Kamis, 24 Agustus 2023

DARI LǍO ZǏ KE TAOISME


 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam tulisan kami terdahulu, Zhāng Dào Líng dikenang oleh para pengikutnya sebagai pendiri dari Dào Jiào (道教) atau agama Dào (). Setelah dia meninggal dunia penerusnya adalah keturunannya, seperti tradisi yang dilestarikan oleh para kaisar Tiongkok. Sekolah atau aliran yang diwarisi dari Zhāng Dào Líng dikenal sebagai Zhèng Yī Dào (正一道), atau dikenal sebagai Jalan Persatuan Ortodoks. Aliran Ortodoks ini mengacu pada Jalan Lima Takar Beras (五斗米道, Wǔ Dǒu Mǐ Dào) atau Jalan Guru Surgawi. Pada puncaknya, gerakan ini membentuk negara teokratis di lembah Hànzhōng (汉中), sebelah utara Sìchuān (四川). Pada tahun 215 M., negara tersebut diintegrasikan oleh Cáo Cāo (曹操), salah satu tokoh terkemuka dari Zaman "Tiga Kerajaan", ke dalam apa yang kemudian menjadi Kerajaan Wèi (), dan sejak itu pengikut-pengikut Guru Surgawi tersebar ke seluruh Daratan Tiongkok.

 

Zhèng Yī Dào percaya bahwa ( atau) atau "energi kehidupan" meliputi segala sesuatu, dan untuk mencapai keabadian keseimbangan yang benar harus ada di dalam tubuh manusia. Memiliki kuantitas yang buruk di dalam tubuh, akan mengakibatkan penyakit, dan akhirnya kematian. Meditasi dapat digunakan untuk mengembalikan ke tubuh, tetapi seks harus dihindari, karena dapat mengakibatkan hilangnya . Setelah Zhāng Dào Líng wafat pada 156 M., puteranya Zhāng Héng (張衡, meninggal tahun 179 M.) dinobatkan sebagai penerusnya, dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Zhāng Lǔ (张鲁, meninggal 215 M.). Pemimpin Sekolah Guru Surgawi yang ke-64 adalah Zhāng Yuán Xiān (張源先, 1971-2008), tetapi digugat oleh Zhang Daochen, seorang Taiwan yang mengaku juga sebagai Guru Surgawi yang ke-64. Jabatan Guru Surgawi ini sering disebut sebagai Paus Taois. Berkat adanya aliran Zhèng Yī Dào ini, ajaran Tao mulai diperkenalkan kepada kalangan rakyat biasa, dan Taoisme bangkit sebagai agama yang terorganisir pertama. Guru Surgawi adalah nenek moyang dari gerakan Taois berikutnya seperti yang akan kita lihat nanti.

 

Era Enam Dinasti (316–589) menyaksikan munculnya dua tradisi Tao baru. Yang pertama adalah Sekolah Shàng Qīng (上清), yang artinya Kemurnian Tertinggi. Gerakan Taois ini bermula dari kalangan aristokrasi Dinasti Jìn (晉) Barat. Pemimpin pertama sekolah itu adalah seorang wanita, Wèi Huá Cún (魏華存, 251-334), yang juga seorang praktisi Guru Surgawi. Menurut penulis kisah orang-orang suci, pengabdian Puan Wèi pada kultivasi Taois sangat mengesankan sejumlah dewata, sehingga dia banyak menerima wahyu dari mereka berupa 31 jilid kitab suci Taois, yang mana wahyu ini kelak akan menjadi pondasi Sekolah Taoisme Shàng Qīng. Setelah wafat, Wèi Huá Cún diangkat sebagai patriarkh pertama Sekolah Shàng Qīng. Belakangan patriarkh kesembilan, Táo Hóng Jǐng (陶弘景, 456–536), seorang pria, menyusun teori dan praktik Kanon Shàng Qīng. Dia memberikan kontribusi besar pada pengembangan sekolah yang berlangsung menjelang akhir abad ke-5. Gunung dekat Nanjing tempat Táo Hóng Jǐng mengasingkan diri, Máo Shān (茅山), saat ini tetap menjadi pusat Sekolah Shàng Qīng.

 

Ajaran Sekolah Shàng Qīng memfokuskan pada teknik meditasi visualisasi dan pernapasan, serta latihan fisik; berlawanan dengan penggunaan alkimia dan jimat yang dilakukan oleh Sekolah lainnya. Pembacaan kanon suci memainkan peran yang sama pentingnya. Latihan ini pada dasarnya bersifat individualistis, bertentangan dengan latihan kolektif di Sekolah Guru Surgawi atau Sekolah Líng Bǎo, yang akan kita bicarakan kemudian. Dewa utama Sekolah Shàng Qīng dikenal sebagai Yuánshǐ Tiānzūn, yang pertama dari Tiga Yang Suci (Sān Qīng). Lalu dikenal sejumlah besar dewata, di antaranya dewa-dewa yang dapat dimintai pertolongan, dewa-dewa yang dapat dipuja, dan dewa-dewa lain yang dapat diperintah. Seperti yang dijelaskan oleh Táo Hóng Jǐng, dewata menempati dua puluh delapan halaman dalam naskah Shàng Qīng, tetapi dewa terpenting hampir tidak disebutkan. Dalam perekrutan umat, pengikut Shàng Qīng umumnya berasal dari kelas sosial atas, selama masa pemerintahan Dinasti Táng. Shàng Qīng adalah aliran Taoisme yang dominan, dan pengaruhnya ditemukan dalam literatur pada periode zaman tersebut. Pamor Shàng Qīng mulai berkurang sejak paruh kedua zaman Dinasti Sòng. Di bawah Dinasti Yuán, gerakan ini dikenal dengan nama Máo Shān dan fokusnya berubah dari meditasi menjadi ritual dan jimat. Pada abad ke-21, Taoisme Máo Shān masih dipraktikkan, tetapi teknik dan keyakinannya saat ini berbeda dari nilai-nilai asli sekolah tersebut.

 

Aliran atau Sekolah yang lahir tidak lama setelah Shàng Qīng adalah Líng Bǎo Pài (灵宝派), juga dikenal sebagai Sekolah Permata Suci. Líng Bǎo adalah aliran agama Tao yang penting, yang muncul di Tiongkok di antara masa Dinasti Jìn dan Dinasti Liú Sòng, pada awal abad kelima Masehi. Sekolah ini berlangsung selama sekitar dua ratus tahun sampai terserap ke dalam arus Shàng Qīng dan Zhèng Yī selama masa pemerintahan Dinasti Táng. Sekolah Lingbao menerapkan sintesis ide-ide keagamaan berdasarkan teks Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme.

 

Sekolah Líng Bǎo dimulai sekitar tahun 400 M ketika kitab Lingbao diturunkan kepada Gé Cháo Fǔ (葛巢甫, hidup antara abad ke-4 hingga abad ke-5 Masehi), cucu-keponakan dari Gé Hóng. Hóng (葛洪, 283 – 343/364 M.) sendiri adalah tokoh besar di Tiongkok. Beliau adalah seorang ahli bahasa Mandarin, praktisi Tao, filsuf, dokter, politikus, dan penulis selama masa Dinasti Jìn Timur. Beliau adalah penulis Esai Karakter Mandarin, Baopuzi (抱朴子). Gé Cháo Fǔ menyebarkan kitab suci kepada dua muridnya, dan kitab suci tersebut dengan cepat mendapatkan popularitas yang luar biasa.

 

Seperti disebutkan di atas, Sekolah Líng Bǎo men-sintesa-kan ide-ide keagamaan berdasarkan naskah-naskah Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme. Sekolah Líng Bǎo meminjam banyak konsep dari Buddhisme, termasuk konsep reinkarnasi, dan juga beberapa elemen kosmologis. Meskipun reinkarnasi adalah konsep penting di Sekolah Líng Bǎo, kepercayaan Taois sebelumnya untuk mencapai keabadian tetap ada. Dewa-dewa yang dipuja dalam aliran Líng Bǎo ini mirip dengan Shàng Qīng dan Guru Surgawi, dengan salah satu dewa terpentingnya adalah bentuk dewa Lǎo Zǐ. Dewa-dewa lain juga ada, beberapa di antaranya bertugas mempersiapkan roh untuk reinkarnasi. Ritual Líng Bǎo awalnya bersifat individual, namun kemudian mengalami transformasi yang lebih menekankan pada ritus-kolektif. Kitab suci terpenting di Sekolah Líng Bǎo dikenal sebagai Lima Jimat atau Wǔ Fú Jīng (五符經), yang disusun oleh Gé Cháo Fǔ berdasarkan karya alkimia Gé Hóng sebelumnya.

 

Abad ke-5 di Tiongkok juga dikenal sebagai periode yang membesarkan Taoisme, yang akan memberikan landasan bagi pengembangannya lebih lanjut. Tersebutlah Lù Xiū Jìng (陸修靜, 406–477), dikenal dengan nama kesopanan Yuán Dé (元德) dan nama anumerta Jiǎn Jì (簡寂). Lù adalah seorang penyusun dan ritualis Tao yang hidup di bawah Dinasti Liú Sòng. Lù sendiri memiliki keyakinan terhadap Konfusianisme, namun demikian, dia memilih mempelajari Taoisme. Lù begitu habis-habisan mengabdi pada keyakinannya sampai-sampai dia meninggalkan keluarganya. Selama tahun-tahun ziarahnya ke berbagai gunung tempat berdiamnya para tokoh Taoisme yang terkenal, Lù berkesempatan mengumpulkan kitab suci dari berbagai aliran.

 

Karya Lù yang paling penting adalah edisi naskah-naskah Líng Bǎo dan kompilasi Kanon Tao komprehensif yang pertama. Struktur kanon itu disebut  Katalog Kitab Suci Tiga Goa atau disingkat Tiga Goa, yang nama aslinya adalah 三洞经书目录 (Sāndòng Jīngshū Mùlù), yang meniru Tripiṭaka atau Tiga Keranjang Buddhisme. Tiga Goa berisi total 1.318 teks, jimat, dan resep obat. Sebanyak 138 di antaranya diwariskan Lu dari istana kekaisaran. Tiga Goa ini kelak akan disempurnakan menjadi Dào Zàng (道藏) pada masa pemerintahan Dinasti Táng. Livia Kohn dalam bukunya Daoism Handbook (2000), menyebutkan bahwa "para tokoh Taois mengintegrasikan aspek kosmologi Buddhis, pandangan dunia, kitab suci, dan praktik, serta menciptakan banyak koleksi naskah-naskah Tao baru yang meniru sutra-sutra Buddhis. Lù juga menata ulang aktivitas ritual tradisi Tao saat itu, menetapkan serangkaian liturgi baru, yang mana pembaharuannya akan mempengaruhi praktik Tao hingga hari ini. Periode ini juga menyaksikan perkembangan doktrin Tiga Yang Suci, yang menggabungkan dewa-dewa tinggi dari berbagai tradisi Tao menjadi satu trinitas bersama, yang tetap dianut hingga saat ini. Selama abad keenam, penganut Taoisme berusaha menyatukan berbagai tradisi hingga menjadi satu Taoisme Terpadu, yang dapat bersaing dengan Buddhisme dan Konfusianisme.

 

Taoisme Terpadu yang baru, sekarang dengan identitas Tao yang bersatu, memperoleh status resmi di Tiongkok pada masa pemerintahan Dinasti Táng, yakni dinamakan Agama Tao atau 道教 (Dào Jiào). Masa keemasan Taoisme juga diraih pada zaman Dinasti Táng, yang dipimpin oleh Patriarkh Sekolah Permata Suci, yang menjadi agama yang dominan di Tiongkok. Bukan itu saja, para kaisar menjadi patron pelindung Agama Tao. Mereka mengundang para rohaniwan ke istana untuk melakukan ritual dan meningkatkan prestise penguasa. Pada masa pemerintahan Kaisar Tài Zōng (太宗, 598-649) di abad ke-7, dibangun "Kuil Lima Naga", yakni kuil pertama yang dibangun di Pegunungan Wǔdāng Shān (武当山). Wǔdāng Shān belakangan akan menjadi pusat utama Taoisme dan rumah bagi seni bela diri Wǔdāng Quán (武當拳). Penerus Kaisar Tài Zōng, yakni Kaisar Gāo Zōng (高宗, 628-683) bahkan menetapkan agar Dào Dé Jīng karya Lǎo Zǐ, dan bukan karya-karya klasik yang dikumpulkan oleh Kǒng Zǐ, yang dijadikan subyek pelajaran dalam ujian kekaisaran bagi para calon pejabat. Kaisar Xuán Zōng (玄宗,685-732) juga seorang Taois yang setia banyak menulis berbagai karya Taois, dan menurut Livia Kohn, "sering bertemu dengan guru senior, spesialis ritual, penyair Tao, dan patriark resmi, seperti Sima Chengzhen."

 

Demikian pula beberapa abad kemudian, para kaisar Dinasti Sòng (960–1279), terutama Kaisar Huī Zōng (徽宗, 1082-1135), aktif dalam mempromosikan Taoisme, mengumpulkan naskah-naskah Tao, dan menerbitkan edisi terbaru Dào Zàng. Zaman Sòng menyaksikan kitab suci baru dan gerakan baru para ritualis dan ritus Tao. Ritus yang paling populer adalah Ritus Guntur atau Léi Fǎ (雷法) yang mampu membangkitkan Departemen Guntur-Surgawi. Ini adalah suatu jenis praktik ritual baru (sering kali disebut Buddho-Daois), sebagian besar bersifat pengusir iblis untuk mendapatkan perlindungan, yang pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam tradisi Taois klasik. Praktisi Ritus Guntur adalah anggota ortodoksi Taois yang sudah mapan, yang disebut sebagai ahli ritual atau Fǎ S(法師). Pengetahuan Esoterik Buddha pada Dinasti Sòng tersebar luas sehingga tidak hanya menyebar dari "istana ke negara", tetapi bahkan kembali ke istana lagi. Ritus Guntur diajarkan oleh Sekolah Hati Surgawi atau Tiānxīn Pài (天心派).

 

Pada abad ke-12, Sekolah Quán Zhēn (全真) atau Kesempurnaan Lengkap didirikan di Tiongkok Utara pada tahun 1170 di bawah Dinasti Jīn (1115–1234), oleh filsuf dan sastrawan Wáng Chóng Yáng (王重阳 ,1113–1170). Quán Zhēn bersaing dengan tradisi agama Tao sebelumnya yang menyembah "hantu dan dewa". Quán Zhēn memfokuskan diri pada transformasi batin, pengalaman mistik, monastisisme, dan asketisme. Quán Zhēn berkembang pada abad ke-13 dan ke-14 dan pada masa Dinasti Yuán. Aliran Quán Zhēn bersifat sinkretis, menggabungkan unsur-unsur Buddhisme dan Konfusianisme dengan tradisi Tao. Menurut Wáng, "tiga ajaran" – yakni Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme "jika diselidiki, terbukti hanya merupakan satu aliran". Quán Zhēn kelak menjadi sekolah Tao terbesar dan terpenting di Tiongkok ketika Guru Qiū C Jī (丘处机) bertemu dengan Genghis Khan yang akhirnya menjadikannya pemimpin semua agama Tiongkok, serta membebaskan lembaga Quán Zhēn dari kewajiban pembayaran pajak.

 

Sekolah Quán Zhēn memfokuskan spesialisasi pada proses "alkimia di dalam tubuh" atau Nèidān Shù (內丹), sering diterjemahkan sebagai Nèidān atau "alkimia internal". Lawannya adalah Wàidān (外丹) atau "alkimia eksternal", yang bereksperimen dengan konsumsi tumbuh-tumbuhan, mineral, dan lain-lain. Tradisi Wàidān sebagian besar telah digantikan oleh Nèidān, karena Wàidān terkadang merupakan aktivitas yang berbahaya dan mematikan. Quán Zhēn berfokus pada pengembangan internal seseorang yang konsisten dengan hasrat Tao, yang meresap untuk mencapai Wú Wèi (無爲). Seperti kebanyakan pengikut Tao, rohaniwan Quán Zhēn sangat memperhatikan umur panjang dan keabadian melalui penerapan alkimia internal, menyelaraskan diri dengan Tao, mempelajari Lima Elemen, dan gagasan tentang keseimbangan yang konsisten dengan teori Yīn dan Yáng.

 

Di bawah Dinasti Míng (1368–1644), aspek ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme Tiongkok secara sadar disintesis dalam aliran Neo-Konfusianisme, yang akhirnya menjadi ortodoksi Kekaisaran untuk tujuan birokrasi negara. Pada masa ini bangkit Sekolah Jìng Míng Dào (淨明道) atau diterjemahkan sebagai Iluminasi Murni menjadi kian populer, yang menggabungkan Taoisme dengan ajaran Buddha dan Konfusianisme, serta berfokus pada "kemurnian, kejelasan, kesetiaan, dan kesalehan berbakti". Sekolah Jìng Míng mencemooh praktik alkimia internal dan eksternal, puasa-Taois atau Bìgǔ (辟谷), dan latihan pernapasan. Sebaliknya, sekolah tersebut berfokus pada pengembangan mental untuk mengembalikan kemurnian dan kejernihan pikiran asli (yang dapat dikaburkan oleh keinginan dan emosi). Penekanan mereka pada etika praktis dan pengembangan diri dalam kehidupan sehari-hari (bukan ritual atau monastisisme), menjadikan ajaran ini sangat populer di kalangan sastrawan.

 

Demikianlah para pembaca, perkembangan Taoisme yang bermula dari ajaran Lǎo Zǐ, hingga menjadi Agama Tao atau Dào Jiào. Penulis hanya memaparkan Sekolah-sekolah Tao yang penting, yang pernah berkembang dalam masa-masa Dinasti Kekaisaran di Tiongkok. Jika dirinci secara keseluruhan ada puluhan Sekolah Tao yang pernah lahir, dan untuk mempelajarinya dibutuhkan ketekunan meneliti ajaran sekolah-sekolah itu satu per satu. Kesulitan yang sama pernah penulis alami sewaktu mempelajari Buddhisme Mahāyāna dan Tantrayāna, yang juga merupakan himpunan banyak sekolah, yang pernah berkembang di Asia Timur, Tibet, dan India. Anda yang berminat mendalaminya tentu bisa mempelajarinya lebih lanjut. Fokus artikel kami selanjutnya perihal Taoisme, akan mencoba mengupasnya dari ajaran-ajaran utamanya, yang membedakannya dari Buddhisme dan Konfusianisme.

 

Seperti yang pernah penulis paparkan pada artikel yang lalu, Agama Tao di Indonesia dianut oleh umat Tridharma, dan ajaran Taoisme bercampur dengan Buddhisme-Mahāyāna dan Konfusianisme. Salah satu Sekolah Tao yang memiliki banyak penganutnya di Indonesia berasal dari Sekolah Tài Shàng Mén (太上门), sedangkan nama perguruannya adalah Xiāo Yáo Pài (逍遥派). Xiāo Yáo Pài bermakna "alamiah, riang, tanpa-beban". Dewa utama yang dipuja adalah Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君). Pendiri perguruan ini adalah Lǐ Shàng Hú Shīfu (李尚湖师父, 1930 - 13-Feb-2019). Salah satu praktik yang diajarkan adalah Dǎo Yǐn Shù (导引术), yakni ilmu pemandu yang pada zaman dahulu hanya dipelajari oleh para petapa Taois dan orang-orang dalam lingkungan kerajaan, serta jarang tersebar di kalangan masyarakat umum.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230823

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar