Rabu, 24 Januari 2024

SILUMAN ULAR PUTIH



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu diceritakan Xǔxiān berada dalam keadaan tidak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kejadian ini memaksa Bái Sùzhēn untuk pergi mencari obat ajaib yang bisa menyadarkannya. Obat ajaib itu ternyata sejenis tanaman, yang hanya tumbuh di Gunung Kūnlún. Mengingat tidak ada cara lain untuk memulihkan kondisi suaminya, Bái Sùzhēn pun bersikeras untuk mendapatkannya. Dia pun mengambil pedang pusaka yang bermata dua, lalu dia berpamitan kepada Xiǎoqīng. "Adik, aku pergi dulu. Semua urusan rumah aku serahkan kepadamu."

 

Segera setelah meninggalkan Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn kemudian menunggangi awan putihnya, dan dia terbang menuju Gunung Kūnlún. Gunung Kūnlún merupakan tempat terpencil di bumi dan hanya sedikit orang yang pernah datang mengunjunginya. Suasana di sana sangat mencekam. Tebing-tebingnya yang sangat terjal dipenuhi oleh semak belukar, dan angin dingin semilir seakan membekukan tubuh. Lengkingan auman harimau dan serigala membuat bulu kuduk kita berdiri. Setelah mencari-cari tempat tumbuhan ajaib itu berada, Bái Sùzhēn akhirnya menemukan tumbuhan yang mirip jamur, di depan sebuah goa. Dia sangat gembira setelah menemukan apa yang dicarinya.

 

Namun baru saja dia menundukkan tubuhnya dan tangannya hendak meraih tanaman berharga ini, tiba-tiba seekor kijang kencana menghampirinya dan berseru, "tahan!" Dalam sekejap sang kijang bersalin-rupa menjadi seorang ksatria, dan dengan segera dia menghunus pedangnya. Ksatria itu membentaknya: "Siluman dari mana kau! Berani-beraninya engkau datang kemari dan mau mencuri jamur ajaib milik kami." Dengan rendah hati dia pun menjawab: "Hamba bernama Bái Sùzhēn. Setelah bertapa ratusan tahun di Gunung Éméi, aku hidup bersama dengan seorang manusia biasa. Saat ini suami sedang tak sadarkan diri. Mohon tuan berikan aku tanaman ini barang segenggam." Sang ksatria menjawab: "Mana boleh barang berharga ini diserahkan kepadamu. Jamur ajaib ini adalah makhluk hidup." Segera setelah itu dia menyabetkan pedangnya ke arah Bái Sùzhēn. Keduanya pun kini saling serang dengan senjata masing-masing. Setelah bertarung beberapa jurus, sang ksatria terdesak dan Bái Sùzhēn pun segera memetik tanaman itu, dan segera setelah itu dia bersiap-siap untuk meninggalkan gunung itu.

 

Namun sekonyong-konyong terdengarlah lengkingan burung bangau. Terkejutlah Bái Sùzhēn mendengar suara yang merupakan ancaman baru baginya. Pepatah mengatakan: 'ular paling takut saat bertemu dengan burung bangau'. Tampaklah di hadapannya seekor burung bangau putih besar yang serta merta menjelma menjadi seorang pendekar. Dia mengeluarkan senjatanya dan berkata: "Berani benar engkau mencuri barang berharga kami!" Bái Sùzhēn segera menyimpan jamur ajaib yang baru dipetiknya ke dalam mulutnya. Keduanya pun terlibat dalam pertarungan yang seru. Selang beberapa lama, si rusa kencana membantu temannya, dan keduanya mengeroyok Bái Sùzhēn. Sang ular putih pun terdesak mundur. Dan tak lama kemudian, sebuah tendangan Burung Bangau ke arah perut Bái Sùzhēn membuatnya tersungkur. Kasihan si ular putih! Jamur ajaib yang berada di mulutnya terlontar ke luar, dan sia-sialah jerih payah Bái Sùzhēn mencari obat bagi suaminya. Pedang si bangau dengan derasnya mengarah ke arah lehernya.

 

Beruntunglah di saat yang kritis itu, seorang tua tiba-tiba ke luar dari balik gerbang goa, lalu dia berteriak: "Tahan!" Orang tua itu tidak lain Nánjí Xiān Wēng (南極仙翁) atau Sang Dewa Kutub Selatan, dikenal pula sebagai Sang Dewa Panjang Usia. Sang Dewa memerintahkan pengikutnya, "Bangau Putih, jangan gegabah." Sang Dewa yang welas asih memahami kehidupan manusia, dan dia tahu Bái Sùzhēn datang dari jauh hanya untuk mencari obat demi kesembuhan suaminya. Dia segera memerintahkan Bangau Putih agar mereka menghentikan perkelahian itu. Selanjutnya dia meminta agar Kijang Kencana menyerahkan segenggam jamur ajaib, untuk diberikan kepada Bái Sùzhēn. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Bái Sùzhēn pun berlutut di hadapan Sang Dewa, dan dia menghaturkan banyak terima kasih.

 

Bái Sùzhēn kemudian pulang dan sesampainya di rumah, dia minta bantuan Xiǎoqīng untuk menggodok jamur ajaib yang dibawanya dari Gunung Kūnlún. Xiǎoqīng memperhatikan keadaan kakaknya yang baru selesai melakukan perjalanan jauh. Dipandanginya wajah Bái Sùzhēn yang nampak pucat, "mengapa rona wajah kakak tidak seperti biasa?" Kakaknya kemudian bercerita bahwa nyawanya hampir melayang setelah dia dikalahkan oleh si Bangau Putih. Xiǎoqīng pun terharu mendengar pengorbanan yang dilakukan kakaknya. Setelah ramuan obat godokan itu siap, Bái Sùzhēn merebahkan bagian atas tubuh suaminya di atas pangkuannya. Selanjutnya sedikit demi sedikit cairan obat itu berhasil ditelan oleh Xǔxiān. Sungguh mengagumkan! Perlahan-lahan Xǔxiān yang tadinya tidak sadarkan diri mulai menggerakkan mulut dan jari-jari tangannya. Akhirnya dia membuka matanya dan mulai mengenali siapa yang ada di hadapannya. Ya, Xǔxiān seolah-olah bangkit dari kematiannya.

 

Hari pun berlalu dengan cepatnya. Pasangan suami-isteri Xǔxiān dan Bái Sùzhēn kembali menjalani kehidupan mereka dengan normal. Hari itu tanggal 15 di bulan ketujuh. Sesuai dengan tradisi orang Tionghoa, Xǔxiān pun menyempatkan diri pergi ke kuil untuk mempersembahkan dupa. Dia pergi sendirian ke Kuil Jīnshān dan dengan bersembahyang, dia berharap keluarganya dikaruniai dengan keselamatan dan kesejahteraan. Baru saja kakinya melangkah menuju altar utama, tiba-tiba dia digelandang oleh seorang rahib yang pernah bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Siapakah rahib itu gerangan? Ya, dia tak lain Bhiksu Fǎ Hǎi. Sang bhiksu bertanya: "Saat perayaan festival perahu naga yang lalu, bukankah engkau telah menyaksikan sendiri, bahwa isterimu itu jelmaan seekor ular putih?" Xǔxiān yang sebenarnya dalam keadaan tidak ngeh dan telah melupakan peristiwa yang mengerikan itu, mendadak kaget diingatkan atas kejadian yang tidak disadari sepenuhnya itu.

 

Saat Xǔxiān masih terbengong-bengong, Bhiksu Fǎ Hǎi yang telah memiliki agendanya sendiri, mulai mengeluarkan taktik liciknya. "Jika engkau membiarkan keadaan ini sampai berlarut-larut, suatu hari nanti engkau akan dimangsa oleh si ular keparat itu." Fǎ Hǎi lalu membujuk Xǔxiān untuk tidak kembali ke rumah, melainkan tinggal di kuil itu, dan dia akan ditahbiskan sebagai seorang calon rahib. Setelah lama mempertimbangkan usulan tersebut, Xǔxiān pun memberikan putusannya: "Rasa cintaku kepada isteriku lebih dalam daripada lautan. Aku menolak menjadi bhiksu dan aku akan tetap pulang, walaupun dia akan membunuhku." Fǎ Hǎi pun murka mendengar penolakan itu, dan dia memerintahkan agar anak buahnya mengurung Xǔxiān dalam sebuah ruangan di biaranya.

 

Telah beberapa hari lewat dan Xǔxiān belum pulang juga, dan hal ini membuat Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng menjadi khawatir. Keduanya pun menyusul ke Kuil Jīnshān. Sesampainya di sana Bái Sùzhēn menanyakan perihal Xǔxiān, yang beberapa hari sebelumnya berkunjung ke biara tersebut. Seorang rahib muda mengaku ada seseorang yang ditahan oleh kepala biara, karena khawatir orang itu akan dicelakai oleh isterinya sendiri, yang sebenarnya adalah sesosok siluman ular. Murkalah Xiǎoqīng mendengar pengakuan itu dan hampir saja dia membunuh rahib muda itu. Mendengar keributan di ruang depan, seketika para rahib di kuil itu segera berkumpul termasuk kepala biara. Setelah bertemu dengan Fǎ Hǎi, Bái Sùzhēn berkata kepadanya: " Wahai kepala biara. Biarkanlah Xǔxiān, suamiku, yang ditahan di kuil ini segera tuan bebaskan. Kami kehilangan dia, lagi pula aku sedang hamil." Fǎ Hǎi hanya memandang Bái Sùzhēn dengan sinis, seraya menjawab: "Xǔxiān telah sadar dan sudah bertobat. Lagi pula dia telah menjadi seorang rahib. Kalian berdua pulang sajalah." Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng merasa tidak puas dan mereka cekcok dengan Bhiksu Fǎ Hǎi.

 

Kedua belah pihak tidak mau saling mengalah, dan sekarang yang menentukan adalah pertarungan dengan senjata masing-masing. Fǎ Hǎi mengeluarkan senjata andalannya yakni Tongkat Dhyana, sementara Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah menghunus pedang mereka masing-masing. Segerombolan bhiksu muda berdatangan membantu atasan mereka, dan dengan bersenjatakan golok, tombak, toya, dan pedang pendek, mereka semua mengepung kedua perempuan muda itu. Bái Sùzhēn mengukur kekuatan mereka berdua, lalu dia bersama Xiǎoqīng mundur pelan-pelan menuju bantaran sungai. Dia mencabut sebuah tusuk konde emas dari gulungan rambutnya, dan dengan sebuah kibasan, benda kecil itu telah berubah menjadi sebuah sampan. Setelah keduanya mengapung di perairan sungai, Bái Sùzhēn mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Dimintanya Xiǎoqīng untuk melambai-lambaikan bendera tersebut di atas air. Seolah-olah mengetahui tanda bahaya darurat yang sedang dialami majikan mereka, sang naga penguasa sungai segera memerintahkan anak buahnya; yakni bala tentara udang dan kepiting untuk segera bersiap-siap, guna membantu junjungan mereka.

 

Fǎ Hǎi yang masih berada di depan kuilnya pun tidak mau kalah. Dia memanggil Skanda atau Sāi Jiàn Tuó (塞建陀), alias Sang Bodhisattva yang merupakan penjaga setia biara Buddha; juga para Sangharama atau Jìng Zhǔ (境主), yakni sekelompok dewa yang menjadi penjaga kuil Buddha. Namun keperkasaan sang naga sungai memang luar biasa. Dalam tempo sekejap saja, angin kencang menerpa permukaan sungai. Air bergolak membuat ombak datang bergulung-gulung. Terbawa oleh gelombang pasang itu muncullah selaksa bala tentara udang dan kepiting. Banjir bandang tak terelakkan dan mulai menggenangi Kuil Jīnshān. Fǎ Hǎi terperanjat dan dia memerintahkan anak buahnya menyingkir, menjauh dari biara. Tampaklah sang bhiksu kepala keteteran menghadapi serbuan air bah ini.

 

Di tengah banjir itu praktis perlawanan para rahib anak buah Fǎ Hǎi pun buyar, dan sang bhiksu kepala kini langsung berhadap-hadapan dengan Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Keduanya berhasil memojokkan dan menjatuhkan Fǎ Hǎi.  Namun tiba-tiba janin di dalam perut Bái Sùzhēn bergejolak, dan dia merasa sangat kesakitan. Pada saat yang kritis ini Fǎ Hǎi mendapat angin, dan sekarang dia yang berbalik mendesak lawan-lawannya. Bái Sùzhēn kemudian meminta Xiǎoqīng dan bala tentara naga sungai untuk mundur. Karena khawatir akan pembalasan Fǎ Hǎi, dia mengajak Xiǎoqīng agar mereka berdua meninggalkan Zhènjiāng, dan keduanya pun lantas mengungsi ke Hángzhōu.

 

Kita kembali pada Xǔxiān. Walaupun Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah mengacak-acak Kuil Jīnshān, Xǔxiān tidak menyadari atau diberitahu tentang kejadian itu. Saat itu dia sedang dikurung di kamar yang terletak di loteng atas, sehingga tidak mengetahui biara itu sempat kebanjiran. Xǔxiān yang malang itu sempat dipenjara di sana selama beberapa bulan. Setiap hari dia meratapi nasibnya yang malang, terpisah dari sang isteri yang amat dicintainya. Namun di satu malam dia sempat menyelinap ke luar, dan dengan secepat kilat dia pulang ke kedai obatnya. Tetapi sesampainya di sana, dia mendapatkan rumahnya telah lama tidak ditinggali orang. Tidak ada petunjuk isteri dan adik iparnya pergi kemana. Takut pelariannya akan membuat Fǎ Hǎi menyusul dan mencarinya, Xǔxiān segera meninggalkan Zhènjiāng, dan dia pun kembali ke rumahnya yang lama di Hángzhōu.

 

Di Hángzhōu Xǔxiān kemudian menetap bersama dengan kakak dan kakak iparnya. Menghabiskan hari-harinya yang lara, Xǔxiān kerap mengunjungi Jembatan Duàn dan Danau Barat. Ketika dipandanginya rerumputan, bunga-bungaan, dan pepohonan, yang masih seperti yang dulu; muncullah kembali rasa cinta dan kangen kepada isterinya. Tak sanggup lagi dia memendam dukacitanya. Kali ini Xǔxiān menjerit sekuat-kuatnya: "Isteriku, dimanakah engkau?" Tak disangka oleh siapa pun, jeritan hati Xǔxiān didengar oleh Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Keduanya ternyata saat itu bersalin rupa menjadi ular putih dan ular hijau, dan mereka berdua sedang memantapkan latihan bela diri di dasar Danau Xīhú. Keduanya pun lantas ke luar dari air, menjelma kembali menjadi manusia, dan mencari-cari sumber suara tadi. Di Jembatan Duàn, Xiǎoqīng terlebih dahulu melihat Xǔxiān. Diliputi oleh kegusarannya dia segera mengeluarkan dan menghunus pedangnya. "Xǔxiān, lupakah engkau akan cinta Bái Sùzhēn kepadamu. Engkau telah berkhianat dan malahan menjadi pengikut si Fǎ Hǎi keparat itu. Sekarang aku akan mencabut nyawamu!"

 

Xǔxiān ketakutan dan untunglah Bái Sùzhēn segera mencegah adiknya agar tidak bertindak gegabah. Dia bertanya lagi kepada Xǔxiān: "Engkau telah menjadi rahib di kuil Fǎ Hǎi. Mengapa masih datang ke Jembatan Duàn dan memanggil-manggil aku?" Xǔxiān membela diri dan menjawab: "Siapa bilang aku telah menjadi rahib? Aku waktu itu pergi bersembahyang ke kuil. Tak disangka si Botak Fǎ Hǎi menangkap dan memenjarakanku. Mujurlah aku ketika seorang bhiksu muda mau menolongku, dan aku bisa kabur dari sana. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan kalian." Setelah mendengar penuturan Xǔxiān, keduanya memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Bái Sùzhēn lalu mengaku bahwa dirinya sebetulnya adalah sesosok siluman ular, namun karena begitu besar cintanya kepada kekasihnya, dia mau menikahinya. Xǔxiān pun tulus mencintai isterinya karena telah melihat sendiri, begitu besar pengorbanan yang telah dilakukannya. Kedua insan yang sudah mengetahui rasa cinta dan ketergantungan yang besar di antara mereka, kemudian menguatkan ikrar mereka untuk tetap bersama di kehidupan ini. Tiba-tiba Bái Sùzhēn merasa perutnya sakit sekali. Xǔxiān pun segera membopong isterinya ke rumah kakaknya. Tak berapa lama kemudian Bái Sùzhēn melahirkan seorang anak laki-laki, yang diberi nama Xǔ Mèngjiāo (许梦蛟).

 

Hampir satu bulan waktu berlalu, Xǔxiān, Bái Sùzhēn, dan Xiǎoqīng, bersiap-siap merayakan peringatan satu bulan kelahiran Mèngjiāo. Namun tak disangka, musibah akan datang menimpa keluarga bahagia itu. Di pagi itu, tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu Bhiksu Fǎ Hǎi sudah berada di depan rumah mereka. Setelah Xǔxiān membuka pintu, dia menghardik: "Untuk apa kalian merayakan kelahiran bocah itu? Genap satu bulan setelah melahirkan anaknya, siluman ular itu akan memangsamu!" Bukan alang kepalang murkanya Xǔxiān melihat musuh bebuyutan mereka sudah berada di depan rumahnya. Bái Sùzhēn yang telah turun ke bawah pun memaki Fǎ Hǎi: "Engkau telah membuatku banyak menderita. Sekarang kita tuntaskan perseteruan ini."

 

Fǎ Hǎi berani menantang musuh besarnya karena dia telah membawa senjata pusakanya, yang dinamakan Mangkuk Sedekah Emas. Sewaktu kedua musuh bebuyutan ini berhadap-hadapan, Fǎ Hǎi segera melemparkan mangkuk itu ke atas kepala Bái Sùzhēn. Mangkuk Sedekah Emas itu pun berpusar di udara dan mengeluarkan cahaya aneh. Tubuh Bái Sùzhēn menjadi limbung dan dia pun tersungkur ke atas tanah. Xǔxiān berupaya membangkitkannya tetapi dia tidak berhasil. Xiǎoqīng segera menghunus pedangnya dan dia bersiap untuk menyerang Fǎ Hǎi. Tetapi khawatir adiknya akan ikut cidera, Bái Sùzhēn memerintahkan Xiǎoqīng untuk segera angkat kaki. "Cepat tinggalkan tempat ini. Lain kali engkau balaskan sakit hati kakakmu ini!" Xiǎoqīng pun segera mundur, menaiki awannya, dan seketika itu dia lenyap dari pandangan.

 

Fǎ Hǎi tertawa terbahak-bahak dan dia berkata kepada Xǔxiān: "Siluman ular ini akan aku kurung di dalam Pagoda Léi Fēng Tǎ (雷峰塔). Dia tidak akan bisa ke luar untuk selamanya." Xǔxiān membentak: "Hari ini aku baru sadar. Makhluk yang suka makan orang bukanlah isteriku, tetapi ternyata engkau. Dasar bhiksu botak sialan. Engkau pantas mati!" Bái Sùzhēn sudah sangat kesakitan. Di saat itu dia minta agar bisa dipertemukan sejenak dengan bayi kecilnya. Setelah itu Fǎ Hǎi berseru: " Mangkuk Sedekah Emas!" Ajaib!! Seketika itu juga, benda pusaka itu memancarkan sinar terangnya sekali lagi. Terlihat tubuh Bái Sùzhēn mengecil dan dia menjerit kesakitan. Sesaat kemudian tubuhnya lenyap tersedot oleh mangkuk ajaib itu. Xǔxiān sambil menggendong puteranya berusaha mengejar Fǎ Hǎi. Namun rahib itu sudah beranjak jauh, sambil membawa Mangkuk Sedekah Emas.

 

Xiǎoqīng yang kabur pada pertempuran terakhirnya mengungsi kembali ke Gunung Éméi. Di sana dia kembali bertapa dan menggembleng dirinya. Sepuluh tahun kemudian, kekuatan dan kesaktiannya telah bertambah berkali-kali lipat. Suatu hari setelah memberitahu Xǔxiān, dia kembali menyatroni Pagoda Léi Fēng Tǎ. Di sana Fǎ Hǎi yang sudah mengetahui kedatangannya telah mempersiapkan diri dengan berbekal jubah bhiksu kasaya-nya, Tongkat Dhyana, dan Mangkuk Sedekah Emas. Keduanya pun tidak berbasa-basi lagi. Fǎ Hǎi yang mengenakan jubah sakti mulai menyerang Xiǎoqīng dengan kedua senjata andalannya. Pertempuran berjalan seru dan kali ini Fǎ Hǎi keteteran. Kedua senjata pusakanya berhasil direbut oleh musuhnya. Dalam keadaan terdesak dia pun tidak dapat mempertahankan jubahnya. Akhirnya Fǎ Hǎi pun mengambil langkah seribu.

 

Xiǎoqīng meloloskan sabuk pinggang hijaunya, lalu terbang mengelilingi bagian atas pagoda itu. Lalu diikatnya bagian puncak menara itu erat-erat. Kemudian dengan satu sentakan kuat dan disertai perapalan mantra-ajaibnya, robohlah Pagoda Léi Fēng Tǎ. Tak lama kemudian, muncullah Bái Sùzhēn dari puing-puing menara itu. Kedua insan tersebut, kakak beradik, saling berpelukan merayakan kebebasan si ular putih. Xǔxiān pun datang sambil menggandeng Mèngjiāo, yang kini telah berumur sepuluh tahun. Ketiga orang ini, Bái Sùzhēn, Xǔxiān, dan Mèngjiāo, berlutut di hadapan Xiǎoqīng sambil mengucapkan terima kasih. Awan putih beriak-riak di langit, angin bertiup sepoi-sepoi, burung-burung berkicau berbalas-balasan. Alam semesta pun menyambut gembira bersatunya keluarga Xǔxiān dan Bái Sùzhēn. Ribuan tahun kemudian para pelancong yang mengunjungi Danau Xīhú dan Kuil Jīnshān di Zhènjiāng, selalu saling menceritakan kembali kisah cinta kedua sejoli itu.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240125


Tidak ada komentar:

Posting Komentar