Rabu, 20 September 2023

VIHARA DAN KUIL


 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Salah satu pertanyaan yang menggelitik untuk diajukan adalah, apa yang membedakan antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Kemungkinan jawaban yang kita dengar: "Ya, orang yang beragama itu percaya Tuhan itu ada (atau percaya kepada Dewa atau entitas supranatural lainnya); sebaliknya yang tidak percaya adanya Tuhan alias atheis, dia itu tidak beragama."

 

Pendekatan lain perihal pemahaman terhadap orang beragama dengan orang yang tidak beragama, pernah penulis pelajari di bangku kuliah lebih dari empat dekade yang lalu. Jadi ini adalah pendekatan baru untuk membedakan apa yang dimaksud dengan orang yang beragama itu. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Rudolf Otto (25-Sep-1869 - 6-Mar-1937), seorang teolog Protestan dan pakar perbandingan agama, menulis sebuah buku berjudul Das Heilige, yang pertama kali diterbitkan tahun 1917. Buku ini cukup populer hingga dicetak berulang kali, serta sekarang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Dalam bahasa Inggris, buku ini diterjemahkan sebagai The Idea of The Holy, atau Gagasan Tentang Yang Kudus. Alih-alih menjelaskan orang-beragama berkaitan dengan gagasan tentang Tuhan, Otto memakai sudut pandang berbeda, dengan menganalisis modalitas pengalaman beragama.

 

Otto sendiri menamakan Das Heilige atau "Yang Kudus" atau "Yang Suci", atau "Yang Sakral", sebagai Numen dalam bahasa Latin, yang bermakna "Tuhan" atau "Dewa". Dia menjelaskan bahwa di antara orang beragama dengan Yang Sakral terjadi interaksi sebagai "pengalaman atau perasaan bukan-rasional, juga bukan-inderawi, dengan obyek utamanya itu bersifat langsung dan berada di luar diri." Lebih lanjut Otto mengemukakan bahwa Yang Sakral itu adalah suatu misteri, yang membuat kita gentar, gemetar, atau menimbulkan rasa takut, namun sekaligus membuat kita tertarik dan terpesona. Dalam bahasa Latinnya dikatakan pengalaman berinteraksi dengan Yang Sakral sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinosum.

 

Pengalaman dengan Numen juga memiliki kualitas pribadi di dalamnya, yang mana orang tersebut merasa berada dalam persekutuan dengan Yang Sakral. Otto melihat Yang Sakral sebagai satu-satunya pengalaman keagamaan yang mungkin terjadi. Beliau menyatakan: "Tidak ada agama yang didalamnya tidak hidup sebagai inti terdalam yang sebenarnya, dan tanpanya tidak ada agama yang layak menyandang nama tersebut." Manusia primitif melihat dan memuja Yang Sakral dalam wujud batu besar, pohon, atau bahkan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bagi mereka batu, pohon, atau langit malam adalah sebuah misteri yang menggentarkan atau menimbulkan rasa takut, tetapi juga membuat mereka tertarik karena obyek-obyek tersebut mempesona. Disebut mysterium atau misteri, karena Yang Sakral tidak dapat dipahami oleh mereka.

 

Jadi jelas bagi Otto, orang primitif itu adalah orang beragama meskipun mereka tidak mengenal atau percaya pada sosok Tuhan yang kita kenal sekarang. Dengan demikian beragama itu adalah memiliki pengalaman religius. Orang yang tidak punya pengalaman religius itu layak disebut tidak beragama. Sekarang apa yang dimaksud dengan "pengalaman religius" itu? Kita ambil contohnya orang yang memuja langit malam atau kosmos sebagai Yang Sakral. Pengalaman religius itu adalah pengalaman spesifik seperti rasa takjub terhadap ketakterhinggaan kosmos, rasa kagum atas misteri kehadiran yang sakral atau yang suci, rasa ketergantungan pada kuasa supranatural atau tatanan gaib, rasa bersalah dan cemas karena telah berbuat sesuatu yang tidak patut, keyakinan akan adanya penghakiman setelah kematian, atau perasaan damai setelah orang melakukan upacara pengurbanan kepada yang sakral. Pada agama-agama besar yang ada sekarang, kita melihat bahwa pengalaman religius itu adalah merealisasi sesuatu yang lebih luas, seperti ketika seorang yogi dikatakan "melihat" identitas dirinya yang menyatu dengan Brahman. Atau umat Buddha yang menyebut "melihat segala sesuatu sebagaimana adanya", sebagai salah satu ciri pencerahan sejati, yang berarti memahami atau menyadari kekosongan segala sesuatu.

 

Gagasan Rudolf Otto tentang pengalaman religius dan Yang Sakral dikembangkan lebih lanjut oleh Mircea Eliade (13-Mar-1907 - 22-Apr-1986). Eliade adalah seorang sejarawan-agamapenulis fiksi ,filsuf, dan profesor berkebangsaan Rumania yang mengajar di Universitas Chicago. Lewat bukunya The Sacred and The Profane, The Nature of Religion (1961), atau dialihbahasakan sebagai: Yang Sakral dan Yang Profan, Hakikat Agama-agama. Apa itu profan? Profan adalah lawan dari sakral. Orang beragama yang memiliki pengalaman religius melihat bahwa apa pun yang dialaminya, bisa berada dalam ranah profan atau ranah sakral. Sebaliknya orang yang tidak beragama menganggap kosmos dengan segala isinya adalah profan.

 

Bagi orang beragama, Yang sakral memanifestasikan dirinya dalam ruang dan waktu, sehingga ruang dan waktu itu sendiri menjadi indikasi bertahtanya Yang Sakral. Dalam tulisan kali ini penulis hanya akan membahas sakralitas ruang, sedangkan sakralitas waktu akan kita bahas dalam artikel yang akan datang. Apa itu tempat sakral? Tempat pemujaan, candi, kuil, vihara, pura, gereja, masjid, atau tempat peribadahan lainnya, secara simbolis ditandai sebagai tempat sakral atau lokasi yang suci. Tanda-tanda, seperti tiang atau pilar, balok, dan pagar yang membatasi kawasan itu sendiri memiliki makna simbolis yang sakral, yang sering kali dapat terlihat dari desain khususnya. Denah bangunan suci beserta orientasinya, dinding, atap, dan lengkungannya semuanya digunakan untuk melambangkan Yang Sakral.

 

Pembaca akan segera menyadari bahwa yang sakral dan yang profan adalah dua cara berada di dunia, dua situasi eksistensial yang akan dijalani oleh orang beragama semasa hidupnya. Sebaliknya bagi orang yang tidak beragama, kosmos adalah homogen dan ruang secara geometris adalah netral. Semua yang dihadapinya adalah ruang profan, tidak ada bagi dia yang namanya ruang sakral.

 

Tempat-tempat suci sering kali merupakan cerminan gambar alam semesta dan rancangannya serta mengambil bagian dalam kesuciannya. Seperti misalnya kubah gereja Kristen adalah simbol surga dan altar di dalamnya merupakan simbol Kristus. Untuk memasuki masjid umat harus membersihkan diri terlebih dahulu. Air wudhu disediakan untuk membasuh wajah dan kepala, kemudian telapak tangan hingga siku, dan telapak kaki hingga mata kaki; semuanya wajib dicuci sebelum orang memasuki tempat suci. Kayu dari kuil Shinto yang dibongkar, jika diizinkan dibawa ke rumah, menjadi hadiah yang sakral bagi penghuni rumah keluarga Jepang yang saleh.

 

Orang yang suka berkunjung ke vihara tentu akrab dengan kenyataan ini. Sebelum masuk ke area yang sakral, umat diminta untuk melepaskan alas kaki dan penutup kepala. Harus berpakaian sopan. Bagi pria tidak boleh memakai celana pendek, sedangkan wanita tidak diperkenankan memakai tanktop. Di dalam tempat sakral pun tidak boleh bicara keras-keras dan perilaku pun harus dijaga. Kebiasaan melepaskan alas kaki dan tidak mengenakan gaun yang terbuka umumnya berlaku di rumah ibadah Theravāda. Sewaktu penulis berkunjung ke Wat Pho, yakni Kuil Buddha Tidur, di Bangkok, pengelola menyediakan tas-jinjing agar setiap pengunjung bisa menyimpan dan membawa sendiri alas kaki yang dipakainya. Kemudian disediakan kain panjang yang dapat dipinjam, untuk menutupi bagian tubuh turis wanita yang memakai gaun yang terbuka. Setelah kunjungan usai, tas-jinjing dan kain panjang pun dikembalikan. Namun Anda tentu tidak perlu terpaku pada aturan tersebut. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tidak setiap rumah ibadah memberlakukan ketentuan seperti itu. Pada kuil-kuil Taois tertentu, alas kaki harus dipakai ketika memasuki area sakral, dan Anda diwajibkan memakai sepatu.

 

Sekarang bagaimana menentukan tempat sakral itu? Ini yang menjadi persoalan bagi masyarakat primitif sejak zaman prasejarah. Mereka membutuhkan tempat sakral untuk menetap, mendirikan bangunan suci, dan melangsungkan kegiatan sehari-hari. Bahkan pada agama kuno, seperti yang dikatakan oleh Eliade, kita akan segera melihat contoh yang lebih jelas lagi, bahwa tempat suci itu merupakan "pintu para dewa" dan karenanya merupakan tempat peralihan antara langit dan bumi.

 

Bagaimana masyarakat primitif mencari pertanda yang menjadi acuan ruang sakral itu?

"When no sign manifests itself, it is provoked. For example, a sort of evocation is performed with the help of animals; it is they who show what place is fit to receive the sanctuary or the village. This amounts to an evocation of sacred forms or figures for the immediate purpose of establishing an orientation in the homogeneity of space. A sign is asked, to put an end to the tension and anxiety caused by relativity and disorientation-in short, to reveal an absolute point of support. For example, a wild animal is hunted, and the sanctuary is built at the place where it is killed. Or a domestic animal – such as a bull – is turned loose; some days later it is searched for and sacrificed at the place where it is found. Later the altar will be raised there and the village will be built around the altar. In all these cases, the sacrality of a place is revealed by animals. This is as much as to say that men are not free to choose the sacred site, that they only seek for it and find it by the help of mysterious signs." Terjemahannya: "Ketika tidak ada tanda yang muncul, maka mereka merasa terprovokasi. Untuk mencari jalan keluarnya dilakukan dengan bantuan hewan. Jadi hewanlah yang akan menunjukkan tempat mana yang cocok untuk dijadikan tempat suci, atau dusun tempat mereka akan tinggal nanti. Ini memenuhi pemunculan bentuk atau figur sakral untuk tujuan sesaat, guna menetapkan orientasi di tengah homogenitas ruang. Sebuah pertanda diminta untuk ditunjukkan, guna mengakhiri ketegangan dan kecemasan yang disebabkan oleh relativitas dan disorientasi yang mereka alami, demi mengungkapkan titik dukungan absolut. Contohnya, bisa ditunjukan oleh hewan liar yang diburu, dan tempat perlindungan dibangun di tempat hewan tersebut dibinasakan. Atau seekor hewan domestik – seperti misalnya seekor kerbau – dilepaskan. Lalu beberapa hari kemudian si kerbau dicari dan hewan malang itu dikurbankan di tempat dimana dia ditemukan. Selanjutnya mereka akan mendirikan altar di sana dan sebuah dusun akan dibangun di sekitar altar tersebut. Pada kasus-kasus ini, kesakralan suatu tempat diwahyukan oleh hewan. Jadi bisa dikatakan bahwa orang tidak bebas memilih situs suci. Yang mereka lakukan hanya mencarinya dan menemukannya, melalui bantuan tanda-tanda misterius. (Mircea Eliade, The Sacred and The Profane - The Nature of Religion, hal. 27-28).

 

Mencari tempat sakral itu tidak sukar bagi suku atau masyarakat primitif, karena wilayah yang mereka tempati itu merupakan lahan yang tidak bertuan. Jadi mudah saja bagi mereka untuk meng-klaim bahwa lahan yang ditunjukkan oleh hewan tersebut lantas dijadikan sebagai tanah milik mereka. Ketika zaman berubah dan kerajaan-kerajaan terbentuk, tidak mudah bagi masyarakat primitif untuk mendapatkan lahan sekehendak hati mereka, karena seluruh lahan sudah menjadi milik penguasa atau raja tertentu. Tetapi kebiasaan ini terus berlanjut. Lahan yang ingin dijadikan situs suci, yang di dalamnya akan didirikan ruang-pemujaan dan tempat mereka tinggal, harus disakralkan dengan menanam kepala hewan. Tradisi menanam kepala kerbau pada titik utama bangunan, yang dilakukan saat akan dimulainya pembangunan gedung (yakni pada saat peletakan batu pertama), masih bisa kita saksikan hingga hari ini.

 

Setelah kita membicarakan perihal ruang sakral atau tempat sakral secara umum, sampailah kita pada pembahasan apa yang dimaksud dengan tempat sakral menurut pandangan Buddhisme. Pembahasan yang akan penulis lakukan bersumber dari aturan Vinaya mazhab Theravāda dan buku komentarnya. Seperti yang kita ketahui, Sang Buddha sendiri memberikan prioritas pada kehidupan suci, yang dijalankan oleh laki-laki maupun perempuan yang memilih untuk meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Inilah komunitas berkumpulnya para bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri, yang kita namakan sebagai Sangha. Setiap kegiatan transaksional dalam komunitas tidak bisa diputuskan berdasarkan kehendak perorangan, namun harus disepakati oleh sidang yang dilakukan oleh Sangha. Apa yang dimaksud dengan Sangha dalam pengertian ini? Ketika Sang Buddha masih hidup, Sangha dalam pengertian ini adalah semua bhikkhu reguler yang memiliki afiliasi yang sama dalam wilayah atau sīmā, tempat pertemuan tersebut diadakan. Oleh karena itu, setiap kali Sangha bertemu untuk melakukan kegiatan transaksional, wilayah pertemuannya harus ditentukan dengan jelas. Kata sīmā kadang-kadang dialihbahasakan sebagai "batas" (boundary, Inggr.) namun terjemahan ini menimbulkan kebingungan ketika suatu badan-air, seperti sungai, tidak bisa dijadikan sebuah sīmā namun dapat bertindak sebagai garis batas untuk sebuah sīmā. Jadi lebih tepat sīmā diterjemahkan sebagai "teritori" atau "wilayah".

 

Teritori yang sah dapat berupa wilayah yang telah disahkan dengan benar melalui kesepakatan Sangha, atas wilayah yang ditentukan oleh batas-batas alam atau batas-batas politik. Istilah dalam Buku Komentar untuk kedua jenis teritori ini adalah: (1) baddha-sīmā, yakni teritori yang terikat; dan (2) abaddha-sīmā, teritori yang tidak terikat. Istilah "terikat" berasal dari idiom Kanonik umum. "Mengikat" suatu wilayah atau batas berarti menetapkan batas. Namun di sini merujuk secara khusus pada cara di mana Buku Komentar merekomendasikan penetapan batas-batas wilayah yang disahkan secara resmi. Penanda batas atau nimitta ditempatkan di sekeliling wilayah, dan sekelompok bhikkhu secara resmi menunjuk setiap penanda, berpindah dari satu penanda ke penanda berikutnya di sekeliling. Mereka meninggalkan garis batas di belakang mereka, seperti merentangkan tali imajiner, berjalan lurus dari satu penanda ke penanda berikutnya. Akhirnya, mereka kembali ke penanda pertama dan secara resmi menetapkannya sekali lagi. Sedemikian sehingga garis batas dibawa kembali ke titik awal, dan mereka menyelesaikan tindakan "mengikat" wilayah di dalam garis batas.

 

Teritori yang terbentuk dari rangkaian tali imajiner ini berbentuk poligon atau segi-banyak, seperti segi-empat, segi-tiga, trapesium, segi-enam, dua buah atau tiga buah segi-empat dengan sebuah segi-empat berada di dalam segi-empat yang lebih besar, dan lain sebagainya. Anda para pembaca yang tertarik pada desain sīmā ini bisa mencarinya di mesin pencari Google dengan memasukkan kata kunci: "ticīvara-avippavāsa". Teritori yang membentuk sīmā ini masih dipakai untuk membatasi area sakral atau ritual di negara-negara Buddhis, seperti yang bisa kita saksikan di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Khmer, dan Laos. Sīmā umumnya  terlihat di banyak pagoda di Khmer, sering kali berbentuk batu berbentuk daun, terkadang dengan hiasan relief atau karakter, dan ditempatkan di titik mata angin dan antar mata angin yang mengelilingi area suci. Batu-batu yang dipahat dan diukir secara artistik adalah salah satu keajaiban seni Khmer, dan sangat layak untuk diapresiasi dan dilestarikan.

 

Sang Buddha sendiri mengizinkan Sangha untuk menentukan luas wilayah sesuai keinginan mereka, namun luas tersebut dibatasi oleh ukuran minimum dan maksimum. Dilarang menetapkan sebuah sīmā yang sangat kecil sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu yang duduk dalam jarak satu lengan yang direntangkan, yang dipisahkan satu sama lain. Mengapa beliau melarang sebuah sīmā yang sangat kecil sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu? Hal ini mudah dipahami karena sanghakamma (atau keputusan atau tindakan yang dibuat oleh Sangha), memerlukan jumlah bhikkhu terbanyak, dua puluh, untuk menetapkan abbhāna. Abbhāna artinya prosedur yang dirancang untuk menyatukan kembali seorang bhikkhu yang telah dimurnikan sepenuhnya dari sanghādisesa-āpatti, yakni atas pelanggaran-pelanggaran yang telah diakuinya . Prosedur ini memungkinkan untuk menerima dia kembali sepenuhnya dalam komunitas dan menganggap statusnya sama seperti para bhikkhu lainnya. Jika dihitung dengan menghadirkan bhikkhu yang bersalah itu, jumlahnya adalah dua puluh satu bhikkhu. Sīmā yang terlalu kecil tidak cukup luas untuk melaksanakan abbhāna.

 

Sang Buddha pun melarang Sangha untuk menetapkan sīmā yang lebih besar dari tiga yojana. Jadi sīmā yang lebih kecil atau lebih besar dari ketentuan ini adalah cacat, tidak sah, dan tidak dapat digunakan. Satu yojana kurang lebih sepanjang sepuluh mil atau enam-belas kilometer. Jadi tiga yojana sama dengan empat-puluh-delapan kilometer, yakni ukuran yang panjang sekali.

 

Pada tahun-tahun awal Buddhisme berkembang, ada kecenderungan untuk mengesahkan teritori yang luas, mencakup beberapa biara dan terkadang bahkan seluruh kota. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa afiliasi yang luas. Para bhikkhu mempunyai kesempatan untuk bertemu langsung dengan komunitas-bhikkhu yang lebih besar secara teratur. Pemberian bantuan apa pun yang diberikan oleh para donatur untuk teritori yang luas tersebut akan dibagikan kepada semua orang. Namun, wilayah yang luas menimbulkan kesulitan tersendiri. Pertama-tama, ada kesulitan untuk memastikan bahwa, selama pertemuan, tidak ada bhikkhu tak dikenal yang memasuki wilayah tersebut, sehingga membatalkan transaksi apa pun yang dilakukan pada pertemuan tersebut. Dan jika ada kasus seperti seorang bhikkhu yang dalam keadaan sakit, tidak dapat memberikan persetujuannya dan dia harus menghadiri pertemuan tersebut (karena dia sudah berada di wilayah tersebut), maka pertemuan tersebut harus diadakan di hadapannya. Ini bukan masalah besar jika hanya ada satu bhikkhu yang sedang sakit, tapi akan menjadi masalah jika terdapat lebih dari satu bhikkhu yang juga sedang sakit di lokasi yang berjauhan. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini, kecenderungan yang ada sejak sebelum masa Buku Komentar ditulis, adalah mengesahkan teritori-teritori yang lebih kecil, yang hanya mencakup sebagian wilayah biara.

 

Ada contohnya dalam Mahāvamsa, kronik sejarah Sri Lanka. Dikatakan bahwa Raja Devānampiyatissa mengizinkan Sangha untuk menentukan wilayah Anurādhapura sebagai sīmā, sehingga dia dapat tetap berada di dalam lahan Sangha. Dalam Kanon Pāli disebutkan tentang banyak vihara (avāsa) dalam satu sīmā. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa Sangha tidak memegang hak kepemilikan atas teritori yang ditentukannya. Sangha hanya berwenang dalam pelaksanaan tugas keagamaan, seperti misi keagamaan yang dilakukan pada saat itu. Di negara-negara yang memberi izin, mereka bisa menjalankan urusannya di bagiannya sendiri, tanpa peduli dengan perpolitikan yang terjadi dalam kerajaan itu.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230920

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar