Seorang sahabat penulis terbiasa
menjajakan buku-buku bekas di media sosial. Secara berkala dia menawarkan
barang dagangannya, dengan cara memajang foto sampul depan, sampul belakang,
daftar isi, dan harga buku. Buku-buku yang dijualnya masih layak-baca dan
harganya pun murah. Dari kumpulan pustaka yang diperjualbelikannya
kadang-kadang ada buku-buku agama Buddha atau kepercayaan dari Dunia Timur.
Terakhir ini penulis membeli sebuah buku bekas berjudul The Cause and Effect
Sutra, Sutra Sebab dan Akibat. Bukunya berukuran 11,5 cm kali 17,5 cm,
dengan tebal 185 halaman. Setelah memeriksa isi buku dengan saksama, tidak
ditemukan nama penerbitnya maupun tahun buku itu dicetak. Di halaman belakang
tercetak: Not for Sale, Tidak Untuk Dijual. Di sampul-dalam ada tulisan:
"Milik Vihara", tetapi tidak tercantum vihara mana. Penulis membeli
buku tersebut seharga lima ribu rupiah.
Buku ini mirip komik, dengan setiap
halamannya berisi gambar-gambar; serta isinya ditulis dalam tiga bahasa: bahasa
Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Mandarin. Setelah menelusuri dari mana
ajaran ini berasal, penulis akhirnya mendapatkan bahwa naskah ini berasal dari Sutra
Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang atau 過去現在因果経 (Guòqù xiànzài yīnguǒ jīng). Naskah ini
dinamakan pula Sutra Sebab dan Akibat Yang Ada, serta diterjemahkan dari
bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin oleh Liú Sòngqiú Nàbátuóluó pada zaman
Dinasti Jìn Timur. Dalam kepustakaan
Buddhisme Tiongkok Sutra tersebut dimasukkan dalam jilid ketiga Koleksi Taisho.
Sutra ini juga merupakan Karma Sutra dalam bentuk gulungan gambar, dan
versi ini populer di Jepang; dengan sebutan Kakogenzaiingakyō.
Pada bagian pembuka sutra ini bisa kita
baca kalimat berikut ini: "Pada suatu pertemuan di Majelis Lin-Shan, di mana 1250
pengikut hadir, Ānanda, salah satu murid utama, setelah
berputar tiga kali dengan tangan terlipat di sekeliling Buddha Sakyamuni,
membungkuk hormat, dan dengan rendah hati bertanya: 'Di zaman kegelapan
sekarang, di mana kebanyakan orang-orang kita menuruti ketidakbenaran, tidak
menghormati ajaran Buddha, tidak berbakti kepada orang tua mereka, tidak
bermoral, sengsara dan menjijikkan. Di antara mereka ada yang tuli, ada yang
buta, ada yang bisu, ada yang bodoh, ada yang cacat dalam jiwa dan raganya, dan
kebanyakan orang terbiasa dengan membunuh ... . Bagaimana kita bisa memahami
prinsip-prinsip atas kasus-kasus samar dan mendasar, yang telah sampai pada
realitasnya, serta konsekuensi apa yang pada akhirnya akan diderita oleh setiap
individu atas perbuatannya. Yang Mulia, maukah Dikau menjelaskan perkara ini kepada
kami?' ... ."
Apa yang dimaksud dengan sebab-musabab pada judul Sutra tersebut? Artinya
apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia itu, semuanya tidak lain merupakan
rangkaian sebab dan akibat; bukan terjadi karena alasan lainnya. Penulis
teringat sewaktu pertama kali mempelajari ajaran agama Buddha. Pada waktu itu
tahun 1977, penulis meminjam sebuah buku di perpustakaan vihara. Judulnya Dhamma
Sari, karangan Pandita Vidyadharma. Dalam buku itu dituliskan bahwa segala
kejadian yang menimpa diri kita, semata-mata disebabkan oleh perbuatan kita
sendiri. Perbuatan yang mana? Dalam perspektif Buddhis, perbuatan yang kita
lakukan pada masa yang lampau, tidak hanya terbatas sejak kita dilahirkan.
Dalam pandangan Buddhisme, ada kehidupan lain sebelum kehidupan yang sekarang,
dan sebagai konsekuensinya ada kehidupan lain di masa mendatang setelah kita
meninggal dunia.
Untuk memahami bekerjanya hukum sebab dan akibat atas segala perbuatan
kita, Pandita Vidyadharma memberi satu contoh kasus. Ada seorang laki-laki muda
yang baru ke luar dari pintu rumahnya. Dalam perjalanan ke satu tempat, sekonyong-konyong
sebutir buah kelapa jatuh dari pohonnya, dan lelaki yang naas itu tertimpa buah
yang cukup berat itu. Alangkah malangnya! Dia langsung tewas di tempat. Jika dipikirkan,
seolah-olah tidak ada hubungannya antara buah kelapa yang jatuh dan lelaki muda
yang meninggal itu. Orang awam menyebutkan bahwa peristiwa itu hanyalah
kebetulan belaka. Namun menurut hukum sebab-akibat, peristiwa tersebut
disebabkan karena di kehidupannya yang lampau orang tersebut pernah melakukan
satu perbuatan, yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang atau sesosok makhluk.
Implikasi dari ajaran ini: di dunia ini tidak ada peristiwa atau kejadian yang
kebetulan atau bersifat untung-untungan belaka.
Kita lanjutkan membahas isi Sutra Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang.
"Apa itu Hukum Sebab-Musabab? Sebagai akibat dari perbuatan yang telah
dilakukan pada masa lalu kehidupan, pada masa sekarang ada yang miskin, ada
yang kaya; ada yang hidup dalam kebahagiaan, sedangkan yang lain hidup dalam
penderitaan." Kemudian Sang Buddha menguraikan ajaran Hukum Karma.
"Takdir adalah karma dari kumpulan perbuatan di masa lalu. Karma masa lalu
menjadi takdir pada kehidupan sekarang. Karma saat ini adalah pembentuk
kehidupan selanjutnya. Hayatilah Hukum Karma karena karma tidak dapat
dihindari, dan kata-kataku berdasarkan Kebenaran."
Lebih jauh pada Sutra itu diuraikan berbagai perbuatan baik dan buruk,
beserta konsekuensi atau buah perbuatan tersebut, berdasarkan hukum sebab dan
akibat. Contohnya: (1) Bisa memiliki berbagai berbagai fasilitas transportasi
dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Memperbaiki jembatan dan membangun jalan
untuk kepentingan umum pada kehidupan yang lalu. (2) Memiliki pakaian yang
berlimpah dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Mendermakan pakaian kepada
biarawan maupun orang-orang yang membutuhkan busana itu di kehidupan yang lalu.
(3) Mempunyai makanan yang berkecukupan dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya:
Memberikan makanan kepada orang miskin pada kehidupan yang terdahulu.
Bulan April 2023 yang lalu penulis berkesempatan mengunjungi Kuil Giác Lâm
(bahasa Vietnam: Giác Lâm Tự), sebuah kuil Buddha bersejarah di Kota Ho Chi
Minh, kota terbesar di Vietnam. Dibangun pada tahun 1744, ini adalah salah satu
kuil tertua di kota yang bersejarah ini. Dalam kompleks vihara yang luas ini
ada beberapa bangunan, dengan satu buah pagoda bertingkat tujuh. Di salah satu
sudut pekarangannya, penulis menemukan rangkaian gambar yang dipasang setinggi
orang dewasa. Dilindungi oleh jendela kaca, kita dapat melihat lukisan indah,
yang berisi fragmen kehidupan manusia. Penulis sempat memfoto rangkaian lukisan
itu, dan sebagian hasil jepretan itu tampak pada gambar di atas. Seperti
fragmen lukisan yang terletak di tengah, memperlihatkan sebuah adegan, yang
mempertanyakan mengapa seorang terlahir miskin. Jawabnya: Karena dia terlalu
pelit, dan tidak pernah berderma kepada fakir miskin di kehidupan yang lampau.
Keterangan gambar ditulis dalam bahasa Vietnam dan bahasa Inggris. Adanya
rangkaian gambar yang mempertontonkan nasib manusia, mungkin dimaksudkan oleh
pengelola vihara, agar para pengunjung selalu mengingat bekerjanya karma dan
konsekuensi yang dihadapi mereka dalam kehidupan ini.
Dalam koleksi-besar Kanon Pāli kita dapat menemukan ajaran tentang hukum
karma ini, yakni pada Cullakammavibhanga Sutta, dalam kitab Majjhima Nikāya No.
135. Berikut potongan kutipan Sutta tersebut. "Guru Gotama, apakah sebab
dan kondisi mengapa manusia terlihat hina dan mulia, orang-orang tertentu
berumur pendek dan berusia panjang, berpenyakit dan sehat, rupawan dan buruk
rupa, berpengaruh dan tidak-berpengaruh, miskin dan kaya, lahir di keluarga
terpandang dan terhina, bodoh dan bijaksana. Apakah sebabnya, wahai Guru
Gotama?" ... "Jika seseorang memiliki kebiasaan mencelakakan orang
lain dengan tangannya, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan
pisau; ketika dia lahir sebagai manusia, dia akan menderita berbagai jenis
penyakit. Jika seseorang menjauhi tabiat mencelakakan orang lain, sebagai buah
tiada-kekerasan pada sesamanya; ketika dia terlahir sebagai manusia, dia akan
mendapatkan kesehatan yang baik." Di dalam Sutta ini pun dijelaskan
berbagai nasib seorang anak manusia. Bagi Anda yang tertarik mengetahui dan
mempelajarinya lebih lanjut, silahkan mencarinya di berbagai situs Buddhis.
Jika nasib atau takdir manusia bukan ditentukan berdasarkan faktor
kebetulan atau untung-untungan, padahal antara satu manusia dengan manusia
lainnya terjadi ketidaksamaan atau keberagaman, faktor apa yang menjadi
penentunya? Dalam buku Atthasālinī yang dikarang oleh Buddhaghosa,
disebutkan: "Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul
ketidaksamaan kelahiran makhluk-makhluk; menjadi tinggi dan rendah, hina dan
mulia, berbahagia dan menderita. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma,
muncul keberagaman kualitas individual, seperti rupawan dan buruk rupa,
berkedudukan tinggi dan berstatus rendah, lengkap-sempurna organ tubuhnya dan
cacat fisik. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul perbedaan
dalam kondisi duniawi, seperti untung dan rugi, populer dan terpuruk, dipuji
dan dihina, suka dan duka."
Bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan ketidaksamaan atau keberagaman, yang
terjadi di antara individu-individu manusia? Ilmu pengetahuan menjelaskannya
dengan teori keturunan atau hereditas, dan pengaruh lingkungan; atau disebabkan
oleh dua faktor yakni nature dan nurture. Teori keturunan
menyebutkan bahwa seorang anak mewarisi ciri-ciri fisik dari ayah dan ibunya.
Tetapi hereditas hanya mampu menjelaskan bagian raga atau jasmani manusia,
serta belum mampu menerangkan perbedaan intelektual, mental, dan moral; apakah
bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Contohnya adalah Guru kita,
Sang Buddha. Beliau adalah seorang manusia agung, padahal kedua orang tuanya
dan juga putera tunggalnya, sama sekali tidak menyamai dalam kualitas fisik,
intelektual, mental, dan moralitasnya.
Di dalam Samyutta Nikāya I, 227 dinyatakan: "Sesuai dengan benih yang
ditabur, demikian pulalah buah yang akan dituai. Pembuat kebajikan akan
mendapatkan kebajikan, dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula.
Tertaburlah olehmu biji-biji benih, dan engkau pulalah yang akan memetik
buah-buah daripadanya." Kalau kita melihat lewat kacamata duniawi,
pernyataan tersebut tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Kita
sering mendapatkan orang yang banyak melakukan kebajikan tetapi masih saja dia mengalami
penderitaan; sebaliknya orang yang banyak berbuat jahat, malahan hidupnya
senang-senang saja. Mengapa demikian? Apakah karmanya berbuah keliru?
Sebetulnya tidak ada yang salah. Kita ambil sebuah lahan pertanian yang mulai ditanami
dengan ketela dan jagung pada saat bersamaan, yang mana tanaman ketela dan
jagung tersebut masing-masing memiliki saat panen yang berbeda. Jelas tanaman
jagung akan panen terlebih dahulu dibandingkan tanaman ketela. Demikian pula
perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita,
ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai. Dalam kasus ini
kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Sedangkan perbuatan
baiknya belum saatnya masak.
Kita harus yakin bahwa hukum karma menjamin keadilan. Orang yang berbuat
jahat pada akhirnya harus menanggung akibat perbuatan buruknya. Hukum karma
tidak akan salah dalam mengejar si pelakunya. Mungkin orang jahat itu bisa
mengelabui hukum negara yang notabene hukum itu buatan manusia, sehingga dia
bisa memanfaatkan celah-celah hukum, yang pada akhirnya dia lolos dari hukuman
penjara atau vonisnya di-ringankan. Namun hukum karma tidak bisa diakali dan diajak
kompromi; hukum karma bekerja secara otomatis walaupun kadang kala harus
menunggu lama untuk mencapai kematangannya.
Mungkin ada pembaca yang bertanya perihal fragmen gambar di atas, yang
memperlihatkan orang yang berkecukupan bahkan berkelimpahan hidupnya, karena
dalam kehidupan yang lampau dia banyak berderma kepada fakir miskin. Apakah
hanya dengan berderma saja, orang bisa menjadi orang yang kaya pada kehidupan
mendatang? Bukankah ini melulu hanya ajaran yang naif dan cenderung dogmatis? Mungkin
ada orang yang memiliki jalan pikiran seperti ini: "Engkau terlahir miskin
dalam kehidupan ini karena karma buruk masa lalumu. Dia terlahir kaya karena karma
baik masa lalunya. Jadi bersyukurlah dengan keadaanmu yang sederhana, tetapi
berbuat baiklah sekarang agar engkau menjadi kaya di kehidupanmu yang selanjutnya."
Doktrin karma dalam pandangan Buddhis tidak mendukung pandangan fatalistik
semacam itu, juga tidak mengajarkan keadilan post-mortem. Sang Buddha yang
Maha-Welas-Asih, tidak memiliki motif egois tersembunyi. Beliau tidak
mengajarkan hukum karma ini untuk mempertahankan orang kaya agar tetap
berkelimpahan di kehidupannya yang kemudian, lalu menghibur orang miskin dengan
menjanjikan kebahagiaan ilusif di kehidupan yang akan datang.
Menurut doktrin Buddhis tentang Karma, seseorang tidak selalu dipaksa oleh
keniscayaan belaka. Karena Karma bukanlah takdir atau predistinasi yang
dipaksakan kepada kita, oleh suatu kekuatan misterius yang tidak diketahui,
yang mana kita menyerah tanpa daya. Karma pada hakikatnya adalah perbuatan
sendiri yang bereaksi terhadap diri sendiri, sehingga seseorang sampai batas
tertentu memiliki kekuatan untuk mengalihkan arah Karma. Seberapa jauh
seseorang mengalihkannya, tergantung pada orang itu sendiri. Penulis cukupkan
bekerjanya hukum karma sampai di sini, agar tidak membingungkan para pembaca.
Penulis mungkin akan membahas cara bekerjanya karma dalam artikel yang akan
datang.
sdjn/dharmaprimapustaka/230517
Tidak ada komentar:
Posting Komentar