Pada
episode yang lalu, dikisahkan Siddhārtha,
sang pangeran Shakya,
melihat "tiga penampakan", tanpa bisa dicegah oleh siapa pun.
Setelah kejadian itu ayahnya, Śuddhodana,
memperkuat penjagaan di istana agar penyusup tidak dapat menerobos masuk dan
sang putera mahkota tidak bisa ke luar begitu saja. Sekarang sang pangeran
telah mengetahui sisi gelap kehidupan; bahwa tidak ada satu pun makhluk yang
bisa menghindari usia tua, sakit, dan mati.
Siddhārtha yang dulu lain
dengan Siddhārtha yang sekarang, jika
kita boleh membandingkannya. Dulu, sang pangeran begitu dekat dan akrab dengan
para pembantu wanitanya, yakni para
abdi istana, mereka yang
melayani dan menghibur dirinya. Demikianlah hari itu sang pangeran
hendak pulang dan sudah berada di dekat istananya. Seorang gadis muda mendekat
dan memberikannya salam dengan merangkulkan kedua lengannya. Gadis muda lainnya
mencoba menghentikannya dan menawarinya sekuntum bunga teratai. Yang lain,
seorang penyanyi bersuara merdu melantunkan lagu: "Lihatlah, sayangku. Pohon ini ditutupi dengan bunga, yang
kuntum-kuntum harumnya menutupi seluruh dahannya. Sang burung langka melantunkan dendang bahagia, walaupun dia berada di dalam sangkar emas.
Dengarkanlah kawanan lebah, melayang di atas
bunga-bunga; mereka bekerja keras mencari nektar, digerakkan oleh semangat yang membara. Lihatlah tanaman merambat
itu, yang dengan hangat memeluk sang pohon; dan angin
sepoi-sepoi menggoyang-goyangnya dengan tangannya yang cemburu. Di sana, di rawa yang permai itu, apakah dikau melihat
sebuah kolam perak yang
sedang tidur? Lihatlah wajah elokku, yang sedang tersenyum; laksana gadis yang dibelai oleh sinar rembulan."
Tapi sang pangeran tidak tersenyum, dia
berjalan terus dan bersikap acuh tak acuh. Udayin,
seorang sahabat karib Siddhārtha,
menegurnya, "Mengapa kamu begitu
tidak sopan terhadap gadis-gadis itu? Apakah mereka
tidak menarik lagi bagimu?
Tunjukkanlah sikap ramah tamah dan sopan santunmu kepada mereka." - "Jangan coba-coba
menggodaku, Udayin. Jangan ajak aku mengikuti hiburan yang rendah. Usia tua dan kematian sedang menantiku." Pangeran pun kembali ke istana. Raja Śuddhodana mendengar dari Udayin, bahwa puteranya menghindari semua
kesenangan, dan malam itu dia tidak bisa tidur.
Yaśodharā sedang menunggu suaminya. Namun begitu tiba di istana, Siddhārtha langsung menghindar. Perilakunya yang ganjil membuat dirinya cemas, dan karena
merasa tubuhnya letih, dia akhirnya tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Tampak seluruh bumi berguncang; gunung tertinggi pun goyah; angin ribut bertiup, menghancurkan dan menumbangkan pepohonan. Matahari, bulan, dan bintang tak kuasa bertahan di singgasananya; dan semuanya
berguguran dari langit ke bumi. Dia sendiri, Yaśodharā, dilucuti pakaian dan perhiasannya; mahkota
indah yang biasa dikenakannya turut lenyap; dia pun telanjang. Rambut indahnya terpotong; peraduan
sang raja-muda dan permaisuri ikut berantakan; jubah elok
pangeran beserta batu mulia yang disulam di
permukaannya pun berserakan. Tampak meteor-meteor melesat
melintasi langit di atas kota yang gelap; dan Meru, sang raja pegunungan, tampak gemetar ketakutan.
Dalam
terjangan teror yang tidak berkesudahan, Yaśodharā terbangun. Dia berlari ke dalam pelukan suaminya. "Tuanku, tuanku,"
serunya, "apa yang akan terjadi? Daku baru saja mengalami mimpi buruk!" - "Ceritakanlah mimpimu," jawab sang
pangeran yang masih terjaga di kamarnya. Yaśodharā menceritakan semua yang dialami dalam mimpinya. Pangeran, sang
suami tercinta, hanya tersenyum. - "Bersukacitalah,
Gopā," katanya. Pangeran memanggilnya dengan
nama kecil isterinya. "Bersukacitalah. Engkau melihat bumi berguncang? Hal
itu bermakna, suatu hari para dewa itu akan bersujud di hadapanmu. Engkau
melihat matahari, bulan, dan bintang berjatuhan dari langit? Itu artinya engkau
akan segera mengalahkan kejahatan, dan selanjutnya engkau akan menerima pujian
yang tak-terbatas. Gopā melihat
pohon-pohon tumbang? Itu penanda Gopā akan
menemukan jalan, yang menghantar ke luar dari rimba-keinginan. Rambutmu terpotong
pendek? Maknanya, engkau akan membebaskan diri dari jaring nafsu yang membelenggumu.
Jubah milikku dan perhiasanku tercerai-berai? Artinya saat itu aku sedang berada
di jalan yang menuju pada pembebasan. Meteor-meteor melaju melintasi langit di
atas kota yang gelap? Meramalkan bahwasanya aku akan membawa cahaya
kebijaksanaan, dan mereka yang memiliki keyakinan pada diriku, akan menemukan
kegembiraan dan kebahagiaan. Berbahagialah, wahai Gopā. Singkirkanlah kecemasan dan kemurunganmu. Engkau akan segera mendapatkan
kehormatan. Tidurlah, Gopā. Tidurlah,
engkau sesungguhnya baru saja mendapatkan mimpi yang indah."
Tiga
bulan waktu berlalu dan tidak ada hal yang luar biasa terjadi di kotaraja, dan
para warga di sana pun kembali tenggelam dalam rutinitas kehidupan sehari-hari.
Sampailah saatnya ketika sang pangeran berjalan-jalan menuju taman utama melalui
gerbang utara kota. Ketika Siddhārtha beserta Channa, pengiringnya yang setia, tiba di sana; sesosok dewa Tuṣita
sekonyong-konyong turun dari kahyangan, lalu menjelma menjadi seorang petapa,
yang mendatangi mereka berdua dari kejauhan. Sang pangeran tertegun menyaksikan
sosok orang yang sedang berjalan ke arah mereka:
Seorang lelaki muda dengan rambut, kumis, dan janggutnya tercukur
habis,
Mengenakan jubah safron dan tangannya membawa sebuah
mangkuk-sedekah;
Gerak-geriknya saat dia berjalan begitu anggun, dan raut wajahnya
berseri-seri,
Saat dia berjalan matanya menatap lurus ke depan sejauh enam kaki.
Saat dia merentangkan tangan dan kakinya, dia melakukannya dengan
dengan elok,
Begitu juga ketika dia sedang berjalan, membungkuk, dan merapikan
jubahnya;
Dia melakukan semuanya dengan apik dan sempurna,
Seluruh penampilannya begitu elegan saat mata memandangnya.
Penampilan lelaki asing itu memukau sang pangeran, dan dalam
keheranannya dia bertanya kepada pengiringnya: "Lelaki itu tidak seperti kebanyakan orang
di negeri ini. Siapa orang itu, wahai Channa?" - "Pangeran, dia adalah seorang petapa." - "Petapa? Apa yang engkau maksudkan
dengan seorang 'petapa'?" - "Petapa adalah orang yang memilih
untuk meninggalkan kehidupan berkeluarga. Dia mengenakan jubah safron sebagai
penanda bahwa dia telah melepaskan keduniaan. Semua yang dilakukan olehnya
hanya melakukan perbuatan baik, karena dia menyadari bahwa inilah cara hidup
yang terpuji." Siddhārtha
tidak puas dengan jawaban Channa. Dia pun menghampiri orang asing yang sedang
mendekati mereka berdua.
Siddhārtha menghampiri
lelaki itu dan menyapanya, "Namaste,
paman. Penampilanmu tidak seperti orang kebanyakan. Kepalamu pun bersih, tanpa
ada rambut, kumis, dan janggut yang tersisa. Pakaianmu pun tidak seperti yang
dikenakan orang-orang di sini. Siapakah engkau sebenarnya, paman?" - "Pangeran, saya ini seorang petapa," jawab lelaki asing itu. Sang
pangeran terkejut, karena orang itu mengetahui siapa dirinya, padahal dia dan
pengawalnya ketika itu sedang menyamar. "Mohon paman ceritakan lebih banyak lagi, apa yang dimaksud
dengan seorang 'petapa'?" Sang petapa menjawab:
"Karena takut akan
kelahiran dan kematian, aku menjadi rahib pengembara,
Dunia ini takluk di bawah kekuasaan Sang Penghancur, dan aku
mencari jalan pembebasan;
Aku tidak seperti orang kebanyakan, aku menghindari hasrat dan
kesenangan,
Dalam
kesendirian dan keheningan, aku berupaya menggapai kebahagiaan sejati."
Dengan
diliputi oleh rasa ingin tahu, sang pangeran bertanya lebih lanjut, "lalu dimana paman tinggal? Dan bagaimana
paman menjalani kehidupan ini?"
- "Terkadang aku
tinggal di bawah pohon; sesekali aku tinggal di pegunungan yang sepi atau kadang-kadang
di hutan. Aku makan dari pemberian para perumah tangga yang murah hati. Aku
selalu puas dengan kepemilikan dan kebutuhan yang sedikit. Aku bahagia dan
tidak mencemaskan kehidupan ini, karena telah mengetahui jalan kebahagiaan. Aku
mengabdikan hidupku untuk berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, serta
mengajarkan orang-orang cara hidup yang benar."
Siddhārtha
senang sekali mendengar penjelasan petapa itu. Dia melihat sinar terang; dia
telah mendapatkan jalan-keluarnya, atas kegelisahan dan kerisauan yang selama
ini mengguncang batinnya. Dia bertekad untuk meninggalkan istananya dan menjadi
seorang rahib. Beberapa hari berlalu dan sepanjang waktu, pikiran sang pangeran
hanya berkutat tentang bagaimana dia bisa pergi dari istananya. Namun dia
berpikir bahwa tidaklah pantas dia minggat begitu saja, tanpa mendapat restu
dari orang-orang yang mengasihinya. Dia akan bicara baik-baik dengan ayahnya
dan meminta perkenannya.
Dan
esok harinya dengan ketetapan hati yang teguh, pangeran kita menghadap ayah
sekaligus sang penguasa tertinggi. Sambil bersimpuh di hadapan Śuddhodana, Siddhārtha muda memohon
kepada ayahandanya, agar diizinkan pergi dari istana dan meninggalkan apa pun
yang telah diterima dan dimilikinya selama ini, untuk kemudian menjadi seorang
petapa. Śuddhodana
hancur hatinya dan seluruh jiwa dan raganya seakan terbang
menuju kehampaan. Benar sungguh peneropongan para cerdik pandai yang dulu
meramalkan, bahwa putera kesayangannya akan meninggalkan kehidupan berumah
tangga untuk mencapai keBuddhaan.
Śuddhodana
menjawab: "Nak, hentikan dan
hapuskan ide gila ini dari benakmu. Engkau masih
terlalu muda untuk menentukan pilihan hidupmu. Seperti yang dikatakan para leluhur ksatria kita: 'orang muda itu kurang wawasan dan pengalamannya.' Awal
kehidupanmu dimulai dari istana ini, dan atas restu para dewata engkau juga
harus mengikuti garis kehidupanmu di lingkungan istana ini. Selain itu, adalah kesalahan besar untuk melakukan praktik pertapaan-keras
pada masa muda kita. Kelima indera kita masih
bersemangat untuk mendapatkan kesenangan yang baru; nikmatilah selama kita masih bisa. Engkau bisa
menjalani hidup kepetapaan kelak, sewaktu umurmu telah lanjut." Śuddhodana melanjutkan: "Waktuku untuk memerintah hampir usai, dan aku akan segera turun tahta.
Engkaulah satu-satunya yang paling pantas menggantikanku, dan segera
memerintahlah. Semua rakyat kita telah menunggu momen yang penting itu."
Sang
pangeran menjawab: "Baiklah, ayahanda. Aku urungkan niatku ini,
asalkan paduka bisa memenuhi keinginanku." - "Katakanlah, apa permintaanmu itu?" - "Berjanjilah
padaku bahwa hidupku tidak akan berakhir dengan kematian, usia tidak akan
membinasakan masa mudaku, penyakit tidak akan mengganggu kebugaranku, dan
kemalangan tidak akan menghancurkan kesejahteraanku." - Śuddhodana
terkejut, lalu berseru: "Engkau
meminta terlalu banyak, dan semuanya mustahil untuk dipenuhi. Bahkan dewa yang
paling berkuasa sekali pun, tidak akan sanggup
memenuhi salah satu dari permintaanmu. Sekali lagi aku minta, hentikan dan
hapuskan segala gagasan bodohmu itu."
Siddhārtha
pun mendekat dan membungkuk, serta dengan keteguhan hati laksana gunung Meru dia berkata: "Jika
paduka tidak bisa memenuhi empat permintaan ini, mohon janganlah menahanku.
Jika seandainya rumah yang kita diami sedang terbakar, apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu aku akan ke luar dulu, melakukan segala daya
upaya; lalu kembali lagi untuk
memadamkan kebakaran itu, guna menyelamatkan semua penghuninya."
Hening
sejenak, dan dua orang itu, bapak dan anak pun berdiam diri. Siddhārtha sadar, keduanya
bersikukuh pada pendiriannya masing-masing. Dia pun berlutut tiga kali, lalu
berjalan memutar tiga kali ke kanan mengelilingi singgasana ayahnya, kemudian
beranjak pergi dari sana. Śuddhodana
segera mengumpulkan para menterinya dan mereka pun membahas permintaan
pangeran. Akhirnya raja memutuskan untuk memperkuat penjagaan di sekeliling
istananya dan menambah pasukan keamanan.
Kita tinggalkan dulu Siddhārtha dan
Śuddhodana, dan kita menuju Tuṣita, satu istana kahyangan yang dikenal sebagai
"Surga Kesukacitaan". Di sana para kerabat Siddhārtha dalam kehidupan
sebelumnya sedang berbincang-bincang. Mari kita menguping pembicaraan mereka.
"Saudara-saudaraku, hingga kini, atas bantuan kita, Svetaketu telah
melihat empat penampakan. Namun untuk melakukan melakukan pelepasan-agung, dia
baru saja mendapatkan rintangan.
Sesosok dewa lainnya berkomentar, "bagaimana mungkin Svetaketu bisa
meninggalkan istananya, jika tempat itu dijaga sedemikian ketatnya?" Dewa
yang lain menanggapi, "oleh karena itu kita harus campur tangan agar
Bodhisattva dapat segera melanjutkan misinya ke tahap selanjutnya."
Demikianlah waktu berlari dengan cepatnya, dan hari itu orang sedang
bersiap-siap melangsungkan persembahan
kepada para dewata. Cuaca hari itu cerah dan bertepatan dengan purnama-siddhi di bulan Āsāḷha. Dalam
perjalan pulang Siddhārtha
melewati sebuah wisma yang dimiliki oleh seorang wanita Shakya yang bernama Kisā
Gotamī, yang memikat dan cantik parasnya. Tertegun sewaktu dia menatap sang
pangeran yang masih muda, tampan, dan begitu tenang pembawaannya, wanita muda
itu pun melantunkan sebuah pujian: "Sungguh damai dan bahagia pikiran seorang wanita yang mujur;
yang menjadi isteri dari seorang suami seperti dia." Pangeran mendadak mendapat
inspirasi dari ucapannya, bahwa dalam kalimat 'damai' itu sesungguhnya tersirat ungkapan 'pemadaman”, yang mengarah pada 'pembebasan'. Merasa cita-citanya menjadi petapa
disokong oleh orang biasa, pangeran pun melepaskan seuntai kalung mutiara yang
indah yang sedang dikenakannya, lalu selanjutnya dia menghadiahkan perhiasan
itu kepada Kisā Gotamī.
Alih-alih menemui keluarganya, pangeran kita memilih beristirahat
di taman istananya yang permai. Pikirannya dipenuhi dengan gagasan tentang
bagaimana menjalani hidup bersih dan suci sebagai seorang petapa. Selagi
berteduh di bawah sebatang pohon, seorang kurir yang diutus oleh Raja Śuddhodana mendatanginya,
dan dia menyampaikan pesan: "Wahai,
pangeran. Hamba membawa kabar gembira. Ketahuilah bahwa permaisuri muda baru
saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan." Alih-alih
bergirang hati mendengar kabar baik itu, sang pangeran malahan berduka dan dia
pun menggumam, "sebuah
'belenggu', sebuah 'Rāhula', telah lahir.
Ikatan-besar telah muncul bagiku. Siddhārtha
pun bergegas menemui keluarganya, dengan tetap mengumandangkan perkataan itu
berulang-ulang: "Rāhula,
Rāhula, … Rāhula." Śuddhodana
adalah orang yang paling berbahagia mendapatkan keturunan langsung dari sang
putera mahkota. Terbersit dalam pikirannya, bayi laki-laki inilah yang akan
menjadi pewaris kerajaan berikutnya. Dia pun mendengar puteranya
menyebut-nyebut cucunya yang baru lahir, maka dia pun bersabda: "Sesuai dengan permintaan ayahnya,
maka nanti pada saat upacara pemberian nama, aku tetapkan bayi kecil ini
bernama Rāhula."
Hari
itu menjadi waktu yang menggirangkan bagi semua penghuni istana. Para abdi
istana mempersiapkan pesta menyambut kedatangan sang bayi. Memasuki senja dan
hari beranjak gelap, di bawah naungan beranda istana yang megah, makanan dan
minuman yang lezat disajikan untuk para anggota kerajaan. Angin semilir yang bertiup dari pekarangan istana, menghembuskan
aroma lembut bunga yasmin dan kamboja. Setelah menikmati berbagai hidangan, Siddhārtha pun beristirahat
di atas sofa mewah, sambil tubuhnya disejukkan oleh kipas-kipas berbulu burung
merak, yang mengangguk-angguk menyalurkan angin semilir. Sekarang para penyanyi
dan penari dengan bantuan iringan alat musik, mementaskan tari-tarian yang
indah dan nyanyian-nyanyian yang merdu. Sang pangeran pun menonton gadis-gadis
penari memperagakan gerak tubuh gemulai di dalam keremangan pelita-minyak
beraroma wangi. Dengan tubuh penat setelah seharian mengikuti acara kerajaan,
perut yang telah terisi-penuh, dan dibuai oleh alunan musik yang menerbitkan
kantuk, dia pun segera terlelap dalam peraduan yang penuh kedamaian. Para
penari dan penyanyi satu per satu – setelah menyadari tuan mereka telah
terlelap – akan merebahkan diri mereka di atas lantai berpermadani empuk. Mereka
segera merentangkan kaki dan tangan mereka yang letih. Jari-jemari si pemain
sitar akan menjauh dari dawai piranti mereka, rebana yang ditabuh oleh pemusik
pun diletakkan di atas lantai. Dan segera setelah itu hanya kesenyapan yang
akan berkuasa, seperti layaknya cahaya lampu minyak yang akan meredup dan
akhirnya padam.
Malam itu tidur sang pangeran tidaklah nyenyak. Mendusin di
tengah malam sekaligus membebaskan dirinya dari mimpi menakutkan tentang
kematian. Siddhārtha melihat ke sekelilingnya. Para penari dan
penyanyi terbaring lelap, centang-perentang di tempat mereka jatuh kelelahan.
Tungkai dan lengan mereka tergeletak diantara untaian-bunga yang telah layu, yang tadinya dikalungkan di depan dada mereka. Busana mereka
yang tadinya rapi dan wangi sekarang tidak keruan lagi, membuat
bagian tubuh mereka tersingkap telanjang, serta rambut mereka yang basah
melekat di pipi dan lehernya. Beberapa di antara mereka tersentak sesekali
dalam tidurnya, seperti sedang disengat lebah. Yang lain mendengkur keras,
dengan mulut terbuka lebar, disertai air liur mengalir dari bibir mereka yang semula
merah merona. Agaknya inilah kesempatan pertama sang pangeran melihat mereka
semua apa adanya, serta ia merasa dirinya sedang dikelilingi oleh mayat-mayat
yang bergelimpangan. Sang pangeran menggumam, "sungguh mengerikan dan menakutkan
tempat ini."
Siddhārtha
bangkit dari sofa empuknya dan dengan berjingkat-jingkat berusaha menghindari
kakinya terantuk, dari perempuan-perempuan penghibur yang sedang tidur
bergelimpangan dengan nyenyaknya. Pelita minyak telah lama padam dan hanya
sinar rembulan yang menerobos melalui jendela bangunan megah itu. Dia pun
membisikkan kata-kata ini:
"Walaupun daku menjalani kehidupanku di istana ini bak
sesosok dewa,
Namun
tetap saja tempat ini gelap-kelabu; jadi karena itu, selamat tinggal kawan-kawan!
Sementara hidup itu anugerah, layaklah aku terima, dan sekarang
aku pergi,
Demi mencari pembebasan dan mendapatkan Cahaya nan tak
dikenal itu."
Sang
pangeran ke luar dari ruangan itu dan berjalan menuju depot berjaganya para
pengawal pribadi. Dilihatnya Channa sedang mendengkur di dipannya. Pangeran
segera membangunkannya, "Channa, bangunlah. Bawalah kemari Kanthaka dan
siapkan kereta-kecil yang akan membawaku pergi malam ini." Setelah itu
pangeran merasa perlu untuk menengok anak dan isterinya. Dengan mengendap-endap
dia membuka pintu kamar pelan-pelan dan mendapati dalam temaram cahaya pelita,
isteri dan anaknya sedang tertidur pulas. Selama beberapa saat dipandangi sang buah
hati dan belahan jiwanya, dan muncul keinginan untuk berpamitan dengan
keduanya. Dia termenung sejenak, "Jika tubuhnya ku sentuh, dia akan
terjaga. Dan jika dia terjaga, maka pelepasan agungku pun akan buyar. Jadi
setelah aku mendapatkan pencerahan, kelak aku akan menemui mereka berdua."
Tidak
berapa lama Channa telah menyiapkan Kanthaka, sang kuda putih kesayangan
pangeran yang luar biasa, dan kereta-kuda kecil yang hanya bisa memuat kusir
dan seorang penumpangnya. Kanthaka amatlah girang dan dengan nalurinya yang
kuat, dia tahu tuan yang disayanginya sedang membutuhkan pertolongannya. Kuda
itu pun melengking dengan kuatnya. Pangeran menghardik, "tidak usah
meringkik sekeras itu, wahai Kanthaka. Engkau bisa membangunkan seisi kota."
Rencana kepergian sang pangeran yang akan segera meninggalkan istananya,
membuat Channa merasa amat sedih. "Yang Mulia, mohon maaf sebelumnya.
Apakah paduka telah memikirkan kepergian ini baik-baik? Bagaimana akan sedih
dan merananya sri baginda nanti, juga permaisuri-muda, dan kerabat Tuanku
semua!" - "Dengar, Channa. Semuanya ini ku lakukan demi rasa sayang
dan cintaku kepada mereka semua. Setelah aku berhasil mencapai cita-citaku, aku
pasti akan menolong mereka semua dari jerat palsu kehidupan. Ayo kita
berangkat!"
Keduanya
menaiki kereta mungil itu dan Kanthaka dengan bersemangat menariknya ke luar
kompleks istana. Mendekati pintu utama benteng kota, lima puluh penjaga
bersenjata lengkap nampak berjaga di gerbang utama kotaraja, dan mereka
berpatroli hilir mudik di sisi dalam dan luar tembok yang kokoh itu. Para dewa Tuṣita sudah menunggu di sana. Dengan
kekuatan sihir, mereka mendatangkan angin semilir ke arah para penjaga. Sontak
semua yang bertugas di sana merasa mengantuk, lalu satu per satu melepaskan
senjatanya, dan mereka segera merebahkan diri mereka ke tanah, tidur pulas. Lihatlah!
Pintu benteng terbuat dari pelat-kuningan berlapis tiga. Paling tidak
dibutuhkan dua puluh lelaki berotot kuat, untuk menarik ke kedua sisi pintu itu
ke samping. Namun itu tidak masalah bagi para dewa. Dengan mengucapkan sebait
mantram, pintu geser itu bergerak sendiri ke samping, menyediakan celah lebar
untuk dilewati kereta pangeran Siddhārtha.
Angin semilir kembali bertiup, dan kali ini mampu membuat seluruh penghuni
kerajaan Shakya yang masih
terjaga untuk segera pergi ke peraduan. Dan dengan diterangi cahaya bulan,
kereta yang ditarik oleh Kanthaka berlari melaju dengan kencang, hingga
melewati tapal batas kerajaan.
Dari Himalaya lalu merambat menuju ke Samudera Hindia,
Gempa halus bergetar menyebar, dan sang jiwa bumi pun
terjaga dari tapa-bratanya.
Diarahkan oleh harapan yang misterius, dan disebutkan dalam kitab-kitab suci kuno,
Itulah kisah Sang Guru Junjungan kita.
Musik
surgawi melantunkan irama gaib, yang menggetarkan angkasa nan jernih,
Dihiasi
lampu minyak hingga pelita, yang menyala dari rumah ke rumah;
Ke
timur dan ke barat, menerangi sang dewi malam,
Ke
utara dan ke selatan, yang membuat tanah pertiwi bersenang hati.
sdjn/dharmaprimapustaka/230531
Tidak ada komentar:
Posting Komentar