Pada artikel yang lalu dikisahkan
bagaimana tokoh kita, David Hewavitarne alias Anagārika Dharmapāla (17-Sep-1864
- 29-Apr-1933), yang merupakan sang putera sulung Don Carolis Hewavitarne dan
Mallikā Dharmagunawardene; menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di
Kolombo Sri Lanka pada paruh kedua abad ke-19. Sebagai anak pengusaha terkemuka
di negara pulau itu, David yang sejak dini telah mendapat pendidikan
nilai-nilai Buddhis di dalam lingkungan keluarganya, tetapi justru dia menimba
ilmu di sekolah-sekolah milik misionaris Nasrani di daerah jajahan Inggris Raya
yang memerintah negeri pulau itu. Diceritakan pula pada masa itu Sang Penjajah
sedang giat-giatnya menyebarkan agama Kristen di lingkungan masyarakat Sri
Lanka, yang sejak berabad-abad menganut agama Buddha sebagai kepercayaan nenek
moyang mereka. Dalam lingkungan sekolah yang melakukan represi terhadap
keyakinannya, bisa dimengerti bagaimana David kecil sejak awal sudah menjadi
seorang "pemberontak".
Kebangkitan agama Buddha di Sri Lanka
terjadi bersamaan dengan meluasnya pergerakan Theosophical Society yang
mencapai India pada tahun 1880. Organisasi ini sendiri telah berdiri sejak
tahun 1875 di New York. Pada Mei 1880 dua orang pendiri Theosophical Society,
yakni Kolonel Henry S. Olcott dan Mme.
Helena P. Blavatsky, mendarat di Sri Lanka dan mendapat sambutan hangat dari
masyarakat di sana. Keduanya bahkan mengucapkan ikrar Tiga Perlindungan dan
Lima Sila di hadapan Sri Sumaṅgala, seorang bhikkhu senior yang karismatik.
Penindasan terhadap warga terjajah pun berangsur-angsur pudar, setelah Kol.
Olcott membuat representasi kepada Sekretaris Negara untuk Koloni di London,
yakni hukum bahwa penduduk lokal menjadi orang Kristen dibatalkan pada tahun
1884.
David pun yang tengah menuju ke kedewasaan, kemudian dengan giat membantu
Olcott membuka banyak sekolah Buddhis di negeri kelahirannya. Dia dengan
keahliannya sebagai penulis dan wartawan menjadi penerjemah untuk buku panduan
Buddhis yang ditulis oleh Olcott. Keduanya pun mencari dana untuk membiayai
kebangkitan kembali agama Buddha di sana. Saat itu ketika David genap berusia
dua-puluh tahun, dia yakin bahwa bagi mayoritas warga Sinhala kepentingan agama
Buddha dan kepentingan Masyarakat Teosofis adalah identik. Dalam keadaan
seperti ini wajar saja beberapa bulan setelah kepergian Ny. Blavatsky dari Sri
Lanka, dia menulis surat kepada ayahnya, meminta izin untuk meninggalkan rumah
dan menjalani kehidupan brahmacari. Alasannya karena dia ingin
mengabdikan seluruh waktunya untuk kepentingan Sāsana, serta dia juga
harus meminta izin untuk tinggal di markas Teosofi, karena Perkumpulan ini
bekerja demi kebaikan agama Buddha. Ayahnya pada awalnya keberatan,
mempertanyakan siapa yang akan menjaga anggota keluarga yang lebih muda, jika
putera sulungnya meninggalkan rumah. Tegas dalam tekadnya, David menjawab
masing-masing orang memiliki karmanya sendiri yang akan melindunginya, dan pada
akhirnya ayahnya menyetujui permintaan tersebut. Ibunya juga memberikan
restunya, dengan mengatakan bahwa jika bukan karena kedua adik laki-lakinya
yang masih membutuhkan perawatannya, dia pasti sudah bergabung dengannya dalam
kehidupan baru yang akan dia jalani. Pemuda itu sekarang bebas meninggalkan
rumahnya dan dengan antusiasme yang kuat dia segera menerjunkan dirinya ke
kancah pekerjaan Masyarakat Teosofis. Dalam penghormatan yang muncul tak lama
setelah kematiannya, seorang pengagum telah melukis potret-diri Sang Anāgārika
dan menggoreskan penanya pada kehidupan di periode ini:
"Tidak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar baginya. Dia akan
membersihkan kamarnya sendiri, merapikan tempat tidurnya sendiri, mengurus
pekerjaan kantor, menulis semua surat dan membawanya sendiri ke kantor pos;
bukan sebagai suatu kebajikan tetapi sebagai bagian dari rutinitas hariannya.
Dia akan menyiapkan program untuk acara lain, dia akan menerjemahkan ceramah
untuk orang lain, dia akan menulis artikel asli untuk surat kabar, dia akan
mendiskusikan kebijakan surat kabar tersebut dengan sang Editor dan akan
mengoreksi bukti-bukti untuknya, serta dia akan mewawancarai mereka yang
mengunjungi kantornya. Dia menulis surat kepada orang-orang di seluruh Sri
Lanka, mengundang mereka untuk mengunjungi Kantor Pusat, dan menyumbangkan
'niat baik' mereka terhadap kemajuan organisasi ini. Semua orang sama saja
baginya, baik yang tua, muda, atau anak sekolah, terpelajar atau bodoh, kaya
atau miskin, tidak menjadi masalah; dia secara naluriah tahu apa yang
masing-masing dari mereka, mampu menyumbangkannya demi kebaikan bersama. Dia
menghabiskan hampir lima belas hingga enam belas jam sehari dalam pekerjaan
yang intensif. David memiliki sikap yang menyenangkan, ceria setiap saat:
kata-kata tertulisnya dan ucapan lisannya begitu fasih, dan ketulusannya
menyentuh hati semua orang yang bertemu dengannya. Kumpulan energi dan niat
baik ini memuluskan karirnya yang bermanfaat di Markas Besar Buddha selama
hampir lima tahun. Dia membantu pendirian sekolah-sekolah, dan dalam propaganda
Buddhis. Dia menarik banyak orang untuk bergabung dengan organisasi baru
tersebut, sehingga Perkumpulan Teosofis Buddha Kolombo menjadi sebuah kekuatan
di negara tersebut."
Pada bulan Februari 1886 Kolonel Olcott dan C.W. Leadbeater tiba di Kolombo
untuk mengumpulkan uang bagi Dana Pendidikan Buddhis. David saat itu bekerja
sebagai pegawai junior di Departemen Pendidikan Kolonial, dan makanannya
biasanya dikirim setiap hari dari rumah ke Markas Teosofi tempat dia tinggal.
Kolonel Olcott telah merencanakan untuk berkeliling ke seluruh pulau, dan untuk
tujuan ini dia membutuhkan jasa seorang penerjemah. Namun ketika tidak ada
orang yang bisa menemaninya, dia menyatakan bahwa dia hanya akan membuang-buang
waktu jika tidak ada umat Buddha yang mau ikut bersamanya dalam tur-nya. David
segera menawarkan jasanya, dan mengajukan permohonan cuti tiga bulan kepada
Direktur Pendidikan. Sebelumnya dia telah mengikuti Ujian Klerikal, namun
berjanji pada dirinya sendiri, bahwa jika dia lulus dia tidak akan bergabung
dalam dinas Pemerintah. Dia akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani
kemanusiaan. Ketiganya berangkat dari Kolombo dengan kereta-lembu dua-lantai
milik Kolonel. Olcott dan Leadbeater tidur pada malam hari di lantai atas,
sementara David menempati tempat tidur yang lebih rendah. Selama dua bulan
lebih mereka melakukan perjalanan ke seluruh negeri, sehingga menjadikannya
sebagai serangkaian perjalanan misionaris Buddhis yang ikonik dan bersejarah,
yang pada akhirnya membuat sang Kolonel berjanggut dan rekan mudanya menjadi
tokoh yang dikenal di pedesaan Sinhala.
Tur tahun 1886 menjadikan momen penting dalam wawasan pengetahuan David.
Melalui kepribadian Kolonel Olcott yang aktif dan berwibawa, dia belajar
tentang efisiensi praktis yang menjadi kebiasaan orang Barat. Dia melihat
banyak adat istiadat asing yang tidak bersifat Buddhis telah menyusup ke dalam
kehidupan masyarakat, serta dengan antusiasme semangat mudanya, dia memuji
keagungan tradisi zaman lampau dan meratapi kemerosotan Sri Lanka modern. Dia
mengecam kebiasaan makan daging sapi, mencerca penggunaan nama asing, mencemooh
pakaian barat, dan yang membuat para pendengarnya senang, dia memimpin mereka
dengan menghancurkan sisir kepala (nemi panawa) yang diadopsi oleh suku
Sinhala dari suku Melayu. Dia melihat betapa luas dan dalamnya pengaruh
misi-misi Nasrani, dan betapa nilai-nilai baru telah menggerogoti kehidupan
masyarakat dan semua hal yang paling mulia dalam karakter bangsanya. Dia juga
melihat, bagaimana kepercayaan dan ketaatan penduduk desa terhadap Dhamma
perlahan-lahan runtuh. David dengan kecerdasannya dia mampu menafsirkan
pembenaran yang luar biasa dari Kolonel Olcott terhadap ajaran Buddha, dan
meneruskan seruannya yang berapi-api untuk kebangkitannya di seluruh pelosok
negeri.
Ketika Kolonel Olcott meninggalkan Sri Lanka menuju Madras, David dan
Leadbeater melakukan tur ceramah berdua. Saat keduanya masih berada di
desa-desa pedalaman sepucuk surat tiba dari Sekretaris Kolonial, yang
memberitahukan David bahwasanya dia telah lulus ujian dan sudah dipromosikan ke
jabatan yang lebih tinggi. Kini, saat yang tepat untuk sepenuhnya mengabdi pada
pelayanan di organisasi Buddhis, orang muda yang sekarang ini adalah pegawai
junior berpikir, bahwa waktunya telah tiba untuk meninggalkan pelayanan di
Kantor Pemerintah untuk selama-lamanya. Lalu dia memutuskan bahwa dia akan
bekerja demi agamanya dan meminta Sekretaris Kolonial untuk menerima
pengunduran dirinya. Setelah mereka kembali ke Kolombo, ayahnya menasihatinya
untuk menerima jabatan tersebut dan menyerahkan penghasilannya kepada
Masyarakat Teosofis. Dia juga mengajaknya menemui Sekretaris Kolonial, yang
memintanya untuk menarik pengunduran dirinya; namun terlepas dari bujukan
mereka, tekad kuat David tetap tidak tergoyahkan. Pada akhirnya dia gembira
saat menyadari, bahwa ikatan terakhir yang mengikatnya pada karier duniawi
telah diputuskannya.
Sejak saat itu dan selanjutnya, menjadi semakin sulit bagi David untuk
membagi perhatian secara adil, terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
misionaris Buddhis terbesar di zaman modern ini. Selama tahun 1885-89 ia
mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati untuk urusan Masyarakat Teosofi
Buddhis, dan dengan dukungan keuangan dari kakeknya dan kerjasama dengan C.P.
Goonewardana, Williams Abrew, Don Carolis dan lainnya, organisasi tersebut
menjadi semakin berkecukupan. Atas permintaan Kolonel Olcott, Leadbeater
menyiapkan versi pendek Katekismus Buddhis (buku panduan karya Olcott
yang diperuntukkan bagi siswa-siswi sekolah di Sri Lanka), yang bagian
pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala oleh Dharmapāla dengan bantuan
Sumaṅgala Nāyaka Mahā Thera, dan bagian keduanya oleh dua guru Sekolah Bahasa
Inggris Buddhis yakni James Perera dan Wimalasuriya. Kedua bagian tersebut
diterbitkan oleh The Buddhist Press, yang mana penerbit ini didirikan
bersama oleh Olcott dan David, dengan uang yang diperoleh dari penerbitan Surat
Utang.
Menyadari bahwa The Buddhist Press sebenarnya merupakan milik dari The
Buddhist Theosophical Society, maka David memohon kepada kakeknya – yang mempunyai
saham lebih besar daripada yang lain – untuk menghibahkannya kepada yayasan
mereka. Setelah kakeknya menyetujui, maka tidak sulit untuk meminta hal serupa
kepada para pemegang saham lainnya, guna mengikuti teladannya yang murah hati.
Setelah melunasi utang-utang Sandaresa, majalah mingguan Buddhis
berbahasa Sinhala milik mereka, serta membangunnya di atas landasan yang lebih
kokoh, David memutuskan bahwa sudah saatnya umat Buddha di Sri Lanka memiliki
mingguan berbahasa Inggris pula. Tiga puluh sahabatnya menyumbang masing-masing
sepuluh rupee dan dari jumlah uang yang terkumpul, perangkat mesin cetak untuk
majalah berbahasa Inggris bisa diperoleh dari Madras. Dan pada bulan Desember
1888 The Buddhist diterbitkan di bawah pimpinan redaksi Leadbeater,
sebagai sisipan pada Sandaresa. Artikel-artikel berbahasa Sinhala
menyajikan publikasi kepada cabang-cabang Ceylon Theosophical Society di
pedesaan maupun di perkotaan; yang isinya melaporkan antara lain kemajuan dana
pendidikan Buddhis, serta pembukaan lebih banyak sekolah Buddhis untuk melawan
propaganda Kristiani. Sementara artikel-artikel berbahasa Inggris
berkonsentrasi pada penjelasan Dhamma yang lebih teknis, yang dikaitkan dengan
sains dan psikologi Barat. Yang terakhir ini tidak hanya beredar luas di kalangan
masyarakat kelas atas yang mengenyam pendidikan Barat di Sri Lanka, tetapi
sisipan majalah ini juga beredar hingga ke Eropa, Amerika, India, Jepang dan
Australia; sehingga mampu menyuarakan pesan-pesan Sang Buddha ke dunia modern. The
Buddhist sebenarnya menjadi cikal bakal bagi penerusnya yang lebih
terkenal, yakni the Mahā Bodhi Journal.
Sejalan dengan usaha jurnalistiknya, Dharmapāla melakukan aktivitas
dakwahnya di kalangan masyarakat, berkeliling tanpa kenal lelah dari desa ke
desa dengan kereta sapi milik Kolonel Olcott, memberikan ceramah,
mendistribusikan literatur Buddhis, dan mengumpulkan dana untuk pekerjaan
pendidikan yang telah diresmikan oleh Theosophical Society. Sementara itu,
Leadbeater telah memulai sejumlah Sekolah Minggu Buddhis di berbagai wilayah di
Kolombo, selain mendirikan sekolah Inggris (yang kemudian menjadi Ananda
College, salah satu sekolah paling terkenal di Ceylon) untuk kepentingan
beberapa murid pribadi, di antaranya adalah anak-anak favoritnya. Jinarajadasa,
kemudian terkenal sebagai Presiden keempat Masyarakat Teosofis di Adyar. Selama
periode aktivitas yang intens inilah Don David Hewavitarne mengambil nama
Dharmapāla, atau Penjaga Dharma, yang kemudian membuatnya mendapatkan kekaguman
dan penghormatan dari umat Buddha di seluruh dunia.
Kebangkitan agama Buddha di Sri Lanka dengan dibantu oleh Theosophical
Society perlahan-lahan mulai merambah ke negara-negara yang memiliki banyak
penganut Buddhis. Pada tahun 1889 Olcott dan Dharmapāla berkunjung ke Jepang
dan memulai era kerja sama antara pemuka agama aliran Selatan dengan rohaniwan
Buddhis Jepang. Belakangan keduanya menjalin hubungan dengan rohaniwan Buddhis
yang berasal dari Myanmar (dahulu: Burma), India, dan Tibet. Kemudian pada tahun
1893 Dharmapāla mengunjungi Inggris untuk pertama kalinya, lalu menghadiri The
World’s Parliament of Religions di Chicago, Amerika Serikat. Perjalanan
bersejarah itu menandai diperkenalkannya ajaran Sang Buddha ke masyarakat
Barat. Selain berjasa atas kebangkitan agama Buddha di akhir abad ke-19, Dharmapāla
juga ikut andil dalam restorasi atas tempat-tempat bersejarah yang berkaitan
dengan kehidupan Sang Guru.
Namun bukan di Sarnath yang menjadi awal persinggahannya di India,
melainkan di Buddha Gāya, yang mereka capai pada tanggal 22 Januari 1891,
Dharmapāla Hewavitarne, yang saat itu berusia dua puluh sembilan tahun, mendapatkan
inspirasi yang mengubah tidak hanya kehidupannya sendiri tetapi juga seluruh
kehidupan modern, sejarah kebangkitan Buddhisme. Momen penting dalam kariernya
telah tiba. Akhirnya dia berdiri berhadapan dengan takdirnya. Kejadian-kejadian
pada hari yang paling menentukan sepanjang hidupnya, ketika untuk sesaat nasib
agama Buddha dipertaruhkan di India Modern dengan segala konsekuensinya yang
tak terkira, bergantung pada tindakan yang akan dipelopori oleh segelintir
pionir; yang paling tepat digambarkan pada kata-kata dalam buku hariannya
sendiri:
"Januari. 22. Setelah sarapan, kami berangkat bersama Durga Babu dan
Dr. Chatterjee ke Bodhgāya, tempat paling suci bagi umat Buddha. Setelah
berkendara sejauh 6 mil (dari Gāya) kami sampai di tempat suci. Dalam jarak
satu mil Anda dapat melihat arca-arca Yang Terberkahi tergeletak berserakan di
sana-sini. Di pintu masuk Kuil Mahānt di kedua sisi serambinya terdapat
patung Yang Terberkahi, yang sedang bermeditasi dan membabarkan Dharma. Sungguh
miris! Vihāra suci – Yang Terberkahi duduk di singgasanaNya dan kekhidmatan
agung yang meliputi segala penjuru – membuat hati para penyembah yang saleh sejatinya
akan menangisinya. Sungguh mengharukan! Segera setelah saya menyentuh Vajrāsana
dengan dahi saya, sebuah dorongan tiba-tiba muncul di pikiran saya. Hal ini akan
menggugah saya untuk berhenti di sini dan merawat tempat suci ini – begitu sakralnya,
sehingga tidak ada lokasi mana pun di dunia ini yang setara dengan tempat di
mana Pangeran Sakya Sinha memperoleh Pencerahan di bawah Pohon Bodhi. Ketika
dorongan ini tiba-tiba datang kepada saya, saya bertanya kepada pandita Kozen (pandita
Jepang yang sedang belajar Dharma di Sri Lanka, yang menyertainya), apakah dia
akan bergabung denganku, dan dia dengan pun dengan gembira menyetujuinya. Kami
berdua dengan sungguh-sungguh berjanji bahwa kami tidak akan berhenti di sini
sampai beberapa bhikkhu Buddhis datang untuk mengambil alih tempat itu."
Merupakan ciri khas Dharmapāla bahwa ketika dia membuat keputusan penting
ini, pertanyaan tentang kepemilikan kuil tidak pernah terpikir olehnya. Dia
melihat bahwa tempat paling suci di dunia Buddhis telah diabaikan secara
memalukan, arca-arcanya disingkirkan, situsnya telah dinodai, dan dia berasumsi
bahwa sebagai seorang Buddhis dia tidak hanya mempunyai kewajiban, tetapi juga
punya hak untuk tinggal di sana dan melindungi tempat suci tersebut. Para
pejabat pemerintah yang ditemuinya juga belum memberinya alasan untuk berpikir
sebaliknya. Kunci Rumah Peristirahatan Burma di Bodhgāya Math, yang
dibangun dua puluh tahun sebelumnya oleh Raja Mindon dari Burma (rumah
peristirahatan yang dibangun pada 1875 untuk para peziarah, berlokasi dekat
dengan Candi Bodhgāya yang terlantar) diberikan kepadanya, dan segera setelah
dia menetap di sana, dia mulai menulis surat pertama dari ribuan surat yang
kemudian dia tulis demi kepentingan Kuil Buddha Gaya. Dia menulis kepada banyak
orang di Ceylon, Burma, dan India, menggambarkan kondisi mengerikan tempat suci
tersebut. Dia juga menulis artikel panjang dalam bahasa Sinhala dan Inggris
masing-masing untuk Sandaresa dan The Buddhist.
Perkumpulan Maha Bodhi di Kolombo didirikan pada tahun 1891 tetapi
kantornya segera dipindahkan ke Kalkuta pada tahun berikutnya. Salah satu
tujuan utamanya adalah memulihkan kendali Buddhis atas Kuil Mahabodhi di Bodhgāya.
Untuk mencapai hal ini, Dharmapala mengajukan gugatan terhadap para pendeta
Brahmana yang telah menguasai situs tersebut selama berabad-abad. Setelah
perjuangan yang berlarut-larut, hal ini baru berhasil setelah kemerdekaan India
(1947) dan enam belas tahun setelah kematian Dharmapala sendiri (1933), dengan
restorasi sebagian situs tersebut ke pengelolaan Maha Bodhi Society pada
tahun 1949. Saat itu pengelolaan kuil Bodh Gaya dipercayakan kepada sebuah
komite yang terdiri dari perwakilan organisasi Hindu dan Buddha dalam jumlah
yang sama. Kampanye ini sebagian berhasil pada tahun 1949, ketika kendali
berpindah dari Mahant Hindu ke pemerintah Negara Bagian Bihar, yang
membentuk Komite Pengelolaan Kuil Bodhgāya (BTMC) berdasarkan Undang-Undang
Kuil Bodhgāya tahun 1949.
Bagaimana penguasaan atas situs tersuci agama Buddha itu sekarang? Menurut
Wikipedia, Pemerintah negara bagian Bihar memikul tanggung jawab atas
perlindungan, pengelolaan, dan pemantauan kuil dan propertinya ketika India
memperoleh kemerdekaannya. Sesuai dengan Undang-Undang Kuil Bodhgāya tahun
1949, tanggung jawab tersebut dibagikan kepada Komite Pengelolaan Kuil
Bodhgāya, dan dewan penasehatnya. Komite tersebut, yang bertugas selama tiga
tahun, menurut hukum harus terdiri dari empat perwakilan Buddha dan empat
perwakilan Hindu, termasuk kepala biara Sankaracharya Math sebagai
anggota Hindu ex-officio. Amandemen Undang-Undang Pengelolaan Kuil
Bodhgāya pada tahun 2013 memungkinkan Hakim Distrik Gaya menjadi Ketua Komite,
meskipun dia bukan penganut Hindu. Dewan Penasihat terdiri dari gubernur Bihar
dan dua-puluh hingga dua-puluh-lima anggota lainnya, yang mana setengah dari
mereka berasal dari negara-negara Buddhis Asing.
Seperti yang disebutkan di atas, sumbangsih Dharmapāla yang tidak boleh
dilupakan adalah the Maha Bodhi Journal, yang didirikan oleh beliau pada
Mei 1892. Majalah berbahasa Inggris ini pada halaman pertamanya mengutip salah
satu ayat terkenal Mahavagga dari Vinaya Pitaka, yang berbunyi: "Go ye,
O bhikkhus, and wander forth for the gain of the many, for the welfare of the
many, in compassion for the world, for the good, for the gain, for the welfare
of gods and men. Proclaim, O bhikkhus, the doctrine glorious, preach ye a life
of holiness, perfect, and pure." ("Wahai para bhikkhu,
berkelanalah kalian demi kemaslahatan orang banyak, demi kesejahteraan umat
manusia, demi welas-asih untuk dunia ini, untuk kebaikan, untuk kemaslahatan,
untuk kesejahteraan para dewa dan manusia. Ajarkanlah, wahai para bhikkhu,
dhamma yang luhur ini, serta jalankanlah hidup yang suci, murni, dan
sempurna.") Dengan keberadaan majalah ini, ajaran Buddha Dharma
dipublikasikan ke seluruh dunia selama lebih dari seratus-dua-puluh tahun.
Pada bulan Maret 1931, Dharmapāla yang telah berusia 67 tahun dengan
tubuhnya yang semakin rapuh didera oleh berbagai penyakit, dipapah ke kapal-uap
yang akan membawanya ke Kalkuta. Inilah saat terakhir kalinya dia menatap
barisan pohon palem di pantai tanah kelahirannya, yang perlahan-lahan
menghilang di balik cakrawala. Dia tiba di Taman Suci Isipatana, Sarnath, dari
Kalkuta pada akhir bulan tersebut, dan meskipun dokternya telah memerintahkan
dia untuk beristirahat total, dia malahan aktif mengurus organisasi yang telah
dibinanya selama ini. Meski sibuk dengan rencana-rencana duniawi semacam ini, keteguhan
hatinya membumbung menuju jalur pengalaman spiritual yang lebih tinggi, dan
pada tanggal 13 Juli ia mengambil pabbajjā dengan menjalankan hidup
sebagai calon bhikkhu dari Yang Mulia Boruggamuwe Revata Thera, dan dia
menerima nama biaranya: Sri Devamitta Dhammapāla. Pada bulan April dan Desember
1932, ia kembali sakit parah, dan karena ingin meninggal sebagai anggota penuh
Ordo Suci, ia menerima upasampada atau penahbisan yang lebih tinggi pada
tanggal 16 Januari 1933. Lebih dari selusin bhikkhu terkemuka tiba dari Sri
Lanka untuk melakukan upacara bersejarah tersebut, yang berlangsung di sebuah Sima
yang ditahbiskan khusus untuk keperluan acara tersebut. Pertengahan bulan April
adalah nyala lilin terakhir dalam hidupnya. Ketika kondisinya menjadi semakin
serius, muridnya Devapriya Valisinha dipanggil dari Kalkuta, dokternya Dr.
Nandy tiba, disusul beberapa hari kemudian keponakannya Raja Hewavitarne datang
dari Sri Lanka. Yang Mulia Dharmapāla kini berada dalam cengkeraman rasa sakit
yang luar biasa, tidak mempunyai keinginan untuk hidup lebih lama lagi.
Berkali-kali dia menolak minum obat, dengan mengatakan bahwa obat itu sia-sia bagi
tubuhnya yang sudah renta: "Manfaatkan uangnya untuk pekerjaan Buddhis."
Dia berulang kali mengulangi: "Biarkan aku segera mati, biarkan aku
dilahirkan kembali, aku tidak bisa lagi memperpanjang penderitaanku. Aku ingin
terlahir kembali dua-puluh-lima kali untuk menyebarkan Dharma Sang Buddha."
Akhirnya, Sang Pengawal Dharma itu menutup mata untuk selamanya pada 29 April
1933 di Vihara Mulagandhakuti di Sarnath, Uttar Pradesh, India. Pada
tahun 2014, India dan Sri Lanka mengeluarkan perangko untuk memperingati 150
tahun kelahiran Dhammapāla, bersamaan dengan Bank Sentral Sri Lanka
mengeluarkan uang-koin peringatan. Di Kolombo, seruas jalan dinamai
"Anagarika Dharmapala Mawatha" (artinya "Jalan Angarika
Dharmapala") untuk menghormatinya, sebagai seorang pahlawan Sri Lanka.
sdjn/dharmaprimapustaka/221018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar