Rabu, 15 November 2023

PEMANASAN GLOBAL DAN AJAKAN HIDUP MENURUT TAOISME



Kita orang awam pasti pernah mendengar bahwa pada tahun-tahun terakhir ini, ada perbincangan terjadinya pemanasan global di bumi tempat kita tinggal. Dalam artikel kali ini penulis mencoba menggambarkan apa itu pemanasan global dengan penjelasan yang mudah dicerna, dan lalu apa dampaknya terhadap kehidupan kita. Selanjutnya kita akan meninjau sebuah ajaran kuno yang masih relevan, guna merefleksikan diri, apakah kita ini sebagai manusia telah melakukan hal yang salah kepada alam.

 

Pemanasan global itu adalah fenomena nyata, karena terjadi kenaikan temperatur rata-rata pada atmosfer di atas daratan dan lautan, serta bertambahnya suhu air laut di seluruh dunia. Jadi terdapat kenaikan temperatur rata-rata di bumi kita ini selama seratus tahun terakhir ini, dibandingkan suhu bumi sebelumnya. Singkatnya daratan dan perairan lebih terasa hangat sekarang ini, dibandingkan dengan yang dialami oleh kakek-buyut kita yang hidup sekitar satu abad yang lalu. Kenaikan suhu rata-rata global menurut hitungan para ahli adalah 0,74 ± 0,18°C dalam seratus tahun terakhir. Mungkin Anda menganggap bahwa terjadi peningkatan paling banyak 1°C, dan ini bisa diabaikan. Tetapi angka plus 1°C itu berdampak besar terhadap kehidupan kita di bumi ini, dan penambahan sebesar itu tidak berlangsung secara linear, tetapi terjadi lonjakan besar secara global sejak pertengahan abad ke-20. Dan sekarang sudah diprediksi, jika laju pertumbuhan kenaikan suhu masih berlangsung seperti ini, di akhir abad ke-21 meningkatnya temperatur akan jauh melebihi 1°C. Apa penyebabnya? Kenaikan temperatur global bukan disebabkan oleh perilaku alam itu sendiri, tetapi hampir seluruhnya diakibatkan oleh intervensi manusia.

 

Demi mudahnya Anda para pembaca mencerna apa yang membuat terjadinya pemanasan global, penulis ingin kita menelusuri apa yang dialami oleh kakek buyut kita seratus tahun yang lalu. Kita anggap dia hidup sekitar tahun 1920-an. Kehidupan macam apa yang dapat kita saksikan di Pulau Jawa? Desa-desa memiliki sawah dan lahan pertanian dengan rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Jalan desa masih berupa jalan setapak yang berupa jalur bertanah merah. Orang bepergian dengan berjalan kaki, naik hewan tunggangan, atau memanfaatkan sebuah gerobak kayu. Tidak ada pabrik kecuali sebuah penggilingan padi, yang ditenagai oleh arus air deras atau dihela oleh kerbau. Hasil budidaya pertanian dan peternakan mereka sebagian diangkut ke kota kecil terdekat dengan bantuan gerobak bertenaga hewan. Kehidupan penduduk dusun amat bersahaja, dan gaya hidup mereka tidak berubah selama beberapa generasi.

 

Adalah lebih baik kehidupan di kota besar, seperti Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Jaringan kereta api telah dibangun sekitar tahun 1875 dan lima-puluh tahun kemudian telah terbentang jalan rel dan trem di Jawa dan Sumatera. Pembangunan jaringan kereta api ini bertujuan untuk mengangkut komoditi perkebunan, guna diekspor ke mancanegara. Keberadaan mobil bensin yang pertama tercatat tahun 1905 di Batavia, dan pada waktu itu jumlahnya di kota bisa dihitung dengan jari. Sekitar tahun 1920 jalanan kota masih dipenuhi oleh dokar, becak, sepeda, dan gerobak-kuda. Sepeda motor belum ada dan jumlah mobil pun hanya sedikit. Pembangkit listrik bertenaga uap yang pertama dibangun pada tahun 1897 di kawasan Gambir, Batavia; dan sebelumnya pembangkit listrik yang lebih kecil dipasang untuk mengoperasikan pabrik gula. Pada mulanya tenaga listrik yang dihasilkan dipakai di gedung-gedung pemerintahan dan perusahaan swasta, lalu selebihnya untuk keperluan rumah tangga. Bagi rakyat kebanyakan, listrik yang tersedia hanya dimanfaatkan untuk penerangan rumah di malam hari.

 

Jika kita membandingkan kehidupan manusia sekarang dengan yang terjadi seratus tahun yang lampau, maka jelas terlihat terjadi revolusi menuju kehidupan modern sejak tahun 1920-an, yang disusul dengan ledakan perkembangan teknologi yang dimulai di era 1950-an (saat Indonesia telah merdeka sepenuhnya dari kolonialisme). Berubahnya kehidupan manusia zaman itu sesungguhnya telah dipersiapkan lebih dari seratus tahun sebelumnya, dengan lahirnya Revolusi Industri. Dengan penemuan mesin uap lahirlah mesin-mesin modern yang bukan lagi digerakkan oleh tenaga manusia atau tenaga hewan, melainkan oleh tenaga uap. Sejak saat itu ekonomi dunia yang sebelumnya digerakkan oleh sektor pertanian perlahan-lahan mulai digantikan oleh sektor industri.

 

Mesin-mesin yang diperlukan untuk menggerakkan industri pada dasarnya diperlukan untuk (1) menggerakkan turbin yang dikopel oleh generator, sehingga bisa membangkitkan tenaga listrik, dan (2) menggerakkan motor bakar untuk menjalankan mesin kendaraan (termasuk kapal dan pesawat terbang). Kedua penggunaan industri itu tentu membutuhkan bahan bakar, yang berupa batubara, minyak bumi, dan gas alam. Batubara terbatas penggunaannya hanya untuk membangkitkan listrik tenaga uap.

 

Nah, pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam inilah yang kemudian meninggalkan residu berupa gas-gas yang mengotori atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) atau para ahli menyebutnya "meninggalkan jejak karbon". Tentu saja dari tiga jenis bahan bakar itu, yang meninggalkan jejak karbon paling buruk adalah batubara, kemudian minyak bumi, dan yang paling kecil itu gas alam. Pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam telah berlangsung secara masif selama seratus tahun terakhir ini, dengan laju eksponensial yang semakin lama semakin bertambah. Mengapa semakin bertambah? Karena populasi dunia pada 1920 sudah melewati 2 miliar orang, 3 miliar sebelum 1960, 4 miliar pada 1974, 5 miliar sebelum 1987, 6 miliar sebelum 1999, 7 miliar pada 2011, dan akan mencapai 8 miliar sebelum 2025. (Lihat: Ledakan Penduduk Dunia: Penyebab, Latar Belakang dan Proyeksi Masa Depan, dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles).

 

Sebagai akibatnya atmosfer bumi telah menampung gas-gas polutan selama seratus tahun terakhir ini dalam jumlah tak-terhingga, yang belum pernah terjadi selama sejarah peradaban manusia sebelumnya. Dengan adanya pemanasan global muncul akibat yang dulunya tak terpikirkan: perubahan iklim. Karena temperatur bumi naik, massa es yang ada di kutub akan semakin mencair, mengakibatkan muka air laut naik. Dampaknya garis pantai tergerus dan daerah pesisir mengalami banjir berkepanjangan, sehingga menjadi tidak layak huni lagi. Perubahan iklim membuat cuaca tahunan menjadi kacau, dengan makin seringnya terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, badai yang kekuatannya semakin merusak, dan pola curah hujan yang berubah-ubah. Selanjutnya karena cuaca semakin sulit diprediksi, pola tanam terganggu, punahnya berbagai jenis hewan, dan masuknya air laut sampai jauh ke daratan.

 

Dewasa ini para ilmuwan dan politisi bijak semakin khawatir, bahwa pemanasan global semakin sulit diatasi. Di lain pihak sumber energi yang tak-terbarukan, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam, pada suatu hari akan habis. Sumber energi terbarukan, seperti energi surya, tenaga angin, dan energi dari panas bumi, termasuk tenaga air, saat ini sedang digalakkan di mana pun di seluruh dunia. Namun pertanyaannya, apakah energi listrik yang dibangkitkan oleh energi yang terbarukan itu mencukupi, untuk menggantikan peran yang selama ini disumbangkan oleh energi yang tak-terbarukan?

 

Jika kita merefleksikan diri tentang apa yang telah diperbuat oleh umat manusia selama seratus tahun terakhir ini; kita akan melihat bahwa demi mendapatkan kesejahteraan dan kemudahan hidup, juga demi menopang populasi dunia yang semakin bertambah, manusia secara membabi buta telah mengeruk sumber energi tak-terbarukan secara serampangan. Makin banyak orang yang sadar bahwa telah terjadi kerusakan alam di sana-sini akibat kerakusan, pemaksaan, dan kecerobohan manusia. Manusia dengan congkaknya memeras alam habis-habisan dengan mengandalkan sains dan  teknologi, yang mana keterampilan itu diciptakan oleh akalbudinya.

 

Lǎo Zǐ (老子), seorang bijak dari zaman Tiongkok Kuno, pernah menyebut kebijaksanaan Wú Wèi (無爲), yang bermakna "tidak berbuat", atau "tidak mencampuri". Kerapkali anjuran itu disalahartikan agar manusianya menjadi orang pasifis, yang tidak berbuat apa pun terhadap alam, sehingga peradaban umat manusia kembali ke Zaman Batu. Tentu yang dimaksud dengan Wú Wèi oleh Lǎo Zǐ tidaklah seperti itu. Makna istilah ini lebih tepat ditafsirkan sebagai "tidak mendikte" atau "tidak memaksakan kehendak". Dengan begitu akan segera tampak relevansinya. Tidak mendikte atau mengeksploitasi secara berlebihan, baik terhadap alam maupun terhadap manusia, tentu bisa kita terima. Alam yang dieksploitasi berlebihan secara terus-menerus akan membawa dampak yang tidak terduga, yang pada gilirannya membuat keseimbangan akan terganggu. Setelah itu manusia dan makhluk hidup lainnya yang akan menanggung akibatnya, berupa banjir bandang, tanah longsor, dan angin puyuh.

 

Agaknya, di sinilah sinyalemen Taoisme benar, bahwa pengetahuan adalah budak dan sekaligus majikan bagi “keinginan”: pengetahuan terhadap rahasia alam mengakibatkan keinginan tiada henti bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Pada saat yang sama, keinginan untuk mengeksploitasi alam juga membutuhkan pengetahuan. Begitulah, pengetahuan dan keinginan berkelindan, dan berakibat pada kehancuran alam. Sampai di sini, sulit untuk menyangkal kebenaran dan futurisme yang dikumandangkan oleh Taoisme.

 

Apakah yang dimaksud dengan eksploitasi yang membabi buta? Misalnya orang melakukan penggundulan hutan secara semena-mena tanpa melakukan reboisasi, mengeduk hasil laut dengan memakai bom plastik, membuang sampah sembarangan ke sungai, membiarkan kemasan plastik terbuang begitu saja ke alam tanpa menyadari bahwa material tersebut butuh ribuan tahun untuk terurai, melakukan pencarian bahan mineral dan sesudahnya membiarkan galian tetap menganga sehingga timbul lubang-lubang besar, melakukan pembukaan hutan yang membuat musnahnya dan punahnya hewan-hewan endemik, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

 

Sekali lagi berkenaan dengan ajaran Wú Wèi itu, apakah dengan demikian orang lalu harus berpantang untuk mencari, mengusahakan, memiliki, dan memanfaatkan pengetahuan? Apakah dengan demikian orang harus surut ke belakang kembali ke zaman prasejarah? Agaknya impian Taoisme mengandaikan adanya sosok-sosok manusia yang benar-benar “natural”, manusia “lugu” yang benar-benar menjadi “anak alam”, yang menghormati dan mencintai alam sepenuhnya. Namun apakah impian semacam itu realistik di zaman kita ini?

 

Wú Wèi sebenarnya mau mengajak orang untuk bertindak dalam kapasitas yang normal. Kapasitas yang normal adalah membiarkan diri sebagai bagian dari gerak dinamika yang terjadi dalam alam. Dia secara maksimal berusaha mempercayakan diri pada dinamika alam. Agar bisa seirama dengan dinamika alam, manusia harus mengurangi keinginannya yang berlebihan, kemudian secara berhati-hati melakukan pelbagai upaya yang terukur untuk mengatur alam. Etika Wú Wèi sejatinya menekankan aspek kecukupan diri (self-sufficient), artinya orang sudah harus merasa puas jika kebutuhan dasarnya (basic needs) terpenuhi. Keinginan untuk memperkaya diri dan menikmati berbagai harta duniawi lainnya, ternyata tidak pernah bisa memuaskan dirinya.

 

Dalam ajaran Lǎo Zǐ, alam seharusnya mesti dilihat sebagai "ibu" yang hadir, mengandung, melahirkan, merawat, lalu membesarkan anak-anaknya, yakni kita-kita ini. Dào (道) sendiri berarti gerak alam. Alam bergerak secara spontan berdasarkan aturannya sendiri. Hal ini memberi gambaran bahwa Wú Wèi dilandasi pula dengan prinsip  (德) atau kebajikan. Alam sejatinya memiliki kepekaan atas segala rangsangan di sekitarnya. Pola hubungan manusia dan alam, dalam Dào harus dilandasi dengan harmoni.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya, bahwa dengan populasi manusia semakin lama semakin bertambah, lalu apakah bumi ini masih bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata: "The world has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed." ("Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak pernah mencukupi untuk mengabulkan keserakahan orang per orang").

 

Setelah kita memahami sepenuhnya apa itu pemanasan global dan perubahan iklim, kita perlu memiliki panduan teknis bagaiman kita sekalian bisa bersumbangsih, agar manusia secara kolektif bisa mengatasi masalah tersebut pada akhirnya. Kita akan mengulas isu tersebut pada artikel-artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231115 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar