Kamis, 11 Januari 2024

SILUMAN ULAR PUTIH

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Di puncak Gunung Éméi (峨眉山,Éméi Shān) atau disebut juga Gunung Barat yang terletak di Provinsi Sìchuān (四川) bersemayamlah seekor ular putih dan seekor ular hijau. Setelah menjalani tapabrata selama ratusan tahun, berubahlah wujud mereka menjadi dua orang gadis cantik. Sang Ular Putih bersalin-rupa menjadi seorang gadis yang bernama Bái Sùzhēn (白素), sedangkan si Ular Hijau menjadi seorang gadis yang bernama Xiǎoqīng (小青).

 

Waktu itu Tiongkok memasuki musim semi dan di pagi hari yang cerah itu, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng berdandan dan menyamar bak seorang wanita kaya yang didampingi oleh dayang perempuannya. Mereka turun dari gunung yang selama ini menjadi lokasi petapaannya menuju ke daerah Hángzhōu (杭州). Di sana keduanya bertamasya ke Jembatan Duan (段家, Duàn Jiā Qiáo), dan Danau Xīhú (西湖) atau Danau Barat. Saat berjalan-jalan menikmati pemandangan, keduanya berpapasan dengan seorang pemuda. Pria itu bernama Xǔxiān (许仙), yang bekerja sebagai seorang peramu di sebuah kedai obat. Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Raya Qīngmíng (清明, Hk.: Cengbeng). Sesuai tradisi, Xǔxiān pun berziarah dan membersihkan makam orang tuanya. Sepulang berziarah dia melewati Jembatan Duàn, sekaligus dia bermaksud menikmati pemandangan permai di daerah itu.

 

Begitu berpapasan dan memandang ketampanan Xǔxiān, Bái Sùzhēn langsung terpesona dan jatuh hati kepadanya. Muncullah gagasan cemerlang di benaknya, ketika dia melihat Xǔxiān yang datang sedang membawa sebuah payung. Dikeluarkannya sebuah saputangan dari saku gaunnya, lalu benda itu dikibaskannya ke arah langit dan mulutnya merapalkan sebuah mantra. Sekonyong-konyong angin dingin menerpa mereka, awan hitam datang bergulung-gulung, dan langit pun menjadi gelap. Tidak menunggu lama, hujan pun turun dengan derasnya.

 

Seketika itu juga orang-orang yang sedang pelesiran berhamburan mencari tempat berteduh. Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng pun ikut berlari dan keduanya berteduh di bawah sebatang pohon. Xǔxiān segera membuka payungnya, dan seketika itu juga dilihatnya dua orang perempuan muda sedang terjebak hujan dan kedinginan. Dia amat terpana melihat kecantikan Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Kemudian dia menghampiri dua nona itu, dan menawarkan agar payungnya bisa dipakai oleh mereka. Bái Sùzhēn menerima payung itu sambil mengungkapkan perasaan terima kasihnya. "Nona-nona sekalian, kalian hendak pergi ke mana?" Xiǎoqīng segera menanggapi, "Kami baru saja pulang berziarah ke makam majikanku, orang tua nonaku ini. Kami tidak mengira kalau akan turun hujan selebat ini, dan sekarang kami khawatir tidak bisa cepat-cepat pulang!"

 

Xǔxiān pun menawarkan jasanya untuk mencarikan perahu yang dapat membawa mereka pulang ke rumah. Beruntunglah mereka karena hujan lebat sudah reda. Dengan berhujan-hujan Xǔxiān pergi ke bantaran danau, dan tidak berapa lama kemudian sebuah perahu datang menghampirinya. Xǔxiān segera menjemput keduanya, lalu bersama Bái Sùzhēn, dan Xiǎoqīng mereka bertiga segera melangkah naik ke perahu itu. Xǔxiān berkata kepada tukang perahu itu, "Tolong Bapak antarkan dulu kedua Nona ini, setelah itu baru mengantar saya pulang. Saya yang membayar semua ongkos perahunya."

 

Setelah ketiga penumpangnya duduk dalam bilik kecil di atas perahu, tukang perahu itu mulai mengayunkan kedua dayungnya. Sambil mengeluarkan serulingnya, sesaat kemudian terdengar irama yang mendayu-dayu. Si tukang perahu pun bernyanyi: "angin dan hujan di atas danau melaju bersama perahu, ke ujung dunia sekali pun kita selalu bersama sebantal seperaduan … ." Suasana di tengah danau itu menghadirkan romantisme, Sùzhēn dan Xǔxiān yang sedang terbuai mendengarkan nyanyian itu diam-diam saling mencuri pandang. Bái Sùzhēn memperhatikan Xǔxiān yang begitu ramah dan jujur terhadap orang lain, lalu bertanyalah dia tentang kisah hidupnya. Xǔxiān pun dengan senang hati menceritakannya. "Ayah dan ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Lalu kakak perempuankulah yang mengasuh aku hingga dewasa. Sekarang aku bekerja meramu obat di sebuah kedai obat."

 

Xiǎoqīng yang melihat kakaknya sudah jatuh hati kepada Xǔxiān segera mewakili kakaknya untuk menceritakan kisah hidupnya. "Nonaku berasal dari keluarga yang bermarga Bái. Dia dipanggil Sùzhēn. Orang tuanya sudah lama meninggal dunia, jadi tinggallah dia sebatang kara. Aku sendiri adalah pembantunya." Kisah duka riwayat hidup Bái Sùzhēn serta paras cantiknya membuat Xǔxiān jatuh hati. Jadi lengkaplah dua sejoli itu bertemu untuk pertama kalinya dan mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Pendayung perahu telah mendekatkan perahunya di bantaran danau dekat rumah Bái Sùzhēn. Xiǎoqīng sudah mengembalikan payung yang masih dipegangnya kepada Xǔxiān, tetapi Bái Sùzhēn tak ingin membiarkan Xǔxiān pergi begitu saja. Dia segera melambaikan saputangannya kembali ke arah langit, dan hujan pun turun kembali. Xǔxiān lalu terburu-buru menyerahkan payungnya sekali lagi kepada Bái Sùzhēn, sambil berkata: "Nona, pakai dan bawa saja payungnya, besok saya akan datang kembali untuk mengambilnya." Bái Sùzhēn segera menangkap janji itu, seraya berkata: "Silakan Tuan datang kembali besok mengambil payung. Aku tinggal di rumah yang beratap merah itu di sebelah sana. Tidak jauh dari tepi danau ini."

 

Keesokan sorenya, Xǔxiān telah berada di pekarangan depan rumah Bái Sùzhēn yang beratap merah. Xiǎoqīng dengan tergopoh-gopoh membukakan pintu, lalu dia sibuk menyambut dan mempersilakannya duduk. Alangkah bahagianya hati Bái Sùzhēn begitu menyadari pemuda itu menepati janjinya untuk mengunjungi mereka. Dengan senyum gembira Bái Sùzhēn mempersilakan tamunya masuk ke ruang minum teh. Sambil menikmati hidangan yang lezat yang telah disediakan oleh Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn dan Xǔxiān bercakap-cakap sambil makan kue dan menikmati teh yang baru diseduh. Keduanya sebetulnya ingin mengungkapkan isi hati masing-masing, tetapi rasa sungkan dan malu membuat mereka hanya mencuri pandang satu sama lain.

 

Xiǎoqīng yang menyaksikan sang pemuda dan gadis itu bersikap kaku segera masuk ke ruang perjamuan itu dan dia menghampiri Xǔxiān. Dengan polosnya dia langsung bertanya: "Tuan Xǔ, tahun ini berapakah usia Anda? Dan apakah Anda sudah menikah?" Xǔxiān pun dengan malu-malu menjawab: "Tahun ini usiaku dua-puluh-dua tahun, dan aku belum menikah." Xiǎoqīng pun tersenyum manis dan menimpalinya: "Jika demikian, Anda sungguh beruntung Tuan Xǔ! Nonaku dan Tuan ternyata seumur, dan dia juga belum menikah. Dia kemarin bercerita kepadaku, dia ingin sekali menikah dan menjadi isteri Tuan. Tetapi, apakah Tuan Xǔ setuju dengan keinginannya?"

 

Terbang melayang hati Xǔxiān mendengar bahwa Bái Sùzhēn ternyata masih lajang dan bahkan berkeinginan memilih dia sebagai suaminya. Ingin sekali dia langsung menyatakan persetujuannya, namun begitu menyadari bahwa dirinya hanya bisa mencukupi nafkahnya untuk menghidupi dirinya sendiri, dia pun merasa harus tahu diri. Dia lalu berkata kepada Xiǎoqīng: "Terima kasih atas kemurahan Nona Bái yang ingin memilihku sebagai suaminya, tetapi aku tidak memiliki cukup uang untuk menghidupi tiga orang sekaligus kelak."

 

Xiǎoqīng pun segera menjawab: "Hal seperti itu tidak perlu dikhawatirkan, Tuan. Mendiang orang tua Nonaku sebetulnya telah meninggalkan banyak warisan. Apalagi majikanku memiliki keterampilan mengobati orang. Jadi jika nanti kalian menjadi suami-isteri, Nonaku yang akan menjadi tabib-nya, sedangkan Tuan bisa meramu dan menjual obatnya. Nah jika keadaannya sudah memadai, bukankah kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal uang?"

 

Xǔxiān pun merasa lega mendengar penuturan Xiǎoqīng, dan dia pun kemudian memutuskan: "Baiklah, aku terima permintaan kalian. Tetapi tunggulah barang dua atau tiga hari lagi. Aku datang hari ini tanpa membawa hadiah, apalagi menyiapkan mas-kawinnya." Xiǎoqīng menyela, "tak perlu Tuan membawa hadiah atau pun mas kawin lagi. Anggaplah payung ini yang menjadi mas kawin terbaik untuk pernikahan kalian. Hari ini aku sudah memeriksa buku-ramalan, dan ternyata hari ini merupakan hari baik untuk melangsungkan sebuah perkawinan. Aku akan segera menyiapkan perlengkapan untuk upacaranya."

 

Xiǎoqīng segera menuju ruang tamu yang terletak di bagian muka rumah. Hanya dengan mengibaskan tangannya, seketika itu pula meja-abu keluarga telah dipenuhi dengan barang sesajian, lengkap dengan sepasang lilin merah. Kibasan tangan berikutnya membuat keperluan perkawinan di ruangan itu lengkaplah sudah. Dan gerakan tangan yang Xiǎoqīng yang ketiga kalinya menghadirkan sebuah poster besar berwarna merah bertuliskan aksara "kebahagiaan" (, Xǐ).

 

Xiǎoqīng kemudian membimbing dan mengarahkan agar kedua mempelai bisa melakukan prosesi ke ruang tamu. Di sana keduanya mengambil dupa, membakarnya, dan mempersembahkannya ke pedupaan yang ada di atas altar. Setelah bersujud disertai doa untuk bersama-sama sehidup-semati di hadapan Langit dan Bumi, otomatis Bái Sùzhēn dan Xǔxiān telah resmi menjadi pasangan suami-isteri.

 

Beberapa waktu setelah pernikahannya, Xǔxiān, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng meninggalkan Hángzhōu dan mereka pindah ke daerah Zhènjiāng (镇江). Ketiganya membuka toko obat di tempat tinggal mereka yang baru. Pada saat itu Zhenjiang sedang dilanda wabah penyakit yang sulit diatasi oleh Pemerintah setempat, dan banyak orang yang tertular kemudian tidak tertolong lagi. Guna membantu menyembuhkan banyak orang yang terserang penyakit ganas tersebut, Xǔxiān dan Bái Sùzhēn harus bekerja keras menangani pasien dan meramu obat dalam jumlah yang amat banyak. Dengan upaya yang tidak kenal lelah banyak pasien yang menderita ini berhasil disembuhkan. Sebagian besar pasien yang dibantu oleh pasangan suami-isteri ini ternyata berasal dari masyarakat kelas bawah. Untuk berobat pun mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sebagai gantinya mereka berdua hanya menerima ucapan terima kasih yang tulus dari para penduduk dusun. Masyarakat pun mengeluk-elukan pasangan Xǔxiān dan Bái Sùzhēn, bagaikan dewa penolong yang menyembuhkan banyak orang dengan tulus dan tanpa pamrih.

 

Namun kemashyuran keduanya justru membawa masalah. Ada seorang bhiksu bernama Fǎ Hǎi (法海), tinggal di Kuil Jīnshān (金山寺, Jīnshān Sì), yang letaknya tidak jauh dari kediaman Xǔxiān dan Bái Sùzhēn. Fǎ Hǎi adalah rahib bertemperamen buruk dan pendendam, namun memiliki kesaktian yang tinggi. Fǎ Hǎi yang mampu meneropong kehidupannya yang lampau ternyata mengingat Bái Sùzhēn, yang masih dianggap sebagai musuh bebuyutan. Pada suatu hari Fǎ Hǎi datang ke kedai obat Xǔxiān. Setelah menemui sang pemilik kedai, tanpa basa basi Fǎ Hǎi memperingatkan Xǔxiān: "Apakah engkau tahu siapa itu isterimu yang sebenarnya? Dia adalah sesosok siluman ular. Suatu hari kelak dia akan memangsamu. Jadi cepatlah engkau kabur dari tempat ini sekarang juga."

 

Mendengar cerita rahib tersebut Xǔxiān menjadi tersinggung dan geram. Lalu dia berkata: "Janganlah paman ngomong sembarangan. Isteriku orang yang baik dan murah hati, dan dia pasti bukan siluman. Sekarang Anda cepat-cepat minggatlah dari kedai obatku!" Sang rahib pun melanjutkan ancamannya: "Nanti pada saat datangnya Hari Raya Perahu Naga (端午, Duānwǔ Jié; diindonesiakan: hari raya "peh-cun") yang akan datang, kamu akan menyaksikannya sendiri, isterimu bersalin rupa menjadi seekor ular putih." Segera setelah itu, sang rahib pun berlalu. Xǔxiān sama sekali tidak menggubris peringatan bhiksu Fǎ Hǎi. Selama ini dia menganggap isterinya adalah perempuan baik-baik, dan dia mengira sang rahib sedang memfitnah isterinya.

 

Waktu berlalu dengan cepatnya dan esok hari akan tibalah Hari Raya Perahu Naga. Seperti yang menjadi tradisi masyarakat Tionghoa, Xǔxiān turut memperingatinya dengan cara menghias rumah dengan daun jeringau (菖蒲, Chāngpú) dan mugwort (艾蒿, àihāo) serta tidak ketinggalan dia telah membeli anggur Xiónghuáng (雄黄酒, Xiónghuáng Jiǔ). Dipercaya anggur jenis ini ampuh untuk mengusir roh jahat. Sementara itu Bái Sùzhēn memanggil Xiǎoqīng dan mereka secara diam-diam berdiskusi satu sama lain. "Besok adalah Hari Perayaan Perahu Naga, dan saat itulah puncak kelemahan dalam hidup kita. Cepatlah engkau pergi bersembunyi ke puncak gunung!" Xiǎoqīng balik bertanya, "kakak sendiri juga akan ikut aku?" Sùzhēn menjawab: "Jika kita pergi bersama, aku khawatir Xǔxiān akan curiga terhadap kita berdua." Setelah memikirkan dengan berbagai risiko yang ada, Xiǎoqīng masih tetap membujuk kakaknya. "Bukankah lebih baik kita pergi menghindar bersama-sama?" Bái Sùzhēn akhirnya memutuskan: "Cepatlah engkau pergi, aku akan tetap berhati-hati dan aku bisa menjaga diri." Tanpa banyak omong lagi, Xiǎoqīng pun merapalkan mantra dan dalam sekejap dia menjelma menjadi seberkas asap hijau, yang serta merta menerobos jendela, dan akhirnya dia ke luar melayang menuju puncak gunung.

 

Bagi bangsa siluman saat peh-cun adalah saat yang paling genting dalam hidup mereka. Orang banyak tahu bahwa pada tengah hari energi semesta begitu besar, sehingga mereka dengan mudahnya memberdirikan telur di atas tanah. Kejadian itu tidak akan terjadi di saat lainnya. Bagi para siluman inilah saatnya mereka bersembunyi ke tempat yang aman, dan mereka bisa kembali setelah tengah-hari peh-cun telah berakhir.

 

Benar saja kekhawatiran Xiǎoqīng akan mendekati kenyataan. Keesokan paginya setelah dia mengungsi ke puncak gunung, Xǔxiān memanggil isterinya. Dia mengajak Bái Sùzhēn untuk bertamasya, dan menjelang tengah hari biasanya banyak orang pergi ke sungai untuk menyaksikan lomba perahu naga. Bái Sùzhēn dengan sopan menolaknya, dan memberitahu suaminya bahwa dia sedang hamil. Xǔxiān yang baru mendengar kabar istrinya sedang mengandung, hatinya pun berbunga-bunga, dan dia berkata: "Jika demikian, kita wajib merayakan berita baik ini dengan sedikit pesta di rumah sendiri.” Xǔxiān pun sibuk menyediakan hidangan istimewa untuk merayakan hari besar itu, dan tidak lupa dia sudah menuangkan anggur Xiónghuáng ke dalam dua buah cangkir. Setelah mereka menyantap bakcang yakni hidangan khas hari itu, Xǔxiān pun mengajak isterinya bersulang. Bái Sùzhēn menolak untuk minum anggur, karena menyadari jika sampai dia menenggak minuman terkutuk itu, pasti hal yang mengerikan akan terjadi. Xǔxiān tetap memaksanya, "Hari ini adalah hari Perayaan Perahu Naga. Tidak baik jika kita tidak minum arak. Semua orang harus minum anggur walaupun hanya seteguk." Sùzhēn menjawab: "Aku sedang hamil, arak Xiónghuáng ini tidak baik untuk janin yang ada di dalam rahimku." Xǔxiān tertawa terbahak-bahak mendengar alasan isterinya. "Di rumah ini kita bertiga adalah peramu obat. Ahli obat paham kalau arak Xiónghuáng bermanfaat mengusir pengaruh roh jahat, dan pula memperkuat janin. Jika engkau minum hingga dua cangkir pasti akan terasa khasiatnya!"

 

Takut mengecewakan suaminya, Bái Sùzhēn meyakinkan dirinya, bahwa setelah bertapa ratusan tahun pastilah dia sudah kebal meminum anggur itu. Dia pun memaksa untuk minum seteguk. Betapa terperanjatnya dia, baru saja arak itu melewati kerongkongannya, tiba-tiba kepalanya menjadi pening, tubuhnya limbung, dan dia terjatuh ke lantai lalu pingsan. Terkejut melihat kejadian itu, Xǔxiān pun segera membopong isterinya yang sudah tak sadarkan diri itu ke tempat tidur. Dia pun tergopoh-gopoh menuju ruang depan untuk mencari obat guna menyadarkan isterinya. Begitu mendapatkan obatnya, dia segera kembali ke kamar tidur. Sesampainya di tepi ranjang, dia menyibakkan tirai kelambu yang menutupi peraduan mereka. Isterinya telah lenyap, dan betapa kagetnya ketika dia menyaksikan makhluk yang ada di atas tempat tidur. Seekor ular besar berwarna putih yang tampak sedang mabuk tengah melingkarkan tubuhnya di atas ranjang! Xǔxiān pun terguncang jiwanya dan disertai teriakan "Auw!!!" dia pun jatuh pingsan, dan tubuhnya menggelosor ke lantai.

 

Petang harinya Xiǎoqīng kembali ke rumah. Begitu mendapatkan Xǔxiān sedang tidak sadarkan diri di dalam kamar tidurnya sendiri, dia pun menjerit-jerit histeris. Teriakannya segera menyadarkan Bái Sùzhēn dari pingsannya. Setelah mengetahui bahwa tidak sadarnya Xǔxiān karena akibat perbuatannya, Bái Sùzhēn pun menangis tersedu-sedu. Keduanya mencoba membangunkan Xǔxiān dari pingsannya, namun setelah mencekokkan berbagai ramuan obat yang mereka miliki, upaya mereka berakhir sia-sia. Bái Sùzhēn tahu jika orang tidak siuman dari pingsannya, dia harus mencari semacam tanaman obat ajaib yang bisa membangunkan kembali orang yang sedang semaput. Tanaman obat ajaib itu hanya ada di Gunung Kūnlún (仑山, Kūnlún Shān).

 

Dia segera memutuskan untuk mencari tanaman obat ajaib itu, namun perjalanan ke sana amat berbahaya. Xiǎoqīng mengingatkan kakaknya: "Yang memiliki tanaman obat ajaib itu adalah Sang Bangau Putih, yang merupakan musuh bebuyutan kita. Jika dia tidak mau memberikannya, engkau harus menang bertempur melawannya." Dinasehati seperti itu, tekad Bái Sùzhēn tetap tidak tergoyahkan. "Demi menyelamatkan nyawa suamiku, gunung pun akan ku-daki, lautan api pun ku-seberangi. Dan jika aku harus tewas di tangan Bangau Putih serta Xǔxiān tidak sampai tertolong, engkau harus membawa jenazah Xǔxiān ke Gunung Barat."

 

Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240111

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar