda menurut
ukuran zaman kita, mereka harus mulai melahirkan dan mengasuh bayi. Pernikahan
ini biasanya diatur dan ditentukan oleh orang tua dari pasangan tersebut. Ketika
Nani berumur dua-belas tahun, dia telah meninggalkan rumah dan dusunnya, dan
dinikahkan dengan seorang insinyur muda. Suaminya telah berusia dua-puluh-lima
tahun atau dua kali lipat umur Nani, bernama Rajani Ranjan Barua. Baru saja
menjadi pengantin baru, Nani hanya bisa menangis ketika seminggu kemudian
suaminya harus pergi meninggalkannya. Rajani harus bekerja di Rangoon, ibukota
Burma (Rangoon kemudian berganti nama menjadi Yangon pada tahun 1989). Selama
dua tahun dia tinggal bersama mertuanya, hingga akhirnya dia berangkat dengan
perahu untuk bergabung dengan suaminya, di kota terbesar di negeri itu.
Segera setelah tiba di Rangoon, Nani melihat kehidupan di negeri Buddhis
itu berbeda dengan dusun kelahirannya. Suasana kehidupan keagamaan di sana
masih terasa, seperti zaman ketika Sang Guru Agung masih hidup. Nani melihat
begitu banyak bhaddanta, ashin, dan sayadaw hilir mudik di
jalan-jalan di kota Rangoon. Mereka dalam kesehariannya banyak menghabiskan
waktu untuk bermeditasi secara khusyuk di dalam biara-biara. Meditasi bagi para
biarawan bukanlah duduk bersila dengan mata dipejamkan selama 5 hingga 10 menit
dalam suasana hening, seperti yang sering dilakukan oleh umat yang melakukan
pujabakti di vihara. Mereka melakukannya dengan intens dalam waktu yang relatif
panjang, dengan ditunjang oleh teori-teori yang bersumber dari kitab-kitab
suci, dan biasanya selalu dipandu oleh seorang guru meditasi yang handal. Tanpa
bimbingannya seorang meditator pemula bisa salah jalan. Nani yang sudah berumur
empat-belas tahun meminta izin suaminya untuk belajar meditasi. Suaminya tidak
menentang gagasan tersebut, namun dia dan isterinya masih berstatus perumah-tangga,
yakni bukan biarawan. Secara tradisional, para perumah-tangga tidak melakukan
praktik keagamaan yang sedemikian intensnya; sampai mereka telah memenuhi
tanggung jawab khususnya, yaitu setelah mereka berhasil membesarkan anak-anak
mereka. Karena itu Rajani menyuruh Nani untuk menunda belajar meditasi sampai
dia dewasa.
Nani menemui kesulitan besar ketika mencoba memiliki anak. Sesungguhnya
dalam usia yang begitu muda, seorang gadis seusai dia belum memiliki rahim yang
cukup kuat. Namun masyarakat pada masa itu mengharapkan perempuan muda sudah
pantas menjadi seorang ibu. Jika dia sampai tidak memilikinya, akan
mendatangkan aib bagi keluarganya. Belakangan dia hamil juga, namun anaknya
meninggal saat masih bayi. Anak kedua juga meninggal saat puteranya itu masih
sangat kecil. Akhirnya, setelah menikah selama dua-puluh-tujuh tahun, Nani
melahirkan seorang puteri dengan selamat. Nama puterinya adalah Dipa, yang
dalam bahasa Bengali bermakna "Cahaya". Untuk selanjutnya Nani
dipanggil dengan merujuk pada Dipa, yakni Dipa Ma yang artinya "ibu dari
Dipa". Orang kemudian memanggil dan mengenangnya sebagai Sang Ibu Cahaya.
Bersamaan dengan kelahiran puteri semata wayangnya, Dipa Ma dan suaminya juga
mengadopsi adik laki-laki Dipa Ma, yang bernama Bijoy.
Segera setelah puterinya lahir, kesehatan Dipa Ma berangsur-angsur turun.
Dia menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi yang kronis, dan selama
beberapa tahun dia tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Suaminya sendiri
yang kemudian merawatnya, namun suatu hari di tahun 1957, yakni ketika dia
berumur lima-puluh-sembilan tahun, dia pulang kerja sambil mengeluh bahwa dia
juga mengalami nyeri di bagian dadanya. Saat itulah terbukti bahwa mujur tak
dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Rajani yang menjadi andalan utama
dalam keluarga itu, meninggal beberapa jam sesudahnya, karena dia terkena
serangan jantung. Dipa Ma yang sudah tidak berdaya di tempat pembaringannya,
langsung merasakan kegelapan dan kesedihan yang amat sangat. Dia pun merasa
ajal akan segera menjemputnya. Namun dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk
bertahan hidup dalam mobilitasnya yang terbatas, adalah mengendalikan dirinya
melalui meditasi. Dia mengatakan bahwa selama periode kesedihan dan kebingungan
ini, dia bermimpi melihat Sang Buddha mendatanginya. Kemudian Sang Guru
melantunkan syair berikut dari kitab suci Dhammapada:
"Piyato jāyatī soko,
piyato jāyatī bhayaṁ;
piyato vippamuttassa natthi soko,
kuto bhayaṁ?"
"Dari rasa cinta timbul kesedihan,
Dari rasa cinta timbul ketakutan;
Bagi orang yang bebas dari rasa cinta, tidak ada kesedihan,
Jadi bagaimana bisa muncul ketakutan?"
Dipa Ma lalu memutuskan untuk melakukan satu langkah penting dalam
hidupnya. Dia menyerahkan harta benda dan pengasuhan puterinya kepada tetangga,
dan dia sendiri mendaftarkan diri ke Pusat Meditasi Kamayut di Rangoon.
Niatnya semula tidak lain menghabiskan sisa hidupnya di sana, namun kejadian
berubah secara tak terduga. Pada hari pertamanya, dia berhasil masuk ke dalam
konsentrasi meditasi yang mendalam. Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai
dia menyadari bahwa dia tidak mampu menggerakkan kakinya, dan anehnya dia tidak
merasakan sakit sama sekali. Akhirnya dia menyadari seekor anjing sedang
menggigit kakinya, dan makhluk keparat itu tidak mau melepaskannya. Para
bhikkhu segera mengusir anjing itu, dan mereka segera membawa Dipa ke rumah
sakit untuk mendapatkan perawatan. Setelah dia diberikan suntikan anti rabies,
Dipa Ma dipersilahkan pulang ke rumah agar luka-lukanya segera pulih. Puterinya
yang senang ibunya kembali, bersikeras agar ibunya tidak kembali ke pusat
pelatihan tersebut. Dipa Ma kemudian memutuskan akan berlatih meditasi di
rumah. Para pembaca hendaknya memahami bahwa Dipa Na ini seorang manusia yang
luar biasa. Hanya dengan pelatihan mandiri, dia berhasil dalam sekejap untuk
masuk ke dalam tingkat konsentrasi yang mendalam. Tidak banyak orang di dunia
ini yang memiliki kemampuan seperti itu. Sungguh dia seorang yang memiliki
bakat untuk mencapai samadhi setinggi itu.
Selama beberapa tahun Dipa Ma bermeditasi di rumah. Seorang sahabatnya, Anagārika
Shri Munindra (1915 - 14-Okt-2003), sering dipanggil Munindraji, yang merupakan
pemuka agama Buddha di India, juga pengawas Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā dari
tahun 1953 sampai 1957. Munindra, yang belakangan menjadi seorang guru meditasi
vipassanā, kemudian mendorong Dipa Ma untuk berlatih di Pusat Meditasi Thathana
Yeiktha di Burma, guna belajar di bawah bimbingan guru yang tersohor:
Mahasi Sayadaw. Saat ini Dipa Ma berusia lima puluh tiga tahun dan sangat
lemah, sehingga dia hampir tidak bisa menaiki tangga menuju pusat pelatihan.
Setelah belajar sebentar, Dipa Ma mampu memasuki tahap konsentrasi yang
mendalam dan sekarang terbukti meditasi pula yang berhasil mengubah kondisi
hidupnya. Kondisi tubuhnya secara keseluruhan membaik. Tekanan darahnya pun
turun, dan kelemahan di kakinya hilang perlahan-lahan. Alih-alih merasa berpenyakitan
dan berduka, Dipa Ma mendapati dirinya terlahir kembali sebagai wanita yang
sehat, bertenaga, dan bahagia.
Para kerabat dan sahabat tercengang-cengang melihat kondisi Dipa Ma
sekarang, dari seorang perempuan setengah baya yang ringkih didera berbagai
penyakit, sekarang bertransformasi menjadi sesosok wanita yang kuat. Beberapa
dari mereka, termasuk puterinya sendiri dan saudara perempuan Dipa Ma, Hema,
bergabung dengannya di pusat meditasi tersebut. Hema sendiri memiliki delapan
anak dengan lima di antaranya masih tinggal di rumah. Selama hampir satu tahun,
mereka semua mengikuti praktik meditasi secara intensif di pusat pelatihan
tersebut. Mereka selalu menjaga keheningan, menghindari kontak mata dengan
orang lain, tidur hanya empat jam setiap malam, dan berpantang makan setelah
tengah hari. Meditasi yang diajarkan oleh Mahasi Sayadaw, biasanya dilakukan
dengan pengamatan terhadap keluar-masuknya napas. Jadi pikiran kita tidak
dibiarkan mengembara kemana-mana. Kita cukup mengamati napas yang masuk dan
napas yang keluar setiap saat, dengan fokus pada gerakan yang terjadi di perut
kita. Pengamatan terhadap gerakan perut yang naik dan turun, sebagai adanya
aktivitas pernapasan, bisa diamati sepanjang hari. Lama kelamaan sang meditator
menyadari kefanaan secara jelas. Kefanaan dan ketidakkekalan adalah salah satu
metode Buddhis, yang dituntut agar setiap orang menyelidiki dirinya sendiri.
Namun pada tahun 1967, Pemerintah Burma memerintahkan semua orang asing
untuk meninggalkan negaranya. Para bhikkhu di pusat pelatihan tersebut percaya
bahwa Dipa Ma bisa saja tetap tinggal jika dia mau, namun dia memutuskan untuk
pindah ke Calcutta (sekarang Kolkata, ibukota Benggala Barat), India. Dia
percaya bahwa di Calcutta puterinya akan memiliki lebih banyak kesempatan
melanjutkan pendidikannya. Dia dan Dipa pindah ke sana, dan mereka tinggal di
sebuah ruangan kecil di atas sebuah bengkel mesin. Ruangan tersebut tidak
dilengkapi oleh air keran, dan keduanya harus berbagi kamar mandi dengan
keluarga lainnya. Mereka memasak di atas panggangan arang kecil di lantai. Dipa
Ma sendiri tidur di atas kasur jerami tipis di atas lantai.
Kabar dengan cepat menyebar ke seluruh kota bahwa seorang guru meditasi
berbakat telah tiba dari Burma. Tak lama kemudian orang-orang muncul di depan
pintu rumah Dipa Ma untuk mendapatkan petunjuk. Dalam pikiran orang-orang yang
akan berkunjung, guru meditasi adalah bhikkhu atau guru spiritual yang cukup
umur, dan selalu laki-laki. Faktanya, penganut agama Buddha tradisional di sana
percaya bahwa hanya laki-laki yang bisa mencapai pencerahan, seperti Buddha.
Seorang wanita harus terlahir kembali sebagai pria di kehidupan mendatang agar
bisa mencapai tataran serupa. Dipa Ma, bagaimana pun, mengajarkan meditasi
kepada orang-orang yang berumah tangga, kebanyakan dari mereka adalah wanita;
yang mencoba menyeimbangkan pekerjaan rumah tangga dengan keinginan untuk
mendapatkan pencerahan spiritual. Beberapa pengikutnya menyebut Dipa Ma sebagai
"Santo pelindung para perumah-tangga".
Karir panjang Dipa Ma dalam membimbing umat perumah-tangga telah dimulai di
Burma. Salah satu siswa pertamanya, Malati, adalah seorang janda dan ibu
tunggal yang mengasuh enam anak kecil. Dipa Ma merancang praktik yang
dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti menghadirkan
pikiran sepenuhnya, pada saat berlangsungnya sensasi bayi menyusu di
dadanya. Seperti yang diharapkan Dipa Ma, dengan melatih kewaspadaan
ketika dia menyusui bayinya, Malati mencapai pencerahan tingkat pertama. Mungkin
ada pembaca yang seringkali mendengar istilah ini: mindfulness, yang
maknanya adalah "kewaspadaan". Mindfulness membuat seseorang
menyadari dan mendalami aktivitas yang sedang dilakukannya, serta menjadikan
aktivitas tersebut sebagai kepuasan yang sedang dijalaninya.
Di Calcutta, Dipa Ma berulang kali menangani situasi yang serupa. Sudipti,
seorang ibu rumah tangga yang cacat, berjuang merawat seorang anak laki-laki
yang sakit jiwa. Dipa Ma mengajarinya latihan vipassanā, tetapi Sudipti bersikeras bahwa dia tidak punya
waktu untuk mempraktikkan meditasi, karena dia mempunyai begitu banyak tanggung
jawab untuk mencari nafkah dan mengurus keluarganya. Dipa Ma memberi tahu
Sudipti bahwa ketika dia memikirkan tentang keluarga atau sedang mencari
nafkah, dia bisa melakukannya dengan penuh perhatian. "Manusia tidak
akan pernah menyelesaikan semua masalahnya," ajarnya. “Satu-satunya
cara adalah dengan memberikan perhatian pada apa pun yang Anda alami. Dan
jika Anda hanya bisa bermeditasi lima menit sehari, Anda wajib
melaksanakannya."
Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya kepada Sudipti apakah dia
boleh bermeditasi saat itu juga selama lima menit." Jadi saya duduk
bersamanya selama lima menit," kenang Sudipti. "Kemudian dia
memberi saya petunjuk meditasi, meskipun saya bilang saya tidak punya
waktu. Entah bagaimana saya menemukan waktu lima menit sehari, dan saya
mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi sangat terinspirasi. Saya
dapat menemukan waktu yang lebih lama dan lebih lama untuk bermeditasi, dan tak
lama kemudian saya bermeditasi berjam-jam sehari, hingga larut malam; terkadang
sepanjang malam, setelah pekerjaan saya selesai. Saya menemukan energi dan
waktu yang sebelumnya tidak saya sadari."
Siswa India lainnya, Dipak, ingat Dipa Ma menggodanya: "Oh, kamu
datang dari kantor. Pikiranmu pasti sangat sibuk." Tapi kemudian dia
dengan keras memerintahkannya untuk berubah pikiran. "Saya bilang
padanya bahwa bekerja di bank itu banyak perhitungannya, dan pikiran saya
selalu gelisah," kata Dipak. "Tidak mungkin untuk berlatih. Aku
terlalu sibuk." Namun Dipa Ma tetap teguh, bersikeras bahwa,
"Jika kamu sibuk, maka kesibukan adalah meditasi. Dan ketika kamu
melakukan perhitungan, ketahuilah bahwa kamu sedang melakukan
perhitungan. Meditasi selalu memungkinkan, kapan saja. Jika Anda
terburu-buru ke kantor, maka Anda harus berhati-hati dalam
keterburu-buruanmu."
Jenis meditasi yang diaplikasikan oleh Dipa Ma dinamakan vipassanā bhāvanā, atau
meditasi "wawasan" atau "meditasi pandangan terang". Jenis
meditasi ini dipraktikkan oleh Sang Buddha sendiri dan merupakan jenis
pemusatan pikiran yang khas Buddhistik. Tujuan vipassanā adalah
memusatkan kesadaran pada tubuh dan pengalaman indera. Beberapa praktisi
memusatkan perhatian secara terpisah pada berbagai bagian tubuh mereka,
melakukan apa yang kadang-kadang disebut "sapuan tubuh",
berkonsentrasi secara bergantian pada jari kaki, telapak kaki, tungkai, dan
seterusnya. Yang lain fokus pada pernapasan mereka. Dengan memusatkan perhatian
pada ritme pernapasan, seseorang dikatakan mampu "mengeluarkan napas"
pikiran-pikiran negatif dan "menghirup" kualitas-kualitas seperti
toleransi dan kesabaran. Seseorang mungkin juga memvisualisasikan napasnya
sebagai cahaya yang memancar dari tubuh, yang mampu menyebarkan kedamaian dan
kebahagiaan.
Murid-murid Dipa Ma mengatakan bahwa mereka belajar bukan dari apa yang dia
lakukan, tapi dari siapa dia. Jadi dalam berlatih meditasi, hubungan personal
antara guru dan siswa adalah hal yang penting. Mereka mengklaim kehadirannya
saja sudah cukup untuk meningkatkan rasa damai dan perhatian pada diri mereka.
Dia adalah seorang guru yang banyak menuntut, bersikeras agar murid-muridnya
tidak malas saat mereka berlatih meditasi, namun di balik semua itu dia juga
sosok yang baik hati dan penuh kasih sayang. Dia akan menyapa murid-muridnya
dengan memberkati mereka dan membelai rambut mereka, dan dia membagikan
berkahnya kepada orang-orang, hewan, dan bahkan benda mati di jalan.
Pada tahun 1980-an Dipa Ma melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk
mengajarkan tekniknya di Insight Meditation Society di Massachusetts.
Perkumpulan ini didirikan oleh tiga orang Barat, yakni Joseph Goldstein, Jack
Kornfield, dan Sharon Salzberg. Ketiganya sering bepergian ke Calcutta untuk
bertemu dan belajar dari Dipa Ma. Seperti dikutip Amy Schmidt dalam buku Dipa
Ma: Kehidupan dan Warisan Seorang Guru Buddha, Goldstein berkata,
"Mungkin ada beberapa saat dalam hidup kita ketika kita bertemu seseorang
yang sangat tidak biasa sehingga dia mengubah cara hidup kita; dengan menjadi
diri mereka sendiri. Dipa Ma adalah orang yang seperti itu ... Keheningan dan
cintanya berbeda dari siapa pun yang pernah saya temui sebelumnya."
Dipa Ma meninggal pada tanggal 1 September 1989. Menurut seorang tetangga
yang berada di sisinya pada saat kematiannya, di saat-saat terakhirnya dia
melipat tangan dengan sikap anjali, lalu membungkuk di hadapan patung
Buddha. Dia kemudian berhenti bernapas, meninggal dunia dengan tenang, sama
seperti yang dia alami selama beberapa dekade terakhir dalam hidupnya.
Ajarannya bertahan melalui upaya siswa-siswanya. Banyak di antaranya kemudian
mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
sdjn/dharmaprimapustaka/231129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar