(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Di puncak Gunung Éméi
(峨眉山,Éméi Shān) atau
disebut juga Gunung Barat yang terletak di Provinsi Sìchuān (四川)
bersemayamlah seekor ular putih dan seekor ular hijau. Setelah menjalani tapabrata
selama ratusan tahun, berubahlah wujud mereka menjadi dua orang gadis cantik.
Sang Ular Putih bersalin-rupa menjadi seorang gadis yang bernama Bái Sùzhēn (白素贞), sedangkan si Ular
Hijau menjadi seorang gadis yang bernama Xiǎoqīng (小青).
Waktu itu Tiongkok memasuki musim semi dan
di pagi hari yang cerah itu, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng berdandan dan menyamar bak
seorang wanita kaya yang didampingi oleh dayang perempuannya. Mereka turun dari
gunung yang selama ini menjadi lokasi petapaannya menuju ke daerah Hángzhōu (杭州). Di sana
keduanya bertamasya ke Jembatan Duan (段家桥, Duàn Jiā Qiáo), dan Danau Xīhú (西湖) atau Danau
Barat. Saat berjalan-jalan menikmati pemandangan, keduanya berpapasan dengan
seorang pemuda. Pria itu bernama Xǔxiān (许仙), yang
bekerja sebagai seorang peramu di sebuah kedai obat. Kebetulan hari itu
bertepatan dengan Hari Raya Qīngmíng (清明, Hk.: Cengbeng). Sesuai tradisi, Xǔxiān
pun berziarah dan membersihkan makam orang tuanya. Sepulang berziarah dia
melewati Jembatan Duàn, sekaligus dia bermaksud menikmati pemandangan permai di
daerah itu.
Begitu berpapasan dan memandang ketampanan
Xǔxiān, Bái Sùzhēn langsung terpesona dan jatuh hati kepadanya. Muncullah
gagasan cemerlang di benaknya, ketika dia melihat Xǔxiān yang datang sedang
membawa sebuah payung. Dikeluarkannya sebuah saputangan dari saku gaunnya, lalu
benda itu dikibaskannya ke arah langit dan mulutnya merapalkan sebuah mantra.
Sekonyong-konyong angin dingin menerpa mereka, awan hitam datang bergulung-gulung,
dan langit pun menjadi gelap. Tidak menunggu lama, hujan pun turun dengan derasnya.
Seketika itu juga orang-orang yang sedang pelesiran
berhamburan mencari tempat berteduh. Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng pun ikut berlari
dan keduanya berteduh di bawah sebatang pohon. Xǔxiān segera membuka payungnya,
dan seketika itu juga dilihatnya dua orang perempuan muda sedang terjebak hujan
dan kedinginan. Dia amat terpana melihat kecantikan Sùzhēn dan Xiǎoqīng.
Kemudian dia menghampiri dua nona itu, dan menawarkan agar payungnya bisa dipakai
oleh mereka. Bái Sùzhēn menerima payung itu sambil mengungkapkan perasaan
terima kasihnya. "Nona-nona sekalian, kalian hendak pergi ke mana?" Xiǎoqīng
segera menanggapi, "Kami
baru saja pulang berziarah ke makam majikanku, orang tua nonaku ini. Kami tidak
mengira kalau akan turun hujan selebat ini, dan sekarang kami khawatir tidak
bisa cepat-cepat pulang!"
Xǔxiān pun menawarkan jasanya untuk
mencarikan perahu yang dapat membawa mereka pulang ke rumah.
Beruntunglah mereka karena hujan lebat sudah reda. Dengan berhujan-hujan Xǔxiān pergi ke bantaran danau, dan tidak berapa lama
kemudian sebuah perahu datang menghampirinya. Xǔxiān segera
menjemput keduanya, lalu bersama Bái Sùzhēn,
dan Xiǎoqīng mereka bertiga segera melangkah naik ke perahu itu. Xǔxiān berkata
kepada tukang perahu itu, "Tolong
Bapak antarkan dulu kedua Nona ini, setelah itu baru mengantar saya pulang.
Saya yang membayar semua ongkos perahunya."
Setelah ketiga penumpangnya duduk dalam bilik kecil di atas
perahu, tukang perahu itu mulai mengayunkan kedua dayungnya. Sambil
mengeluarkan serulingnya, sesaat kemudian terdengar irama yang mendayu-dayu. Si
tukang perahu pun bernyanyi: "…
angin dan hujan di atas danau melaju bersama perahu, ke ujung dunia sekali
pun kita selalu bersama sebantal seperaduan … ." Suasana di tengah danau itu menghadirkan romantisme, Sùzhēn dan Xǔxiān yang
sedang terbuai mendengarkan nyanyian itu diam-diam saling mencuri pandang. Bái
Sùzhēn memperhatikan Xǔxiān yang begitu ramah dan jujur terhadap orang lain,
lalu bertanyalah dia tentang kisah hidupnya. Xǔxiān pun dengan senang hati
menceritakannya. "Ayah
dan ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Lalu kakak perempuankulah
yang mengasuh aku hingga dewasa. Sekarang aku bekerja meramu obat di sebuah
kedai obat."
Xiǎoqīng yang melihat kakaknya sudah jatuh
hati kepada Xǔxiān segera mewakili kakaknya untuk menceritakan kisah hidupnya. "Nonaku berasal dari keluarga yang
bermarga Bái. Dia dipanggil Sùzhēn. Orang
tuanya sudah lama meninggal dunia, jadi tinggallah dia sebatang kara. Aku
sendiri adalah pembantunya."
Kisah duka riwayat hidup Bái Sùzhēn
serta paras cantiknya membuat Xǔxiān jatuh hati. Jadi lengkaplah dua sejoli itu
bertemu untuk pertama kalinya dan mereka saling jatuh cinta pada pandangan
pertama.
Pendayung perahu telah mendekatkan perahunya di bantaran danau
dekat rumah Bái Sùzhēn. Xiǎoqīng sudah
mengembalikan payung yang masih dipegangnya kepada Xǔxiān, tetapi Bái Sùzhēn
tak ingin membiarkan Xǔxiān pergi begitu saja. Dia segera melambaikan
saputangannya kembali ke arah langit, dan hujan pun turun kembali. Xǔxiān lalu
terburu-buru menyerahkan payungnya sekali lagi kepada Bái Sùzhēn, sambil
berkata: "Nona, pakai dan
bawa saja payungnya, besok saya akan datang kembali untuk mengambilnya." Bái Sùzhēn segera menangkap janji itu, seraya berkata:
"Silakan Tuan
datang kembali besok mengambil payung. Aku tinggal di rumah yang beratap merah
itu di sebelah sana. Tidak jauh dari tepi danau ini."
Keesokan sorenya, Xǔxiān telah
berada di pekarangan depan rumah Bái Sùzhēn yang beratap merah. Xiǎoqīng dengan
tergopoh-gopoh membukakan pintu, lalu dia sibuk menyambut dan mempersilakannya
duduk. Alangkah bahagianya hati Bái Sùzhēn begitu menyadari pemuda itu menepati
janjinya untuk mengunjungi mereka. Dengan senyum gembira Bái Sùzhēn
mempersilakan tamunya masuk ke ruang minum teh. Sambil menikmati hidangan yang
lezat yang telah disediakan oleh Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn dan Xǔxiān bercakap-cakap
sambil makan kue dan menikmati teh yang baru diseduh. Keduanya sebetulnya ingin
mengungkapkan isi hati masing-masing, tetapi rasa sungkan dan malu membuat
mereka hanya mencuri pandang satu sama lain.
Xiǎoqīng yang menyaksikan sang pemuda dan
gadis itu bersikap kaku segera masuk ke ruang perjamuan itu dan dia menghampiri
Xǔxiān. Dengan polosnya dia langsung bertanya: "Tuan Xǔ, tahun ini berapakah usia Anda? Dan apakah Anda sudah menikah?" Xǔxiān pun dengan malu-malu menjawab: "Tahun ini usiaku dua-puluh-dua
tahun, dan aku belum menikah." Xiǎoqīng pun tersenyum manis dan
menimpalinya: "Jika
demikian, Anda sungguh beruntung Tuan Xǔ! Nonaku
dan Tuan ternyata seumur, dan dia juga belum menikah. Dia kemarin bercerita
kepadaku, dia ingin sekali menikah dan menjadi isteri Tuan. Tetapi, apakah Tuan
Xǔ setuju dengan keinginannya?"
Terbang melayang hati Xǔxiān
mendengar bahwa Bái Sùzhēn ternyata masih lajang dan bahkan berkeinginan
memilih dia sebagai suaminya. Ingin sekali dia langsung menyatakan
persetujuannya, namun begitu menyadari bahwa dirinya hanya bisa mencukupi
nafkahnya untuk menghidupi dirinya sendiri, dia pun merasa harus tahu diri. Dia
lalu berkata kepada Xiǎoqīng: "Terima
kasih atas kemurahan Nona Bái yang
ingin memilihku sebagai suaminya, tetapi aku tidak memiliki cukup uang untuk
menghidupi tiga orang sekaligus kelak."
Xiǎoqīng pun segera menjawab: "Hal seperti itu tidak perlu
dikhawatirkan, Tuan. Mendiang orang tua Nonaku sebetulnya telah meninggalkan
banyak warisan. Apalagi majikanku memiliki keterampilan mengobati orang. Jadi
jika nanti kalian menjadi suami-isteri, Nonaku yang akan menjadi tabib-nya,
sedangkan Tuan bisa meramu dan menjual obatnya. Nah jika keadaannya sudah
memadai, bukankah kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal uang?"
Xǔxiān pun merasa lega mendengar penuturan
Xiǎoqīng, dan dia pun kemudian memutuskan: "Baiklah, aku terima permintaan kalian.
Tetapi tunggulah barang dua atau tiga hari lagi. Aku datang hari ini tanpa
membawa hadiah, apalagi menyiapkan mas-kawinnya." Xiǎoqīng menyela, "tak
perlu Tuan membawa hadiah atau pun mas kawin lagi. Anggaplah payung ini yang
menjadi mas kawin terbaik untuk pernikahan kalian. Hari ini aku sudah memeriksa
buku-ramalan, dan ternyata hari ini merupakan hari baik untuk melangsungkan
sebuah perkawinan. Aku akan segera menyiapkan perlengkapan untuk upacaranya."
Xiǎoqīng segera menuju ruang tamu yang
terletak di bagian muka rumah. Hanya dengan mengibaskan tangannya, seketika itu
pula meja-abu keluarga telah dipenuhi dengan barang sesajian, lengkap dengan
sepasang lilin merah. Kibasan tangan berikutnya membuat keperluan perkawinan di
ruangan itu lengkaplah sudah. Dan gerakan tangan yang Xiǎoqīng yang ketiga
kalinya menghadirkan sebuah poster besar berwarna merah bertuliskan aksara "kebahagiaan"
(喜, Xǐ).
Xiǎoqīng kemudian membimbing dan
mengarahkan agar kedua mempelai bisa melakukan prosesi ke ruang tamu. Di sana
keduanya mengambil dupa, membakarnya, dan mempersembahkannya ke pedupaan yang
ada di atas altar. Setelah bersujud disertai doa untuk bersama-sama
sehidup-semati di hadapan Langit dan Bumi, otomatis Bái Sùzhēn dan Xǔxiān telah
resmi menjadi pasangan suami-isteri.
Beberapa waktu setelah pernikahannya, Xǔxiān, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng meninggalkan Hángzhōu
dan mereka pindah ke daerah Zhènjiāng (镇江).
Ketiganya membuka toko obat di tempat tinggal
mereka yang baru. Pada saat itu Zhenjiang sedang dilanda wabah penyakit yang
sulit diatasi oleh Pemerintah setempat, dan banyak orang yang tertular kemudian
tidak tertolong lagi. Guna membantu menyembuhkan banyak orang yang terserang
penyakit ganas tersebut, Xǔxiān dan Bái Sùzhēn harus bekerja keras menangani
pasien dan meramu obat dalam jumlah yang amat banyak. Dengan upaya yang tidak
kenal lelah banyak pasien yang menderita ini berhasil disembuhkan. Sebagian besar
pasien yang dibantu oleh pasangan suami-isteri ini ternyata berasal dari
masyarakat kelas bawah. Untuk berobat pun mereka tidak memiliki uang yang
cukup. Sebagai gantinya mereka berdua hanya menerima ucapan terima kasih yang
tulus dari para penduduk dusun. Masyarakat pun mengeluk-elukan pasangan Xǔxiān
dan Bái Sùzhēn, bagaikan dewa penolong yang menyembuhkan banyak orang dengan
tulus dan tanpa pamrih.
Namun kemashyuran keduanya justru membawa masalah. Ada seorang bhiksu
bernama Fǎ Hǎi (法海), tinggal di Kuil Jīnshān (金山寺, Jīnshān Sì), yang letaknya tidak jauh dari kediaman Xǔxiān
dan Bái Sùzhēn. Fǎ Hǎi adalah rahib bertemperamen buruk dan pendendam, namun
memiliki kesaktian yang tinggi. Fǎ Hǎi yang mampu meneropong kehidupannya yang
lampau ternyata mengingat Bái Sùzhēn, yang masih dianggap sebagai musuh
bebuyutan. Pada suatu hari Fǎ Hǎi datang ke kedai obat Xǔxiān. Setelah menemui
sang pemilik kedai, tanpa basa basi Fǎ Hǎi memperingatkan Xǔxiān: "Apakah engkau tahu siapa itu
isterimu yang sebenarnya? Dia adalah sesosok siluman ular. Suatu hari kelak dia
akan memangsamu. Jadi cepatlah engkau kabur dari tempat ini sekarang juga."
Mendengar cerita rahib tersebut Xǔxiān menjadi tersinggung dan geram. Lalu dia berkata: "Janganlah paman ngomong
sembarangan. Isteriku orang yang baik dan murah hati, dan dia pasti bukan
siluman. Sekarang Anda cepat-cepat minggatlah dari kedai obatku!" Sang rahib pun melanjutkan
ancamannya: "Nanti
pada saat datangnya Hari Raya Perahu Naga (端午节, Duānwǔ Jié; diindonesiakan: hari raya "peh-cun") yang akan datang, kamu akan
menyaksikannya sendiri, isterimu bersalin rupa menjadi seekor ular putih." Segera setelah itu, sang rahib pun
berlalu. Xǔxiān sama sekali tidak menggubris
peringatan bhiksu Fǎ Hǎi. Selama ini dia menganggap isterinya adalah perempuan
baik-baik, dan dia mengira sang rahib sedang memfitnah isterinya.
Waktu berlalu dengan cepatnya dan esok hari akan tibalah Hari Raya
Perahu Naga. Seperti yang menjadi tradisi masyarakat Tionghoa, Xǔxiān turut
memperingatinya dengan cara menghias rumah dengan daun jeringau (菖蒲, Chāngpú) dan mugwort (艾蒿, àihāo) serta tidak ketinggalan dia telah
membeli anggur Xiónghuáng (雄黄酒, Xiónghuáng Jiǔ). Dipercaya anggur jenis ini ampuh untuk mengusir
roh jahat. Sementara itu Bái Sùzhēn
memanggil Xiǎoqīng dan mereka secara diam-diam berdiskusi satu sama lain. "Besok adalah Hari Perayaan Perahu
Naga, dan saat itulah puncak kelemahan dalam hidup kita. Cepatlah engkau pergi
bersembunyi ke puncak gunung!" Xiǎoqīng balik bertanya, "kakak sendiri juga akan ikut aku?" Sùzhēn menjawab: "Jika kita pergi bersama, aku
khawatir Xǔxiān akan curiga terhadap kita
berdua." Setelah memikirkan dengan berbagai risiko
yang ada, Xiǎoqīng masih tetap membujuk
kakaknya. "Bukankah
lebih baik kita pergi menghindar bersama-sama?" Bái Sùzhēn akhirnya memutuskan: "Cepatlah engkau pergi, aku akan tetap berhati-hati dan aku
bisa menjaga diri."
Tanpa banyak omong lagi, Xiǎoqīng pun
merapalkan mantra dan dalam sekejap dia menjelma menjadi seberkas asap hijau,
yang serta merta menerobos jendela, dan akhirnya dia ke luar melayang menuju
puncak gunung.
Bagi bangsa siluman saat peh-cun adalah saat yang paling
genting dalam hidup mereka. Orang banyak tahu bahwa pada tengah hari energi
semesta begitu besar, sehingga mereka dengan mudahnya memberdirikan telur di
atas tanah. Kejadian itu tidak akan terjadi di saat lainnya. Bagi para siluman
inilah saatnya mereka bersembunyi ke tempat yang aman, dan mereka bisa kembali
setelah tengah-hari peh-cun telah berakhir.
Benar saja kekhawatiran Xiǎoqīng akan
mendekati kenyataan. Keesokan paginya setelah dia mengungsi ke puncak gunung, Xǔxiān
memanggil isterinya. Dia mengajak Bái Sùzhēn untuk bertamasya, dan menjelang
tengah hari biasanya banyak orang pergi ke sungai untuk menyaksikan lomba
perahu naga. Bái Sùzhēn dengan sopan menolaknya, dan memberitahu suaminya bahwa
dia sedang hamil. Xǔxiān yang baru mendengar kabar istrinya sedang mengandung,
hatinya pun berbunga-bunga, dan dia berkata: "Jika demikian, kita wajib merayakan
berita baik ini dengan sedikit pesta di rumah sendiri.” Xǔxiān pun sibuk menyediakan hidangan istimewa untuk
merayakan hari besar itu, dan tidak lupa dia sudah menuangkan anggur Xiónghuáng ke dalam dua buah cangkir. Setelah mereka
menyantap bakcang yakni hidangan khas hari itu, Xǔxiān pun mengajak isterinya bersulang. Bái Sùzhēn
menolak untuk minum anggur, karena menyadari jika sampai dia menenggak minuman
terkutuk itu, pasti hal yang mengerikan akan terjadi. Xǔxiān tetap memaksanya, "Hari ini adalah hari Perayaan Perahu
Naga. Tidak baik jika kita tidak minum arak. Semua orang harus minum anggur
walaupun hanya seteguk." Sùzhēn menjawab:
"Aku sedang hamil,
arak Xiónghuáng
ini tidak baik untuk janin yang ada di dalam rahimku." Xǔxiān tertawa terbahak-bahak mendengar alasan
isterinya. "Di
rumah ini kita bertiga adalah peramu obat. Ahli obat paham kalau arak Xiónghuáng bermanfaat mengusir
pengaruh roh jahat, dan pula memperkuat janin. Jika engkau minum hingga dua
cangkir pasti akan terasa khasiatnya!"
Takut mengecewakan suaminya, Bái Sùzhēn
meyakinkan dirinya, bahwa setelah bertapa ratusan tahun pastilah dia sudah
kebal meminum anggur itu. Dia pun memaksa untuk minum seteguk. Betapa terperanjatnya
dia, baru saja arak itu melewati kerongkongannya, tiba-tiba kepalanya menjadi
pening, tubuhnya limbung, dan dia terjatuh ke lantai lalu pingsan. Terkejut
melihat kejadian itu, Xǔxiān pun segera membopong isterinya yang sudah tak
sadarkan diri itu ke tempat tidur. Dia pun tergopoh-gopoh menuju ruang depan
untuk mencari obat guna menyadarkan isterinya. Begitu mendapatkan obatnya, dia
segera kembali ke kamar tidur. Sesampainya di tepi ranjang, dia menyibakkan
tirai kelambu yang menutupi peraduan mereka. Isterinya telah lenyap, dan betapa
kagetnya ketika dia menyaksikan makhluk yang ada di atas tempat tidur. Seekor
ular besar berwarna putih yang tampak sedang mabuk tengah melingkarkan tubuhnya
di atas ranjang! Xǔxiān pun terguncang jiwanya dan disertai teriakan "Auw!!!" dia pun jatuh pingsan, dan tubuhnya
menggelosor ke lantai.
Petang harinya Xiǎoqīng
kembali ke rumah. Begitu mendapatkan Xǔxiān sedang tidak sadarkan diri di dalam
kamar tidurnya sendiri, dia pun menjerit-jerit histeris. Teriakannya segera
menyadarkan Bái Sùzhēn dari pingsannya. Setelah mengetahui bahwa tidak sadarnya
Xǔxiān karena akibat perbuatannya, Bái Sùzhēn pun menangis tersedu-sedu.
Keduanya mencoba membangunkan Xǔxiān dari pingsannya, namun setelah mencekokkan
berbagai ramuan obat yang mereka miliki, upaya mereka berakhir sia-sia. Bái Sùzhēn
tahu jika orang tidak siuman dari pingsannya, dia harus mencari semacam tanaman
obat ajaib yang bisa membangunkan kembali orang yang sedang semaput. Tanaman
obat ajaib itu hanya ada di Gunung Kūnlún (昆仑山, Kūnlún Shān).
Dia segera memutuskan untuk mencari
tanaman obat ajaib itu, namun perjalanan ke sana amat berbahaya. Xiǎoqīng
mengingatkan kakaknya: "Yang
memiliki tanaman obat ajaib itu adalah Sang Bangau Putih, yang merupakan musuh
bebuyutan kita. Jika dia tidak mau memberikannya, engkau harus menang bertempur
melawannya."
Dinasehati seperti itu, tekad Bái Sùzhēn
tetap tidak tergoyahkan. "Demi
menyelamatkan nyawa suamiku, gunung pun akan ku-daki, lautan api pun ku-seberangi.
Dan jika aku harus tewas di tangan Bangau Putih serta Xǔxiān tidak sampai tertolong, engkau harus membawa
jenazah Xǔxiān ke Gunung Barat."
Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/240111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar