Rabu, 17 Mei 2023

HUKUM KARMA



Seorang sahabat penulis terbiasa menjajakan buku-buku bekas di media sosial. Secara berkala dia menawarkan barang dagangannya, dengan cara memajang foto sampul depan, sampul belakang, daftar isi, dan harga buku. Buku-buku yang dijualnya masih layak-baca dan harganya pun murah. Dari kumpulan pustaka yang diperjualbelikannya kadang-kadang ada buku-buku agama Buddha atau kepercayaan dari Dunia Timur. Terakhir ini penulis membeli sebuah buku bekas berjudul The Cause and Effect Sutra, Sutra Sebab dan Akibat. Bukunya berukuran 11,5 cm kali 17,5 cm, dengan tebal 185 halaman. Setelah memeriksa isi buku dengan saksama, tidak ditemukan nama penerbitnya maupun tahun buku itu dicetak. Di halaman belakang tercetak: Not for Sale, Tidak Untuk Dijual. Di sampul-dalam ada tulisan: "Milik Vihara", tetapi tidak tercantum vihara mana. Penulis membeli buku tersebut seharga lima ribu rupiah.

 

Buku ini mirip komik, dengan setiap halamannya berisi gambar-gambar; serta isinya ditulis dalam tiga bahasa: bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Mandarin. Setelah menelusuri dari mana ajaran ini berasal, penulis akhirnya mendapatkan bahwa naskah ini berasal dari Sutra Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang atau 過去現在因果経 (Guòqù xiànzài yīnguǒ jīng). Naskah ini dinamakan pula Sutra Sebab dan Akibat Yang Ada, serta diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin oleh Liú Sòngqiú Nàbátuóluó pada zaman Dinasti Jìn Timur. Dalam  kepustakaan Buddhisme Tiongkok Sutra tersebut dimasukkan dalam jilid ketiga Koleksi Taisho. Sutra ini juga merupakan Karma Sutra dalam bentuk gulungan gambar, dan versi ini populer di Jepang; dengan sebutan Kakogenzaiingakyō.

 

Pada bagian pembuka sutra ini bisa kita baca kalimat berikut ini: "Pada suatu pertemuan di Majelis Lin-Shan, di mana 1250 pengikut hadir, Ānanda, salah satu murid utama, setelah berputar tiga kali dengan tangan terlipat di sekeliling Buddha Sakyamuni, membungkuk hormat, dan dengan rendah hati bertanya: 'Di zaman kegelapan sekarang, di mana kebanyakan orang-orang kita menuruti ketidakbenaran, tidak menghormati ajaran Buddha, tidak berbakti kepada orang tua mereka, tidak bermoral, sengsara dan menjijikkan. Di antara mereka ada yang tuli, ada yang buta, ada yang bisu, ada yang bodoh, ada yang cacat dalam jiwa dan raganya, dan kebanyakan orang terbiasa dengan membunuh ... . Bagaimana kita bisa memahami prinsip-prinsip atas kasus-kasus samar dan mendasar, yang telah sampai pada realitasnya, serta konsekuensi apa yang pada akhirnya akan diderita oleh setiap individu atas perbuatannya. Yang Mulia, maukah Dikau menjelaskan perkara ini kepada kami?' ... ."

 

Apa yang dimaksud dengan sebab-musabab pada judul Sutra tersebut? Artinya apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia itu, semuanya tidak lain merupakan rangkaian sebab dan akibat; bukan terjadi karena alasan lainnya. Penulis teringat sewaktu pertama kali mempelajari ajaran agama Buddha. Pada waktu itu tahun 1977, penulis meminjam sebuah buku di perpustakaan vihara. Judulnya Dhamma Sari, karangan Pandita Vidyadharma. Dalam buku itu dituliskan bahwa segala kejadian yang menimpa diri kita, semata-mata disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Perbuatan yang mana? Dalam perspektif Buddhis, perbuatan yang kita lakukan pada masa yang lampau, tidak hanya terbatas sejak kita dilahirkan. Dalam pandangan Buddhisme, ada kehidupan lain sebelum kehidupan yang sekarang, dan sebagai konsekuensinya ada kehidupan lain di masa mendatang setelah kita meninggal dunia.

 

Untuk memahami bekerjanya hukum sebab dan akibat atas segala perbuatan kita, Pandita Vidyadharma memberi satu contoh kasus. Ada seorang laki-laki muda yang baru ke luar dari pintu rumahnya. Dalam perjalanan ke satu tempat, sekonyong-konyong sebutir buah kelapa jatuh dari pohonnya, dan lelaki yang naas itu tertimpa buah yang cukup berat itu. Alangkah malangnya! Dia langsung tewas di tempat. Jika dipikirkan, seolah-olah tidak ada hubungannya antara buah kelapa yang jatuh dan lelaki muda yang meninggal itu. Orang awam menyebutkan bahwa peristiwa itu hanyalah kebetulan belaka. Namun menurut hukum sebab-akibat, peristiwa tersebut disebabkan karena di kehidupannya yang lampau orang tersebut pernah melakukan satu perbuatan, yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang atau sesosok makhluk. Implikasi dari ajaran ini: di dunia ini tidak ada peristiwa atau kejadian yang kebetulan atau bersifat untung-untungan belaka.

 

Kita lanjutkan membahas isi Sutra Sebab-Musabab Masa Lalu-Sekarang. "Apa itu Hukum Sebab-Musabab? Sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan pada masa lalu kehidupan, pada masa sekarang ada yang miskin, ada yang kaya; ada yang hidup dalam kebahagiaan, sedangkan yang lain hidup dalam penderitaan." Kemudian Sang Buddha menguraikan ajaran Hukum Karma. "Takdir adalah karma dari kumpulan perbuatan di masa lalu. Karma masa lalu menjadi takdir pada kehidupan sekarang. Karma saat ini adalah pembentuk kehidupan selanjutnya. Hayatilah Hukum Karma karena karma tidak dapat dihindari, dan kata-kataku berdasarkan Kebenaran."

 

Lebih jauh pada Sutra itu diuraikan berbagai perbuatan baik dan buruk, beserta konsekuensi atau buah perbuatan tersebut, berdasarkan hukum sebab dan akibat. Contohnya: (1) Bisa memiliki berbagai berbagai fasilitas transportasi dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Memperbaiki jembatan dan membangun jalan untuk kepentingan umum pada kehidupan yang lalu. (2) Memiliki pakaian yang berlimpah dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Mendermakan pakaian kepada biarawan maupun orang-orang yang membutuhkan busana itu di kehidupan yang lalu. (3) Mempunyai makanan yang berkecukupan dalam kehidupan sekarang. Penyebabnya: Memberikan makanan kepada orang miskin pada kehidupan yang terdahulu.

 

Bulan April 2023 yang lalu penulis berkesempatan mengunjungi Kuil Giác Lâm (bahasa Vietnam: Giác Lâm Tự), sebuah kuil Buddha bersejarah di Kota Ho Chi Minh, kota terbesar di Vietnam. Dibangun pada tahun 1744, ini adalah salah satu kuil tertua di kota yang bersejarah ini. Dalam kompleks vihara yang luas ini ada beberapa bangunan, dengan satu buah pagoda bertingkat tujuh. Di salah satu sudut pekarangannya, penulis menemukan rangkaian gambar yang dipasang setinggi orang dewasa. Dilindungi oleh jendela kaca, kita dapat melihat lukisan indah, yang berisi fragmen kehidupan manusia. Penulis sempat memfoto rangkaian lukisan itu, dan sebagian hasil jepretan itu tampak pada gambar di atas. Seperti fragmen lukisan yang terletak di tengah, memperlihatkan sebuah adegan, yang mempertanyakan mengapa seorang terlahir miskin. Jawabnya: Karena dia terlalu pelit, dan tidak pernah berderma kepada fakir miskin di kehidupan yang lampau. Keterangan gambar ditulis dalam bahasa Vietnam dan bahasa Inggris. Adanya rangkaian gambar yang mempertontonkan nasib manusia, mungkin dimaksudkan oleh pengelola vihara, agar para pengunjung selalu mengingat bekerjanya karma dan konsekuensi yang dihadapi mereka dalam kehidupan ini.

 

Dalam koleksi-besar Kanon Pāli kita dapat menemukan ajaran tentang hukum karma ini, yakni pada Cullakammavibhanga Sutta, dalam kitab Majjhima Nikāya No. 135. Berikut potongan kutipan Sutta tersebut. "Guru Gotama, apakah sebab dan kondisi mengapa manusia terlihat hina dan mulia, orang-orang tertentu berumur pendek dan berusia panjang, berpenyakit dan sehat, rupawan dan buruk rupa, berpengaruh dan tidak-berpengaruh, miskin dan kaya, lahir di keluarga terpandang dan terhina, bodoh dan bijaksana. Apakah sebabnya, wahai Guru Gotama?" ... "Jika seseorang memiliki kebiasaan mencelakakan orang lain dengan tangannya, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau; ketika dia lahir sebagai manusia, dia akan menderita berbagai jenis penyakit. Jika seseorang menjauhi tabiat mencelakakan orang lain, sebagai buah tiada-kekerasan pada sesamanya; ketika dia terlahir sebagai manusia, dia akan mendapatkan kesehatan yang baik." Di dalam Sutta ini pun dijelaskan berbagai nasib seorang anak manusia. Bagi Anda yang tertarik mengetahui dan mempelajarinya lebih lanjut, silahkan mencarinya di berbagai situs Buddhis.

 

Jika nasib atau takdir manusia bukan ditentukan berdasarkan faktor kebetulan atau untung-untungan, padahal antara satu manusia dengan manusia lainnya terjadi ketidaksamaan atau keberagaman, faktor apa yang menjadi penentunya? Dalam buku Atthasālinī yang dikarang oleh Buddhaghosa, disebutkan: "Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul ketidaksamaan kelahiran makhluk-makhluk; menjadi tinggi dan rendah, hina dan mulia, berbahagia dan menderita. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul keberagaman kualitas individual, seperti rupawan dan buruk rupa, berkedudukan tinggi dan berstatus rendah, lengkap-sempurna organ tubuhnya dan cacat fisik. Bergantung pada perbedaan dalam Kamma, muncul perbedaan dalam kondisi duniawi, seperti untung dan rugi, populer dan terpuruk, dipuji dan dihina, suka dan duka."

 

Bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan ketidaksamaan atau keberagaman, yang terjadi di antara individu-individu manusia? Ilmu pengetahuan menjelaskannya dengan teori keturunan atau hereditas, dan pengaruh lingkungan; atau disebabkan oleh dua faktor yakni nature dan nurture. Teori keturunan menyebutkan bahwa seorang anak mewarisi ciri-ciri fisik dari ayah dan ibunya. Tetapi hereditas hanya mampu menjelaskan bagian raga atau jasmani manusia, serta belum mampu menerangkan perbedaan intelektual, mental, dan moral; apakah bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Contohnya adalah Guru kita, Sang Buddha. Beliau adalah seorang manusia agung, padahal kedua orang tuanya dan juga putera tunggalnya, sama sekali tidak menyamai dalam kualitas fisik, intelektual, mental, dan moralitasnya.

 

Di dalam Samyutta Nikāya I, 227 dinyatakan: "Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang akan dituai. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan, dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih, dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah daripadanya." Kalau kita melihat lewat kacamata duniawi, pernyataan tersebut tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Kita sering mendapatkan orang yang banyak melakukan kebajikan tetapi masih saja dia mengalami penderitaan; sebaliknya orang yang banyak berbuat jahat, malahan hidupnya senang-senang saja. Mengapa demikian? Apakah karmanya berbuah keliru? Sebetulnya tidak ada yang salah. Kita ambil sebuah lahan pertanian yang mulai ditanami dengan ketela dan jagung pada saat bersamaan, yang mana tanaman ketela dan jagung tersebut masing-masing memiliki saat panen yang berbeda. Jelas tanaman jagung akan panen terlebih dahulu dibandingkan tanaman ketela. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai. Dalam kasus ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Sedangkan perbuatan baiknya belum saatnya masak.

 

Kita harus yakin bahwa hukum karma menjamin keadilan. Orang yang berbuat jahat pada akhirnya harus menanggung akibat perbuatan buruknya. Hukum karma tidak akan salah dalam mengejar si pelakunya. Mungkin orang jahat itu bisa mengelabui hukum negara yang notabene hukum itu buatan manusia, sehingga dia bisa memanfaatkan celah-celah hukum, yang pada akhirnya dia lolos dari hukuman penjara atau vonisnya di-ringankan. Namun hukum karma tidak bisa diakali dan diajak kompromi; hukum karma bekerja secara otomatis walaupun kadang kala harus menunggu lama untuk mencapai kematangannya.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya perihal fragmen gambar di atas, yang memperlihatkan orang yang berkecukupan bahkan berkelimpahan hidupnya, karena dalam kehidupan yang lampau dia banyak berderma kepada fakir miskin. Apakah hanya dengan berderma saja, orang bisa menjadi orang yang kaya pada kehidupan mendatang? Bukankah ini melulu hanya ajaran yang naif dan cenderung dogmatis? Mungkin ada orang yang memiliki jalan pikiran seperti ini: "Engkau terlahir miskin dalam kehidupan ini karena karma buruk masa lalumu. Dia terlahir kaya karena karma baik masa lalunya. Jadi bersyukurlah dengan keadaanmu yang sederhana, tetapi berbuat baiklah sekarang agar engkau menjadi kaya di kehidupanmu yang selanjutnya." Doktrin karma dalam pandangan Buddhis tidak mendukung pandangan fatalistik semacam itu, juga tidak mengajarkan keadilan post-mortem. Sang Buddha yang Maha-Welas-Asih, tidak memiliki motif egois tersembunyi. Beliau tidak mengajarkan hukum karma ini untuk mempertahankan orang kaya agar tetap berkelimpahan di kehidupannya yang kemudian, lalu menghibur orang miskin dengan menjanjikan kebahagiaan ilusif di kehidupan yang akan datang.

 

Menurut doktrin Buddhis tentang Karma, seseorang tidak selalu dipaksa oleh keniscayaan belaka. Karena Karma bukanlah takdir atau predistinasi yang dipaksakan kepada kita, oleh suatu kekuatan misterius yang tidak diketahui, yang mana kita menyerah tanpa daya. Karma pada hakikatnya adalah perbuatan sendiri yang bereaksi terhadap diri sendiri, sehingga seseorang sampai batas tertentu memiliki kekuatan untuk mengalihkan arah Karma. Seberapa jauh seseorang mengalihkannya, tergantung pada orang itu sendiri. Penulis cukupkan bekerjanya hukum karma sampai di sini, agar tidak membingungkan para pembaca. Penulis mungkin akan membahas cara bekerjanya karma dalam artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230517




Tidak ada komentar:

Posting Komentar