(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Pada artikel yang lalu telah
diceritakan perihal Gunung Meru yang merupakan gunung sakral dalam Buddhisme.
Kita telah membahas ukuran gunung, bentuk gunung, siapa itu para penghuninya,
dan lingkungan sekelilingnya. Tetapi orang pun tetap penasaran, dimana letak
gunung yang luar biasa ini. Beberapa peneliti menyamakan Gunung Meru atau
Gunung Sumer dengan Dataran Tinggi Pamir di barat laut Kashmir. Surya Siddhanta,
seorang astronom India Kuno, menyatakan
bahwa Gunung Meru berada di pusat bumi atau Bhuva Madhya, Tanah Jambunad
atau Jambudvipa. Dalam Narapatijayacharyasvarodaya, sebuah teks
abad ke-9 yang berdasarkan pada teks Yamal Tantur yang sebagian besar
tidak diterbitkan, disebutkan bahwa: "Sumeruḥ Prithvī-madhye shruyate
drishyate na tu", artinya Sumeru dikatakan berada di pusat bumi, namun
tidak terlihat disana. Beberapa versi kosmologi ditemukan dalam teks-teks Hindu
yang ada, salah satunya juga menyebutkan bahwa Gunung Meru secara kosmologis
dibatasi oleh Gunung Mandrachala di timur, Gunung Suparshva di barat, Gunung
Kumuda di utara, dan Gunung Kailasa di selatan.
Mirip dengan pandangan Buddhis, Gunung
Meru dalam tradisi Hindu digambarkan memiliki tinggi 84.000 yojana dan panjang
sekitar 74.000 yojana. Matahari beserta seluruh planet di Tata Surya berputar
mengelilingi Gunung Meru sebagai pusatnya. Masha Purana, Bhagvata Purana, dan
naskah-naskah Hindu lainnya secara konsisten menempatkan Gunung Meru pada
ketinggian 84.000 yojana. Banyak orang berpendapat pada zaman kuno bahwa Gunung
Kailash diidentikkan sebagai Gunung Meru. Salah satu catatan Wisnu Purana
tentang gunung ini menyebutkan, bahwa keempat sisinya terbuat dari kristal,
rubi, emas, dan lapis-lazuli. Letaknya di tengah enam barisan pegunungan yang
merupakan pilar dunia serta melambangkan bunga teratai.
Menurut kosmologi Jainisme, Gunung Meru berada di pusat dunia,
dikelilingi oleh Jambudvipa. yang berbentuk lingkaran dengan diameter
100.000 yojana. Ada dua sistem matahari, bulan, dan bintang yang berputar
mengelilingi Gunung Meru. Sementara satu sistem berfungsi, sistem lainnya
bersiap-siap menggantikannya di belakang Gunung Meru. Semua Tīrthaṅkara
dibawa ke puncak Meru oleh Dewa Indra tak lama setelah kelahiran mereka. Indra
menidurkan ibu dari anak Tīrthaṅkara hingga tertidur lelap. Di sana dia
dimandikan dan diurapi dengan ramuan yang berharga. Indra dan dewa-dewi lainnya
turut merayakan kelahirannya. Siapa itu Indra dan Tīrthaṅkara? Indra
adalah raja para dewa, dan dalam naskah Buddhis dinamakan Śakra atau Sakka. Sedangkan
Tīrthaṅkara tidak lain pendiri Jainisme, dan dalam Kepustakaan Pāli
dikenal dengan sebutan Nigantha Nātaputta
Gunung Meru juga disebutkan dalam
naskah Tantu Pagelaran berbahasa Kawi, yang berasal dari era Majapahit
dari abad ke-15. Dokumen ini menjelaskan mitos asal usul Pulau Jawa, dan
peristiwa legendaris ketika sebagian Gunung Meru berpindah ke Jawa. Naskah ini
menjelaskan bahwa Batara Guru atau Dewa Śiva memerintahkan Dewa Brahma dan Dewa
Viṣṇu untuk memenuhi pulau Jawa dengan manusia. Namun Pulau Jawa saat itu
terapung bebas di lautan, terus-menerus bergoyang dan terombang-ambing di atas
air. Untuk menghentikan ketidakstabilan pulau tersebut, para dewa memutuskan
untuk memakukannya ke bumi dengan cara menggusur sebagian mahamel Jambudvipa
dan menempelkannya ke Pulau Jawa. Gunung yang dihasilkan adalah Gunung Semeru,
gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Beberapa sarjana telah mencoba untuk menemukan gunung tersebut sebagai
gunung fisik. Seperti misalnya gunung yang tinggi jika dilihat dari fakta bahwa
orang Yunani Kuno percaya bahwa gunung tertinggi di Yunani, yakni Gunung
Olympus, adalah tempat bersemayamnya dewa-dewi Yunani. Ini sama dengan salah
satu spekulasi yang menunjuk Gunung Pamir di Kashmir sebagai perwujudan dari
Gunung Meru. Gunung Kūnlún (崑崙山, Kūn Lún Shān), adalah sebuah gunung mitologis yang penting dalam pengetahuan
orang Tiongkok Kuno.
Gunung Kūnlún mitologis ini sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan Pegunungan
Kūnlún yang diketahui lokasinya secara
geografis. Ada banyak cerita yang menyebutkan bahwasanya Gunung Kūnlún sebagai
tempat tinggal para dewa dan dewi, beserta makhluk dan tanaman menakjubkan
lainnya. Tradisi Buddha Jepang juga menyebutkan Gunung Meru dan memberikan peta
dari abad ke-16 yang menempatkan gunung tersebut di suatu tempat di jajaran
pegunungan Himalaya. Sarjana lain mendasarkan lokasinya pada referensi bahwa
gunung tersebut semestinya terletak di pusat bumi, dan berspekulasi bahwa
Gunung Meru mungkin ada di Kutub Utara. Menarik untuk disebutkan di sini bahwa
pada peta Kutub Utara yang digambar oleh Flandria Gerardus Mercator, muncul empat
benua yang dipisahkan oleh perairan dan terdapat gunung di antara keduanya, yang
tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa wilayah tersebut dipetakan
berdasarkan legenda. Penggambaran yang dilakukan oleh kartografer Mercator pada
tahun 1569 adalah sebuah peta silindris, yang mungkin aneh dibandingkan dengan
peta dunia yang kita kenal sekarang. Peta global north tampaknya
membesar-besarkan ukuran bumi di sekitar kutub, dan mengecilkannya di daerah
khatulistiwa.
Perlu para pembaca pahami bahwa dalam kosmologi India Kuno – termasuk
kepercayaan dari Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme – bumi dan alam semesta dipercaya
berbentuk datar, dengan Gunung Meru sebagai pusat segala sesuatu. Yang
mengelilingi alam semesta ini adalah hamparan air yang sangat luas, dan yang
mengelilingi air tersebut adalah hamparan angin yang sangat luas. Seperti
halnya kitab suci banyak agama, kosmologi Buddhis mesti diartikan sebagai mitos
atau alegori. Namun banyak generasi Buddhis awal memahami alam semesta menurut
gambaran zaman itu, dan menganggap Gunung Meru ada secara fisik. Kemudian, pada
abad ke-16, penjelajah Eropa yang memiliki pemahaman baru tentang alam semesta
datang ke Asia; dan mereka menyatakan bahwa bumi itu bulat seperti sebuah bola dan
melayang di angkasa. Kontroversi pun muncul.
Donald Lopez, seorang profesor studi Buddhisme dan agama Tibet di
Universitas Michigan, menulis perihal benturan budaya ini dalam bukunya Buddhism
and Science: A Guide for the Perplexed (terbitan University of Chicago
Press, 2008). Umat Buddha konservatif abad ke-16 menolak teori dunia bulat
dan bersikeras bahwa bumi itu datar. Mereka percaya bahwa Buddha Gautama
memiliki pengetahuan yang sempurna, dan jika Beliau percaya pada kosmos Gunung
Meru, maka hal itu pasti benar. Keyakinan itu berlanjut hingga beberapa lama. Namun,
beberapa sarjana memberikan argumen apa yang kita sebut interpretasi modernis
tentang alam semesta Gunung Meru. Di antara mereka ada seorang sarjana Jepang bernama
Tominaga Nakamoto (1715-1746). Nakamoto berpendapat bahwa ketika Buddha Gautama
membahas Gunung Meru, dia hanya menggunakan pemahaman tentang kosmos berdasarkan
keyakinan dan pengetahuan orang banyak pada zamannya. Sang Buddha tidak
menciptakan ajaran perihal kosmos Gunung Meru. Kepercayaan tersebut juga bukan
bagian integral dari ajarannya.
Akhirnya Dalai Lama ke-14 atau pemimpin spiritual Tibet saat ini, yang
telah beberapa kali terbang keliling dunia, tampaknya telah mengakhiri
kepercayaan akan bumi datar di kalangan orang Tibet yang masih berpendapat
bahwa bumi itu tidak bulat. Beliau berkata, "Tujuan
kedatangan seorang Buddha ke dunia ini bukanlah untuk mengukur berapa meter keliling
bumi ini, dan juga menentukan jarak antara bumi dengan bulan, melainkan untuk
mengajarkan Dharma. Dengan Dharma-nya, Buddha berupaya untuk meringankan
penderitaan makhluk hidup, juga sekaligus untuk membebaskan mereka."
Jadi pengetahuan tentang Gunung Meru dan segala teori kosmologi yang
ditulis dan diyakini oleh orang zaman kuno, semestinya kita pahami dengan didasarkan
pada tingkat intelektual manusia zaman itu. Teori itu bukan tidak ada benarnya,
namun harus dipandang dari segi mitologis. Gambaran adanya Pusat yang Sakral
merupakan pengetahuan simbolik, bahkan sejak masa purbakala, ketika manusia
telah mampu menggunakan kemampuan akal budinya. Pusat yang suci menunjukkan
tempat yang transenden, lokasi mana dia memanifestasikan dirinya. Yang Sakral
menguasai pusat itu, karena dia mewakili dari mana segala sesuatu itu bermula.
Disebut Sakral karena Dia merupakan refleksi Yang Agung, yakni Deitas di dunia
yang lain. Setiap peradaban sejak awal mula umat manusia, mempunyai konsepsinya
sendiri tentang Yang Sakral, sebuah istilah Latin yang mengungkapkan 'apa yang
menjadi milik sesuatu yang lain', yang dengan demikian berkaitan dengan suatu
tatanan yang sangat masuk akal.
Sekarang kita bicara mengenai konsep axis mundi
yang sebenarnya berkaitan dengan Gunung Meru yang telah kita bahas. Axis
mundi dalam astronomi merupakan istilah dalam bahasa Latin untuk menunjukkan posisi poros Bumi di antara kutub-kutub langit. Dalam sistem koordinat geosentris, axis mundi atau poros jagat merupakan rotasi pada
poros tertentu dari bola langit. Konsep axis mundi ini diperkenalkan oleh Mircea Eliade pada tahun 1950-an. Axis mundi juga terkait erat dengan
konsep mitologis omfalos atau pusar-dunia atau pusar-kosmos.
Sepanjang sejarah, sebagian besar kebudayaan menggambarkan tanah air mereka
sebagai "pusat dunia" karena merupakan pusat alam semesta yang mereka
kenal. Misalnya, nama Tiongkok dari masa Kekaisaran Zhōu Barat disebut sebagai Zhōngguó
(中国; 中國) atau "Kerajaan
Tengah", yang berasal dari kata zhōng ("pusat") dan guó ("negara").
Mereka percaya bahwa negara atau kerajaan yang mereka diami berdiri di pusat
dunia. Sekali lagi Yang Sakral memanifestasikan dirinya di Pusat atau di
Tengah, dan segala sesuatunya memang berasal dari sana.
Di dalam pusat alam semesta yang diketahui ini, suatu tempat tertentu, sering
kali berupa gunung atau tempat tinggi lainnya, di mana bumi dan langit berada
paling dekat – mendapat status sebagai pusat dari pusat – sebagai axis mundi. Pegunungan
tinggi biasanya dianggap suci oleh masyarakat yang tinggal di
dekatnya. Gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji, telah lama dilambangkan
sebagai poros dunia dalam budaya Jepang. Gunung Kūnlún memiliki peran
serupa di Tiongkok. Kepercayaan suku Sioux menganggap Black
Hills sebagai axis mundi. Gunung Kailash adalah tempat
suci bagi beberapa agama di Tibet. Bagi penganut Taoisme, Kaisar Langit adalah
penguasa tertinggi yang bertahta di Langit. Sedangkan gunung adalah tempat
tertinggi di bumi. Jadi logis jika puncak gunung letaknya paling dekat dengan
singgasana Kaisar Langit. Dengan demikian tinggal di gunung dan mempraktikkan Dào
di sana merupakan pilihan yang bijaksana.
Konsep gunung suci juga turut dimasukkan ke dalam arsitektur candi Hindu
kuno dengan kata Sanskerta Śikhara yang secara harfiah berarti 'gunung'.
Contoh awal gaya ini dapat ditemukan di kuil Harshat Mata dan Harshnath abad
ke-8 M di negara bagian Rajasthan, India barat. Konsep ini berlanjut di luar
India, dengan menara Meru dipasang di rumah ibadah, seperti yang bisa kita
saksikan pada pura-pura di Bali. Di antara candi Buddha, Kuil Mahābodhi di Bodh
Gayā adalah contoh paling awal, yang berasal dari abad ke-5 dan ke-6. Banyak
kuil Buddhis lainnya juga mengadopsi bentuk ini, seperti Wat Arun di Thailand
dan Pagoda Hsinbyume di Myanmar.
Dari konteks rumah ibadah yang dibangun oleh umat, menyiratkan pentingnya axis
mundi dalam perancangan bangunan. Mengapa katedral dibangun menjulang
tinggi ke atas? Mengapa menara masjid membumbung hingga ke angkasa? Mengapa
pagoda dibuat bertingkat-tingkat, dengan berbagai tangga yang bermula dari
dasar hingga puncaknya? Semua bangunan itu mengarah ke atas agar dekat dengan
surga. Jadi axis mundi diperluas untuk merujuk pada konsep mitologis yang
mewakili "hubungan antara Surga dan Bumi", atau "alam yang lebih tinggi dengan alam
yang lebih rendah".
Karena axis
mundi adalah gagasan yang menyatukan sejumlah gambaran konkret, tidak ada
kontradiksi dalam menganggap banyak titik sebagai "pusat
dunia". Simbol tersebut dapat beroperasi di beberapa lokasi
sekaligus. Orang Yunani kuno menganggap beberapa situs sebagai tempat
batu omphalos atau pusar-bumi, dengan tetap mempertahankan
kepercayaan pada pohon dunia kosmik dan Gunung Olympus sebagai tempat tinggal
para dewa dan dewi. Yudaisme memiliki Gunung Sinai dan
Gunung Zion, Kristen memiliki Bukit Zaitun dan Golgota, Islam memiliki
Bukit Bait Suci (Dome of the Rock); serta Ka'bah yang dijadikan kiblat umat
Islam, dan dianggap paling dekat jaraknya dari surga ke bumi.
Benda-benda yang ditambahkan oleh ahli mitologi perbandingan meliputi pula axis mundi pada
tanaman, terutama pohon. Pohon
menyediakan poros yang menyatukan tiga bidang: Kanopi pepohonan mencapai
langit, batangnya bertemu dengan bumi, dan akarnya mencapai dunia
bawah. Dalam beberapa budaya kepulauan Pasifik (termasuk Indonesia), pohon
beringin yang termasuk dalam jenis Ara Suci, dipercaya merupakan tempat tinggal
roh leluhur. Pohon Bodhi juga merupakan nama yang diberikan kepada petapa
Gotama, Buddha historis, yang duduk pada malam dia mencapai pencerahan. Pohon Natal, yang asal usulnya dapat ditelusuri kembali ke
kepercayaan Eropa pra-Kristen, melambangkan axis mundi. Pohon persik dan
buahnya melambangkan keabadian, dan menjadi kesukaan para dewa dalam ajaran
Taoisme.
Rumah juga
berfungsi sebagai pusat dunia. Perapian berpartisipasi dalam simbolisme
altar, dan taman pusat ikut serta dalam simbolisme surga purba. Dalam budaya
Asia, rumah secara tradisional ditata dalam bentuk persegi panjang yang
berorientasi pada empat titik mata angin. Rumah tradisional Asia Timur
berorientasi ke langit melalui sistem Fengshui, yakni sebuah sistem
geomansi seperti juga halnya untuk istana. Rumah-rumah tradisional Arab
juga ditata berbentuk persegi yang mengelilingi air mancur pusat, yang membangkitkan
ingatan kita pada surga taman purba. Masyarakat nomaden di Mongolia dan
Amerika lebih sering tinggal dalam bangunan melingkar. Tiang tengah tenda masih
berfungsi sebagai poros, tetapi referensi tetap ke empat titik kompas
dihindari.
Wujud manusia dapat berfungsi sebagai poros
dunia. Beberapa representasi Pohon Kehidupan yang lebih abstrak, seperti sistem Chakra yang
diakui oleh agama Hindu dan Buddha, menyatu dengan konsep tubuh manusia
sebagai pilar antara langit dan bumi. Disiplin seperti Yoga dan
Tai Chi dimulai dari premis tubuh manusia sebagai axis mundi. Astrologi dalam segala bentuknya mengasumsikan hubungan antara kesehatan dan
urusan manusia serta orientasinya dengan benda-benda langit. Agama-agama
dunia menganggap tubuh itu sendiri sebagai kuil dan doa, yang berfungsi sebagai
tiang yang menyatukan bumi dengan surga. Gambar Renaisans yang
dikenal sebagai Manusia Vitruvian, mewakili eksplorasi simbolis dan
matematis dari bentuk manusia sebagai poros dunia.
Menurut Mircea
Eliade, "Setiap Mikrokosmos dari wilayah yang dihuni, memiliki Pusat,
artinya tempat yang paling suci di atas segalanya."
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/231227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar