Kita orang awam pasti pernah mendengar
bahwa pada tahun-tahun terakhir ini, ada perbincangan terjadinya pemanasan
global di bumi tempat kita tinggal. Dalam artikel kali ini penulis mencoba
menggambarkan apa itu pemanasan global dengan penjelasan yang mudah dicerna,
dan lalu apa dampaknya terhadap kehidupan kita. Selanjutnya kita akan meninjau
sebuah ajaran kuno yang masih relevan, guna merefleksikan diri, apakah kita ini
sebagai manusia telah melakukan hal yang salah kepada alam.
Pemanasan global itu adalah fenomena
nyata, karena terjadi kenaikan temperatur rata-rata pada atmosfer di atas
daratan dan lautan, serta bertambahnya suhu air laut di seluruh dunia. Jadi
terdapat kenaikan temperatur rata-rata di bumi kita ini selama seratus tahun
terakhir ini, dibandingkan suhu bumi sebelumnya. Singkatnya daratan dan
perairan lebih terasa hangat sekarang ini, dibandingkan dengan yang dialami
oleh kakek-buyut kita yang hidup sekitar satu abad yang lalu. Kenaikan suhu
rata-rata global menurut hitungan para ahli adalah 0,74 ± 0,18°C dalam seratus
tahun terakhir. Mungkin Anda menganggap bahwa terjadi peningkatan paling banyak
1°C, dan ini bisa diabaikan. Tetapi angka plus 1°C itu berdampak besar terhadap
kehidupan kita di bumi ini, dan penambahan sebesar itu tidak berlangsung secara
linear, tetapi terjadi lonjakan besar secara global sejak pertengahan abad
ke-20. Dan sekarang sudah diprediksi, jika laju pertumbuhan kenaikan suhu masih
berlangsung seperti ini, di akhir abad ke-21 meningkatnya temperatur akan jauh
melebihi 1°C. Apa penyebabnya? Kenaikan temperatur global bukan disebabkan oleh
perilaku alam itu sendiri, tetapi hampir seluruhnya diakibatkan oleh intervensi
manusia.
Demi mudahnya Anda para pembaca
mencerna apa yang membuat terjadinya pemanasan global, penulis ingin kita
menelusuri apa yang dialami oleh kakek buyut kita seratus tahun yang lalu. Kita
anggap dia hidup sekitar tahun 1920-an. Kehidupan macam apa yang dapat kita
saksikan di Pulau Jawa? Desa-desa memiliki sawah dan lahan pertanian dengan
rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Jalan desa masih berupa jalan
setapak yang berupa jalur bertanah merah. Orang bepergian dengan berjalan kaki,
naik hewan tunggangan, atau memanfaatkan sebuah gerobak kayu. Tidak ada pabrik
kecuali sebuah penggilingan padi, yang ditenagai oleh arus air deras atau
dihela oleh kerbau. Hasil budidaya pertanian dan peternakan mereka sebagian
diangkut ke kota kecil terdekat dengan bantuan gerobak bertenaga hewan.
Kehidupan penduduk dusun amat bersahaja, dan gaya hidup mereka tidak berubah
selama beberapa generasi.
Adalah lebih baik kehidupan di kota
besar, seperti Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Jaringan kereta api telah
dibangun sekitar tahun 1875 dan lima-puluh tahun kemudian telah terbentang
jalan rel dan trem di Jawa dan Sumatera. Pembangunan jaringan kereta api ini
bertujuan untuk mengangkut komoditi perkebunan, guna diekspor ke mancanegara.
Keberadaan mobil bensin yang pertama tercatat tahun 1905 di Batavia, dan pada
waktu itu jumlahnya di kota bisa dihitung dengan jari. Sekitar tahun 1920
jalanan kota masih dipenuhi oleh dokar, becak, sepeda, dan gerobak-kuda. Sepeda
motor belum ada dan jumlah mobil pun hanya sedikit. Pembangkit listrik
bertenaga uap yang pertama dibangun pada tahun 1897 di kawasan Gambir, Batavia;
dan sebelumnya pembangkit listrik yang lebih kecil dipasang untuk
mengoperasikan pabrik gula. Pada mulanya tenaga listrik yang dihasilkan dipakai
di gedung-gedung pemerintahan dan perusahaan swasta, lalu selebihnya untuk
keperluan rumah tangga. Bagi rakyat kebanyakan, listrik yang tersedia hanya dimanfaatkan
untuk penerangan rumah di malam hari.
Jika kita membandingkan kehidupan
manusia sekarang dengan yang terjadi seratus tahun yang lampau, maka jelas
terlihat terjadi revolusi menuju kehidupan modern sejak tahun 1920-an, yang
disusul dengan ledakan perkembangan teknologi yang dimulai di era 1950-an (saat
Indonesia telah merdeka sepenuhnya dari kolonialisme). Berubahnya kehidupan
manusia zaman itu sesungguhnya telah dipersiapkan lebih dari seratus tahun
sebelumnya, dengan lahirnya Revolusi Industri. Dengan penemuan mesin uap
lahirlah mesin-mesin modern yang bukan lagi digerakkan oleh tenaga manusia atau
tenaga hewan, melainkan oleh tenaga uap. Sejak saat itu ekonomi dunia yang
sebelumnya digerakkan oleh sektor pertanian perlahan-lahan mulai digantikan
oleh sektor industri.
Mesin-mesin yang diperlukan untuk
menggerakkan industri pada dasarnya diperlukan untuk (1) menggerakkan turbin
yang dikopel oleh generator, sehingga bisa membangkitkan tenaga listrik, dan
(2) menggerakkan motor bakar untuk menjalankan mesin kendaraan (termasuk kapal
dan pesawat terbang). Kedua penggunaan industri itu tentu membutuhkan bahan
bakar, yang berupa batubara, minyak bumi, dan gas alam. Batubara terbatas
penggunaannya hanya untuk membangkitkan listrik tenaga uap.
Nah, pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam
inilah yang kemudian meninggalkan residu berupa gas-gas yang
mengotori atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) atau para
ahli menyebutnya "meninggalkan jejak karbon". Tentu saja dari tiga
jenis bahan bakar itu, yang meninggalkan jejak karbon paling buruk adalah
batubara, kemudian minyak bumi, dan yang paling kecil itu gas alam. Pembakaran
batubara, minyak bumi, dan gas alam telah berlangsung secara masif selama
seratus tahun terakhir ini, dengan laju eksponensial yang semakin lama semakin
bertambah. Mengapa semakin bertambah? Karena populasi dunia pada 1920 sudah
melewati 2 miliar orang, 3 miliar sebelum 1960, 4 miliar pada 1974, 5 miliar
sebelum 1987, 6 miliar sebelum 1999, 7 miliar pada 2011, dan akan mencapai 8
miliar sebelum 2025. (Lihat: Ledakan Penduduk Dunia: Penyebab, Latar Belakang dan Proyeksi Masa Depan, dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles).
Sebagai akibatnya atmosfer bumi telah
menampung gas-gas polutan selama seratus tahun terakhir ini dalam jumlah
tak-terhingga, yang belum pernah terjadi selama sejarah peradaban manusia
sebelumnya. Dengan adanya pemanasan global muncul akibat yang dulunya tak
terpikirkan: perubahan iklim. Karena temperatur bumi naik, massa es yang ada di
kutub akan semakin mencair, mengakibatkan muka air laut naik. Dampaknya garis
pantai tergerus dan daerah pesisir mengalami banjir berkepanjangan, sehingga menjadi
tidak layak huni lagi. Perubahan iklim
membuat cuaca tahunan menjadi kacau, dengan makin seringnya terjadi musim
kemarau yang berkepanjangan, badai yang kekuatannya semakin merusak, dan pola
curah hujan yang berubah-ubah. Selanjutnya karena cuaca semakin sulit diprediksi,
pola tanam terganggu, punahnya berbagai jenis hewan, dan masuknya air laut
sampai jauh ke daratan.
Dewasa ini para ilmuwan dan politisi bijak semakin khawatir,
bahwa pemanasan global semakin sulit diatasi. Di lain pihak sumber energi yang
tak-terbarukan, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam, pada suatu hari
akan habis. Sumber energi terbarukan, seperti energi surya, tenaga angin, dan
energi dari panas bumi, termasuk tenaga air, saat ini sedang digalakkan di mana
pun di seluruh dunia. Namun pertanyaannya, apakah energi listrik yang
dibangkitkan oleh energi yang terbarukan itu mencukupi, untuk menggantikan
peran yang selama ini disumbangkan oleh energi yang tak-terbarukan?
Jika kita merefleksikan diri tentang apa yang telah
diperbuat oleh umat manusia selama seratus tahun terakhir ini; kita akan
melihat bahwa demi mendapatkan kesejahteraan dan kemudahan hidup, juga demi
menopang populasi dunia yang semakin bertambah, manusia secara membabi buta
telah mengeruk sumber energi tak-terbarukan secara serampangan. Makin banyak
orang yang sadar bahwa telah terjadi kerusakan alam di sana-sini akibat
kerakusan, pemaksaan, dan kecerobohan manusia. Manusia dengan congkaknya
memeras alam habis-habisan dengan mengandalkan sains dan teknologi, yang mana keterampilan itu
diciptakan oleh akalbudinya.
Lǎo Zǐ (老子), seorang bijak dari zaman Tiongkok
Kuno, pernah menyebut kebijaksanaan Wú Wèi (無爲),
yang bermakna "tidak berbuat", atau "tidak mencampuri". Kerapkali
anjuran itu disalahartikan agar manusianya menjadi orang pasifis, yang tidak
berbuat apa pun terhadap alam, sehingga peradaban umat manusia kembali ke Zaman
Batu. Tentu yang dimaksud dengan Wú Wèi oleh Lǎo Zǐ tidaklah
seperti itu. Makna istilah ini lebih tepat ditafsirkan sebagai "tidak
mendikte" atau "tidak memaksakan kehendak". Dengan begitu akan
segera tampak relevansinya. Tidak mendikte atau mengeksploitasi secara
berlebihan, baik terhadap alam maupun terhadap manusia, tentu bisa kita terima.
Alam yang dieksploitasi berlebihan secara terus-menerus akan membawa dampak
yang tidak terduga, yang pada gilirannya membuat keseimbangan akan terganggu.
Setelah itu manusia dan makhluk hidup lainnya yang akan menanggung akibatnya,
berupa banjir bandang, tanah longsor, dan angin puyuh.
Agaknya, di sinilah sinyalemen Taoisme benar, bahwa
pengetahuan adalah budak dan sekaligus majikan bagi “keinginan”: pengetahuan terhadap
rahasia alam mengakibatkan keinginan tiada henti bagi manusia untuk
mengeksploitasi alam. Pada saat yang sama, keinginan untuk mengeksploitasi alam
juga membutuhkan pengetahuan. Begitulah, pengetahuan dan keinginan berkelindan,
dan berakibat pada kehancuran alam. Sampai di sini, sulit untuk menyangkal
kebenaran dan futurisme yang dikumandangkan oleh Taoisme.
Apakah yang dimaksud dengan eksploitasi yang membabi buta? Misalnya
orang melakukan penggundulan hutan secara semena-mena tanpa melakukan
reboisasi, mengeduk hasil laut dengan memakai bom plastik, membuang sampah
sembarangan ke sungai, membiarkan kemasan plastik terbuang begitu saja ke alam
tanpa menyadari bahwa material tersebut butuh ribuan tahun untuk terurai,
melakukan pencarian bahan mineral dan sesudahnya membiarkan galian tetap
menganga sehingga timbul lubang-lubang besar, melakukan pembukaan hutan yang
membuat musnahnya dan punahnya hewan-hewan endemik, dan masih banyak
contoh-contoh lainnya.
Sekali lagi berkenaan dengan ajaran Wú Wèi itu,
apakah dengan demikian orang lalu harus berpantang untuk mencari, mengusahakan,
memiliki, dan memanfaatkan pengetahuan? Apakah dengan demikian orang harus
surut ke belakang kembali ke zaman prasejarah? Agaknya impian Taoisme
mengandaikan adanya sosok-sosok manusia yang benar-benar “natural”, manusia
“lugu” yang benar-benar menjadi “anak alam”, yang menghormati dan mencintai
alam sepenuhnya. Namun apakah impian semacam itu realistik di zaman kita ini?
Wú Wèi sebenarnya mau mengajak orang
untuk bertindak dalam kapasitas yang normal. Kapasitas yang normal adalah
membiarkan diri sebagai bagian dari gerak dinamika yang terjadi dalam alam. Dia
secara maksimal berusaha mempercayakan diri pada dinamika alam. Agar bisa
seirama dengan dinamika alam, manusia harus mengurangi keinginannya yang
berlebihan, kemudian secara berhati-hati melakukan pelbagai upaya yang terukur untuk
mengatur alam. Etika Wú Wèi sejatinya menekankan aspek
kecukupan diri (self-sufficient), artinya orang sudah harus merasa puas
jika kebutuhan dasarnya (basic needs) terpenuhi. Keinginan untuk
memperkaya diri dan menikmati berbagai harta duniawi lainnya, ternyata tidak
pernah bisa memuaskan dirinya.
Dalam ajaran Lǎo Zǐ, alam seharusnya mesti dilihat sebagai "ibu"
yang hadir, mengandung, melahirkan, merawat, lalu membesarkan anak-anaknya,
yakni kita-kita ini. Dào (道) sendiri berarti
gerak alam. Alam bergerak secara spontan berdasarkan aturannya sendiri. Hal ini
memberi gambaran bahwa Wú Wèi dilandasi pula dengan
prinsip Dé (德) atau kebajikan. Alam
sejatinya memiliki kepekaan atas segala rangsangan di sekitarnya. Pola hubungan
manusia dan alam, dalam Dào harus dilandasi dengan harmoni.
Mungkin
ada pembaca yang bertanya, bahwa dengan populasi manusia semakin lama semakin
bertambah, lalu apakah bumi ini masih bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat
manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata: "The world has enough for
everyone's need, but not enough for everyone's greed." ("Dunia
ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak pernah
mencukupi untuk mengabulkan keserakahan orang per orang").
Setelah kita
memahami sepenuhnya apa itu pemanasan global dan perubahan iklim, kita perlu
memiliki panduan teknis bagaiman kita sekalian bisa bersumbangsih, agar manusia
secara kolektif bisa mengatasi masalah tersebut pada akhirnya. Kita akan
mengulas isu tersebut pada artikel-artikel yang akan datang.
sdjn/dharmaprimapustaka/231115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar