Kamis, 08 Februari 2024

MONOTEISME DAN POLITEISME



Judul di atas, Monoteisme dan Politeisme, bukanlah istilah asing bagi para pembaca sekalian. Kita semua sudah diajarkan di bangku sekolah dulu, bahwa Monoteisme tidak lain keyakinan atau kepercayaan yang mengakui adanya satu dan hanya satu tuhan atau dewa. Sedangkan Politeisme merupakan paham yang mengakui banyak tuhan atau banyak dewa. Kata “monoteisme” dan “politeisme” memiliki akar-kata yang sama, yang berasal dari kata Yunani: “theo”. “Theo” bermakna “tuhan”, dan akhiran -isme digunakan pada kata benda, yang mengacu pada doktrin atau kepercayaan tertentu. Perbedaannya terletak pada imbuhan-depannya: mono berarti “satu”, sedangkan poli berarti “banyak”.

 

Monoteisme maupun Politeisme bukan hanya paham atau ajaran belaka, tetapi juga dianut oleh orang yang meyakininya: dan jika hal ini yang terjadi, dikatakan bahwa orang tersebut beragama. Namun kedua istilah itu bebas digunakan oleh siapa pun juga. Misalnya, seseorang yang tidak menganut agama tertentu, tetapi meyakini adanya satu tuhan dapat dikatakan dia menganut doktrin monoteisme. Selanjutnya kata “tuhan” sering kali dituliskan dengan huruf kapital, yakni sebagai “Tuhan”, terutama dalam konteks agama monoteistik.

 

Agama monoteistik yang paling kita kenal adalah Agama Samawi atau Agama Wahyu. Agama Samawi bermula dari Agama Yahudi, kemudian Agama Nasrani atau Agama Kristen, dan terakhir Agama Islam. Berdasarkan keyakinan yang ditulis oleh Kitab Suci, Nabi Ibrahim merupakan founding father atau tokoh utama yang berjasa melahirkan agama-agama ini. Secara hipotetis dipercaya bahwa penganut tiga agama ini menyembah Tuhan yang sama. Inilah yang dinamakan sebagai Teori Satu Tuhan.

 

Tuhan dalam kepercayaan monoteistik dipahami sebagai pencipta alam semesta, termasuk umat manusia. Tuhan tidak hanya menciptakan alam dan tatanan yang ada di dalamnya, namun juga tatanan etis yang harus dipatuhi oleh umat manusia. Semuanya ada di tangan Tuhan. Tuhan itu kudus atau sakral, yang tertinggi di atas segalanya, dan unik dalam keberadaannya. Tuhan monoteisme, seperti yang dicontohkan oleh tiga agama besar itu, adalah Tuhan yang berpribadi. Dalam hal ini, ketuhanan monoteisme yang satu dilawankan dengan konsepsi dalam beberapa agama bukan-monoteistik, tentang keilahian impersonal atau kesatuan ketuhanan yang melingkupi seluruh dunia.

 

Agama Yahudi atau Judaisme dan Islam keduanya merupakan contoh monoteisme yang terkenal. Sedangkan orang Kristen percaya pada tiga bagian ketuhanan yang dikenal sebagai “Trinitas”. Trinitas ini meliputi Tuhan, Jesus, dan Roh Kudus. Mereka percaya bahwa Tuhan mengutus putera satu-satunya, Jesus, untuk turun ke dunia ini. Roh Kudus adalah tanda keberadaan Tuhan, serta dapat dirasakan kehadirannya oleh orang Kristen. Walaupun tampaknya doktrin Trinitas ini mirip dengan paham Politeisme, namun para penganut Kristiani percaya bahwa ini adalah perwujudan dari Tuhan yang satu. Jadi mereka berargumen bahwa mereka pun menyembah Tuhan yang sama.

 

Politeisme mencakup agama-agama yang menyembah beberapa atau banyak tuhan atau dewa. Contoh politeisme antara lain Hinduisme, agama Yunani Kuno, agama rakyat Afrika, dan agama rakyat Asia Timur. Penulis memberi contoh Hinduisme, yang mungkin telah dipahami oleh para pembaca sekalian. Dewa utama yang sering dijadikan obyek pemujaan adalah Brahma. Brahma adalah Sang Dewa Pencipta, yang bertugas menjadikan dunia ini dan segala makhluk hidup yang ada di sana. Dia digambarkan memiliki empat kepala dengan wajah keemasan, mempunyai janggut dan empat lengan. Empat kepala mewakili empat Veda, kitab suci agama Hindu. Selanjutnya ada Vishnu yang bertanggung jawab melindungi alam semesta ini. Dia kembali mengunjungi bumi ketika terjadi masalah, guna menegakkan kembali keseimbangan dan perdamaian. Dia digambarkan sebagai sesosok manusia dengan kulit biru dan empat lengan. Terakhir ada Shiva sebagai Sang Dewa Penghancur, yang membawa pada siklus kelahiran kembali pada bumi ini. Dia dilukiskan sebagai pria yang penuh gairah, dengan wajah biru, memiliki mata ketiga, serta ada seekor ular kobra yang melilit di lehernya.

 

Dari penjelasan singkat di atas dapat kita lihat perbedaan pertama antara paham monoteisme dengan ajaran politeisme. Dalam agama-agama Abrahamik atau Agama Wahyu, ada sosok Tuhan yang begitu berkuasa dan digdaya, yang bertanggung jawab mengatur segala sesuatu. Tuhan ini berkuasa di semua lapangan, bertugas menciptakan segala sesuatu, memelihara, dan melakukan pemusnahan dan regenerasi pada alam semesta. Sebagai contohnya, dalam agama Kristen, Tuhan menciptakan bumi, dan Dia bertugas menghakimi orang-orang yang sudah mati; serta memutuskan apakah mereka akan dikirim ke surga atau neraka. Dalam agama-agama politeistik, banyak dewa yang memiliki wilayah tertentu yang mereka kuasai dan peran khusus yang mereka jalani. Dalam Hinduisme, Brahma berperan dalam menciptakan alam semesta, Vishnu merawatnya, dan Shiva bertugas melakukan penghancuran dan regenerasi.

 

Selanjutnya dalam Monoteisme, Tuhan dipandang sebagai otoritas tertinggi, yang membimbing perilaku manusia dan menetapkan standar moralitas. Sistem kepercayaan ini sering kali menekankan pentingnya para penganutnya mematuhi serangkaian aturan dan prinsip tertentu, karena menyimpang dari aturan dan prinsip tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Sebaliknya, Politeisme memiliki perspektif yang lebih beragam tentang ketuhanan. Di sini, para dewa dan dewi dipandang sebagai makhluk yang memiliki banyak segi, yang mana masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Hal ini memungkinkan adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat ketuhanan dan sifat manusia, karena ketidaksempurnaan tidak hanya diterima begitu saja, tetapi juga diterima sebagai bagian dari tatanan alam.

 

Sebuah agama hanya bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai monoteistik atau politeistik. Tidak bisa agama itu mencakup kedua-duanya. Dalam pandangan monoteistik seseorang penganut diwajibkan hanya mengakui satu tuhan saja. Jika dia beriman kepada banyak tuhan, maka dia dikatakan musyrik. Demikian tegas dan ketatnya aturan yang ditetapkan oleh kepercayaan monoteistik ini. Jika ada orang yang menyembah tuhan yang lain, maka dikatakan bahwa yang dia puja adalah berhala.

 

Dalam agama monoteistik, sistem kepercayaan, sistem nilai, dan sistem tindakan ketiganya ditentukan secara signifikan oleh konsepsi tentang Tuhan, sebagai satu wujud yang berpribadi dan unik. Jika diaplikasikan secara negatif, keyakinan monoteistik menghasilkan penolakan terhadap semua sistem kepercayaan lain, dan agama-agama di luar itu dianggap sebagai agama yang “palsu” atau “sesat”. Penolakan ini bisa menjelaskan sikap agama-agama monoteistik yang sangat agresif dan tidak toleran dalam masa-masa tertentu dalam sejarah dunia. Konsepsi bahwa semua agama di luar kepercayaan yang diyakininya adalah keliru, dan mereka memandang orang asing sebagai “penyembahan berhala”. Sering kali pandangan itu menjadi pembenaran atas segala tindakan destruktif dan fanatik, yang didasarkan pada kepercayaannya, yang dianggap sebagai satu-satunya agama yang benar.

 

Di antara paham monoteisme dan politeisme, mungkin kita perlu mengenal paham henoteisme. Henoteisme adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa hanya ada satu tuhan atau dewa yang berkuasa di dunia, tanpa memungkiri akan keberadaan dewa-dewa lainnya. Banyak ahli yang mempelajari sejarah agama-agama di dunia yang menyebutkan bahwa, henoteisme berkembang menjadi sebuah tahap keagamaan, seiring berubahnya agama politeisme ke agama monoteisme. Tahap keagamaan tersebut adalah tahap transisi perubahan keyakinan, dari semula ada banyak dewa yang berkuasa (politeisme), sampai menuju pada kepercayaan bahwa hanya ada satu dewa berkuasa (monoteisme). Henoteisme memiliki sinonim, yakni monolatrisme.

 

Ada beberapa kata terkait yang digunakan dalam konteks keyakinan beragama. Kata teisme mengacu pada keyakinan atau kepercayaan,bahwa ada tuhan atau dewa tertentu. Sebaliknya ateisme adalah keyakinan bahwa tidak ada sosok tuhan di alam semesta ini. Awalan “a-“ berarti “tidak” atau “tanpa”. Selain ateisme, dikenal pula paham lain yang dinamakan agnostisisme. Gagasannya bisa dijabarkan sebagai berikut: Dengan cara apa pun jua, tidak bisa dibuktikan bahwa tuhan itu ada. Namun sebaliknya tiadanya tuhan juga tidak bisa dibuktikan. Jadi mereka yang menganut paham agnostik berpendapat bahwa tidak relevan membahas tuhan. Jadi orang agnostik tidak mau mempersoalkan tuhan itu ada atau tidak.

 

Selanjutnya kita bahas satu istilah lagi, yaitu panteisme. Panteisme adalah keyakinan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari tuhan. Bisa juga diartikan bahwa segala sesuatu merupakan tuhan, dewa, atau dewi imanen yang mencakup segalanya. Lawan dari imanen adalah transenden. Panteisme berkeyakinan bahwa tuhan bukanlah pribadi. Segala sesuatu merupakan kekuatan tuhan yang impersonal. Panteisme ini merupakan paham yang sudah tua, namun menganut keyakinan yang berlawanan dengan monoteisme. Monoteisme menekankan bahwa tuhan adalah pribadi dan dia tunggal, sedangkan panteisme menganggap tuhan itu bukan-pribadi dan ada di mana pun juga. Contoh tuhan yang bukan-pribadi bisa kita dapatkan dalam ajaran Upanishad, yang merupakan bagian dari kepustakaan Veda dalam agama Hindu. Tat twam asi, yang berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya “Itu adalah engkau”, dengan “itu” mengacu pada realitas atau prinsip tunggal yang tertinggi. Jadi sang diri – dalam keadaan asli, murni, dan tulen – itu identik atau merupakan bagian dari kebenaran sejati, yang merupakan dasar atau asal-mula dari segala fenomena yang ada di dunia ini.

 

Contoh politeisme yang berasal dari zaman purba adalah animisme. Animisme berasal dari bahasa Latin yaitu anima atau animae, yang berarti pernapasan atau roh. Pengembangan konsep dari animisme ialah adanya jiwa atau roh pada tiap-tiap benda hidup maupun benda mati. Atas dasar keyakinan ini penganut animisme memuliakan benda-benda. Tujuan pemuliaan ini agar benda-benda tersebut tidak memberikan gangguan kepada manusia, melainkan memberikan keberuntungan. Dalam animisme, tiap benda diyakini mampu memberikan manfaat dan pertolongan.

 

Dalam sejumlah kebudayaan, pohon dipandang sebagai bentuk tumbuhan primordial dan memiliki hubungan simbolis dengan langit dan bumi. Bahkan terkadang pohon didiami oleh roh atau yaksha, seperti yang terjadi dalam tradisi India. Jenis pohon tertentu, seperti ashvattha dan pohon ara suci, dipuja secara khusus. Bahkan pohon beringin di Nusantara begitu dihormati oleh penduduk, karena pohon raksasa itu dipercaya didiami oleh roh penjaga. Namun, di antara dewa-dewa tumbuhan, mungkin yang paling penting adalah dewa-dewa yang berhubungan dengan tanaman budidaya, seperti jagung di Amerika Tengah dan tanaman anggur di kawasan Mediterania. Yang terakhir ini dinyatakan dalam pemujaan terhadap Dionysus, dewa anggur yang gembira, yang menjadi salah satu objek pemujaan paling berpengaruh pada zaman kuno. Pohon anggur itu sendiri melambangkan pertanian dan ekstasi. Dalam tradisi Jawa, padi adalah tanaman sakral, dan diyakini merupakan penjelmaan dari Dewi Sri.

 

Pada tingkat budaya paling awal, ketika pertanian, penggembalaan, dan perburuan merupakan aktivitas komunal yang penting, kepercayaan menunjukkan identifikasi ini dalam ritus-ritus yang berhubungan dengan kesuburan. Vitalitas matahari terlihat dalam efek siklus yang menyebabkan benda-benda tumbuh dan layu. Selain itu, karena dominasinya atas dunia, matahari sering dianggap sebagai dewa yang penting. Setelah itu muncullah pendewaan terhadap kekuatan alam yang tidak dipahami oleh manusia purba, seperti hujan, angin, guntur, dan halilintar. Peran para dewa langit dalam menyokong kegiatan bercocok tanam serta menyediakan cahaya dan kehangatan, melawan efek kegelapan yang kacau; merupakan tema dari berbagai mitos atas berlangsungnya drama kosmis, dan merupakan salah satu alasan utama adanya hubungan dalam pemikiran mitis antara penciptaan dan cahaya. Kepercayaan Zaman Veda mengakui bahwa Surya, dewa matahari, adalah makhluk surgawi. Indra yang diasosiasikan dengan badai, hujan, dan pertempuran (atau perang) bersifat atmosferik. Sedangkan Agni, dewa api, beroperasi terutama di tingkat duniawi.

 

Dewa langit menjadi sangat kuat ketika mereka mengambil wujud atmosfer. Keterhubungan dewa seperti Indra dengan badai, serta hujan yang membawa kesuburan, menjadikan hubungan mereka dengan peperangan cukup alami. Dengan demikian Indra adalah contoh bagaimana masyarakat Zaman Veda menempatkannya sebagai dewa perang. Dewa-dewa tertentu yang tidak terlalu penting dalam tradisi Veda mendominasi Brahmanisme atau agama Hindu Klasik, terutama Siwa dan Wisnu. Yang terakhir ini dikaitkan dengan kepercayaan pada avatar atau inkarnasi. Kebanyakan dewa (berjenis kelamin laki-laki) memiliki pendamping perempuan, seperti yang terjadi pada Siva (laki-laki) dengan Shakti (perempuan). Dalam kurun waktu ribuan tahun muncul banyak aliran dalam agama Hindu Klasik. Apalagi ketika kelompok-kelompok berbeda terserap ke dalam tatanan sosial yang sistematis, dan telah menghasilkan perkiraan adanya 33 juta dewa Hindu. Inilah contoh politeisme dengan jumlah dewa yang amat banyak. Sudah menjadi praktik umum bagi para penyembah untuk memilih bentuk pemujaan terhadap sesosok dewa, dan dewa seperti itu disebut istadevata. Kebanyakan umat Hindu cenderung menafsirkan banyaknya dewa sebagai simbol dari realitas ketuhanan yang satu.

 

Sekarang kita akan meninjau Buddhisme, dan juga termasuk Jainisme; dapatkah digolongkan sebagai ajaran yang monoteistik atau politeistik? Sang Buddha berkata bahwa dewa-dewa itu memang ada, tetapi dalam ajaran Buddhisme Awal, para dewa itu tidak dipuja atau disembah. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa Buddhisme Awal bukanlah agama teistik, atau disebut agama nonteistik. Tetapi Anda para pembaca jangan mengacaukannya sebagai ateistik. Jika ateistik tidak percaya kepada tuhan atau dewa, sedangkan Buddhisme mengakui keberadaan banyak dewa. Nonteistik di sini bermakna keyakinan dan praktik keagamaannya tidak sejalan seratus persen dengan agama teistik pada umumnya, namun sebagiannya sejalan dengan keyakinan dan praktik teistik. Kita akan membicarakan Buddhisme dan Ketuhanan pada artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240208

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar