Rabu, 06 September 2023

MENIKAH ATAU TETAP MELAJANG?





Peradaban Barat yang dikenal sekarang sebenarnya bermula di daerah Mediterania lebih dari 2.600 tahun yang lalu. Adalah orang-orang Yunani Kuno yang memulai tradisi menggunakan daya akal mereka untuk memecahkan masalah-masalah yang menggelitik rasa ingin tahu manusia. Dalam zaman keemasan yang dikaruniai oleh munculnya manusia-manusia yang mampu melahirkan pemikiran-pemikiran besar itu, lahirlah seorang pemikir ulung yang bernama Sokrates.

 

Sokrates (Σωκράτης, atau Socrates (Inggr.), 470 - 399 s.M) hidup di Athena ketika polis atau negara-kota tumbuh di wilayah yang sekarang ini dinamakan Yunani. Setelah mempelajari bahasa dan kesusasteraan Yunani, serta aritmatika, geometri, dan astronomi, Sokrates muda mengabdikan dirinya sebagai tentara Athena. Ia ikut berperang ketika negaranya berperang melawan Sparta, negara jiran Athena. Setelah perang usai Sokrates bekerja sebagai pematung, meneruskan bakat dan pekerjaan ayahnya. Memasuki usia paruh baya, Sokrates berganti halauan dari perupa fisik manusia menjadi pembentuk watak manusia. Meskipun layak disebut filsuf, Sokrates tidak hidup menyendiri demi studinya atau membuka sekolah maupun menerima murid. dia hanya berbincang atau berdialog. "Mengoceh tiada henti", demikian para musuhnya mengejeknya.

 

Pagi dinihari ia sudah berjalan kaki di seputar Athena dan menjelang siang ia sudah berada diantara meja dan kios di pasar, saat orang banyak berkumpul untuk berbelanja. Tempat ini dinamakan agora, sebuah ruang publik di tengah kota, tempat warga kota bertemu satu sama lain. Selain merupakan lokasi berdagang, di sini warga berdiskusi tentang berbagai topik menyangkut politik dan pemikiran filsafat. Serelah berdialog dengan lawan bicaranya, menurut Xenophon, Sokrates mengingatkan pula kepada yang hadir pentingnya melaksanakan kebajikan yang umum dianut oleh masyarakat Athena pada masa itu, seperti pengendalian diri, kesederhanaan, kesalehan, bakti kepada orang tua, cinta persaudaraan, kesetiakawanan, dan masih banyak lagi. Cicero berkata, bila filsafat sebelumnya banyak membahas hakekat alam semesta, Sokrates mampu "membawa filsafat dari langit ke bumi". Bagi Sokrates, pertanyaan mengenai hakekat manusia, kewajiban manusia, dan kebahagiaan manusia adalah pertanyaan yang paling penting dan paling bermanfaat bagi masyarakat.

 

Sokrates memiliki banyak pengagum, menarik minat besar dari masyarakat Athena, khususnya kalangan pemuda Athena. Secara fisik Sokrates itu tidak menarik. Dia memiliki hidung rata, mata belo, dan perut besar. Socrates tidak peduli pada kesenangan materi, termasuk penampilan dan kenyamanan pribadinya. Dia mengabaikan kebersihan pribadi, jarang mandi, berjalan tanpa alas kaki, dan hanya memiliki satu mantel yang sudah compang-camping. Dia mengatur pola makan, minum, dan aktivitas kehidupan seksnya, meskipun dia tidak melakukan pantangan sepenuhnya.

 

Sokrates pada usia paruh baya itu mempunyai seorang isteri yang bernama Xanthippe (abad ke-5 hingga abad ke-4 seb.M.). Dengan wanita ini, Sokrates memiliki 3 orang putera, dan perbedaan usia di antara keduanya hampir terpaut 40 tahun. Wanita ini seorang yang cerewet dan pemberang. Sekali waktu Sokrates baru pulang dan isterinya yang sedang kesal menumpahkan seember air ke atas kepalanya. Orang tua yang bijak ini tidak marah melainkan dengan tersenyum berkata, "engkau baik sekali, isteriku. Tahu aku sedang kepanasan kau guyur aku dengan air". Lain waktu Sokrates tampak murung dan sewaktu sahabatnya bertanya apa yang membuatnya sedih, Sokrates berkata ia tidak menemukan isterinya di rumah. Temannya heran, bukankah Sokrates semestinya senang. Sokrates hanya menjawab : "Justru itulah kawan, hari ini aku kehilangan kesempatan untuk mempraktikkan kesabaranku".

 

Kita tidak tahu kondisi kehidupan keluarga Sokrates, Xanthippe, dan ketiga puteranya, karena tidak ada narasumber yang menceritakan hal itu. Sokrates bermukim dekat dengan kerabat ayahnya, dan juga mewarisi sebagian peninggalan ayahnya, sehingga membebaskan kehidupannya dari masalah keuangan. Sokrates pun seorang veteran perang, yang mendapat penghargaan dari negaranya. Bahkan diketahui orang bahwa Sokrates menikah dua kali. Tidak jelas apakah Xanthippe ini adalah isterinya yang pertama atau yang kedua. Berkenaan dengan tabiat isterinya – Xanthippe – yang berbuat kasar terhadap suaminya, terlontar kata-kata yang diucapkan oleh Sokrates, dan ungkapan ini pun masih terkenal hingga hari ini: "Aku menyarankan engkau untuk menikah. Jika engkau mendapatkan isteri yang baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi seorang filsuf." Mungkin sewaktu mengucapkan kata-kata itu Sokrates sedang bergurau, karena orang tua ini cukup bahagia menjalani gaya hidup yang dipilihnya. Penulis pernah mendengar cerita berikut ini dari seseorang. Ketika ditanya apakah itu pernikahan, orang tersebut menjawab. "Lembaga pernikahan itu ibarat sebuah istana yang megah, sangat gemerlap dan berwarna-warni, dan segala kenikmatannya bisa terlihat orang dari luar. Banyak orang berbondong-bondong ingin memasukinya. Nah, setelah orang-orang itu memasukinya, ternyata baru ketahuan bahwa di dalam sana, banyak orang yang ingin segera ke luar." Penulis tertawa mendengar cerita itu, tetapi juga perasaan ini langsung terasa getir, setelah menyadari bahwa cerita ini sesuai dengan kenyataan.

Ajakan Sokrates agar orang – laki-laki atau perempuan – untuk menikah tentu masih relevan dengan apa yang kita alami di zaman modern ini. Meskipun perlu ditekankan bahwa jika kita beruntung kita akan bahagia. Namun jika tidak beruntung, terserah Anda para pembaca yang akan menafsirkannya. Namun petikan dari Sokrates itu juga jangan dibalik: "jika engkau tidak menikah, engkau tidak akan bahagia." Namun bagi mereka yang masih lajang, penulis pun berharap bahwa dengan menikah seseorang bisa meraih kebahagiaan.

Plato (
Πλάτων, Plátōn; 428/427 atau 424/423 - 348 seb.M.), seorang siswa Sokrates yang terkemuka, banyak meninggalkan tulisan, berkenaan dengan ajaran gurunya. Karena Sokrates tidak meninggalkan karya berupa tulisan, pemikiran Sokrates yang kita kenal sekarang kebanyakan berasal dari naskah-naskah yang ditulis oleh Plato. Plato bertanya kepada Sokrates tentang makna pernikahan. Sokrates menanggapinya dengan menyuruh Plato pergi ke hutan untuk menebang pohon yang paling besar dan paling kokoh. Plato mengikuti instruksi Sokrates, tetapi tidak membawa kembali pohon yang disebutkan oleh gurunya. Dia membawa pulang pohon lain yang bagus sebagai gantinya.

Sokrates bertanya kepadanya mengapa dia memilih pohon itu, dan Plato menjelaskan bahwa dia melihat beberapa pohon yang bagus, yang tumbuh di hutan itu. Dia memilih pohon itu yang dia bawa kembali, karena beranggapan pohon tersebut yang terbaik. Sokrates kemudian menegaskan: "Itulah arti pernikahan." Jadi apa yang dimaksud dengan "pernikahan" itu, dipandang dari pemikiran Sokrates? Jelas hikmah pernikahan atau perkawinan terletak pada pengambilan keputusan, dan memilih apa yang diyakini sebagai pilihan terbaik. Jika pria atau wanita yang akan menikah sudah memiliki satu orang calon pasangan, kemudian dia menimbang-nimbang apakah nanti jika menikah keduanya akan bahagia. Pada titik ini dia harus memutuskan apakah akan menikah, dan ini merupakan satu keputusan terbesar dalam hidupnya. Jika pria atau wanita yang akan menikah telah memiliki beberapa calon pasangan, hal yang sama harus dia lakukan pula. Pertama dia harus memutuskan dulu, siapa di antara mereka itu calon pasangan yang terbaik, persis seperti yang dilakukan Plato sewaktu memilih pohon di hutan. Selanjutnya proses pengambilan keputusan sama dengan kasus sebelumnya.

 

Lalu konteks sewaktu Plato menanyakan arti pernikahan kepada gurunya, situasi dan kondisi negara-kota di Yunani Kuno hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Pernikahan adalah satu ikatan yang sakral, dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah pernikahan dilangsungkan, pasangan itu akan membentuk satu keluarga seumur hidupnya. Jadi tidak bisa jika salah satu pihak atau kedua-duanya ingin ke luar dari ikatan pernikahan ini. Dengan demikian pernikahan adalah komitmen seumur hidup dari masing-masing pihak. Dan komitmen ini sebelumnya membutuhkan pertimbangan cermat, dan kemauan untuk membuat keputusan, tanpa kemungkinan untuk diralat atau dianulir di kemudian hari. Mengapa penulis katakan konteks yang kita bicarakan adalah yang dianut oleh masyarakat Indonesia secara umum. Mungkin ada perbedaan persepsi tentang makna pernikahan pada sebagian selebriti papan atas kita, yang hobinya kawin-cerai layaknya artis-artis Hollywood.

Dalam perjalanan hidup seorang anak manusia, ada masa orang itu paling mungkin untuk menikah. Lewat dari masa itu kemungkinan dia untuk menikah semakin kecil. Mungkin para pembaca pernah mendengar cerita ini dari sebuah kisah inspirasi di WhatsApp Group.

 

Demikianlah sekelompok anak-anak sekolah dasar sekali waktu diajak oleh gurunya pergi bertamasya ke sebuah taman bunga di luar kota. Sesampainya di sana, sang guru membuat sebuah permainan. Setiap anak akan melakukan perjalanan dari garis Start menuju lokasi terakhir tempat mereka berkumpul kembali, yang dinamakan garis Finish. Tujuan permainan ini, masing-masing anak akan berjalan sambil mengamati bunga yang menurut mereka paling bagus dan sangat mereka sukai. Setelah menemukan kuntum bunga terbaik, masing-masing dari mereka akan memetiknya, menyimpannya, dan terakhir menyerahkannya kepada gurunya.

 

Dalam melakukan perjalanan dari garis Start ke garis Finish ada aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap peserta: (1) Peserta harus bergerak dengan arah maju; berbalik atau mundur tidak diperkenankan, (2) Hanya boleh memilih dan memetik satu kuntum bunga; serta dilarang membuang bunga yang telah dipilih dan memetik kembang lain sebagai gantinya. Anak-anak pun dengan gembira mengikuti perintah gurunya. Mereka dengan antusias berjalan melintasi kebun permai yang ditumbuhi oleh ribuan bunga. Sambil mengagumi eloknya bunga yang mereka temui dalam perjalanan itu, akhirnya masing-masing memutuskan untuk memetik kuntum bunga yang paling bagus menurut penilaian mereka.

 

Setelah semuanya tiba di garis Finish masing-masing peserta dengan bangga memperlihatkan bunga yang telah mereka petik ke hadapan gurunya. Sang guru memuji masing-masing anak dan meminta mereka meletakkan kuntum bunga yang telah dipetik di atas sebuah meja, yang telah disediakan di sana. Setelah hampir seluruh murid meletakkan kembang yang dipetik oleh mereka, sang guru mendapatkan peserta terakhir yang bernama si Polan, yang datang dengan tangan hampa. Sang guru bertanya: "Polan, mengapa engkau tidak membawa satu pun? Padahal banyak bunga yang indah di taman ini?" Dia pun menjawab: "Guru, benar banyak bunga yang elok di kebun ini, dan saya ingin memetik salah satu di antaranya. Saya berpikir pasti di depan saya masih banyak bunga yang lebih bagus, tetapi ternyata kebunnya sudah sampai pada tepinya. Jadi saya telah melewatkan dan mengabaikan peluang yang bagus sebelumnya."

 

Kisah itu mungkin pernah Anda baca dan saya ingin menjelaskan hikmah di balik cerita ini. Perjalanan anak-anak di taman bunga tidak lain merupakan perjalanan hidup kita. Bunga yang kita ambil adalah belahan jiwa yang telah kita pilih, yang kemudian kita jadikan pasangan hidup. Meskipun banyak bunga lain yang lebih bagus yang pernah kita temui, toh semua itu lewat begitu saja karena kita tidak berkomitmen atau kita tidak berdaya untuk mendapatkannya. Si Polan mewakili orang yang tidak menikah seumur hidupnya, meskipun mungkin dia pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Garis Finish merupakan barrier imajiner berupa usia yang telah lanjut, atau hambatan psikologis ketika seseorang sudah kehilangan minat untuk memasuki kehidupan pernikahan.

 

Sekarang apa itu hambatan psikologis yang membuat seseorang menjadi tawar hatinya, sehingga memutuskan untuk tetap melajang hingga sisa usianya berakhir? Penulis akan memberikan contoh kasus. Tersebutlah seorang jejaka muda yang sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis yang rupawan. Mereka berdua telah berpacaran bertahun-tahun, dan tampaknya keduanya cocok satu sama lain. Sekali waktu pada hari ulang tahun si gadis, sang pemuda menghadiahkan sekotak kue tart kepada kekasihnya. Di sini mulai terjadi masalah, karena walaupun kue itu rasanya enak dan bentuk serta hiasannya bagus, namun ukuran kue-kue itu super-mini.

 

Orang dulu berkata: "Dari hal-hal yang kecil bisa timbul akibat yang besar." Nah, setelah saudaranya terutama para adik-adiknya mengetahui, bahwa sang kakak baru saja mendapatkan hadiah berupa kue-kue kecil, mereka jahil dan mengata-ngatai sang gadis. "Masa sang kekasih yang badannya besar hanya sanggup memberikan kue yang mungil?" Pada awalnya sang kakak tidak menggubris olok-olokan para saudaranya itu, tetapi lama kelamaan dia merasa jengkel juga. Nah, pada kesempatan bertemu lagi dengan kekasihnya, si gadis mulai uring-uringan. Mereka berdua pun bertengkar hebat. Tidak ada yang mau mengalah, dan keduanya mulai enggan bertemu satu sama lain. Pembicaraan yang dimediasi oleh orang tua masing-masing pun gagal membuahkan perdamaian. Lama setelah hubungan percintaan itu putus, kedua pihak masih tetap tidak bisa move on, serta si jejaka maupun si gadis menutup pintu hatinya untuk kehadiran kekasih yang baru. Terakhir beredar kabar, karena putus asa sang jejaka memutuskan untuk menjadi pastor atau bhikshu, dan mulailah sang gadis menangis dan meratapi nasibnya seumur hidupnya. Kasihan dan memang tragis!


Kita sudah sampai pada penghujung tulisan ini. Pada dasarnya menikah dan melajang itu lebih banyak ditentukan pada individu itu sendiri. Dialah yang akan memutuskannya. Termasuk tentu saja melajang dulu hingga umur mencapai usia paruh baya, lalu kemudian memutuskan untuk menikah. Lalu apa keuntungan dan kerugian antara menikah dengan melajang? Jelas menikah memiliki keuntungan untuk saling berbagi dalam kehidupan ini, dan kemudian bisa mendapatkan keturunan. Tetapi melajang memberi peluang kepada individu kebebasan menggapai mimpi-mimpi mereka, serta tidak usah memiliki komitmen kepada siapa pun juga.

 

Lalu mana yang lebih membahagiakan? Menikah atau melajang? Menurut sebuah studi terkini, individu yang telah menikah cenderung lebih sejahtera dan bahagia secara keseluruhan dibandingkan mereka yang masih lajang. Ini merupakan kesimpulan studi yang diterbitkan dalam Journal of Happiness Studies, yang mana peneliti mengumpulkan data dari dua survei di Inggris untuk mendapatkan temuan mengenai manfaat perkawinan. Pertama, peneliti utama Shawn Grover dan John Helliwell dari Vancouver School of Economics di Kanada, menganalisis data dari 30.000 orang antara tahun 1991 dan 2009, untuk mengetahui bagaimana kepuasan hidup secara keseluruhan di Inggris. Mereka juga melihat Survei Kependudukan Tahunan antara tahun 2011 dan 2013, dari 328 ribu orang Inggris yang mengungkapkan perbedaan kebahagiaan antara penduduk yang sudah menikah dan yang belum menikah untuk semua kelompok usia. Setelah melakukan analisis terhadap kedua data tersebut, peneliti menemukan bahwa pernikahan secara signifikan meningkatkan kepuasan hidup, terutama bagi mereka yang telah berusia lanjut (lihat di https://www.suara.com/health/2017/12/23/091657/studi-orang-menikah-lebih-bahagia-dibandingkan-lajang)

 

Menutup tulisan ini, penulis berpesan kepada kaum muda yang masih melajang. Jika sudah memiliki kemampuan keuangan yang memadai serta mempunyai kesiapan mental, maka segeralah memilih pasangan dan menikahlah. Jika Anda beruntung Anda akan bahagia, namun jika tidak Anda bisa menjadi seorang filsuf. Ha-ha-ha !!!

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230906

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar