Kamis, 01 Juni 2023

PELEPASAN AGUNG


 


Pada episode yang lalu, dikisahkan Siddhārtha, sang pangeran Shakya, melihat "tiga penampakan", tanpa bisa dicegah oleh siapa pun. Setelah kejadian itu ayahnya, Śuddhodana, memperkuat penjagaan di istana agar penyusup tidak dapat menerobos masuk dan sang putera mahkota tidak bisa ke luar begitu saja. Sekarang sang pangeran telah mengetahui sisi gelap kehidupan; bahwa tidak ada satu pun makhluk yang bisa menghindari usia tua, sakit, dan mati.

 

Siddhārtha yang dulu lain dengan Siddhārtha yang sekarang, jika kita boleh membandingkannya. Dulu, sang pangeran begitu dekat dan akrab dengan para pembantu wanitanya, yakni para abdi istana, mereka yang melayani dan menghibur dirinya. Demikianlah hari itu sang pangeran hendak pulang dan sudah berada di dekat istananya. Seorang gadis muda mendekat dan memberikannya salam dengan merangkulkan kedua lengannya. Gadis muda lainnya mencoba menghentikannya dan menawarinya sekuntum bunga teratai. Yang lain, seorang penyanyi bersuara merdu melantunkan lagu: "Lihatlah, sayangku. Pohon ini ditutupi dengan bunga, yang kuntum-kuntum harumnya menutupi seluruh dahannya. Sang burung langka melantunkan dendang bahagia, walaupun dia berada di dalam sangkar emas. Dengarkanlah kawanan lebah, melayang di atas bunga-bunga; mereka bekerja keras mencari nektar, digerakkan oleh semangat yang membara. Lihatlah tanaman merambat itu, yang dengan hangat memeluk sang pohon; dan angin sepoi-sepoi menggoyang-goyangnya dengan tangannya yang cemburu. Di sana, di rawa yang permai itu, apakah dikau melihat sebuah kolam perak yang sedang tidur? Lihatlah wajah elokku, yang sedang tersenyum; laksana gadis yang dibelai oleh sinar rembulan."

 

Tapi sang pangeran tidak tersenyum, dia berjalan terus dan bersikap acuh tak acuh. Udayin, seorang sahabat karib Siddhārtha, menegurnya, "Mengapa kamu begitu tidak sopan terhadap gadis-gadis itu? Apakah mereka tidak menarik lagi bagimu? Tunjukkanlah sikap ramah tamah dan sopan santunmu kepada mereka." - "Jangan coba-coba menggodaku, Udayin. Jangan ajak aku mengikuti hiburan yang rendah. Usia tua dan kematian sedang menantiku." Pangeran pun kembali ke istana. Raja Śuddhodana mendengar dari Udayin, bahwa puteranya menghindari semua kesenangan, dan malam itu dia tidak bisa tidur.

 

Yaśodharā sedang menunggu suaminya. Namun begitu tiba di istana, Siddhārtha langsung menghindar. Perilakunya yang ganjil membuat dirinya cemas, dan karena merasa tubuhnya letih, dia akhirnya tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Tampak seluruh bumi berguncang; gunung tertinggi pun goyah; angin ribut bertiup, menghancurkan dan menumbangkan pepohonan. Matahari, bulan, dan bintang tak kuasa bertahan di singgasananya; dan semuanya berguguran dari langit ke bumi. Dia sendiri, Yaśodharā, dilucuti pakaian dan perhiasannya; mahkota indah yang biasa dikenakannya turut lenyap; dia pun telanjang. Rambut indahnya terpotong; peraduan sang raja-muda dan permaisuri ikut berantakan; jubah elok pangeran beserta batu mulia yang disulam di permukaannya pun berserakan. Tampak meteor-meteor melesat melintasi langit di atas kota yang gelap; dan Meru, sang raja pegunungan, tampak gemetar ketakutan.

 

Dalam terjangan teror yang tidak berkesudahan, Yaśodharā terbangun. Dia berlari ke dalam pelukan suaminya. "Tuanku, tuanku," serunya, "apa yang akan terjadi? Daku baru saja mengalami mimpi buruk!" - "Ceritakanlah mimpimu," jawab sang pangeran yang masih terjaga di kamarnya. Yaśodharā menceritakan semua yang dialami dalam mimpinya. Pangeran, sang suami tercinta, hanya tersenyum. - "Bersukacitalah, Gopā," katanya. Pangeran memanggilnya dengan nama kecil isterinya. "Bersukacitalah. Engkau melihat bumi berguncang? Hal itu bermakna, suatu hari para dewa itu akan bersujud di hadapanmu. Engkau melihat matahari, bulan, dan bintang berjatuhan dari langit? Itu artinya engkau akan segera mengalahkan kejahatan, dan selanjutnya engkau akan menerima pujian yang tak-terbatas. Gopā melihat pohon-pohon tumbang? Itu penanda Gopā akan menemukan jalan, yang menghantar ke luar dari rimba-keinginan. Rambutmu terpotong pendek? Maknanya, engkau akan membebaskan diri dari jaring nafsu yang membelenggumu. Jubah milikku dan perhiasanku tercerai-berai? Artinya saat itu aku sedang berada di jalan yang menuju pada pembebasan. Meteor-meteor melaju melintasi langit di atas kota yang gelap? Meramalkan bahwasanya aku akan membawa cahaya kebijaksanaan, dan mereka yang memiliki keyakinan pada diriku, akan menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Berbahagialah, wahai Gopā. Singkirkanlah kecemasan dan kemurunganmu. Engkau akan segera mendapatkan kehormatan. Tidurlah, Gopā. Tidurlah, engkau sesungguhnya baru saja mendapatkan mimpi yang indah."

 

Tiga bulan waktu berlalu dan tidak ada hal yang luar biasa terjadi di kotaraja, dan para warga di sana pun kembali tenggelam dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Sampailah saatnya ketika sang pangeran berjalan-jalan menuju taman utama melalui gerbang utara kota. Ketika Siddhārtha beserta Channa, pengiringnya yang setia, tiba di sana; sesosok dewa Tuṣita sekonyong-konyong turun dari kahyangan, lalu menjelma menjadi seorang petapa, yang mendatangi mereka berdua dari kejauhan. Sang pangeran tertegun menyaksikan sosok orang yang sedang berjalan ke arah mereka:

 

Seorang lelaki muda dengan rambut, kumis, dan janggutnya tercukur habis,

Mengenakan jubah safron dan tangannya membawa sebuah mangkuk-sedekah;

Gerak-geriknya saat dia berjalan begitu anggun, dan raut wajahnya berseri-seri,

Saat dia berjalan matanya menatap lurus ke depan sejauh enam kaki.

 

Saat dia merentangkan tangan dan kakinya, dia melakukannya dengan dengan elok,

Begitu juga ketika dia sedang berjalan, membungkuk, dan merapikan jubahnya;

Dia melakukan semuanya dengan apik dan sempurna,

Seluruh penampilannya begitu elegan saat mata memandangnya.

 

Penampilan lelaki asing itu memukau sang pangeran, dan dalam keheranannya dia bertanya kepada pengiringnya: "Lelaki itu tidak seperti kebanyakan orang di negeri ini. Siapa orang itu, wahai Channa?" - "Pangeran, dia adalah seorang petapa." - "Petapa? Apa yang engkau maksudkan dengan seorang 'petapa'?" - "Petapa adalah orang yang memilih untuk meninggalkan kehidupan berkeluarga. Dia mengenakan jubah safron sebagai penanda bahwa dia telah melepaskan keduniaan. Semua yang dilakukan olehnya hanya melakukan perbuatan baik, karena dia menyadari bahwa inilah cara hidup yang terpuji." Siddhārtha tidak puas dengan jawaban Channa. Dia pun menghampiri orang asing yang sedang mendekati mereka berdua.

 

Siddhārtha menghampiri lelaki itu dan menyapanya, "Namaste, paman. Penampilanmu tidak seperti orang kebanyakan. Kepalamu pun bersih, tanpa ada rambut, kumis, dan janggut yang tersisa. Pakaianmu pun tidak seperti yang dikenakan orang-orang di sini. Siapakah engkau sebenarnya, paman?" - "Pangeran, saya ini seorang petapa," jawab lelaki asing itu. Sang pangeran terkejut, karena orang itu mengetahui siapa dirinya, padahal dia dan pengawalnya ketika itu sedang menyamar. "Mohon paman ceritakan lebih banyak lagi, apa yang dimaksud dengan seorang 'petapa'?" Sang petapa menjawab:

 

"Karena takut akan kelahiran dan kematian, aku menjadi rahib pengembara,

Dunia ini takluk di bawah kekuasaan Sang Penghancur, dan aku mencari jalan pembebasan;

Aku tidak seperti orang kebanyakan, aku menghindari hasrat dan kesenangan,

Dalam kesendirian dan keheningan, aku berupaya menggapai kebahagiaan sejati."

 

Dengan diliputi oleh rasa ingin tahu, sang pangeran bertanya lebih lanjut, "lalu dimana paman tinggal? Dan bagaimana paman menjalani kehidupan ini?" - "Terkadang aku tinggal di bawah pohon; sesekali aku tinggal di pegunungan yang sepi atau kadang-kadang di hutan. Aku makan dari pemberian para perumah tangga yang murah hati. Aku selalu puas dengan kepemilikan dan kebutuhan yang sedikit. Aku bahagia dan tidak mencemaskan kehidupan ini, karena telah mengetahui jalan kebahagiaan. Aku mengabdikan hidupku untuk berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, serta mengajarkan orang-orang cara hidup yang benar."

 

Siddhārtha senang sekali mendengar penjelasan petapa itu. Dia melihat sinar terang; dia telah mendapatkan jalan-keluarnya, atas kegelisahan dan kerisauan yang selama ini mengguncang batinnya. Dia bertekad untuk meninggalkan istananya dan menjadi seorang rahib. Beberapa hari berlalu dan sepanjang waktu, pikiran sang pangeran hanya berkutat tentang bagaimana dia bisa pergi dari istananya. Namun dia berpikir bahwa tidaklah pantas dia minggat begitu saja, tanpa mendapat restu dari orang-orang yang mengasihinya. Dia akan bicara baik-baik dengan ayahnya dan meminta perkenannya.

 

Dan esok harinya dengan ketetapan hati yang teguh, pangeran kita menghadap ayah sekaligus sang penguasa tertinggi. Sambil bersimpuh di hadapan Śuddhodana, Siddhārtha muda memohon kepada ayahandanya, agar diizinkan pergi dari istana dan meninggalkan apa pun yang telah diterima dan dimilikinya selama ini, untuk kemudian menjadi seorang petapa. Śuddhodana hancur hatinya dan seluruh jiwa dan raganya seakan terbang menuju kehampaan. Benar sungguh peneropongan para cerdik pandai yang dulu meramalkan, bahwa putera kesayangannya akan meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk mencapai keBuddhaan.

 

Śuddhodana menjawab: "Nak, hentikan dan hapuskan ide gila ini dari benakmu. Engkau masih terlalu muda untuk menentukan pilihan hidupmu. Seperti yang dikatakan para leluhur ksatria kita: 'orang muda itu kurang wawasan dan pengalamannya.' Awal kehidupanmu dimulai dari istana ini, dan atas restu para dewata engkau juga harus mengikuti garis kehidupanmu di lingkungan istana ini. Selain itu, adalah kesalahan besar untuk melakukan praktik pertapaan-keras pada masa muda kita. Kelima indera kita masih bersemangat untuk mendapatkan kesenangan yang baru; nikmatilah selama kita masih bisa. Engkau bisa menjalani hidup kepetapaan kelak, sewaktu umurmu telah lanjut." Śuddhodana melanjutkan: "Waktuku untuk memerintah hampir usai, dan aku akan segera turun tahta. Engkaulah satu-satunya yang paling pantas menggantikanku, dan segera memerintahlah. Semua rakyat kita telah menunggu momen yang penting itu."

 

Sang pangeran menjawab: "Baiklah, ayahanda. Aku urungkan niatku ini, asalkan paduka bisa memenuhi keinginanku." - "Katakanlah, apa permintaanmu itu?" - "Berjanjilah padaku bahwa hidupku tidak akan berakhir dengan kematian, usia tidak akan membinasakan masa mudaku, penyakit tidak akan mengganggu kebugaranku, dan kemalangan tidak akan menghancurkan kesejahteraanku." - Śuddhodana terkejut, lalu berseru: "Engkau meminta terlalu banyak, dan semuanya mustahil untuk dipenuhi. Bahkan dewa yang paling berkuasa sekali pun, tidak akan sanggup memenuhi salah satu dari permintaanmu. Sekali lagi aku minta, hentikan dan hapuskan segala gagasan bodohmu itu."

 

Siddhārtha pun mendekat dan membungkuk, serta dengan keteguhan hati laksana gunung Meru dia berkata: "Jika paduka tidak bisa memenuhi empat permintaan ini, mohon janganlah menahanku. Jika seandainya rumah yang kita diami sedang terbakar, apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu aku akan ke luar dulu, melakukan segala daya upaya; lalu kembali lagi untuk memadamkan kebakaran itu, guna menyelamatkan semua penghuninya."

 

Hening sejenak, dan dua orang itu, bapak dan anak pun berdiam diri. Siddhārtha sadar, keduanya bersikukuh pada pendiriannya masing-masing. Dia pun berlutut tiga kali, lalu berjalan memutar tiga kali ke kanan mengelilingi singgasana ayahnya, kemudian beranjak pergi dari sana. Śuddhodana segera mengumpulkan para menterinya dan mereka pun membahas permintaan pangeran. Akhirnya raja memutuskan untuk memperkuat penjagaan di sekeliling istananya dan menambah pasukan keamanan.

 

 

Kita tinggalkan dulu Siddhārtha dan Śuddhodana, dan kita menuju Tuṣita, satu istana kahyangan yang dikenal sebagai "Surga Kesukacitaan". Di sana para kerabat Siddhārtha dalam kehidupan sebelumnya sedang berbincang-bincang. Mari kita menguping pembicaraan mereka. "Saudara-saudaraku, hingga kini, atas bantuan kita, Svetaketu telah melihat empat penampakan. Namun untuk melakukan melakukan pelepasan-agung, dia baru saja mendapatkan rintangan. Sesosok dewa lainnya berkomentar, "bagaimana mungkin Svetaketu bisa meninggalkan istananya, jika tempat itu dijaga sedemikian ketatnya?" Dewa yang lain menanggapi, "oleh karena itu kita harus campur tangan agar Bodhisattva dapat segera melanjutkan misinya ke tahap selanjutnya."

 

 

Demikianlah waktu berlari dengan cepatnya, dan hari itu orang sedang bersiap-siap melangsungkan persembahan kepada para dewata. Cuaca hari itu cerah dan bertepatan dengan purnama-siddhi di bulan Āsāḷha. Dalam perjalan pulang Siddhārtha melewati sebuah wisma yang dimiliki oleh seorang wanita Shakya yang bernama Kisā Gotamī, yang memikat dan cantik parasnya. Tertegun sewaktu dia menatap sang pangeran yang masih muda, tampan, dan begitu tenang pembawaannya, wanita muda itu pun melantunkan sebuah pujian: "Sungguh damai dan bahagia pikiran seorang wanita yang mujur; yang menjadi isteri dari seorang suami seperti dia." Pangeran mendadak mendapat inspirasi dari ucapannya, bahwa dalam kalimat 'damai' itu sesungguhnya tersirat ungkapan 'pemadaman”, yang mengarah pada 'pembebasan'. Merasa cita-citanya menjadi petapa disokong oleh orang biasa, pangeran pun melepaskan seuntai kalung mutiara yang indah yang sedang dikenakannya, lalu selanjutnya dia menghadiahkan perhiasan itu kepada Kisā Gotamī.

 

Alih-alih menemui keluarganya, pangeran kita memilih beristirahat di taman istananya yang permai. Pikirannya dipenuhi dengan gagasan tentang bagaimana menjalani hidup bersih dan suci sebagai seorang petapa. Selagi berteduh di bawah sebatang pohon, seorang kurir yang diutus oleh Raja Śuddhodana mendatanginya, dan dia menyampaikan pesan: "Wahai, pangeran. Hamba membawa kabar gembira. Ketahuilah bahwa permaisuri muda baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan." Alih-alih bergirang hati mendengar kabar baik itu, sang pangeran malahan berduka dan dia pun menggumam, "sebuah 'belenggu', sebuah 'Rāhula', telah lahir. Ikatan-besar telah muncul bagiku. Siddhārtha pun bergegas menemui keluarganya, dengan tetap mengumandangkan perkataan itu berulang-ulang: "Rāhula, Rāhula, … Rāhula." Śuddhodana adalah orang yang paling berbahagia mendapatkan keturunan langsung dari sang putera mahkota. Terbersit dalam pikirannya, bayi laki-laki inilah yang akan menjadi pewaris kerajaan berikutnya. Dia pun mendengar puteranya menyebut-nyebut cucunya yang baru lahir, maka dia pun bersabda: "Sesuai dengan permintaan ayahnya, maka nanti pada saat upacara pemberian nama, aku tetapkan bayi kecil ini bernama Rāhula."

 

Hari itu menjadi waktu yang menggirangkan bagi semua penghuni istana. Para abdi istana mempersiapkan pesta menyambut kedatangan sang bayi. Memasuki senja dan hari beranjak gelap, di bawah naungan beranda istana yang megah, makanan dan minuman yang lezat disajikan untuk para anggota kerajaan. Angin semilir yang bertiup dari pekarangan istana, menghembuskan aroma lembut bunga yasmin dan kamboja. Setelah menikmati berbagai hidangan, Siddhārtha pun beristirahat di atas sofa mewah, sambil tubuhnya disejukkan oleh kipas-kipas berbulu burung merak, yang mengangguk-angguk menyalurkan angin semilir. Sekarang para penyanyi dan penari dengan bantuan iringan alat musik, mementaskan tari-tarian yang indah dan nyanyian-nyanyian yang merdu. Sang pangeran pun menonton gadis-gadis penari memperagakan gerak tubuh gemulai di dalam keremangan pelita-minyak beraroma wangi. Dengan tubuh penat setelah seharian mengikuti acara kerajaan, perut yang telah terisi-penuh, dan dibuai oleh alunan musik yang menerbitkan kantuk, dia pun segera terlelap dalam peraduan yang penuh kedamaian. Para penari dan penyanyi satu per satu – setelah menyadari tuan mereka telah terlelap – akan merebahkan diri mereka di atas lantai berpermadani empuk. Mereka segera merentangkan kaki dan tangan mereka yang letih. Jari-jemari si pemain sitar akan menjauh dari dawai piranti mereka, rebana yang ditabuh oleh pemusik pun diletakkan di atas lantai. Dan segera setelah itu hanya kesenyapan yang akan berkuasa, seperti layaknya cahaya lampu minyak yang akan meredup dan akhirnya padam.

 

Malam itu tidur sang pangeran tidaklah nyenyak. Mendusin di tengah malam sekaligus membebaskan dirinya dari mimpi menakutkan tentang kematian. Siddhārtha melihat ke sekelilingnya. Para penari dan penyanyi terbaring lelap, centang-perentang di tempat mereka jatuh kelelahan. Tungkai dan lengan mereka tergeletak diantara untaian-bunga yang telah layu, yang tadinya dikalungkan di depan dada mereka. Busana mereka yang tadinya rapi dan wangi sekarang tidak keruan lagi, membuat bagian tubuh mereka tersingkap telanjang, serta rambut mereka yang basah melekat di pipi dan lehernya. Beberapa di antara mereka tersentak sesekali dalam tidurnya, seperti sedang disengat lebah. Yang lain mendengkur keras, dengan mulut terbuka lebar, disertai air liur mengalir dari bibir mereka yang semula merah merona. Agaknya inilah kesempatan pertama sang pangeran melihat mereka semua apa adanya, serta ia merasa dirinya sedang dikelilingi oleh mayat-mayat yang bergelimpangan. Sang pangeran menggumam, "sungguh mengerikan dan menakutkan tempat ini."

 

Siddhārtha bangkit dari sofa empuknya dan dengan berjingkat-jingkat berusaha menghindari kakinya terantuk, dari perempuan-perempuan penghibur yang sedang tidur bergelimpangan dengan nyenyaknya. Pelita minyak telah lama padam dan hanya sinar rembulan yang menerobos melalui jendela bangunan megah itu. Dia pun membisikkan kata-kata ini:

 

"Walaupun daku menjalani kehidupanku di istana ini bak sesosok dewa,

Namun tetap saja tempat ini gelap-kelabu; jadi karena itu, selamat tinggal kawan-kawan!

Sementara hidup itu anugerah, layaklah aku terima, dan sekarang aku pergi,

Demi mencari pembebasan dan mendapatkan Cahaya nan tak dikenal itu."

 

Sang pangeran ke luar dari ruangan itu dan berjalan menuju depot berjaganya para pengawal pribadi. Dilihatnya Channa sedang mendengkur di dipannya. Pangeran segera membangunkannya, "Channa, bangunlah. Bawalah kemari Kanthaka dan siapkan kereta-kecil yang akan membawaku pergi malam ini." Setelah itu pangeran merasa perlu untuk menengok anak dan isterinya. Dengan mengendap-endap dia membuka pintu kamar pelan-pelan dan mendapati dalam temaram cahaya pelita, isteri dan anaknya sedang tertidur pulas. Selama beberapa saat dipandangi sang buah hati dan belahan jiwanya, dan muncul keinginan untuk berpamitan dengan keduanya. Dia termenung sejenak, "Jika tubuhnya ku sentuh, dia akan terjaga. Dan jika dia terjaga, maka pelepasan agungku pun akan buyar. Jadi setelah aku mendapatkan pencerahan, kelak aku akan menemui mereka berdua."

 

Tidak berapa lama Channa telah menyiapkan Kanthaka, sang kuda putih kesayangan pangeran yang luar biasa, dan kereta-kuda kecil yang hanya bisa memuat kusir dan seorang penumpangnya. Kanthaka amatlah girang dan dengan nalurinya yang kuat, dia tahu tuan yang disayanginya sedang membutuhkan pertolongannya. Kuda itu pun melengking dengan kuatnya. Pangeran menghardik, "tidak usah meringkik sekeras itu, wahai Kanthaka. Engkau bisa membangunkan seisi kota." Rencana kepergian sang pangeran yang akan segera meninggalkan istananya, membuat Channa merasa amat sedih. "Yang Mulia, mohon maaf sebelumnya. Apakah paduka telah memikirkan kepergian ini baik-baik? Bagaimana akan sedih dan merananya sri baginda nanti, juga permaisuri-muda, dan kerabat Tuanku semua!" - "Dengar, Channa. Semuanya ini ku lakukan demi rasa sayang dan cintaku kepada mereka semua. Setelah aku berhasil mencapai cita-citaku, aku pasti akan menolong mereka semua dari jerat palsu kehidupan. Ayo kita berangkat!"

 

Keduanya menaiki kereta mungil itu dan Kanthaka dengan bersemangat menariknya ke luar kompleks istana. Mendekati pintu utama benteng kota, lima puluh penjaga bersenjata lengkap nampak berjaga di gerbang utama kotaraja, dan mereka berpatroli hilir mudik di sisi dalam dan luar tembok yang kokoh itu. Para dewa Tuṣita sudah menunggu di sana. Dengan kekuatan sihir, mereka mendatangkan angin semilir ke arah para penjaga. Sontak semua yang bertugas di sana merasa mengantuk, lalu satu per satu melepaskan senjatanya, dan mereka segera merebahkan diri mereka ke tanah, tidur pulas. Lihatlah! Pintu benteng terbuat dari pelat-kuningan berlapis tiga. Paling tidak dibutuhkan dua puluh lelaki berotot kuat, untuk menarik ke kedua sisi pintu itu ke samping. Namun itu tidak masalah bagi para dewa. Dengan mengucapkan sebait mantram, pintu geser itu bergerak sendiri ke samping, menyediakan celah lebar untuk dilewati kereta pangeran Siddhārtha. Angin semilir kembali bertiup, dan kali ini mampu membuat seluruh penghuni kerajaan Shakya yang masih terjaga untuk segera pergi ke peraduan. Dan dengan diterangi cahaya bulan, kereta yang ditarik oleh Kanthaka berlari melaju dengan kencang, hingga melewati tapal batas kerajaan.

 

 

Dari Himalaya lalu merambat menuju ke Samudera Hindia,

Gempa halus bergetar menyebar, dan sang jiwa bumi pun terjaga dari tapa-bratanya.

Diarahkan oleh harapan yang misterius, dan disebutkan dalam kitab-kitab suci kuno,

Itulah kisah Sang Guru Junjungan kita.

 

Musik surgawi melantunkan irama gaib, yang menggetarkan angkasa nan jernih,

Dihiasi lampu minyak hingga pelita, yang menyala dari rumah ke rumah;

Ke timur dan ke barat, menerangi sang dewi malam,

Ke utara dan ke selatan, yang membuat tanah pertiwi bersenang hati.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230531

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar