Kamis, 28 Desember 2023

GUNUNG MERU DAN AXIS MUNDI



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu telah diceritakan perihal Gunung Meru yang merupakan gunung sakral dalam Buddhisme. Kita telah membahas ukuran gunung, bentuk gunung, siapa itu para penghuninya, dan lingkungan sekelilingnya. Tetapi orang pun tetap penasaran, dimana letak gunung yang luar biasa ini. Beberapa peneliti menyamakan Gunung Meru atau Gunung Sumer dengan Dataran Tinggi Pamir di barat laut Kashmir. Surya Siddhanta, seorang astronom India Kuno, menyatakan bahwa Gunung Meru berada di pusat bumi atau Bhuva Madhya, Tanah Jambunad atau Jambudvipa. Dalam Narapatijayacharyasvarodaya, sebuah teks abad ke-9 yang berdasarkan pada teks Yamal Tantur yang sebagian besar tidak diterbitkan, disebutkan bahwa: "Sumeruḥ Prithvī-madhye shruyate drishyate na tu", artinya Sumeru dikatakan berada di pusat bumi, namun tidak terlihat disana. Beberapa versi kosmologi ditemukan dalam teks-teks Hindu yang ada, salah satunya juga menyebutkan bahwa Gunung Meru secara kosmologis dibatasi oleh Gunung Mandrachala di timur, Gunung Suparshva di barat, Gunung Kumuda di utara, dan Gunung Kailasa di selatan.

 

Mirip dengan pandangan Buddhis, Gunung Meru dalam tradisi Hindu digambarkan memiliki tinggi 84.000 yojana dan panjang sekitar 74.000 yojana. Matahari beserta seluruh planet di Tata Surya berputar mengelilingi Gunung Meru sebagai pusatnya. Masha Purana, Bhagvata Purana, dan naskah-naskah Hindu lainnya secara konsisten menempatkan Gunung Meru pada ketinggian 84.000 yojana. Banyak orang berpendapat pada zaman kuno bahwa Gunung Kailash diidentikkan sebagai Gunung Meru. Salah satu catatan Wisnu Purana tentang gunung ini menyebutkan, bahwa keempat sisinya terbuat dari kristal, rubi, emas, dan lapis-lazuli. Letaknya di tengah enam barisan pegunungan yang merupakan pilar dunia serta melambangkan bunga teratai.

 

Menurut kosmologi Jainisme, Gunung Meru berada di pusat dunia, dikelilingi oleh Jambudvipa. yang berbentuk lingkaran dengan diameter 100.000 yojana. Ada dua sistem matahari, bulan, dan bintang yang berputar mengelilingi Gunung Meru. Sementara satu sistem berfungsi, sistem lainnya bersiap-siap menggantikannya di belakang Gunung Meru. Semua Tīrthaṅkara dibawa ke puncak Meru oleh Dewa Indra tak lama setelah kelahiran mereka. Indra menidurkan ibu dari anak Tīrthaṅkara hingga tertidur lelap. Di sana dia dimandikan dan diurapi dengan ramuan yang berharga. Indra dan dewa-dewi lainnya turut merayakan kelahirannya. Siapa itu Indra dan Tīrthaṅkara? Indra adalah raja para dewa, dan dalam naskah Buddhis dinamakan Śakra atau Sakka. Sedangkan Tīrthaṅkara tidak lain pendiri Jainisme, dan dalam Kepustakaan Pāli dikenal dengan sebutan Nigantha Nātaputta

 

Gunung Meru juga disebutkan dalam naskah Tantu Pagelaran berbahasa Kawi, yang berasal dari era Majapahit dari abad ke-15. Dokumen ini menjelaskan mitos asal usul Pulau Jawa, dan peristiwa legendaris ketika sebagian Gunung Meru berpindah ke Jawa. Naskah ini menjelaskan bahwa Batara Guru atau Dewa Śiva memerintahkan Dewa Brahma dan Dewa Viṣṇu untuk memenuhi pulau Jawa dengan manusia. Namun Pulau Jawa saat itu terapung bebas di lautan, terus-menerus bergoyang dan terombang-ambing di atas air. Untuk menghentikan ketidakstabilan pulau tersebut, para dewa memutuskan untuk memakukannya ke bumi dengan cara menggusur sebagian mahamel Jambudvipa dan menempelkannya ke Pulau Jawa. Gunung yang dihasilkan adalah Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.

 

Beberapa sarjana telah mencoba untuk menemukan gunung tersebut sebagai gunung fisik. Seperti misalnya gunung yang tinggi jika dilihat dari fakta bahwa orang Yunani Kuno percaya bahwa gunung tertinggi di Yunani, yakni Gunung Olympus, adalah tempat bersemayamnya dewa-dewi Yunani. Ini sama dengan salah satu spekulasi yang menunjuk Gunung Pamir di Kashmir sebagai perwujudan dari Gunung Meru. Gunung Kūnlún (崑崙山, Kūn Lún Shān), adalah sebuah gunung mitologis yang penting dalam pengetahuan orang Tiongkok Kuno. Gunung Kūnlún mitologis ini sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan Pegunungan Kūnlún yang diketahui lokasinya secara geografis. Ada banyak cerita yang menyebutkan bahwasanya Gunung Kūnlún sebagai tempat tinggal para dewa dan dewi, beserta makhluk dan tanaman menakjubkan lainnya. Tradisi Buddha Jepang juga menyebutkan Gunung Meru dan memberikan peta dari abad ke-16 yang menempatkan gunung tersebut di suatu tempat di jajaran pegunungan Himalaya. Sarjana lain mendasarkan lokasinya pada referensi bahwa gunung tersebut semestinya terletak di pusat bumi, dan berspekulasi bahwa Gunung Meru mungkin ada di Kutub Utara. Menarik untuk disebutkan di sini bahwa pada peta Kutub Utara yang digambar oleh Flandria Gerardus Mercator, muncul empat benua yang dipisahkan oleh perairan dan terdapat gunung di antara keduanya, yang tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa wilayah tersebut dipetakan berdasarkan legenda. Penggambaran yang dilakukan oleh kartografer Mercator pada tahun 1569 adalah sebuah peta silindris, yang mungkin aneh dibandingkan dengan peta dunia yang kita kenal sekarang. Peta global north tampaknya membesar-besarkan ukuran bumi di sekitar kutub, dan mengecilkannya di daerah khatulistiwa.

 

Perlu para pembaca pahami bahwa dalam kosmologi India Kuno – termasuk kepercayaan dari Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme – bumi dan alam semesta dipercaya berbentuk datar, dengan Gunung Meru sebagai pusat segala sesuatu. Yang mengelilingi alam semesta ini adalah hamparan air yang sangat luas, dan yang mengelilingi air tersebut adalah hamparan angin yang sangat luas. Seperti halnya kitab suci banyak agama, kosmologi Buddhis mesti diartikan sebagai mitos atau alegori. Namun banyak generasi Buddhis awal memahami alam semesta menurut gambaran zaman itu, dan menganggap Gunung Meru ada secara fisik. Kemudian, pada abad ke-16, penjelajah Eropa yang memiliki pemahaman baru tentang alam semesta datang ke Asia; dan mereka menyatakan bahwa bumi itu bulat seperti sebuah bola dan melayang di angkasa. Kontroversi pun muncul.

 

Donald Lopez, seorang profesor studi Buddhisme dan agama Tibet di Universitas Michigan, menulis perihal benturan budaya ini dalam bukunya Buddhism and Science: A Guide for the Perplexed (terbitan University of Chicago Press, 2008). Umat ​​Buddha konservatif abad ke-16 menolak teori dunia bulat dan bersikeras bahwa bumi itu datar. Mereka percaya bahwa Buddha Gautama memiliki pengetahuan yang sempurna, dan jika Beliau percaya pada kosmos Gunung Meru, maka hal itu pasti benar. Keyakinan itu berlanjut hingga beberapa lama. Namun, beberapa sarjana memberikan argumen apa yang kita sebut interpretasi modernis tentang alam semesta Gunung Meru. Di antara mereka ada seorang sarjana Jepang bernama Tominaga Nakamoto (1715-1746). Nakamoto berpendapat bahwa ketika Buddha Gautama membahas Gunung Meru, dia hanya menggunakan pemahaman tentang kosmos berdasarkan keyakinan dan pengetahuan orang banyak pada zamannya. Sang Buddha tidak menciptakan ajaran perihal kosmos Gunung Meru. Kepercayaan tersebut juga bukan bagian integral dari ajarannya.

 

Akhirnya Dalai Lama ke-14 atau pemimpin spiritual Tibet saat ini, yang telah beberapa kali terbang keliling dunia, tampaknya telah mengakhiri kepercayaan akan bumi datar di kalangan orang Tibet yang masih berpendapat bahwa bumi itu tidak bulat. Beliau berkata, "Tujuan kedatangan seorang Buddha ke dunia ini bukanlah untuk mengukur berapa meter keliling bumi ini, dan juga menentukan jarak antara bumi dengan bulan, melainkan untuk mengajarkan Dharma. Dengan Dharma-nya, Buddha berupaya untuk meringankan penderitaan makhluk hidup, juga sekaligus untuk membebaskan mereka."

 

Jadi pengetahuan tentang Gunung Meru dan segala teori kosmologi yang ditulis dan diyakini oleh orang zaman kuno, semestinya kita pahami dengan didasarkan pada tingkat intelektual manusia zaman itu. Teori itu bukan tidak ada benarnya, namun harus dipandang dari segi mitologis. Gambaran adanya Pusat yang Sakral merupakan pengetahuan simbolik, bahkan sejak masa purbakala, ketika manusia telah mampu menggunakan kemampuan akal budinya. Pusat yang suci menunjukkan tempat yang transenden, lokasi mana dia memanifestasikan dirinya. Yang Sakral menguasai pusat itu, karena dia mewakili dari mana segala sesuatu itu bermula. Disebut Sakral karena Dia merupakan refleksi Yang Agung, yakni Deitas di dunia yang lain. Setiap peradaban sejak awal mula umat manusia, mempunyai konsepsinya sendiri tentang Yang Sakral, sebuah istilah Latin yang mengungkapkan 'apa yang menjadi milik sesuatu yang lain', yang dengan demikian berkaitan dengan suatu tatanan yang sangat masuk akal.

 

Sekarang kita bicara mengenai konsep axis mundi yang sebenarnya berkaitan dengan Gunung Meru yang telah kita bahas. Axis mundi dalam astronomi merupakan istilah dalam bahasa Latin untuk menunjukkan posisi poros Bumi di antara kutub-kutub langit. Dalam sistem koordinat geosentris, axis mundi atau poros jagat merupakan rotasi pada poros tertentu dari bola langit. Konsep axis mundi ini diperkenalkan oleh Mircea Eliade pada tahun 1950-an. Axis mundi juga terkait erat dengan konsep mitologis omfalos atau pusar-dunia atau pusar-kosmos.

 

Sepanjang sejarah, sebagian besar kebudayaan menggambarkan tanah air mereka sebagai "pusat dunia" karena merupakan pusat alam semesta yang mereka kenal. Misalnya, nama Tiongkok dari masa Kekaisaran Zhōu Barat disebut sebagai Zhōngguó (中国; 中國) atau "Kerajaan Tengah", yang berasal dari kata zhōng ("pusat") dan guó ("negara"). Mereka percaya bahwa negara atau kerajaan yang mereka diami berdiri di pusat dunia. Sekali lagi Yang Sakral memanifestasikan dirinya di Pusat atau di Tengah, dan segala sesuatunya memang berasal dari sana.

 

Di dalam pusat alam semesta yang diketahui ini, suatu tempat tertentu, sering kali berupa gunung atau tempat tinggi lainnya, di mana bumi dan langit berada paling dekat – mendapat status sebagai pusat dari pusat – sebagai axis mundi. Pegunungan tinggi biasanya dianggap suci oleh masyarakat yang tinggal di dekatnya. Gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji, telah lama dilambangkan sebagai poros dunia dalam budaya Jepang. Gunung Kūnlún memiliki peran serupa di Tiongkok. Kepercayaan suku Sioux menganggap Black Hills sebagai axis mundi. Gunung Kailash adalah tempat suci bagi beberapa agama di Tibet. Bagi penganut Taoisme, Kaisar Langit adalah penguasa tertinggi yang bertahta di Langit. Sedangkan gunung adalah tempat tertinggi di bumi. Jadi logis jika puncak gunung letaknya paling dekat dengan singgasana Kaisar Langit. Dengan demikian tinggal di gunung dan mempraktikkan Dào di sana merupakan pilihan yang bijaksana.

 

Konsep gunung suci juga turut dimasukkan ke dalam arsitektur candi Hindu kuno dengan kata Sanskerta Śikhara yang secara harfiah berarti 'gunung'. Contoh awal gaya ini dapat ditemukan di kuil Harshat Mata dan Harshnath abad ke-8 M di negara bagian Rajasthan, India barat. Konsep ini berlanjut di luar India, dengan menara Meru dipasang di rumah ibadah, seperti yang bisa kita saksikan pada pura-pura di Bali. Di antara candi Buddha, Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā adalah contoh paling awal, yang berasal dari abad ke-5 dan ke-6. Banyak kuil Buddhis lainnya juga mengadopsi bentuk ini, seperti Wat Arun di Thailand dan Pagoda Hsinbyume di Myanmar.

 

Dari konteks rumah ibadah yang dibangun oleh umat, menyiratkan pentingnya axis mundi dalam perancangan bangunan. Mengapa katedral dibangun menjulang tinggi ke atas? Mengapa menara masjid membumbung hingga ke angkasa? Mengapa pagoda dibuat bertingkat-tingkat, dengan berbagai tangga yang bermula dari dasar hingga puncaknya? Semua bangunan itu mengarah ke atas agar dekat dengan surga. Jadi axis mundi diperluas untuk merujuk pada konsep mitologis yang mewakili "hubungan antara Surga dan Bumi", atau "alam yang lebih tinggi dengan alam yang lebih rendah".

 

Karena axis mundi adalah gagasan yang menyatukan sejumlah gambaran konkret, tidak ada kontradiksi dalam menganggap banyak titik sebagai "pusat dunia". Simbol tersebut dapat beroperasi di beberapa lokasi sekaligus. Orang Yunani kuno menganggap beberapa situs sebagai tempat batu omphalos  atau pusar-bumi, dengan tetap mempertahankan kepercayaan pada pohon dunia kosmik dan Gunung Olympus sebagai tempat tinggal para dewa dan dewi. Yudaisme memiliki Gunung Sinai dan Gunung Zion, Kristen memiliki Bukit Zaitun dan Golgota, Islam memiliki Bukit Bait Suci (Dome of the Rock); serta Ka'bah yang dijadikan kiblat umat Islam, dan dianggap paling dekat jaraknya dari surga ke bumi.

 

Benda-benda yang ditambahkan oleh ahli mitologi perbandingan meliputi pula axis mundi pada tanaman, terutama pohon. Pohon menyediakan poros yang menyatukan tiga bidang: Kanopi pepohonan mencapai langit, batangnya bertemu dengan bumi, dan akarnya mencapai dunia bawah. Dalam beberapa budaya kepulauan Pasifik (termasuk Indonesia), pohon beringin yang termasuk dalam jenis Ara Suci, dipercaya merupakan tempat tinggal roh leluhur. Pohon Bodhi juga merupakan nama yang diberikan kepada petapa Gotama, Buddha historis, yang duduk pada malam dia mencapai pencerahan. Pohon Natal, yang asal usulnya dapat ditelusuri kembali ke kepercayaan Eropa pra-Kristen, melambangkan axis mundi. Pohon persik dan buahnya melambangkan keabadian, dan menjadi kesukaan para dewa dalam ajaran Taoisme.

 

Rumah juga berfungsi sebagai pusat dunia. Perapian berpartisipasi dalam simbolisme altar, dan taman pusat ikut serta dalam simbolisme surga purba. Dalam budaya Asia, rumah secara tradisional ditata dalam bentuk persegi panjang yang berorientasi pada empat titik mata angin. Rumah tradisional Asia Timur berorientasi ke langit melalui sistem Fengshui, yakni sebuah sistem geomansi seperti juga halnya untuk istana. Rumah-rumah tradisional Arab juga ditata berbentuk persegi yang mengelilingi air mancur pusat, yang membangkitkan ingatan kita pada surga taman purba. Masyarakat nomaden di Mongolia dan Amerika lebih sering tinggal dalam bangunan melingkar. Tiang tengah tenda masih berfungsi sebagai poros, tetapi referensi tetap ke empat titik kompas dihindari.

 

Wujud manusia dapat berfungsi sebagai poros dunia. Beberapa representasi Pohon Kehidupan yang lebih abstrak, seperti sistem Chakra yang diakui oleh agama Hindu dan Buddha, menyatu dengan konsep tubuh manusia sebagai pilar antara langit dan bumi. Disiplin seperti Yoga dan Tai Chi dimulai dari premis tubuh manusia sebagai axis mundiAstrologi dalam segala bentuknya mengasumsikan hubungan antara kesehatan dan urusan manusia serta orientasinya dengan benda-benda langit. Agama-agama dunia menganggap tubuh itu sendiri sebagai kuil dan doa, yang berfungsi sebagai tiang yang menyatukan bumi dengan surga. Gambar Renaisans yang dikenal sebagai Manusia Vitruvian, mewakili eksplorasi simbolis dan matematis dari bentuk manusia sebagai poros dunia.

 

Menurut Mircea Eliade, "Setiap Mikrokosmos dari wilayah yang dihuni, memiliki Pusat, artinya tempat yang paling suci di atas segalanya."

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231227

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar