(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Pada artikel yang lalu kita sudah membahas tempat sakral yang
dilawankan dengan tempat profan. Tempat sakral yang diperkenalkan oleh Sang
Buddha sendiri adalah ruang yang diperuntukkan bagi para siswa dan siswinya
yang menjalani hidup bertapa, yang kita kenal dengan sebutan sīmā. Jika kita bertandang ke
negara-negara Buddhis, kita mengenal keberadaan kuil yang dikenal sebagai Wat (dibaca sebagai "vat"). Wat berasal dari kata Pāḷi vāṭa, yang berarti "kandang".
Sebuah kuil merupakan area sakral yang memiliki tembok pembatas, yang memisahkannya dari
lingkungan luar yakni dunia profan. Wat juga dikenal sebagai kompleks candi yang terdiri dari beberapa bangunan seperti stupa, wihan,
bot, dan bangunan lainnya yang dikelilingi oleh tembok. Sebuah stupa, wihan, dan bot umumnya dibangun terlebih dahulu. Setelah itu, tergantung pada kemampuan
finansial dan jumlah bhikkhu, bangunan lain seperti sala, aula kitab suci, dan
tempat tinggal para bhikkhu dapat didirikan sesudahnya. Di banyak kompleks
candi Anda juga bisa menemukan
sekolah, terutama di daerah pedesaan.
Bangunan yang paling sakral dalam sebuah wat adalah Ubosot atau Bot
dalam istilah Thai. Ubosot
atau aula pentahbisan adalah bangunan yang
diperuntukkan khusus untuk pelaksanaan
ritual pentahbisan bhikkhu atau upasampadā dan upacara ritual lainnya, seperti pembacaan Pāṭimokkha. Aula
penahbisan terletak di dalam teritori atau sīmā, didefinisikan sebagai
"ruang di mana semua anggota
komunitas lokal harus berkumpul sebagai satu Sangha (atau
samagga sangha), yang lengkap di tempat yang ditentukan untuk melakukan
sanghakamma". Bot merupakan bangunan berbentuk persegi panjang dengan
pintu masuk utama yang menghadap ke Timur. Di seberang pintu masuk utama
terdapat arca Buddha-duduk yang diletakkan di atas alas yang dihias dengan eloknya. Biasanya dindingnya dihiasi mural Ramakien,
epos India Ramayana versi Thailand, atau Jataka (kisah yang menceritakan
tentang kehidupan lampau Sang Buddha). Dalam
tradisi Thailand, teritori ubosot ditandai dengan delapan batu pembatas
yang disebut bai sema, yang melambangkan sīmā. Bai sema berdiri di atas
dan menandai luk nimit, yakni bola-batu yang terkubur di titik mata
angin kompas. Garis imajiner yang ditarik antar bai sema yang berdekatan
akan membentuk area suci. Bola-batu kesembilan, biasanya lebih besar, terkubur
di bawah arca utama Buddha di ubosot.
Wihan,
atau vihear (bahasa Khmer), berasal dari kata "vihara" (Sansk.) yang bermakna ruang pertemuan dan
ruang sembahyang. Wihan sering kali
terlihat seperti ubosot, hanya saja wihan tidak dikelilingi batu bai sema. Di wihan beberapa upacara Buddhis dilangsungkan, baik antara bhikkhu dengan umat berkeluarga, maupun upacara yang diselenggarakan oleh
umat awam saja. Di dalam wihan arca Buddha disimpan. Orang-orang dari luar Wat datang
ke wihan untuk bersembahyang. Bisa saja ada lebih dari satu wihan dalam satu Wat. Beberapa wihan dikelilingi oleh galeri yang berisikan sejumlah besar patung Buddha. Pada masa awal
perkembangan agama Buddha, wihan dibangun untuk menyediakan tempat berlindung
bagi para bhikkhu pengelana
selama musim hujan.
Bangunan yang juga sakral dan penting di dalam sebuah Wat
adalah Chedi (Thai, Laos) atau Chedei (Khmer); berasal dari kata chaitya
(Sansk.), yang berarti kuil, dan di Indonesia dikenal dengan nama "Stupa" atau terkadang disebut "Pagoda". Awalnya, chedi berisi relik Sang Buddha, kemudian
digunakan juga untuk menyimpan abu jenazah raja atau bhikkhu suci yang sangat dihormati. Chedi ditemukan dalam berbagai bentuk dan variasi, meskipun umumnya berbentuk kerucut. Gaya chedi yang
paling banyak digunakan di Thailand adalah bentuk lonceng. Bentuk chedi
kemungkinan besar berasal dari gundukan kuburan kuno.
Stupa terbesar di dunia adalah Phra
Pathom Chedi, yakni sebuah Wat di pusat kota Nakhon Pathom,
Provinsi Nakhon Pathom, Thailand. Phra Pathom Chedi merupakan stupa tertinggi di dunia.
Puncak menaranya mencapai 120,45 meter, dengan keliling alas bundarnya
berdiameter 235,50 meter. Phra Pathom
Chedi bermakna stupa suci pertama, yang diberikan oleh raja
Mongkut. Sejarawan modern percaya bahwa stupa tersebut adalah salah satu stupa
utama di Nakhon Pathom Kuno, kota terbesar kerajaan Mon Dvaravati di daerah itu.
Bangunan sakral tertinggi lainnya yang berada di Khmer adalah Angkor Wat,
yang mulanya merupakan kuil Hindu dan belakangan menjadi monumen sakral
Hindu-Buddha. Di Angkor Wat juga menjulang beberapa bangunan tinggi,
yang semuanya menggambarkan Gunung Meru. Gunung Meru ini dikenal
sebagai "pusat dunia" dalam kosmologi Hindu, Buddha, dan
Jain.
Mondop, berasal dari kata Mandapa
(Sansk.) dan diindonesiakan sebagai "pendapa"
atau "pendopo", adalah bentuk bangunan dalam arsitektur keagamaan
tradisional Thailand yang menampilkan bangunan bujur sangkar
atau persegi yang tertutup. Sedangkan di Indonesia pendopo
biasanya terbuka pada keempat sisinya. Atap sebuah Mondop berbentuk
piramida kasar bertingkat atau berlapis-lapis dengan puncak menara yang tinggi dan runcing, yang
melambangkan Gunung Meru. Mondop
adalah bangunan yang didedikasikan untuk memuja naskah-naskah suci atau benda
keagamaan.
Bangunan suci berikutnya adalah Sala dan di Indonesia kita mengenal
istilah "Dharmasala". Sala adalah kata Sanskerta yang berasal
dari Atharvaveda, kemudian dalam berbagai bahasa India istilah sala berarti
"rumah" dalam arti luas dan umum, juga dipakai untuk menyebut "kandang"
tempat menyimpan ternak peliharaan. Sala adalah
paviliun terbuka berbentuk persegi panjang, digunakan untuk berteduh dan
beristirahat. Secara tradisional, sala
di Thailand digunakan
untuk tujuan memberikan jasa dan memberikan perlindungan bagi wisatawan yang
lewat. Sala juga dapat ditemukan di luar Wat, seringkali di
sepanjang jalan dan kanal, yang digunakan sebagai halte bus atau ruang tunggu
penumpang perahu sungai.
Turunan kata sala mengacu pada banyak bangunan di
negara-negara Buddhis. Sala Baley (Thai) atau "Sekolah Pali" atau "Sekolah Pendidikan Buddhis" adalah tempat untuk mengajarkan Buddha Dharma
dan mata pelajaran lainnya dalam bahasa
Pali dan bahasa setempat. Sala
Baley dibagi menjadi tiga tingkatan,
yakni Sekolah Dasar Buddhis, Sekolah Menengah Buddhis, dan Perguruan Tinggi Buddhis. Di Perguruan Tinggi Buddhis selain mengajarkan naskah-naskah
Pali, juga diberikan mata pelajaran
seperti filsafat, sains, teknologi informasi, bahasa Sansekerta, dan bahasa asing lainnya.
Sekolah-sekolah ini boleh dibangun di luar wat dan orang awam juga
diperbolehkan belajar di sana. Kemudian ada Sala Wat (Thai),
yakni aula tempat orang-orang berkumpul untuk memberikan sumbangan atau untuk menyelenggarakan
suatu upacara. Sala Kan Parian (Thai) atau ruang belajar; dulu aula ini
hanya diperuntukkan bagi para bhikkhu.
Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu yang tinggal di dalam
Wat. Kuti dapat muncul dalam berbagai ukuran dan
bentuk. Secara tradisional, kuti adalah bangunan panggung yang sangat
kecil dan berdiri sendiri. Saat ini, khususnya di perkotaan, kuti adalah
sebuah ruangan kecil di sebuah gedung apartemen.
Berdasarkan tradisi kuno di Thailand, kuti adalah sebuah bangunan kecil,
dibangun di atas panggung, dirancang untuk menampung seorang bhikkhu. Ukurannya
yang tepat ditentukan dalam Sanghathisep, Aturan 6, yakni ditetapkan 12 keub
kali 7 keub (atau 4.013 dikalikan 2.343 meter). Ukuran kecil ini
dimaksudkan untuk membantu perjalanan spiritual sang bhikkhu, guna mencegahnya menumpuk
barang-barang material. Biasanya sebuah biara terdiri dari sejumlah bangunan
yang dikelompokkan di teras bersama, baik dalam kelompok yang menghadap ke
dalam atau disejajarkan dalam satu baris. Seringkali bagian bangunan untuk kuti
ini mencakup bangunan terpisah, yang disebut Ho Trai,
yang digunakan untuk menyimpan kitab suci. Struktur Ho Trai dapat ditemukan dalam berbagai ukuran dan gaya
arsitektur. Secara tradisional Ho Trai adalah bangunan kayu panggung di atas kolam untuk
mencegah masuknya segala jenis serangga, karena di masa lalu kitab suci
Buddhis ditulis di atas daun palem kering.
Apakah ada tempat ibadah Buddhis di Indonesia yang kelengkapannya
menyamai Wat yang terkemuka di Thailand? Menurut hemat penulis, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
yang beralamat di Sunter, adalah yang paling mendekati dengan kriteria ini. Sebuah
Ubosot
dengan nama Uposathāgāra
merupakan ruang yang paling sakral dan juga paling indah, yang terdapat dalam
kompleks ini. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya juga menyediakan sebuah dharmasala
untuk puja bakti reguler, tempat tinggal bhikkhu atau kuti, dan sebuah
gedung serba guna yang bernama Wisma Narada.
Setelah kita meninjau sebuah Wat
yang memiliki berbagai bangunan di dalamnya, sekarang kita beralih membicarakan
kuil. Kuil di sini dimaksudkan rumah ibadah yang diperuntukkan untuk kegiatan
agama orang Tionghoa. Kelenteng adalah kata yang berasal dari Bahasa Indonesia,
yang digunakan orang untuk menyebut keberadaan kuil ini. Dalam istilah Mandarin
aslinya, kelenteng mempunyai banyak nama, sesuai dengan penyebutan orang-orang
yang terlibat dengan kepercayaan asal mereka.
Penulis pada bulan Juni 2023 yang lalu
mengikuti sebuah seminar di kawasan Kota Tua Jakarta, yang berjudul
"Toasebio dan Kelenteng pada Umumnya" yang dibawakan oleh Ibu Greysia
Susilo. Beliau adalah seorang arsitek interior dan mendalami arsitektur
kelenteng yang ada di Indonesia. Obyek penelitiannya adalah kelenteng tua dan
umur bangunannya paling tidak telah berusia lebih dari lima puluh tahun, berada
di Jakarta dan sekitarnya, serta penelitiannya telah dilakukan semenjak tahun
2014.
Siapa pun yang pernah berkunjung ke
kelenteng pasti memperoleh kesan bahwa rumah ibadah ini adalah bangunan yang
bersifat kecina-cinaan. Ibu Greysia mengatakan bahwa jika kita melihat denah
sebuah kelenteng, sebetulnya tidak ada perbedaan antara denah sebuah kelenteng
dengan sebuah rumah rakyat biasa. Jadi kelenteng bisa diubah menjadi rumah, dan
rumah dapat dijadikan kelenteng. Rumah ibadah lain seperti gereja, tentu tidak
bisa diubah menjadi rumah tinggal, demikian juga sebaliknya. Yang menjadi
penanda utama pada sebuah kelenteng adalah bagian gerbang depan. Gerbang
biasanya terbuat dari dua buah tiang atau pilar dan sebuah balok-kaso, dengan
tinggi yang monumental dan tidak perlu terlalu besar, yang penting adalah
hiasan yang bertengger di atasnya. Lantai kelenteng merupakan satu podium yang
lebih tinggi dibandingkan dengan halaman yang berada di luarnya. Perbedaan
ketinggian diantisipasi dengan adanya tangga serta anak-tangga yang berjumlah
ganjil. Di Tiongkok yang memiliki empat musim, lantai yang lebih tinggi berguna
untuk menghindari dari ancaman banjir.
Denah kelenteng umumnya sederhana yakni
berupa beberapa bentuk segi-empat atau bujur-sangkar yang bersebelahan. Seperti
bangunan tradisional yang ada di Asia termasuk di Indonesia, dalam bangunan
khas Tionghoa kuno tidak dikenal apa yang dinamakan koridor atau selasar. Jika
ada koridor biasanya lorong tersebut menghubungkan rumah yang satu dengan rumah
yang lain. Kemudian jika dilihat dari depan, kebanyakan kelenteng memiliki
denah bangunan yang simetris. Selanjutnya salah satu ciri dalam rumah khas Tiongkok tidak lain
keberadaan ruang terbuka atau dinamakan courtyard. Ruang terbuka ini
bersifat privat dan digabungkan dengan adanya taman atau kebun.
Bangunan kelenteng umumnya terbuat dari
struktur kayu, walaupun ada pilar yang menggunakan batu. Dalam pengerjaan
bangunan, sepenuhnya mengandalkan keterampilan
tukang kayu. Bagian-bagian struktur kayu disambung dengan bantuan pasak dan
tiang atau dijepit; tidak dikenal sambungan menggunakan paku atau sekrup.
Dengan demikian bangunan ini lebih tahan terhadap gempa bumi. Ada beberapa
peneliti lain yang juga meneliti bangunan kelenteng, seperti Adhiwignyo &
Handoko dalam Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa pada
Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta. Disebutkan bahwa keahlian pengrajin
Tionghoa dalam membentuk ragam hias dan konstruksi kayu tidak pernah diragukan
lagi. Ukir-ukiran pada konstruksi kayu merupakan bagian dari struktur bangunan
pada arsitektur Tionghoa. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap,
atau pertemuan tiang dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah
sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan diperlihatkan telanjang, sebagai bagian
dari keahlian pertukangan kayu yang piawai.
Bentuk atap kelenteng umumnya landai
dan di Indonesia banyak ditemui atap pelana dengan tipe ujung berjurai lancip.
Desain atap dihiasi oleh ornamen-ornamen, seperti sepasang naga yang sedang
berusaha merebut "mutiara surgawi", atau hewan-hewan mitologis
lainnya. Ornamen hiasan di atap atau yang ada di dalam bangunan memiliki
warna-warna yang khas. Dalam budaya Tionghoa warna merah melambangkan api dan juga
arah selatan, dan dipercaya membawa
keberuntungan dan kemakmuran. Pilar, dinding, dan ornamen bangunan sering
diberi warna merah. Warna kuning selain melambangkan kemakmuran, juga bermakna
sikap optimis, panjang umur, dan kekayaan. Dalam aturan yang lebih ketat,
pakaian berwarna kuning adalah busana kebesaran seorang kaisar, yang tidak
pantas dikenakan oleh orang biasa. Warna biru mewakili unsur air juga
menunjukkan arah timur. Warna biru melambangkan kedudukan dan jabatan, serta
dipakai untuk mewarnai bagian atap dan dinding. Warna hijau merupakan simbol
kayu dan mewakili rezeki yang melimpah. Elemen dekorasi, balok, dan braket di
dalam kelenteng sering dicat dengan warna hijau. Demikianlah di kelenteng kita
bisa menyaksikan warna-warna cerah pada seluruh bagian bangunannya.
Seperti simbol dinyatakan dengan warna pada satu bangunan
sakral, demikian juga halnya dengan pratimā. Pratimā (Sansk.) mengacu pada
"representasi" makhluk tertinggi, yang merupakan kemiripan dengan
Yang Sakral. Pratimā terkadang diterjemahkan sebagai gambar
atau arca. Yang Sakral di sini adalah Buddha sendiri, atau para Dewa / Dewi.
Kelenteng merupakan tempat untuk meletakkan pratimā tersebut, dan memberikan kesempatan
kepada para pemujanya untuk memberikan penghormatan dan persembahan.
Seperti yang pernah penulis pada
artikel sebelumnya, kebanyakan kelenteng di Indonesia merupakan kelenteng
campuran. Agama orang Tionghoa adalah agama yang berorientasi fungsional, tempat para Dewa (dan Dewi) dari berbagai
kepercayaan dikelompokkan menjadi satu sistem universal. Unsur-unsur utama
dalam agama ini adalah: Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme, Monisme, dan
beberapa kepercayaan rakyat lainnya yang tidak dapat dianggap mewakili doktrin
tertentu, seperti halnya
pemujaan leluhur. Masing-masing unsur
bisa berlaku sendiri-sendiri dan mempunyai lembaga formalnya masing-masing,
namun di tingkat rakyat jelata semuanya itu menjadi satu. Filosofi dan
keyakinan tersebut memberikan landasan yang kuat dalam membentuk karakter dan
perilaku umatnya. Mereka tidak pernah berdebat dan membandingkan antara
filsafat yang satu dengan doktrin yang lain. Mereka menerima semuanya.
Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam
bukunya Kelenteng-kelenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Yayasan
Cipta Loka Caraka, 1985), menyusun secara rinci 72 buah kelenteng yang ada di
Jakarta. Mereka berdua mulai melacak dari kelenteng tertua yakni Jin De Yuan
atau Vihara Dharma Bhakti yang berdiri sejak tahun 1650, yang terletak
di Kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat. Dalam Bab III: Ikonografi, keduanya
mendapatkan ada 115 Dewa-Dewi yang terdapat di semua kelenteng di atas.
Sebagian dari mereka berwujud arca atau patung. Ada pula yang digambar pada
kertas atau kaca. Ada pula yang disebut pada papan-arwah berterakan nama
mereka, dan ada pula yang tampak pada makam atau nisan mereka. Salmon dan
Lombard kemudian menggolongkan Dewa-Dewi itu dalam beberapa kelompok besar.
Hasilnya mungkin menarik untuk Anda sekalian ketahui. Ada 16 untuk Dewa-Dewi
Buddhis; 38 untuk Dewa-Dewi Taois yang disembah hampir di seluruh Daratan
Tiongkok; 31 untuk Dewa-Dewi Taois yang dihormati di Propinsi Fujian dan
Guangdong; 1 untuk Dewa Konfusius; 23 untuk Dewa-Dewi yang dipuja menurut
kultus setempat; serta 6 Dewa-Dewi yang diambilalih dari tradisi Hinduisme dan
Buddhisme Theravada.
Pada waktu menghadiri seminar di
atas penulis berkesempatan pula
bersembahyang di Kelenteng Toasebio tersebut. Penulis mempersembahkan dupa
pada altar masing-masing Dewa-Dewi yang dipuja di tempat sakral itu. Jumlah
Dewa-Dewi di Kelenteng itu sekitar dua-puluh tokoh. Ada Dewa yang namanya pun
masih asing bagi penulis, dan tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi penulis
dan umat lainnya untuk mengenal dan mempelajari asal-usul mereka semua.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/231004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar