Kamis, 29 Juni 2023

AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA



(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Manusia biasanya baru tergerak hatinya jika dia berada dalam kondisi terdesak atau kritis. Demikian pula ketika kita bicara mengenai pengakuan negara atas suatu agama atau kepercayaan, yang dianut oleh para pemeluknya. Hal inilah yang menandai perkembangan agama Konghucu di Indonesia, baik sewaktu kepercayaan ini ingin mendapatkan pengakuan di masa Pemerintahan Kolonial, maupun saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada artikel kali ini penulis ingin memaparkan apa itu agama Konghucu yang dianut oleh umatnya di Indonesia, dan sampai seberapa konsistennya dengan ajaran Konghucu itu sendiri. Artikel ini kami bagi menjadi dua bagian.

 

Pertama-tama kita tinjau dulu aspek yuridis tentang penetapan agama-agama yang diakui di Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, disebutkan perlindungan hukum diberikan pada enam agama yang dianut, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu: dan tidak berarti bahwa agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang. Namun kebebasan beragama umat Konghucu mendadak sirna saat Presiden Soekarno lengser, dan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Pejabat Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan.

 

Soeharto, melalui Inpres No. 14 Tahun 1967 ia menginstruksikan empat hal pokok: (1) Tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga dan perorangan. (2) Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. (3) Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri agama setelah mendengar pertimbangan jaksa agung. (4) Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh menteri dalam negeri bersama-sama jaksa agung. Dengan demikian kesenian barongsai dan tradisi Tionghoa lainnya, termasuk ritual agama Konghucu dilarang ditampilkan di depan publik. Mereka juga dibatasi melakukan peribadatan, seperti melakukan perayaan Tahun Baru Imlek. Bahkan di beberapa tempat umat Konghucu diminta untuk menutup tempat peribadahan mereka.

 

Terlebih ketika ditambah dengan keberadaan Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dalam bidang pendidikan siswa-siswi yang orang tuanya beragama Konghucu, hanya diperbolehkan memilih lima agama yang diakui oleh Pemerintah. Akibat dari tekanan ini banyak murid Konghucu yang berpindah agama. Tetapi tentunya kasus-kasus pindah-agama, tidak bisa disalahkan sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan rezim Orde Baru. Demikian juga pernikahan secara agama Konghucu dinyatakan tidak sah di mata hukum; dengan demikian pasangan yang ingin kawin bisa memilih dinikahkan menurut agama yang diakui oleh Pemerintah. Demikian paranoid-nya Pemerintah pada waktu itu, sampai ada kebijakan aksara Mandarin tidak boleh digunakan oleh warga Tionghoa. Semua nama toko, buku, dan naskah bertuliskan huruf cina harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mau mendirikan rumah ibadah baru atau sekedar renovasi saja? Ini pun langsung mendapat penolakan dari instansi setempat. Bagaimana jika sampai ada yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut? Siap-siap saja besoknya dia akan dipanggil ke kantor polisi guna diinterogasi. Orang Tionghoa yang memiliki buku beraksara Mandarin, untuk membacanya pun harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

 

Ada kisah yang menarik berkaitan dengan kebijakan pemerintah saat itu. Tersebutlah pasangan Budi Wijaya (Po Bing Bo) dan Lany Guito (Gwie Ay Lan), yang telah melangsungkan pernikahan secara agama Konghucu. Setelah mengantongi surat nikah dari Majelis Agama Khonghucu Boen Bio, mereka berdua meminta kepada Kantor Catatan Sipil (KCS) Surabaya untuk mencatatkan perkawinan mereka. KCS menolaknya dan lewat berbagai upaya, usaha keduanya selalu kandas, dan disarankan untuk menikah dengan memilih salah satu dari lima agama yang diakui saat itu. Tentu saja keduanya tak menuruti saran tersebut. Mereka memilih tetap berumah tangga hingga anak ketiga lahir pun, keduanya belum memiliki akta nikah dari kantor catatan sipil. Pasangan Budi-Lany tak tinggal diam. Mereka banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), gagal; lalu ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya pada tahun 1996. Saat itu usia Budi 32 dan Lany 24. Kali ini dalam persidangan, keduanya didampingi oleh Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU (Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Presiden RI keempat, 1999-2001). Namun upaya hukum mereka tetap saja gagal. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika pada 19 Mei 1997 Budi Wijaya dan istrinya melanjutkan perjuangan mereka dengan menggelar pertarungan babak ketiga: mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Perjuangan mereka tak sia-sia. MA menjatuhkan putusan yang memenangkan pasangan penganut Khonghucu ini. MA dalam putusannya memerintahkan KCS untuk mencatat perkawinan Budi Wijaya-Lany Guito sebagai perkawinan Khonghucu. Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa putusan MA ini dijatuhkan pada tahun 2000, yang merupakan era pasca-Soeharto, atau tepatnya dua tahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Memang sungguh mengagumkan perjuangan kedua insan Konghucu yang militan ini.

 

Dan kita pun sudah mengetahui bahwa tidak lama setelah Gus Dur diangkat menjadi Presiden RI, beliau mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 era Soeharto. Dengan Keppres Nomor 6/2000, Gus Dur mengembalikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa yang direnggut oleh rezim Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun. Sehingga, tak heran jika kalangan etnis Tionghoa selalu mengenang sosok Gus Dur pada setiap perayaan keagamaan mereka. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Adapun penetapan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.

Adalah menarik untuk melihat apa yang dinamakan sebagai agama Konghucu ini di tempat asal kelahirannya, yakni di Tiongkok Daratan. Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2023 ini memiliki lebih dari 1,4 milyar orang. Menurut Wikipedia, 73.56% penduduk Tiongkok tidak beragama; 15,87% beragama Buddha terutama mazhab Mahāyāna (dan ada sebagian lagi mazhab Tantrayana); 7,6% menganut Taoisme, Sekte Rakyat, dan organisasi keagamaan lainnya; 2,53% penganut Nasrani (Kristen dan Katolik); dan 1,7% Islam. Para cendekiawan menyatakan bahwa di Tiongkok tidak ada batasan yang jelas antara agama-agama, khususnya Buddha, Tao dan praktik agama asli populer lokal. Ajaran Konghucu dikenal sebagai filsafat dan tidak lazim dimasukkan dalam praktik keagamaan. Bahkan keberadaan agama dalam pengertian rakyat Tiongkok sekarang berbeda sekali dengan pemahaman agama di Indonesia. Bercermin dari keadaan yang terjadi di Tiongkok sendiri, dengan kenyataan yang terjadi sekarang; bahwa Konghucu disetarakan dengan lima agama besar yang diakui di Indonesia, maka kita harus menerima bahwa adanya agama Konghucu di Indonesia adalah satu keniscayaan.

 

Jika kita adakan satu survei bagaimana pendapat masyarakat Indonesia tentang agama Konghucu yang mereka kenal, maka mungkin kita akan mendapatkan jawaban seperti ini: "Umat Konghucu itu memiliki meja peribadatan di dalam rumah sendiri. Dalam bersembahyang mereka menggunakan batang-dupa yang dibakar bersama lilin merah, disertai dengan barang sesembahan yang berupa makanan dan minuman, dan diakhiri dengan pembakaran kertas-uang. Jika dua penganut Konghucu bertemu, mereka akan memberi salam dengan bersoja yakni telapak tangan kiri menyelimuti telapak tangan kanan sambil dikepalkan, lalu digerakkan naik-turun; berbeda dengan cara Hindu atau Buddha yang ber-anjali, yakni menangkupkan kedua tangan sejajar di depan dada. Kesenian umat Konghucu adalah atraksi barongsai dan tarian naga. Pada Lebaran-cina orang tua terbiasa memberikan angpao kepada anak atau cucunya, mengenakan pakaian serba merah, dan memasang petasan (kecuali pada zaman sekarang, karena membakar petasan itu dilarang). Umat Konghucu biasanya bersembahyang ke kuil, yang biasanya di dalamnya banyak ditemukan toapekong, dan arsitektur kuil itu mewakili bangunan rumah tradisional Tiongkok. Di kuil yang dinamakan 'kelenteng', mereka membakar batang-dupa dalam jumlah banyak dan lilin merah yang berukuran besar, dan karena asap yang begitu pekat, terus terang kita tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Penganut Konghucu bersembahyang pada toapekong, dengan harapan permintaan mereka dapat dikabulkan. Mereka mementingkan bersembahyang kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal, bahkan sebagian perayaan keagamaan mereka ditujukan untuk memuliakan nenek moyangnya."

 

Jawaban itu diberikan oleh orang luar yang beragama lain, yang hanya mengetahui agama Konghucu sepintas saja. Namun Anda jangan kaget, bahwa ternyata sebagian umat Konghucu yang penulis minta pendapatnya pun memiliki persepsi seperti itu. Penulis akan mencoba membahas kekeliruan pemahaman tersebut. Sebagai contohnya kita lihat dulu posisi 'kelenteng', yang dikatakan sebagai rumah ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu. Padahal, ini jelas tidak tepat. Seperti pendapat yang mengatakan bahwa penganut Konghucu pergi ke kelenteng dan berdoa di hadapan toapekong atau dewa.

 

Sebetulnya dalam tradisi orang Tionghoa hanya dikenal tiga macam kuil, yakni (1) kuil Buddhis, (2) kuil Taois, dan (3) kuil yang dibangun bukan untuk memuja para dewa, melainkan untuk memperingati seseorang yang semasa hidupnya telah banyak berjasa bagi orang banyak, dan menjadi panutan bagi masyarakat. Khusus pada kuil golongan ketiga ini merupakan tempat yang istimewa, yang tidak dikenal keberadaannya pada bangsa-bangsa lain. Kuil ini merupakan wujud pengaguman dan penghargaan rakyat atas nilai kemanusian menurut ukuran zaman itu.

 

Rumah ibadah umat Konghucu yang utama adalah 孔廟 (kǒng miào), atau Kuil Konghucu, atau Confucius Temple (Ingg.). Miào atau Bio (Hokkian) sering diterjemahkan sebagai 'kelenteng'. Kǒng miào memiliki ciri khas, yakni di dalam bangunan ini hanya ada kim sin atau rupang Guru Kǒng. Di dalam altar utama kuil ini terdapat banyak tulisan yang dikenal sebagai 神柱 (shén zhù) papan penghormatan Guru Kǒng (孔子, Kǒng Zǐ) serta para siswanya yang terkenal. Bangunan kǒng miào yang tertua di Indonesia terdapat di kota Surabaya yang dikenal dengan "Boen Bio" sedangkan di Jakarta kuil Konghucu terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

 

Boen Bio sendiri bermakna "Kuil Kesusastraaan". Awalnya kuil ini bernama "Boen Thjiang Soe", yang berdiri tahun 1883. Pada tahun 1903 Kang You Wei, seorang reformis dari Tiongkok, berkunjung ke kuil ini dan dia mengusulkan agar kuil yang berada di perkampungan ini diperluas dan dipindahkan ke pinggir jalan besar. Setelah mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter-persegi dari majoor der Chinezen The Toan Ing, maka pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi. Biayanya ditutup dari derma serta sumbangan uang hasil denda yang diperoleh para saudagar Tionghoa yang memenangkan perkara hukum di pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya selesai tahun 1906 dan menjadi bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini. Boen Bio yang megah, sekarang berlokasi di Jalan Kapasan 131, Surabaya, bisa Anda kunjungi jika berkunjung ke ibukota Jawa Timur ini. Kuil ini penuh dengan ornamen dan simbol-simbol keagamaan, dengan salah satu di antaranya adalah Genta atau Lonceng dengan pemukul dari logam. Umat Konghucu mestinya tahu bahwa 木鐸 (mù duó, atau Bok Tok, Hokkian) atau genta adalah simbol agama Khonghucu yang ada di Indonesia. Kǒng Zǐ sendiri mendapat gelar "Tianzi Mu Duo", yang berarti "Sang Genta Rohani Tuhan".

 

Selain kǒng miào, umat Konghucu juga mengenal 禮堂 (lǐ táng); arti harafiahnya: "Ruang Ibadah"; Lǐtáng adalah nama tempat ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia. Saat ini sudah ada lebih dari 250 Lǐtáng yang tersebar di seluruh Indonesia yang berada di bawah naungan Matakin atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (印尼孔教總會, Yìnní kǒng jiào zǒng huì). Umat Khonghucu biasanya melakukan ibadah di Litang setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan hari lain, yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan setempat. Upacara-upacara hari keagamaan lain seperti peringatan Hari Lahir Guru Kǒng (至聖誕, Zhì shèngdàn) pada tanggal 27 bulan ke-8, Hari Wafat Guru Kǒng (至聖忌辰, Zhì shèng jìchén) pada tanggal 18 bulan ke-2, Hari Tangcik (冬至, Dōngzhì) atau Genta Rohani pada tanggal 22 Desember, dan Tahun Baru Imlek (春節, Chūnjié) pada tanggal 1 bulan ke-1, biasanya dirayakan di Lǐtáng oleh umat Konghucu.

 

Jadi ada perbedaan yang nyata antara kǒng miào dan lǐtáng dengan kuil-kuil Buddhis dan Taois. Di Jakarta kuil Buddhis (Mahāyāna) yang paling tua adalah Kuil Kim Tek Ie atau Jīn Dé Yuàn (金德院), yang terletak di kawasan Glodok. Kuil ini didirikan pada tahun 1650 dan dinamakan Kwan Im Teng. Mungkin karena terdengar asing, warga bumiputera di Batavia mengucapkannya menjadi 'kelenteng', dan jadilah nama tersebut dipakai untuk menyebut rumah ibadah cina. Kuil Kim Tek Ie awalnya adalah kuil Buddhis dengan altar utama Buddha Shakyamuni atau 释迦牟尼 (Shì jiā móu ní), tetapi belakangan menghadirkan dewa-dewi lain. Sebutan lain adalah Ji Lai Hud (Hokkian), yang merupakan terjemahan dari Tathāgata, yakni dari kata Rúlái (如来). Mengapa disebut demikian? Karena patung Buddha di rumah orang Tionghoa pada masa itu dinamakan Ji Lai Hud. Di kuil Buddhis juga terdapat berbagai arca Bodhisattva, dan yang paling banyak dipuja adalah sosok Guānyīn. Salah satu kuil yang usianya telah melebihi satu abad adalah Kwan Im Tong Mangga Besar, yang didirikan pada 22 Juni 1916, dan sekarang masih banyak dikunjungi umat Buddha.

 

Kuil Taois yang berdiri sendiri atau tidak tercampur dengan tradisi Buddhis dan Konghucu, misalnya Taokwan Tài Qīng Gōng (太清) yang beralamat di Jl. Dukuh Kupang Barat I, Surabaya. Di altar utama terdapat _kim sin_ Mahadewa Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君), dan masih ada dewa-dewi Tao yang lain seperti Dewa Hok Tek Ceng Sin atau Dé Zhèng Shén (福德正神), Dewi Jiǔ Tiān Xuán Nǚ (九天玄女), Dewa Èr Láng Shén (二郎神), dan lain-lain. Sekarang kuil-kuil Tionghoa yang disebut kelenteng itu kebanyakan merupakan campuran dari berbagai tradisi, dan mayoritas dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Tridharma sendiri menyebut kuil-kuil tersebut sebagai "TITD", alias "Tempat Ibadah Tridharma".

 

Selain kuil-kuil, yang menjadi rumah ibadah orang Tionghoa, ada satu bangunan yang didirikan untuk melaksanakan ajaran dari Guru Kǒng, yakni keberadaan rumah-rumah abu. Inilah satu bangunan yang digunakan untuk menaruh "papan arwah", yang karena satu atau lain hal, keluarga yang bersangkutan tidak dapat memeliharanya. Kasus ini biasanya terjadi pada orang yang merantau ke tempat yang jauh, dan dia kesulitan untuk membawa serta papan arwah leluhurnya. Bisa jadi pula orang tersebut jatuh miskin, sehingga dia tidak dapat merawat dan menyembahyanginya. Dalam kondisi demikian, orang yang bermasalah ini dapat menaruh papan arwah orang tua dan leluhurnya ke rumah abu, agar diurus oleh saudara mereka. Tentu saja syaratnya, orang tersebut memiliki marga yang sama dengan pemilik rumah abu itu. Rumah abu ini ukuran maupun bentuknya menyerupai sebuah kuil. Di Jakarta misalnya pada abad yang lalu ada Rumah Abu Orang She Tan (atau Chén, ) yang berlokasi di Jl. Blandongan Seberang. Dalam rumah abu ini leluhur orang marga Tan dari pihak ayah, papan arwahnya disimpan di sana, dan orang memanggil mereka semua dengan sebutan "Kongco". Di kota-kota besar di Indonesia masih bisa kita temukan rumah abu marga Lao, marga Thio, marga Tjoa, dan lain-lain.

 

Sampai di sini mungkin Anda sekalian bisa memahami, bahwa rumah ibadah orang Tionghoa ternyata cukup beragam, dan tidak semuanya bisa dikategorikan sebagai tempat bersembahyangnya umat Konghucu. Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan, apa itu sebetulnya agama Konghucu, seperti yang diwartakan oleh Guru Kǒng. Sebagai penutup, penulis mengutip tulisan Kwee Tek Hoay (1886 - 1951) dalam artikelnya: Penjiaran Agama atawa Pelajaran Batin, berikut ini.

 

"Tentang philosofie dari Buddha dan Laotze jang begitoe bagoes dan tinggi, ia orang blon perna bitjaraken, dan paling banjak, kaloe diminta dengan sanget, ia orang adjarin pada orang-orang jang pertjaja Taopekong, bagimana moesti berdowa atawa liamking, zonder ambil poesing boeat terangin apa arti atawa maksuoednja itoe perkataan jang dioetjapken, … Djadinja, sebagi poeset penjiaran Buddhisme dan Taoisme, itoe klenteng-klenteng dengan iapoenja padri-padri ada sama djoega gagalnja seperti Kong Kauw Hwee poenja toedjoean boeat kembangken Khong Kauw atau Confucianisme.” (Moestika Dharma 4, Juli 1932, hal. 114).

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230628


Tidak ada komentar:

Posting Komentar