Rabu, 04 Oktober 2023

VIHARA DAN KUIL


 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu kita sudah membahas tempat sakral yang dilawankan dengan tempat profan. Tempat sakral yang diperkenalkan oleh Sang Buddha sendiri adalah ruang yang diperuntukkan bagi para siswa dan siswinya yang menjalani hidup bertapa, yang kita kenal dengan sebutan sīmā. Jika kita bertandang ke negara-negara Buddhis, kita mengenal keberadaan kuil yang dikenal sebagai Wat (dibaca sebagai "vat"). Wat berasal dari kata Pāḷi vāṭa, yang berarti "kandang". Sebuah kuil merupakan area sakral yang memiliki tembok pembatas, yang memisahkannya dari lingkungan luar yakni dunia profan. Wat juga dikenal sebagai kompleks candi yang terdiri dari beberapa bangunan seperti stupa, wihan, bot, dan bangunan lainnya yang dikelilingi oleh tembok. Sebuah stupa, wihan, dan bot umumnya dibangun terlebih dahulu. Setelah itu, tergantung pada kemampuan finansial dan jumlah bhikkhu, bangunan lain seperti sala, aula kitab suci, dan tempat tinggal para bhikkhu dapat didirikan sesudahnya. Di banyak kompleks candi Anda juga bisa menemukan sekolah, terutama di daerah pedesaan.

 

Bangunan yang paling sakral dalam sebuah wat adalah Ubosot atau Bot dalam istilah Thai. Ubosot atau aula pentahbisan adalah bangunan yang diperuntukkan khusus untuk pelaksanaan ritual pentahbisan bhikkhu atau upasampadā dan upacara ritual lainnya, seperti pembacaan Pāṭimokkha. Aula penahbisan terletak di dalam teritori atau sīmā, didefinisikan sebagai "ruang di mana semua anggota komunitas lokal harus berkumpul sebagai satu Sangha (atau samagga sangha), yang lengkap di tempat yang ditentukan untuk melakukan sanghakamma". Bot merupakan bangunan berbentuk persegi panjang dengan pintu masuk utama yang menghadap ke Timur. Di seberang pintu masuk utama terdapat arca Buddha-duduk yang diletakkan di atas alas yang dihias dengan eloknya. Biasanya dindingnya dihiasi mural Ramakien, epos India Ramayana versi Thailand, atau Jataka (kisah yang menceritakan tentang kehidupan lampau Sang Buddha). Dalam tradisi Thailand, teritori ubosot ditandai dengan delapan batu pembatas yang disebut bai sema, yang melambangkan sīmā. Bai sema berdiri di atas dan menandai luk nimit, yakni bola-batu yang terkubur di titik mata angin kompas. Garis imajiner yang ditarik antar bai sema yang berdekatan akan membentuk area suci. Bola-batu kesembilan, biasanya lebih besar, terkubur di bawah arca utama Buddha di ubosot.

 

Wihan, atau vihear (bahasa Khmer), berasal dari kata "vihara" (Sansk.) yang bermakna ruang pertemuan dan ruang sembahyang. Wihan sering kali terlihat seperti ubosot, hanya saja wihan tidak dikelilingi batu bai sema. Di wihan beberapa upacara Buddhis dilangsungkan, baik antara bhikkhu dengan umat berkeluarga, maupun upacara yang diselenggarakan oleh umat awam saja. Di dalam wihan arca Buddha disimpan. Orang-orang dari luar Wat datang ke wihan untuk bersembahyang. Bisa saja ada lebih dari satu wihan dalam satu Wat. Beberapa wihan dikelilingi oleh galeri yang berisikan sejumlah besar patung Buddha. Pada masa awal perkembangan agama Buddha, wihan dibangun untuk menyediakan tempat berlindung bagi para bhikkhu pengelana selama musim hujan.

 

Bangunan yang juga sakral dan penting di dalam sebuah Wat adalah Chedi (Thai, Laos) atau Chedei (Khmer); berasal dari kata chaitya (Sansk.), yang berarti kuil, dan di Indonesia dikenal dengan nama "Stupa" atau terkadang disebut "Pagoda". Awalnya, chedi berisi relik Sang Buddha, kemudian digunakan juga untuk menyimpan abu jenazah raja atau bhikkhu suci yang sangat dihormati. Chedi ditemukan dalam berbagai bentuk dan variasi, meskipun umumnya berbentuk kerucut. Gaya chedi yang paling banyak digunakan di Thailand adalah bentuk lonceng. Bentuk chedi kemungkinan besar berasal dari gundukan kuburan kuno.

 

Stupa terbesar di dunia adalah Phra Pathom Chedi, yakni sebuah Wat di pusat kota Nakhon Pathom, Provinsi Nakhon Pathom, Thailand. Phra Pathom Chedi merupakan stupa tertinggi di dunia. Puncak menaranya mencapai 120,45 meter, dengan keliling alas bundarnya berdiameter 235,50 meter. Phra Pathom Chedi bermakna stupa suci pertama, yang diberikan oleh raja Mongkut. Sejarawan modern percaya bahwa stupa tersebut adalah salah satu stupa utama di Nakhon Pathom Kuno, kota terbesar kerajaan Mon Dvaravati di daerah itu. Bangunan sakral tertinggi lainnya yang berada di Khmer adalah Angkor Wat, yang mulanya merupakan kuil Hindu dan belakangan menjadi monumen sakral Hindu-Buddha. Di Angkor Wat juga menjulang beberapa bangunan tinggi, yang semuanya menggambarkan Gunung Meru. Gunung Meru ini dikenal sebagai "pusat dunia" dalam kosmologi Hindu, Buddha, dan Jain. 

 

Mondop, berasal dari kata Mandapa (Sansk.) dan diindonesiakan sebagai "pendapa" atau "pendopo", adalah bentuk bangunan dalam arsitektur keagamaan tradisional Thailand yang menampilkan bangunan bujur sangkar atau persegi yang tertutup. Sedangkan di Indonesia pendopo biasanya terbuka pada keempat sisinya. Atap sebuah Mondop berbentuk piramida kasar bertingkat atau berlapis-lapis dengan puncak menara yang tinggi dan runcing, yang melambangkan Gunung Meru. Mondop adalah bangunan yang didedikasikan untuk memuja naskah-naskah suci atau benda keagamaan.

 

Bangunan suci berikutnya adalah Sala dan di Indonesia kita mengenal istilah "Dharmasala". Sala adalah kata Sanskerta yang berasal dari Atharvaveda, kemudian dalam berbagai bahasa India istilah sala berarti "rumah" dalam arti luas dan umum, juga dipakai untuk menyebut "kandang" tempat menyimpan ternak peliharaan. Sala adalah paviliun terbuka berbentuk persegi panjang, digunakan untuk berteduh dan beristirahat. Secara tradisional, sala di Thailand digunakan untuk tujuan memberikan jasa dan memberikan perlindungan bagi wisatawan yang lewat. Sala juga dapat ditemukan di luar Wat, seringkali di sepanjang jalan dan kanal, yang digunakan sebagai halte bus atau ruang tunggu penumpang perahu sungai.

 

Turunan kata sala mengacu pada banyak bangunan di negara-negara Buddhis. Sala Baley (Thai) atau "Sekolah Pali" atau "Sekolah Pendidikan Buddhis" adalah tempat untuk mengajarkan Buddha Dharma dan mata pelajaran lainnya dalam bahasa Pali dan bahasa setempat. Sala Baley dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni Sekolah Dasar Buddhis, Sekolah Menengah Buddhis, dan Perguruan Tinggi Buddhis. Di Perguruan Tinggi Buddhis selain mengajarkan naskah-naskah Pali, juga diberikan mata pelajaran seperti filsafat, sains, teknologi informasi, bahasa Sansekerta, dan bahasa asing lainnya. Sekolah-sekolah ini boleh dibangun di luar wat dan orang awam juga diperbolehkan belajar di sana. Kemudian ada Sala Wat (Thai), yakni aula tempat orang-orang berkumpul untuk memberikan sumbangan atau untuk menyelenggarakan suatu upacara. Sala Kan Parian (Thai) atau ruang belajar; dulu aula ini hanya diperuntukkan bagi para bhikkhu.

 

Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu yang tinggal di dalam Wat. Kuti dapat muncul dalam berbagai ukuran dan bentuk. Secara tradisional, kuti adalah bangunan panggung yang sangat kecil dan berdiri sendiri. Saat ini, khususnya di perkotaan, kuti adalah sebuah ruangan kecil di sebuah gedung apartemen. Berdasarkan tradisi kuno di Thailand, kuti adalah sebuah bangunan kecil, dibangun di atas panggung, dirancang untuk menampung seorang bhikkhu. Ukurannya yang tepat ditentukan dalam Sanghathisep, Aturan 6, yakni ditetapkan 12 keub kali 7 keub (atau 4.013 dikalikan 2.343 meter). Ukuran kecil ini dimaksudkan untuk membantu perjalanan spiritual sang bhikkhu, guna mencegahnya menumpuk barang-barang material. Biasanya sebuah biara terdiri dari sejumlah bangunan yang dikelompokkan di teras bersama, baik dalam kelompok yang menghadap ke dalam atau disejajarkan dalam satu baris. Seringkali bagian bangunan untuk kuti ini mencakup bangunan terpisah, yang disebut Ho Trai, yang digunakan untuk menyimpan kitab suci. Struktur Ho Trai dapat ditemukan dalam berbagai ukuran dan gaya arsitektur. Secara tradisional Ho Trai adalah bangunan kayu panggung di atas kolam untuk mencegah masuknya segala jenis serangga, karena di masa lalu kitab suci Buddhis ditulis di atas daun palem kering.

 

Apakah ada tempat ibadah Buddhis di Indonesia yang kelengkapannya menyamai Wat yang terkemuka di Thailand? Menurut hemat penulis, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang beralamat di Sunter, adalah yang paling mendekati dengan kriteria ini. Sebuah Ubosot dengan nama Uposathāgāra merupakan ruang yang paling sakral dan juga paling indah, yang terdapat dalam kompleks ini. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya juga menyediakan sebuah dharmasala untuk puja bakti reguler, tempat tinggal bhikkhu atau kuti, dan sebuah gedung serba guna yang bernama Wisma Narada.

 

Setelah kita meninjau sebuah Wat yang memiliki berbagai bangunan di dalamnya, sekarang kita beralih membicarakan kuil. Kuil di sini dimaksudkan rumah ibadah yang diperuntukkan untuk kegiatan agama orang Tionghoa. Kelenteng adalah kata yang berasal dari Bahasa Indonesia, yang digunakan orang untuk menyebut keberadaan kuil ini. Dalam istilah Mandarin aslinya, kelenteng mempunyai banyak nama, sesuai dengan penyebutan orang-orang yang terlibat dengan kepercayaan asal mereka.

 

Penulis pada bulan Juni 2023 yang lalu mengikuti sebuah seminar di kawasan Kota Tua Jakarta, yang berjudul "Toasebio dan Kelenteng pada Umumnya" yang dibawakan oleh Ibu Greysia Susilo. Beliau adalah seorang arsitek interior dan mendalami arsitektur kelenteng yang ada di Indonesia. Obyek penelitiannya adalah kelenteng tua dan umur bangunannya paling tidak telah berusia lebih dari lima puluh tahun, berada di Jakarta dan sekitarnya, serta penelitiannya telah dilakukan semenjak tahun 2014.

 

Siapa pun yang pernah berkunjung ke kelenteng pasti memperoleh kesan bahwa rumah ibadah ini adalah bangunan yang bersifat kecina-cinaan. Ibu Greysia mengatakan bahwa jika kita melihat denah sebuah kelenteng, sebetulnya tidak ada perbedaan antara denah sebuah kelenteng dengan sebuah rumah rakyat biasa. Jadi kelenteng bisa diubah menjadi rumah, dan rumah dapat dijadikan kelenteng. Rumah ibadah lain seperti gereja, tentu tidak bisa diubah menjadi rumah tinggal, demikian juga sebaliknya. Yang menjadi penanda utama pada sebuah kelenteng adalah bagian gerbang depan. Gerbang biasanya terbuat dari dua buah tiang atau pilar dan sebuah balok-kaso, dengan tinggi yang monumental dan tidak perlu terlalu besar, yang penting adalah hiasan yang bertengger di atasnya. Lantai kelenteng merupakan satu podium yang lebih tinggi dibandingkan dengan halaman yang berada di luarnya. Perbedaan ketinggian diantisipasi dengan adanya tangga serta anak-tangga yang berjumlah ganjil. Di Tiongkok yang memiliki empat musim, lantai yang lebih tinggi berguna untuk menghindari dari ancaman banjir.

 

Denah kelenteng umumnya sederhana yakni berupa beberapa bentuk segi-empat atau bujur-sangkar yang bersebelahan. Seperti bangunan tradisional yang ada di Asia termasuk di Indonesia, dalam bangunan khas Tionghoa kuno tidak dikenal apa yang dinamakan koridor atau selasar. Jika ada koridor biasanya lorong tersebut menghubungkan rumah yang satu dengan rumah yang lain. Kemudian jika dilihat dari depan, kebanyakan kelenteng memiliki denah bangunan yang simetris. Selanjutnya salah satu ciri dalam rumah khas Tiongkok tidak lain keberadaan ruang terbuka atau dinamakan courtyard. Ruang terbuka ini bersifat privat dan digabungkan dengan adanya taman atau kebun.

 

Bangunan kelenteng umumnya terbuat dari struktur kayu, walaupun ada pilar yang menggunakan batu. Dalam pengerjaan bangunan, sepenuhnya mengandalkan keterampilan tukang kayu. Bagian-bagian struktur kayu disambung dengan bantuan pasak dan tiang atau dijepit; tidak dikenal sambungan menggunakan paku atau sekrup. Dengan demikian bangunan ini lebih tahan terhadap gempa bumi. Ada beberapa peneliti lain yang juga meneliti bangunan kelenteng, seperti Adhiwignyo & Handoko dalam Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta. Disebutkan bahwa keahlian pengrajin Tionghoa dalam membentuk ragam hias dan konstruksi kayu tidak pernah diragukan lagi. Ukir-ukiran pada konstruksi kayu merupakan bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap, atau pertemuan tiang dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan diperlihatkan telanjang, sebagai bagian dari keahlian pertukangan kayu yang piawai.

 

Bentuk atap kelenteng umumnya landai dan di Indonesia banyak ditemui atap pelana dengan tipe ujung berjurai lancip. Desain atap dihiasi oleh ornamen-ornamen, seperti sepasang naga yang sedang berusaha merebut "mutiara surgawi", atau hewan-hewan mitologis lainnya. Ornamen hiasan di atap atau yang ada di dalam bangunan memiliki warna-warna yang khas. Dalam budaya Tionghoa warna merah melambangkan api dan juga arah selatan, dan dipercaya membawa keberuntungan dan kemakmuran. Pilar, dinding, dan ornamen bangunan sering diberi warna merah. Warna kuning selain melambangkan kemakmuran, juga bermakna sikap optimis, panjang umur, dan kekayaan. Dalam aturan yang lebih ketat, pakaian berwarna kuning adalah busana kebesaran seorang kaisar, yang tidak pantas dikenakan oleh orang biasa. Warna biru mewakili unsur air juga menunjukkan arah timur. Warna biru melambangkan kedudukan dan jabatan, serta dipakai untuk mewarnai bagian atap dan dinding. Warna hijau merupakan simbol kayu dan mewakili rezeki yang melimpah. Elemen dekorasi, balok, dan braket di dalam kelenteng sering dicat dengan warna hijau. Demikianlah di kelenteng kita bisa menyaksikan warna-warna cerah pada seluruh bagian bangunannya.

 

Seperti simbol dinyatakan dengan warna pada satu bangunan sakral, demikian juga halnya dengan pratimā. Pratimā (Sansk.) mengacu pada "representasi" makhluk tertinggi, yang merupakan kemiripan dengan Yang Sakral. Pratimā terkadang diterjemahkan sebagai gambar atau arca. Yang Sakral di sini adalah Buddha sendiri, atau para Dewa / Dewi. Kelenteng merupakan tempat untuk meletakkan pratimā tersebut, dan memberikan kesempatan kepada para pemujanya untuk memberikan penghormatan dan persembahan.

 

Seperti yang pernah penulis pada artikel sebelumnya, kebanyakan kelenteng di Indonesia merupakan kelenteng campuran. Agama orang Tionghoa adalah agama yang berorientasi fungsional, tempat para Dewa (dan Dewi) dari berbagai kepercayaan dikelompokkan menjadi satu sistem universal. Unsur-unsur utama dalam agama ini adalah: Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme, Monisme, dan beberapa kepercayaan rakyat lainnya yang tidak dapat dianggap mewakili doktrin tertentu, seperti halnya pemujaan leluhur. Masing-masing unsur bisa berlaku sendiri-sendiri dan mempunyai lembaga formalnya masing-masing, namun di tingkat rakyat jelata semuanya itu menjadi satu. Filosofi dan keyakinan tersebut memberikan landasan yang kuat dalam membentuk karakter dan perilaku umatnya. Mereka tidak pernah berdebat dan membandingkan antara filsafat yang satu dengan doktrin yang lain. Mereka menerima semuanya.

 

Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam bukunya Kelenteng-kelenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985), menyusun secara rinci 72 buah kelenteng yang ada di Jakarta. Mereka berdua mulai melacak dari kelenteng tertua yakni Jin De Yuan atau Vihara Dharma Bhakti yang berdiri sejak tahun 1650, yang terletak di Kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat. Dalam Bab III: Ikonografi, keduanya mendapatkan ada 115 Dewa-Dewi yang terdapat di semua kelenteng di atas. Sebagian dari mereka berwujud arca atau patung. Ada pula yang digambar pada kertas atau kaca. Ada pula yang disebut pada papan-arwah berterakan nama mereka, dan ada pula yang tampak pada makam atau nisan mereka. Salmon dan Lombard kemudian menggolongkan Dewa-Dewi itu dalam beberapa kelompok besar. Hasilnya mungkin menarik untuk Anda sekalian ketahui. Ada 16 untuk Dewa-Dewi Buddhis; 38 untuk Dewa-Dewi Taois yang disembah hampir di seluruh Daratan Tiongkok; 31 untuk Dewa-Dewi Taois yang dihormati di Propinsi Fujian dan Guangdong; 1 untuk Dewa Konfusius; 23 untuk Dewa-Dewi yang dipuja menurut kultus setempat; serta 6 Dewa-Dewi yang diambilalih dari tradisi Hinduisme dan Buddhisme Theravada.

 

Pada waktu menghadiri seminar di atas penulis berkesempatan pula bersembahyang di Kelenteng Toasebio tersebut. Penulis mempersembahkan dupa pada altar masing-masing Dewa-Dewi yang dipuja di tempat sakral itu. Jumlah Dewa-Dewi di Kelenteng itu sekitar dua-puluh tokoh. Ada Dewa yang namanya pun masih asing bagi penulis, dan tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi penulis dan umat lainnya untuk mengenal dan mempelajari asal-usul mereka semua.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231004




Tidak ada komentar:

Posting Komentar