Peradaban Barat yang dikenal sekarang sebenarnya bermula di
daerah Mediterania lebih dari 2.600 tahun yang lalu. Adalah orang-orang Yunani Kuno
yang memulai tradisi menggunakan daya akal mereka untuk memecahkan
masalah-masalah yang menggelitik rasa ingin tahu manusia. Dalam zaman keemasan
yang dikaruniai oleh munculnya manusia-manusia yang mampu melahirkan
pemikiran-pemikiran besar itu, lahirlah seorang pemikir ulung yang bernama
Sokrates.
Sokrates (Σωκράτης,
atau Socrates (Inggr.), 470 - 399 s.M) hidup di Athena ketika polis atau
negara-kota tumbuh di
wilayah yang sekarang ini dinamakan Yunani. Setelah mempelajari bahasa dan
kesusasteraan Yunani, serta aritmatika, geometri, dan astronomi, Sokrates muda
mengabdikan dirinya sebagai tentara Athena. Ia ikut berperang ketika negaranya
berperang melawan Sparta, negara jiran Athena. Setelah perang usai Sokrates
bekerja sebagai pematung, meneruskan bakat dan pekerjaan ayahnya. Memasuki usia
paruh baya, Sokrates berganti halauan dari perupa fisik manusia menjadi pembentuk watak
manusia. Meskipun layak disebut filsuf, Sokrates tidak hidup menyendiri demi
studinya atau membuka sekolah maupun menerima murid. dia hanya berbincang atau
berdialog. "Mengoceh tiada henti", demikian para musuhnya
mengejeknya.
Pagi dinihari
ia sudah berjalan kaki di seputar Athena dan menjelang siang ia sudah berada
diantara meja dan kios di pasar, saat orang banyak berkumpul untuk berbelanja.
Tempat ini dinamakan agora, sebuah ruang publik di tengah kota, tempat
warga kota bertemu satu sama lain. Selain merupakan lokasi berdagang, di sini
warga berdiskusi tentang berbagai topik menyangkut politik dan pemikiran
filsafat. Serelah berdialog dengan lawan bicaranya, menurut Xenophon, Sokrates
mengingatkan pula kepada yang hadir pentingnya melaksanakan kebajikan yang umum
dianut oleh masyarakat Athena pada masa itu, seperti pengendalian diri,
kesederhanaan, kesalehan, bakti kepada orang tua, cinta persaudaraan,
kesetiakawanan, dan masih banyak lagi. Cicero berkata, bila filsafat sebelumnya
banyak membahas hakekat alam semesta, Sokrates mampu "membawa filsafat
dari langit ke bumi". Bagi Sokrates, pertanyaan mengenai hakekat manusia,
kewajiban manusia, dan kebahagiaan manusia adalah pertanyaan yang paling
penting dan paling bermanfaat bagi masyarakat.
Sokrates memiliki banyak pengagum, menarik minat besar dari masyarakat Athena,
khususnya kalangan pemuda Athena. Secara
fisik Sokrates itu tidak menarik. Dia memiliki hidung rata, mata belo, dan perut besar. Socrates tidak peduli pada kesenangan
materi, termasuk penampilan dan kenyamanan pribadinya. Dia mengabaikan
kebersihan pribadi, jarang mandi, berjalan tanpa alas kaki, dan hanya memiliki
satu mantel yang sudah compang-camping.
Dia mengatur pola makan, minum, dan aktivitas kehidupan seksnya, meskipun dia tidak melakukan
pantangan sepenuhnya.
Sokrates pada usia paruh
baya itu mempunyai seorang isteri yang bernama Xanthippe (abad ke-5 hingga abad
ke-4 seb.M.). Dengan wanita ini, Sokrates memiliki 3 orang putera, dan
perbedaan usia di antara keduanya hampir terpaut 40 tahun. Wanita ini seorang
yang cerewet dan pemberang. Sekali waktu Sokrates baru pulang dan isterinya
yang sedang kesal menumpahkan seember air ke atas kepalanya. Orang tua yang
bijak ini tidak marah melainkan dengan tersenyum berkata, "engkau baik
sekali, isteriku. Tahu
aku sedang kepanasan kau guyur aku dengan air". Lain waktu Sokrates tampak
murung dan sewaktu sahabatnya bertanya apa yang membuatnya sedih, Sokrates
berkata ia tidak menemukan isterinya di rumah. Temannya heran, bukankah
Sokrates semestinya senang. Sokrates hanya menjawab : "Justru itulah
kawan, hari ini aku kehilangan kesempatan untuk mempraktikkan kesabaranku".
Kita tidak tahu kondisi kehidupan
keluarga Sokrates, Xanthippe, dan ketiga puteranya, karena tidak ada narasumber
yang menceritakan hal itu. Sokrates bermukim dekat dengan
kerabat ayahnya, dan juga mewarisi sebagian peninggalan ayahnya, sehingga
membebaskan kehidupannya dari masalah keuangan. Sokrates pun seorang veteran
perang, yang mendapat penghargaan dari negaranya. Bahkan diketahui orang bahwa
Sokrates menikah dua kali. Tidak jelas apakah Xanthippe ini adalah isterinya
yang pertama atau yang kedua. Berkenaan dengan tabiat isterinya – Xanthippe –
yang berbuat kasar terhadap suaminya, terlontar kata-kata yang diucapkan oleh
Sokrates, dan ungkapan ini pun masih terkenal hingga hari ini: "Aku
menyarankan engkau untuk menikah. Jika engkau mendapatkan isteri yang baik,
kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi seorang filsuf." Mungkin
sewaktu mengucapkan kata-kata itu Sokrates sedang bergurau, karena orang tua
ini cukup bahagia menjalani gaya hidup yang dipilihnya. Penulis pernah
mendengar cerita berikut ini dari seseorang. Ketika ditanya apakah itu pernikahan,
orang tersebut menjawab. "Lembaga pernikahan itu ibarat sebuah istana yang
megah, sangat gemerlap dan berwarna-warni, dan segala kenikmatannya bisa
terlihat orang dari luar. Banyak orang berbondong-bondong ingin memasukinya.
Nah, setelah orang-orang itu memasukinya, ternyata baru ketahuan bahwa di dalam
sana, banyak orang yang ingin segera ke luar." Penulis tertawa mendengar
cerita itu, tetapi juga perasaan ini langsung terasa getir, setelah menyadari
bahwa cerita ini sesuai dengan kenyataan.
Ajakan Sokrates agar orang – laki-laki atau perempuan – untuk
menikah tentu masih relevan dengan apa yang kita alami di zaman modern ini.
Meskipun perlu ditekankan bahwa jika kita beruntung kita akan bahagia. Namun
jika tidak beruntung, terserah Anda para pembaca yang akan menafsirkannya.
Namun petikan dari Sokrates itu juga jangan dibalik: "jika engkau tidak
menikah, engkau tidak akan bahagia." Namun bagi mereka yang masih lajang,
penulis pun berharap bahwa dengan menikah seseorang bisa meraih kebahagiaan.
Plato (Πλάτων, Plátōn;
428/427 atau 424/423 - 348 seb.M.), seorang siswa Sokrates yang terkemuka,
banyak meninggalkan tulisan, berkenaan dengan ajaran gurunya. Karena Sokrates
tidak meninggalkan karya berupa tulisan, pemikiran Sokrates yang kita kenal
sekarang kebanyakan berasal dari naskah-naskah yang ditulis oleh Plato. Plato
bertanya kepada Sokrates tentang makna pernikahan. Sokrates menanggapinya
dengan menyuruh Plato pergi ke hutan untuk menebang pohon yang paling besar dan
paling kokoh. Plato mengikuti instruksi Sokrates, tetapi tidak membawa kembali
pohon yang disebutkan oleh gurunya. Dia membawa pulang pohon lain yang bagus
sebagai gantinya.
Sokrates bertanya kepadanya mengapa dia memilih pohon itu, dan Plato
menjelaskan bahwa dia melihat beberapa pohon yang bagus, yang tumbuh di hutan
itu. Dia memilih pohon itu yang dia bawa kembali, karena beranggapan pohon tersebut
yang terbaik. Sokrates kemudian menegaskan: "Itulah arti pernikahan."
Jadi apa yang dimaksud dengan "pernikahan" itu, dipandang dari
pemikiran Sokrates? Jelas hikmah pernikahan atau perkawinan terletak pada
pengambilan keputusan, dan memilih apa yang diyakini sebagai pilihan terbaik.
Jika pria atau wanita yang akan menikah sudah memiliki satu orang calon
pasangan, kemudian dia menimbang-nimbang apakah nanti jika menikah keduanya
akan bahagia. Pada titik ini dia harus memutuskan apakah akan menikah, dan ini
merupakan satu keputusan terbesar dalam hidupnya. Jika pria atau wanita yang
akan menikah telah memiliki beberapa calon pasangan, hal yang sama harus dia
lakukan pula. Pertama dia harus memutuskan dulu, siapa di antara mereka itu
calon pasangan yang terbaik, persis seperti yang dilakukan Plato sewaktu
memilih pohon di hutan. Selanjutnya proses pengambilan keputusan sama dengan
kasus sebelumnya.
Lalu konteks sewaktu Plato menanyakan arti pernikahan kepada
gurunya, situasi dan kondisi negara-kota di Yunani Kuno hampir sama dengan yang
terjadi di Indonesia saat ini. Pernikahan adalah satu ikatan yang sakral,
dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah pernikahan
dilangsungkan, pasangan itu akan membentuk satu keluarga seumur hidupnya. Jadi
tidak bisa jika salah satu pihak atau kedua-duanya ingin ke luar dari ikatan
pernikahan ini. Dengan demikian pernikahan adalah komitmen seumur hidup dari
masing-masing pihak. Dan komitmen ini sebelumnya membutuhkan pertimbangan
cermat, dan kemauan untuk membuat keputusan, tanpa kemungkinan untuk diralat
atau dianulir di kemudian hari. Mengapa penulis katakan konteks yang kita
bicarakan adalah yang dianut oleh masyarakat Indonesia secara umum. Mungkin ada
perbedaan persepsi tentang makna pernikahan pada sebagian selebriti papan atas
kita, yang hobinya kawin-cerai layaknya artis-artis Hollywood.
Dalam perjalanan hidup seorang anak manusia, ada masa orang
itu paling mungkin untuk menikah. Lewat dari masa itu kemungkinan dia untuk
menikah semakin kecil. Mungkin para pembaca pernah mendengar cerita ini dari
sebuah kisah inspirasi di WhatsApp Group.
Demikianlah sekelompok anak-anak sekolah dasar sekali waktu diajak
oleh gurunya pergi bertamasya ke sebuah taman bunga di luar kota. Sesampainya
di sana, sang guru membuat sebuah permainan. Setiap anak akan melakukan
perjalanan dari garis Start menuju lokasi terakhir tempat mereka
berkumpul kembali, yang dinamakan garis Finish. Tujuan permainan ini,
masing-masing anak akan berjalan sambil mengamati bunga yang menurut mereka
paling bagus dan sangat mereka sukai. Setelah menemukan kuntum bunga terbaik,
masing-masing dari mereka akan memetiknya, menyimpannya, dan terakhir
menyerahkannya kepada gurunya.
Dalam melakukan perjalanan dari garis Start ke garis Finish
ada aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap peserta: (1) Peserta harus bergerak
dengan arah maju; berbalik atau mundur tidak diperkenankan, (2) Hanya boleh
memilih dan memetik satu kuntum bunga; serta dilarang membuang bunga yang telah
dipilih dan memetik kembang lain sebagai gantinya. Anak-anak pun dengan gembira
mengikuti perintah gurunya. Mereka dengan antusias berjalan melintasi kebun
permai yang ditumbuhi oleh ribuan bunga. Sambil mengagumi eloknya bunga yang
mereka temui dalam perjalanan itu, akhirnya masing-masing memutuskan untuk
memetik kuntum bunga yang paling bagus menurut penilaian mereka.
Setelah semuanya tiba di garis Finish masing-masing peserta
dengan bangga memperlihatkan bunga yang telah mereka petik ke hadapan gurunya.
Sang guru memuji masing-masing anak dan meminta mereka meletakkan kuntum bunga
yang telah dipetik di atas sebuah meja, yang telah disediakan di sana. Setelah
hampir seluruh murid meletakkan kembang yang dipetik oleh mereka, sang guru
mendapatkan peserta terakhir yang bernama si Polan, yang datang dengan tangan
hampa. Sang guru bertanya: "Polan, mengapa engkau tidak membawa satu pun?
Padahal banyak bunga yang indah di taman ini?" Dia pun menjawab:
"Guru, benar banyak bunga yang elok di kebun ini, dan saya ingin memetik
salah satu di antaranya. Saya berpikir pasti di depan saya masih banyak bunga
yang lebih bagus, tetapi ternyata kebunnya sudah sampai pada tepinya. Jadi saya
telah melewatkan dan mengabaikan peluang yang bagus sebelumnya."
Kisah itu mungkin pernah Anda baca dan saya ingin menjelaskan
hikmah di balik cerita ini. Perjalanan anak-anak di taman bunga tidak lain
merupakan perjalanan hidup kita. Bunga yang kita ambil adalah belahan jiwa yang
telah kita pilih, yang kemudian kita jadikan pasangan hidup. Meskipun banyak
bunga lain yang lebih bagus yang pernah kita temui, toh semua itu lewat begitu
saja karena kita tidak berkomitmen atau kita tidak berdaya untuk
mendapatkannya. Si Polan mewakili orang yang tidak menikah seumur hidupnya,
meskipun mungkin dia pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Garis Finish
merupakan barrier imajiner berupa usia yang telah lanjut, atau hambatan
psikologis ketika seseorang sudah kehilangan minat untuk memasuki kehidupan
pernikahan.
Sekarang apa itu hambatan psikologis yang membuat seseorang
menjadi tawar hatinya, sehingga memutuskan untuk tetap melajang hingga sisa
usianya berakhir? Penulis akan memberikan contoh kasus. Tersebutlah seorang
jejaka muda yang sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis yang
rupawan. Mereka berdua telah berpacaran bertahun-tahun, dan tampaknya keduanya
cocok satu sama lain. Sekali waktu pada hari ulang tahun si gadis, sang pemuda
menghadiahkan sekotak kue tart kepada kekasihnya. Di sini mulai terjadi
masalah, karena walaupun kue itu rasanya enak dan bentuk serta hiasannya bagus,
namun ukuran kue-kue itu super-mini.
Orang dulu berkata: "Dari hal-hal yang kecil bisa timbul
akibat yang besar." Nah, setelah saudaranya terutama para adik-adiknya
mengetahui, bahwa sang kakak baru saja mendapatkan hadiah berupa kue-kue kecil,
mereka jahil dan mengata-ngatai sang gadis. "Masa sang kekasih yang
badannya besar hanya sanggup memberikan kue yang mungil?" Pada awalnya
sang kakak tidak menggubris olok-olokan para saudaranya itu, tetapi lama
kelamaan dia merasa jengkel juga. Nah, pada kesempatan bertemu lagi dengan
kekasihnya, si gadis mulai uring-uringan. Mereka berdua pun bertengkar hebat.
Tidak ada yang mau mengalah, dan keduanya mulai enggan bertemu satu sama lain.
Pembicaraan yang dimediasi oleh orang tua masing-masing pun gagal membuahkan
perdamaian. Lama setelah hubungan percintaan itu putus, kedua pihak masih tetap
tidak bisa move on, serta si jejaka maupun si gadis menutup pintu
hatinya untuk kehadiran kekasih yang baru. Terakhir beredar kabar, karena putus
asa sang jejaka memutuskan untuk menjadi pastor atau bhikshu, dan mulailah sang
gadis menangis dan meratapi nasibnya seumur hidupnya. Kasihan dan memang
tragis!
Kita sudah sampai pada penghujung tulisan ini. Pada dasarnya menikah dan
melajang itu lebih banyak ditentukan pada individu itu sendiri. Dialah yang
akan memutuskannya. Termasuk tentu saja melajang dulu hingga umur mencapai usia
paruh baya, lalu kemudian memutuskan untuk menikah. Lalu apa keuntungan dan
kerugian antara menikah dengan melajang? Jelas menikah memiliki keuntungan
untuk saling berbagi dalam kehidupan ini, dan kemudian bisa mendapatkan
keturunan. Tetapi melajang memberi peluang kepada individu kebebasan menggapai
mimpi-mimpi mereka, serta tidak usah memiliki komitmen kepada siapa pun juga.
Lalu mana yang
lebih membahagiakan? Menikah atau melajang? Menurut sebuah studi terkini, individu
yang telah menikah cenderung lebih sejahtera
dan bahagia secara keseluruhan dibandingkan mereka yang masih lajang. Ini
merupakan kesimpulan studi yang diterbitkan dalam Journal of Happiness
Studies, yang mana peneliti mengumpulkan data dari dua survei di Inggris
untuk mendapatkan temuan mengenai manfaat perkawinan. Pertama, peneliti utama
Shawn Grover dan John Helliwell dari Vancouver School of Economics di
Kanada, menganalisis data dari 30.000 orang antara tahun 1991 dan 2009, untuk
mengetahui bagaimana kepuasan hidup secara keseluruhan di Inggris. Mereka juga
melihat Survei Kependudukan Tahunan antara tahun 2011 dan 2013, dari 328 ribu
orang Inggris yang mengungkapkan perbedaan kebahagiaan antara penduduk yang
sudah menikah dan yang belum menikah untuk semua kelompok usia. Setelah
melakukan analisis terhadap kedua data tersebut, peneliti menemukan bahwa
pernikahan secara signifikan meningkatkan kepuasan hidup, terutama bagi mereka
yang telah berusia lanjut (lihat di https://www.suara.com/health/2017/12/23/091657/studi-orang-menikah-lebih-bahagia-dibandingkan-lajang)
Menutup tulisan
ini, penulis berpesan kepada kaum muda yang masih melajang. Jika sudah memiliki
kemampuan keuangan yang memadai serta mempunyai kesiapan mental, maka segeralah
memilih pasangan dan menikahlah. Jika Anda beruntung Anda akan bahagia, namun jika
tidak Anda bisa menjadi seorang filsuf. Ha-ha-ha !!!
sdjn/dharmaprimapustaka/230906
Tidak ada komentar:
Posting Komentar