Rabu, 13 Desember 2023

GUNUNG MERU DAN AXIS MUNDI


 

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Perayaan keagamaan agung di wilayah kadipaten Śākya baru saja usai di sore hari itu. Perhelatan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam itu diikuti oleh para petinggi istana, dan semua yang ikut dalam upacara itu merasa kelelahan. Demikian pula halnya dengan sang permaisuri, Puteri Mahā Māyā, yang telah berangkat ke peraduannya sebelum sang surya tenggelam di ufuk barat. Di tengah malam Māyā yang sedang tidur dengan lelapnya, terbangun di kamar pribadinya. Dia menutupi mata dengan telapak tangannya karena muncul cahaya menyilaukan di dalam kamarnya. Empat sosok makhluk yang amat elok ke luar dari tiang cahaya itu dalam wujud empat gadis muda yang sedang tersenyum. Māyā duduk di peraduannya dan langsung mengenali keempatnya; mereka tidak lain para dewi, makhluk kahyangan.

 

Keempat dewi itu memberi isyarat agar Māyā mengikuti mereka. Sambil terus bertanya-tanya mengapa mereka memilih dirinya, Māyā pun turun dari tempat tidurnya yang mewah dan hangat serta dia mengikuti keempatnya. Sambil menoleh ke belakang, empat makhluk itu berjalan menembus partisi dan dinding-dinding istana, seakan-akan semua penghalang itu terbuat dari asap. Sama seperti para dewi, Māyā pun tidak merasakan tubuhnya terbentur oleh dinding sewaktu dia berjalan menembusnya. Setelah mereka keluar dari kompleks istana, dia merasa tubuhnya menjadi bertambah ringan, dan tampak dari pandangannya, kotaraja tempat tinggal keluarganya semakin kabur dan menghilang.

 

Mereka berlima bergerak semakin cepat menuju arah utara. Pegunungan Himalaya, yang mana Māyā sendiri menebak-nebak, ke tempat itulah para dewi akan membawanya. Itulah puncak-puncak tinggi yang biasanya tampak di kejauhan dari istananya, satu tempat yang tidak terbayangkan akan dapat dia kunjungi sekali seumur hidupnya. Sekarang kelimanya bukan saja melaju dengan cepat, melainkan tubuh mereka membumbung semakin tinggi ke angkasa. Mendekati punggung gunung yang berwarna abu kebiru-biruan, Māyā melihat sinar matahari yang memantul di salju. Dia menatapnya dengan takjub. Setelah melewati beberapa gunung terlihatlah sebuah danau yang dikelilingi oleh beberapa puncak bukit. Permukaan airnya berkilau tertimpa sinar sang surya.

 

Keempat dewi itu membawa Māyā ke satu tepian danau yang berbatu, yang mana mereka mendapatkan permukaan air di sana tenang dan bening bagaikan kaca. Para dewi membuka pakaiannya dan Māyā pun pasrah mengikuti kehendak mereka. Setelah melepaskan semuanya, mereka memakaikannya sebuah busana yang paling indah dan paling halus, yang pernah dia lihat dan kenakan selama ini. Mereka membimbing Māyā agar memasuki danau dan mereka memandikannya. Setelah tubuhnya benar-benar bersih, sambil tersenyum keempat tangan dewi itu menyentuh perut Māyā. Sentuhan tersebut terasa hangat dan begitu menggugahnya. Sekonyong-konyong Māyā diliputi oleh gairah yang meluap-luap. Pada saat yang kritis itu dia mendusin dari tidur nyenyaknya, dan tahu-tahu dia mendapati dirinya sedang berbaring di tempat tidurnya sendirian. Gairah yang tidak biasa itu masih menyelubungi sekujur tubuhnya, dan gelora itu tidak ingin pergi.

 

Dengan tergesa-gesa dan agak linglung, Māyā segera beranjak dari tempat tidurnya, dan dia pun berjingkat-jingkat menuju kamar suaminya. Dalam temaram cahaya pelita dilihatnya Śuddhodana sedang terbaring miring di tempat tidurnya. Setelah bertahun-tahun berputus asa menantikan kedatangan seorang putera, suaminya lebih sering tidur sendirian. Penguasa lain mungkin akan mencari beberapa selir, yang bisa memberikan keturunan; tetapi Śuddhodana tidak melakukan hal itu. Dia tetap teguh dan setia mendampinginya. "Malam ini akan berbeda dengan malam-malam panjang sebelumnya," kata Māyā kepada dirinya sendiri. "Aku telah diberkahi oleh dewata." Dengan perlahan-lahan karena tidak ingin suaminya terbangun, Māyā berbaring di samping suaminya. Dengan lembut dia membelai wajah suaminya sampai Śuddhodana terbangun.

 

Mata lelaki itu terbuka dan sambil mengantuk kedua tangannya menyentuh tubuh isterinya. Śuddhodana hendak mengajukan sebuah pertanyaan, tetapi Māyā meletakkan jari telunjuknya di depan bibir suaminya. Māyā tidak menjadi liar dan lupa diri karena gairahnya yang sedang menyala-nyala. Dia pun bukan budak dari nafsu raganya. Saat tubuh mereka berpagut, Māyā lebih menginginkan penyatuan ketimbang kenikmatan. Dia mendorong tubuh suaminya, dengan kata-kata yang tidak pernah terlontar dari mulutnya. "Jangan bercinta denganku seperti layaknya sepasang manusia, tetapi bercintalah denganku bagaikan dewa-dewi di kahyangan." Efeknya tak terbayangkan dan sangat dramatis. Dengan lembut Śuddhodana merengkuhnya.

 

Selama ini kegiatan bercinta keduanya hanyalah rutinitas yang itu-itu saja. Tetapi malam ini tidaklah demikian. Śuddhodana pun merasakan keyakinan yang besar seperti yang dirasakan Māyā. Begitu sang isteri siap, dia pun memutar pinggulnya dan bersatu dengan suaminya. Gairah luar biasa yang merasukinya semakin lama semakin memuncak. Napas mereka tercekat di kerongkongan. Selama beberapa saat Māyā memasuki dunia kenikmatan yang terasa abadi. Terengah-engah dia menyadari suaminya tengah memeluknya erat-erat, begitu lekatnya sehingga tubuh mereka berdua melebur menjadi satu. Mereka berciuman dan saling membelai, dengan rasa puas dan tuntas. Māyā seolah-olah merasakan dirinya membumbung ke tempat kediaman para dewi, yang sebelumnya pernah didatanginya. Ketika dia membuka matanya, dilihatnya satu makhluk asing sedang mengamatinya. Makhluk itu sangat besar dan berwarna seputih salju. Hewan itu ternyata seekor gajah. Makhluk itu menatapnya dengan kebijaksanaannya yang hangat, kemudian mengangkat belalainya sebagai tanda penghormatan. Sang gajah putih pun sedikit demi sedikit mengecilkan tubuhnya, kemudian dia memasuki bagian perut Māyā sebelah kanan dan dan di tempat itu pula dia lenyap seketika. Māyā tersadar dari tidurnya, ketika bumi di bawah istana bergetar keras, seakan-akan menyambut datangnya sang manusia agung ke dunia.

 

Kisah sang permaisuri Māyā yang dibawa oleh empat sosok dewi menuju pegunungan dan danau suci, merupakan penggalan cerita awal tentang proses kelahiran Sang Bodhisattva; yang telah dipercaya oleh keturunan kaum Śākya selama ribuan tahun. Kadipaten Śākya Kuno yang sekarang berada di wilayah Nepal berhadapan langsung pada bagian utaranya dengan Pegunungan Himalaya, bagian bumi yang paling tinggi dibandingkan gunung-gunung lainnya di planet yang kita tinggali. Pada masa itu puncak-puncak tertinggi pada pegunungan itu belum sanggup dieksplorasi oleh orang kebanyakan, dan apa yang ada di sana masih merupakan misteri. Namun diyakini di pegunungan tersebut juga tempat bermukim para dewata.

 

Orang India Kuno percaya bahwa Pegunungan Himalaya hanyalah sebagian wujud sesungguhnya dari lokasi kediaman para dewata. Mereka percaya bahwa Gunung Meru, gunung emas, adalah pusat alam semesta. Gunung Meru merupakan benda paling suci di alam semesta karena menyangga langit dan para dewa. Secara geografis, dikatakan berada di pusat alam semesta di perairan kehidupan, dikelilingi oleh tujuh lautan konsentris, yang masing-masing ukurannya mengecil dari pusatnya. Di sebelah selatannya terbentang Bhāratavarṣa, yang bermakna "Tanah Putra Bharata", atau Jambudvīpa, nama kuno untuk India. Sebagai poros dunia, Gunung Meru memanjang ke bawah tanah, ke alam bawah, lalu ke atas hingga ke langit.

 

Gunung Meru (मेरु, Sansk., Pāli), dikenal sebagai Gunung Sumeru (maknanya: Meru yang menakjubkan), Sineru, atau Mahāmeru, adalah gunung suci menurut kepercayaan Buddha, Hindu, dan Jainisme. Gunung Meru dianggap sebagai pusat semesta dari semua alam fisik, spiritual, dan metafisik. Gunung yang sama disebutkan pula dalam beberapa kitab suci agama bukan-India seperti Taoisme yang terpengaruh oleh masuknya agama Buddha di Tiongkok, dan diberi nama Xū Mí Shān (須彌山). Sampai saat ini belum ada identifikasi jelas Gunung Meru dikaitkan dengan lokasi geofisika tertentu. Dalam agama Jawa Kuno dikenal pula Gunung Semeru, yang belakangan bukan saja mengacu pada gunung mitologis, tetapi juga gunung fisik tertinggi (tinggi 3676 m, dari permukaan laut) di Pulau Jawa.

 

Menurut Abhidharmakośabhāṣyam, yakni tulisan filosofis karya Vasubandhu, Sumeru tingginya 80.000 yojana. Ukuran pasti dari satu yojana tidak diketahui secara pasti, namun beberapa catatan menyebutkan satu yojana sekitar 24.000 kaki atau atau kira-kira 4,5 mil. Namun catatan lain menyebutkannya sekitar 7 sampai 9 mil, atau maksimal 15 km. Jadi tinggi Sumeru sebesar 80 ribu yojana setara 1.200.000 km. Jelas besaran ini merupakan jarak yang fantastis bagi kita orang modern, karena jarak rata-rata bumi ke bulan "hanya" 384.400 km. Gunung ini pun masih turun ke bawah permukaan perairan sekitarnya hingga kedalaman 40.000 yojana, dan didirikan di atas lapisan dasar Bumi. Sumeru sering digunakan sebagai perumpamaan untuk ukuran dan stabilitas dalam teks Buddhis. Sumeru konon berbentuk seperti jam pasir, dengan bagian atas dan bawah berbentuk bujur sangkar atau lingkaran berukuran 80.000 yojana-persegi, namun menyempit di bagian tengahnya, yaitu pada ketinggian 40.000 yojana, menjadi hanya 20.000 yojana-persegi.

 

Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi merupakan surga atau devaloka Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang tertinggi yang bersentuhan fisik langsung dengan bumi. Empat-puluh-ribu yojana berikutnya di bawah langit ini terdiri dari jurang terjal, menyempit menyerupai gunung-terbalik hingga luasnya 20.000 yojana-persegi dengan ketinggian 40.000 yojana dihitung dari dasarnya. Dari titik ini Sumeru meluas lagi, turun menjadi empat tepian bertingkat, masing-masing lebih lebar dari yang di atasnya. Teras pertama merupakan Surga Empat Raja Agung dan terbagi menjadi empat bagian, menghadap utara, selatan, timur, dan barat. Setiap bagian diatur oleh salah satu dari Empat Raja Agung, yang menghadap ke luar menuju penjuru dunia yang diawasinya.

 

Jarak 40.000 yojana juga merupakan ketinggian matahari dan bulan mengelilingi Sumeru searah jarum jam. Rotasi ini menjelaskan perubahan siang dan malam. Ketika matahari berada di utara Sumeru, bayangan gunung menutupi benua Jambudvīpa, dan di sana berlangsung malam hari. Serta pada saat yang sama terjadi siang hari di benua utara seberang Uttarakuru, fajar di benua timur Pūrvavideha, dan senja di benua barat Aparagodānīya. Setengah hari kemudian, ketika sang surya telah bergerak ke selatan, terjadi siang hari di Jambudvīpa, senja di Pūrvavideha, fajar di Aparagodānīya, dan tengah malam di Uttarakuru. Tiga teras berikutnya yang menuruni lereng Sumeru masing-masing lebih panjang dan lebarnya dengan faktor dua. Mereka berisi pengikut Empat Raja Agung, yakni para nāga, yakṣa, gandharva, dan kumbhāṇḍa.

 

Menurut pandangan orang India Kuno, di sekeliling Gunung Meru terdapat tujuh rangkaian gunung berbentuk lingkaran, masing-masing setinggi setengah dari gunung sebelumnya, serta dipisahkan oleh lautan berbentuk lingkaran. Seluruh wilayah itu dikelilingi oleh lautan dunia dan akhirnya oleh deretan tebing besi terjal yang membentuk tembok dunia. Di lautan terluar terdapat empat benua besar, jaraknya terlalu jauh satu sama lain untuk navigasi manusia. Benua selatan disebut Jambudvīpa, Negeri Jambu, dan merupakan dunia yang dikenal oleh orang India secara keseluruhan, yakni tempat di mana semua drama, tragedi, dan aneka komedi kehidupan manusia berlangsung.

 

Di atas kita sudah membahas bahwa Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi merupakan surga atau devaloka Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang tertinggi. Jika kita memperluasnya lebih lanjut menuju luar angkasa, masih terdapat surga sensual yang bahkan lebih halus, tempat kediamam para dewa Yāma. Ada enam surga sensual, dua di Gunung Meru dan empat di angkasa di atasnya. Masing-masing langit di atas dua kali lebih jauh dari langit sebelumnya. Yang lebih tinggi lagi adalah alam para dewa-brahma, makhluk yang hidup sangat lama. Mereka mampu menyaksikan seluruh sistem dunia di bawah mereka datang dan pergi, atau tercipta dan akhirnya musnah. Para dewa-brahma sangat berbeda dengan para dewa dan dewi yang kita bicarakan sebelumnya, yakni para dewa-nafsu. Mereka sama sekali tidak tertarik pada dunia indra tetapi hidup dengan menikmati kebahagiaan meditatif. Para dewa-brahma mempunyai enam belas alam, masing-masing lebih halus dibandingkan alam di bawahnya, terbentang sangat jauh hingga angkasa. Sekali lagi, jarak di antara mereka bertambah dua kali lipat setiap kali mereka melangkah maju.

 

Di beberapa negara Buddhis, kepercayaan terhadap dewa-nafsu dan dewa-brahma masih sangat hidup dan baik, dan di beberapa daerah terpencil masih terdapat orang-orang yang masih mempercayai Gunung Meru beserta tatanan yang berada di dalamnya. Bagi manusia modern keberadaan Gunung Meru hanya dianggap sebagai gambaran mitologis tentang alam semesta, dan sudut pandang mereka ini akan kita bicarakan pada bagian kedua tulisan ini. Namun ketika membaca sutta-sutta atau naskah-naskah Buddhis Kuno, kita harus ingat bahwa nenek moyang Buddhis yang sedang berbicara kepada kita; dan mereka semua hidup pada pandangan dunia yang menganggap Gunung Meru dengan berbagai alamnya sebagai kebenaran mutlak.

 

Pada bagian awal tulisan ini penulis menggambarkan ketika Māyā sebagai sosok perempuan masih membutuhkan cinta kasih dan kenikmatan inderawi sebelum mendapatkan puteranya. Gambaran kosmologis pada tatanan Buddhis memberi tahu kita bahwa alam manusia adalah bagian dari kamavacara yang lebih luas, alam nafsu indera, yang juga mencakup empat alam rendah dan enam alam surga-indera. Makhluk pada tingkat keberadaan ini mengalami dunia melalui gerbang enam indera. Pintu-pintu indera ini adalah sumber kesenangan dan kesakitan, dan mereka mendominasi kesadaran satu makhluk. Namun kosmologi Buddhis juga memberi tahu kita bahwa tidak harus seperti ini; ada makhluk-makhluk di alam eksistensi lain yang menjalani kehidupan dalam kebahagiaan luhur tanpa ketertarikan apa pun pada objek-objek indra. Jika kita membayangkan perjalanan ke atas melintasi alam-alam surga, akan kita temukan terjadinya pelemahan nafsu indera secara bertahap, suatu evolusi ke arah bentuk-bentuk sensualitas yang semakin halus dan halus hingga pada tingkat lanjut akan mudah lenyap begitu saja.

 

Surga Tiga-Puluh-Tiga Dewa, Trāyastriṃśa, yang menempati puncak Gunung Meru dianggap sebagai lambang sensualisme duniawi dan mencakup semua jenis kenikmatan yang bisa kita dapatkan di sini: makanan, minuman, musik, dan tentu saja seksualitas. Komentar-komentar Pāli penuh dengan deskripsi-deskripsi yang penuh kegembiraan tentang kesenangan para dewa ini, bahkan termasuk paragraf-paragraf yang cukup erotis yang melukiskan keelokan tubuh gadis-gadis penari. Namun ketika kita naik terus menuju surga yang tersisa, segala sesuatu secara bertahap berubah menjadi bentuk kenikmatan indera yang lebih halus dan tidak terlalu bersifat fisik. Contoh paling jelas terdapat pada sebuah bagian dalam Abhidharmakosa, yang menggambarkan bagaimana para dewa dan dewi bercinta. Para dewa-dewi Trāyastriṃśa melakukannya seperti manusia, hanya saja dewa laki-laki tidak mengeluarkan air mani. Para dewa-dewi Yāma, satu tingkat alam yang lebih tinggi, berpelukan tetapi tidak ada penetrasi. Para dewa-dewi Tuṣita hanya berpegangan tangan. Para dewa-dewi surga Nirmāṇarati tidak bersentuhan sama sekali tetapi menemukan kenikmatan seksual hanya dengan tersenyum satu sama lain. Para dewa-dewi alam sensual tertinggi bahkan tidak melangkah sejauh itu, namun hanya saling bertatap mata. Jadi beda sekali konsep kenikmatan surga Buddhis ini jika dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh kebanyakan orang awam di dunia ini. Kaum laki-laki biasanya mengidam-idamkan hubungan-seksual di surga nanti: bercumbu dan bercinta dengan banyak bidadari di alam surga, dengan imbalan memperoleh tingkat kenikmatan yang jauh lebih tinggi.

 

Sesuai dengan kosmologi Gunung Meru, segala kerumitan dan drama terjadi di kamavacara atau alam nafsu indra. Alam-alam kehidupan ini sangat luas dan sangat berbeda-beda, mulai dari alam Naraka atau Niraya, yang sering disebut "neraka", sampai pada alam kesengsaraan para Preta atau alam Hantu-kelaparan, hingga dunia binatang dan manusia yang penuh warna. Dunia indra mencakup semuanya: kesakitan, konflik, kesenangan, dan kasih sayang. Hal ini begitu jelas dan luar biasa dalam alam-alam tersebut, sehingga sulit membayangkan cara keberadaan di alam-alam luhur lainnya.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231213

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar