(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Perayaan
keagamaan agung di wilayah kadipaten Śākya baru saja usai di sore hari itu.
Perhelatan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam itu diikuti oleh para
petinggi istana, dan semua yang ikut dalam upacara itu merasa kelelahan.
Demikian pula halnya dengan sang permaisuri, Puteri Mahā Māyā,
yang telah berangkat ke peraduannya sebelum sang surya tenggelam di ufuk barat.
Di tengah malam Māyā yang sedang tidur
dengan lelapnya, terbangun di kamar pribadinya. Dia menutupi mata dengan
telapak tangannya karena muncul cahaya menyilaukan di dalam kamarnya. Empat
sosok makhluk yang amat elok ke luar dari tiang cahaya itu dalam wujud empat
gadis muda yang sedang tersenyum. Māyā duduk di peraduannya dan langsung
mengenali keempatnya; mereka tidak lain para dewi, makhluk kahyangan.
Keempat dewi itu memberi isyarat agar Māyā
mengikuti mereka. Sambil terus bertanya-tanya mengapa mereka memilih dirinya, Māyā
pun turun dari tempat tidurnya yang mewah dan hangat serta dia mengikuti
keempatnya. Sambil menoleh ke belakang, empat makhluk itu berjalan menembus
partisi dan dinding-dinding istana, seakan-akan semua penghalang itu terbuat
dari asap. Sama seperti para dewi, Māyā pun tidak merasakan tubuhnya terbentur
oleh dinding sewaktu dia berjalan menembusnya. Setelah mereka keluar dari
kompleks istana, dia merasa tubuhnya menjadi bertambah ringan, dan tampak dari
pandangannya, kotaraja tempat tinggal keluarganya semakin kabur dan menghilang.
Mereka berlima bergerak semakin cepat
menuju arah utara. Pegunungan Himalaya, yang mana Māyā sendiri menebak-nebak,
ke tempat itulah para dewi akan membawanya. Itulah puncak-puncak tinggi yang
biasanya tampak di kejauhan dari istananya, satu tempat yang tidak terbayangkan
akan dapat dia kunjungi sekali seumur hidupnya. Sekarang kelimanya bukan saja
melaju dengan cepat, melainkan tubuh mereka membumbung semakin tinggi ke
angkasa. Mendekati punggung gunung yang berwarna abu kebiru-biruan, Māyā
melihat sinar matahari yang memantul di salju. Dia menatapnya dengan takjub.
Setelah melewati beberapa gunung terlihatlah sebuah danau yang dikelilingi oleh
beberapa puncak bukit. Permukaan airnya berkilau tertimpa sinar sang surya.
Keempat dewi itu membawa Māyā ke satu
tepian danau yang berbatu, yang mana mereka mendapatkan permukaan air di sana
tenang dan bening bagaikan kaca. Para dewi membuka pakaiannya dan Māyā pun
pasrah mengikuti kehendak mereka. Setelah melepaskan semuanya, mereka
memakaikannya sebuah busana yang paling indah dan paling halus, yang pernah dia
lihat dan kenakan selama ini. Mereka membimbing Māyā agar memasuki danau dan
mereka memandikannya. Setelah tubuhnya benar-benar bersih, sambil tersenyum
keempat tangan dewi itu menyentuh perut Māyā. Sentuhan tersebut terasa hangat
dan begitu menggugahnya. Sekonyong-konyong Māyā diliputi oleh gairah yang
meluap-luap. Pada saat yang kritis itu dia mendusin dari tidur nyenyaknya, dan
tahu-tahu dia mendapati dirinya sedang berbaring di tempat tidurnya sendirian.
Gairah yang tidak biasa itu masih menyelubungi sekujur tubuhnya, dan gelora itu
tidak ingin pergi.
Dengan tergesa-gesa dan agak linglung, Māyā
segera beranjak dari tempat tidurnya, dan dia pun berjingkat-jingkat menuju
kamar suaminya. Dalam temaram cahaya pelita dilihatnya Śuddhodana sedang
terbaring miring di tempat tidurnya. Setelah bertahun-tahun berputus asa
menantikan kedatangan seorang putera, suaminya lebih sering tidur sendirian.
Penguasa lain mungkin akan mencari beberapa selir, yang bisa memberikan
keturunan; tetapi Śuddhodana tidak melakukan hal itu. Dia tetap teguh dan setia
mendampinginya. "Malam ini akan berbeda dengan malam-malam panjang
sebelumnya," kata Māyā kepada dirinya sendiri. "Aku telah diberkahi
oleh dewata." Dengan perlahan-lahan karena tidak ingin suaminya terbangun,
Māyā berbaring di samping suaminya. Dengan lembut dia membelai wajah suaminya
sampai Śuddhodana terbangun.
Mata lelaki itu terbuka dan sambil
mengantuk kedua tangannya menyentuh tubuh isterinya. Śuddhodana hendak
mengajukan sebuah pertanyaan, tetapi Māyā meletakkan jari telunjuknya di depan
bibir suaminya. Māyā tidak menjadi liar dan lupa diri karena gairahnya yang
sedang menyala-nyala. Dia pun bukan budak dari nafsu raganya. Saat tubuh mereka
berpagut, Māyā lebih menginginkan penyatuan ketimbang kenikmatan. Dia mendorong
tubuh suaminya, dengan kata-kata yang tidak pernah terlontar dari mulutnya.
"Jangan bercinta denganku seperti layaknya sepasang manusia, tetapi
bercintalah denganku bagaikan dewa-dewi di kahyangan." Efeknya tak
terbayangkan dan sangat dramatis. Dengan lembut Śuddhodana merengkuhnya.
Selama ini kegiatan bercinta keduanya
hanyalah rutinitas yang itu-itu saja. Tetapi malam ini tidaklah demikian. Śuddhodana
pun merasakan keyakinan yang besar seperti yang dirasakan Māyā. Begitu sang
isteri siap, dia pun memutar pinggulnya dan bersatu dengan suaminya. Gairah
luar biasa yang merasukinya semakin lama semakin memuncak. Napas mereka
tercekat di kerongkongan. Selama beberapa saat Māyā memasuki dunia kenikmatan
yang terasa abadi. Terengah-engah dia menyadari suaminya tengah memeluknya
erat-erat, begitu lekatnya sehingga tubuh mereka berdua melebur menjadi satu.
Mereka berciuman dan saling membelai, dengan rasa puas dan tuntas. Māyā
seolah-olah merasakan dirinya membumbung ke tempat kediaman para dewi, yang
sebelumnya pernah didatanginya. Ketika dia membuka matanya, dilihatnya satu
makhluk asing sedang mengamatinya. Makhluk itu sangat besar dan berwarna
seputih salju. Hewan itu ternyata seekor gajah. Makhluk itu menatapnya dengan
kebijaksanaannya yang hangat, kemudian mengangkat belalainya sebagai tanda
penghormatan. Sang gajah putih pun sedikit demi sedikit mengecilkan tubuhnya,
kemudian dia memasuki bagian perut Māyā sebelah kanan dan dan di tempat itu
pula dia lenyap seketika. Māyā tersadar dari tidurnya, ketika bumi di bawah
istana bergetar keras, seakan-akan menyambut datangnya sang manusia agung ke
dunia.
Kisah sang permaisuri Māyā yang dibawa
oleh empat sosok dewi menuju pegunungan dan danau suci, merupakan penggalan
cerita awal tentang proses kelahiran Sang Bodhisattva; yang telah dipercaya
oleh keturunan kaum Śākya selama ribuan tahun. Kadipaten Śākya Kuno yang
sekarang berada di wilayah Nepal berhadapan langsung pada bagian utaranya
dengan Pegunungan Himalaya, bagian bumi yang paling tinggi dibandingkan
gunung-gunung lainnya di planet yang kita tinggali. Pada masa itu puncak-puncak
tertinggi pada pegunungan itu belum sanggup dieksplorasi oleh orang kebanyakan,
dan apa yang ada di sana masih merupakan misteri. Namun diyakini di pegunungan
tersebut juga tempat bermukim para dewata.
Orang India Kuno percaya bahwa Pegunungan
Himalaya hanyalah sebagian wujud sesungguhnya dari lokasi kediaman para dewata.
Mereka percaya bahwa Gunung Meru, gunung emas, adalah pusat alam semesta.
Gunung Meru merupakan benda paling suci di alam semesta karena menyangga langit
dan para dewa. Secara geografis, dikatakan berada di pusat alam semesta di
perairan kehidupan, dikelilingi oleh tujuh lautan konsentris, yang
masing-masing ukurannya mengecil dari pusatnya. Di sebelah selatannya
terbentang Bhāratavarṣa, yang bermakna "Tanah Putra Bharata",
atau Jambudvīpa, nama kuno untuk India. Sebagai poros dunia, Gunung Meru
memanjang ke bawah tanah, ke alam bawah, lalu ke atas hingga ke langit.
Gunung Meru (मेरु, Sansk., Pāli), dikenal sebagai Gunung Sumeru
(maknanya: Meru yang menakjubkan), Sineru, atau Mahāmeru, adalah gunung suci menurut
kepercayaan Buddha, Hindu, dan Jainisme. Gunung Meru dianggap sebagai pusat semesta
dari semua alam fisik, spiritual, dan metafisik. Gunung yang sama disebutkan pula
dalam beberapa kitab suci agama bukan-India seperti Taoisme yang terpengaruh
oleh masuknya agama Buddha di Tiongkok, dan diberi nama Xū Mí
Shān (須彌山). Sampai saat ini belum ada identifikasi jelas Gunung
Meru dikaitkan dengan lokasi geofisika tertentu. Dalam agama Jawa Kuno dikenal
pula Gunung Semeru, yang belakangan bukan saja mengacu pada gunung mitologis,
tetapi juga gunung fisik tertinggi (tinggi 3676 m, dari permukaan laut) di
Pulau Jawa.
Menurut Abhidharmakośabhāṣyam, yakni tulisan filosofis karya
Vasubandhu, Sumeru tingginya 80.000 yojana. Ukuran pasti dari satu yojana tidak
diketahui secara pasti, namun beberapa catatan menyebutkan satu yojana sekitar
24.000 kaki atau atau kira-kira 4,5 mil. Namun catatan lain menyebutkannya
sekitar 7 sampai 9 mil, atau maksimal 15 km. Jadi tinggi Sumeru sebesar 80 ribu
yojana setara 1.200.000 km. Jelas besaran ini merupakan jarak yang fantastis
bagi kita orang modern, karena jarak rata-rata bumi ke bulan "hanya"
384.400 km. Gunung ini pun masih turun ke bawah permukaan perairan sekitarnya
hingga kedalaman 40.000 yojana, dan didirikan di atas lapisan dasar Bumi.
Sumeru sering digunakan sebagai perumpamaan untuk ukuran dan stabilitas dalam
teks Buddhis. Sumeru konon berbentuk seperti jam pasir, dengan bagian atas dan
bawah berbentuk bujur sangkar atau lingkaran berukuran 80.000 yojana-persegi,
namun menyempit di bagian tengahnya, yaitu pada ketinggian 40.000 yojana,
menjadi hanya 20.000 yojana-persegi.
Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi merupakan surga atau devaloka
Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang tertinggi yang bersentuhan fisik
langsung dengan bumi. Empat-puluh-ribu yojana berikutnya di bawah langit ini
terdiri dari jurang terjal, menyempit menyerupai gunung-terbalik hingga luasnya
20.000 yojana-persegi dengan ketinggian 40.000 yojana dihitung dari dasarnya. Dari
titik ini Sumeru meluas lagi, turun menjadi empat tepian bertingkat,
masing-masing lebih lebar dari yang di atasnya. Teras pertama merupakan Surga
Empat Raja Agung dan terbagi menjadi empat bagian, menghadap utara,
selatan, timur, dan barat. Setiap bagian diatur oleh salah satu dari Empat
Raja Agung, yang menghadap ke luar menuju penjuru dunia yang diawasinya.
Jarak 40.000 yojana juga merupakan ketinggian matahari dan bulan
mengelilingi Sumeru searah jarum jam. Rotasi ini menjelaskan perubahan siang
dan malam. Ketika matahari berada di utara Sumeru, bayangan gunung menutupi
benua Jambudvīpa, dan di sana berlangsung malam hari. Serta pada saat
yang sama terjadi siang hari di benua utara seberang Uttarakuru, fajar
di benua timur Pūrvavideha, dan senja di benua barat Aparagodānīya.
Setengah hari kemudian, ketika sang surya telah bergerak ke selatan, terjadi
siang hari di Jambudvīpa, senja di Pūrvavideha, fajar di Aparagodānīya,
dan tengah malam di Uttarakuru. Tiga teras berikutnya yang menuruni
lereng Sumeru masing-masing lebih panjang dan lebarnya dengan faktor dua.
Mereka berisi pengikut Empat Raja Agung, yakni para nāga, yakṣa,
gandharva, dan kumbhāṇḍa.
Menurut pandangan orang India Kuno, di sekeliling Gunung Meru terdapat
tujuh rangkaian gunung berbentuk lingkaran, masing-masing setinggi setengah
dari gunung sebelumnya, serta dipisahkan oleh lautan berbentuk lingkaran.
Seluruh wilayah itu dikelilingi oleh lautan dunia dan akhirnya oleh deretan
tebing besi terjal yang membentuk tembok dunia. Di lautan terluar terdapat
empat benua besar, jaraknya terlalu jauh satu sama lain untuk navigasi manusia.
Benua selatan disebut Jambudvīpa, Negeri Jambu, dan merupakan dunia yang
dikenal oleh orang India secara keseluruhan, yakni tempat di mana semua drama,
tragedi, dan aneka komedi kehidupan manusia berlangsung.
Di atas kita sudah membahas bahwa Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi
merupakan surga atau devaloka Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang
tertinggi. Jika kita memperluasnya lebih lanjut menuju luar angkasa, masih terdapat
surga sensual yang bahkan lebih halus, tempat kediamam para dewa Yāma. Ada enam surga sensual, dua di Gunung Meru dan empat
di angkasa di atasnya. Masing-masing langit di atas dua kali lebih jauh dari
langit sebelumnya. Yang lebih tinggi lagi adalah alam para dewa-brahma, makhluk
yang hidup sangat lama. Mereka mampu menyaksikan seluruh sistem dunia di bawah
mereka datang dan pergi, atau tercipta dan akhirnya musnah. Para dewa-brahma
sangat berbeda dengan para dewa dan dewi yang kita bicarakan sebelumnya, yakni para
dewa-nafsu. Mereka sama sekali tidak tertarik pada dunia indra tetapi hidup
dengan menikmati kebahagiaan meditatif. Para dewa-brahma mempunyai enam belas
alam, masing-masing lebih halus dibandingkan alam di bawahnya, terbentang
sangat jauh hingga angkasa. Sekali lagi, jarak di antara mereka bertambah dua
kali lipat setiap kali mereka melangkah maju.
Di beberapa negara Buddhis, kepercayaan terhadap dewa-nafsu dan dewa-brahma
masih sangat hidup dan baik, dan di beberapa daerah terpencil masih terdapat
orang-orang yang masih mempercayai Gunung Meru beserta tatanan yang berada di
dalamnya. Bagi manusia modern keberadaan Gunung Meru hanya dianggap sebagai
gambaran mitologis tentang alam semesta, dan sudut pandang mereka ini akan kita
bicarakan pada bagian kedua tulisan ini. Namun ketika membaca sutta-sutta atau naskah-naskah
Buddhis Kuno, kita harus ingat bahwa nenek moyang Buddhis yang sedang berbicara
kepada kita; dan mereka semua hidup pada pandangan dunia yang menganggap Gunung
Meru dengan berbagai alamnya sebagai kebenaran mutlak.
Pada bagian awal tulisan ini penulis menggambarkan ketika Māyā sebagai
sosok perempuan masih membutuhkan cinta kasih dan kenikmatan inderawi sebelum
mendapatkan puteranya. Gambaran kosmologis pada tatanan Buddhis memberi tahu
kita bahwa alam manusia adalah bagian dari kamavacara yang lebih luas,
alam nafsu indera, yang juga mencakup empat alam rendah dan enam alam surga-indera.
Makhluk pada tingkat keberadaan ini mengalami dunia melalui gerbang enam indera.
Pintu-pintu indera ini adalah sumber kesenangan dan kesakitan, dan mereka
mendominasi kesadaran satu makhluk. Namun kosmologi Buddhis juga memberi tahu
kita bahwa tidak harus seperti ini; ada makhluk-makhluk di alam eksistensi lain
yang menjalani kehidupan dalam kebahagiaan luhur tanpa ketertarikan apa pun
pada objek-objek indra. Jika kita membayangkan perjalanan ke atas melintasi
alam-alam surga, akan kita temukan terjadinya pelemahan nafsu indera secara
bertahap, suatu evolusi ke arah bentuk-bentuk sensualitas yang semakin halus
dan halus hingga pada tingkat lanjut akan mudah lenyap begitu saja.
Surga Tiga-Puluh-Tiga Dewa, Trāyastriṃśa, yang menempati puncak
Gunung Meru dianggap sebagai lambang sensualisme duniawi dan mencakup semua
jenis kenikmatan yang bisa kita dapatkan di sini: makanan, minuman, musik, dan
tentu saja seksualitas. Komentar-komentar Pāli penuh dengan deskripsi-deskripsi
yang penuh kegembiraan tentang kesenangan para dewa ini, bahkan termasuk
paragraf-paragraf yang cukup erotis yang melukiskan keelokan tubuh gadis-gadis
penari. Namun ketika kita naik terus menuju surga yang tersisa, segala sesuatu
secara bertahap berubah menjadi bentuk kenikmatan indera yang lebih halus dan
tidak terlalu bersifat fisik. Contoh paling jelas terdapat pada sebuah bagian
dalam Abhidharmakosa, yang menggambarkan bagaimana para dewa dan dewi
bercinta. Para dewa-dewi Trāyastriṃśa melakukannya seperti manusia,
hanya saja dewa laki-laki tidak mengeluarkan air mani. Para dewa-dewi Yāma, satu tingkat alam yang lebih tinggi, berpelukan
tetapi tidak ada penetrasi. Para dewa-dewi Tuṣita hanya
berpegangan tangan. Para dewa-dewi surga Nirmāṇarati tidak bersentuhan
sama sekali tetapi menemukan kenikmatan seksual hanya dengan tersenyum satu
sama lain. Para dewa-dewi alam sensual tertinggi bahkan tidak melangkah sejauh
itu, namun hanya saling bertatap mata. Jadi beda sekali konsep kenikmatan surga
Buddhis ini jika dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh kebanyakan orang
awam di dunia ini. Kaum laki-laki biasanya mengidam-idamkan hubungan-seksual di
surga nanti: bercumbu dan bercinta dengan banyak bidadari di alam surga, dengan
imbalan memperoleh tingkat kenikmatan yang jauh lebih tinggi.
Sesuai dengan kosmologi Gunung Meru, segala kerumitan dan drama terjadi di kamavacara
atau alam nafsu indra. Alam-alam kehidupan ini sangat luas dan sangat
berbeda-beda, mulai dari alam Naraka atau Niraya, yang sering
disebut "neraka",
sampai pada alam kesengsaraan para Preta
atau alam Hantu-kelaparan, hingga dunia binatang dan manusia yang penuh warna.
Dunia indra mencakup semuanya: kesakitan, konflik, kesenangan, dan kasih
sayang. Hal ini begitu jelas dan luar biasa dalam alam-alam tersebut, sehingga
sulit membayangkan cara keberadaan di alam-alam luhur lainnya.
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/231213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar