(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Manusia biasanya
baru tergerak hatinya jika dia berada dalam kondisi terdesak atau kritis.
Demikian pula ketika kita bicara mengenai pengakuan negara atas suatu agama
atau kepercayaan, yang dianut oleh para pemeluknya. Hal inilah yang menandai
perkembangan agama Konghucu di Indonesia, baik sewaktu kepercayaan ini ingin
mendapatkan pengakuan di masa Pemerintahan Kolonial, maupun saat rezim Orde
Baru berkuasa. Pada artikel kali ini penulis ingin memaparkan apa itu agama
Konghucu yang dianut oleh umatnya di Indonesia, dan sampai seberapa
konsistennya dengan ajaran Konghucu itu sendiri. Artikel ini kami bagi menjadi
dua bagian.
Pertama-tama kita
tinjau dulu aspek yuridis tentang penetapan agama-agama yang diakui di
Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, disebutkan perlindungan
hukum diberikan pada enam agama yang dianut, yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu: dan tidak berarti bahwa agama lain seperti
Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang. Namun kebebasan beragama umat
Konghucu mendadak sirna saat Presiden Soekarno lengser, dan rezim Orde Baru di
bawah kepemimpinan Pejabat Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan.
Soeharto, melalui
Inpres No. 14 Tahun 1967 ia menginstruksikan empat hal pokok: (1) Tata cara
ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada
negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan
keluarga dan perorangan. (2) Perayaan-perayaan pesta agama dan adat
istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan
dilakukan dalam lingkungan keluarga. (3) Penentuan kategori agama dan
kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina diatur oleh menteri agama setelah mendengar pertimbangan jaksa
agung. (4) Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan
pokok ini diatur oleh menteri dalam negeri bersama-sama jaksa agung. Dengan
demikian kesenian barongsai dan tradisi Tionghoa lainnya, termasuk
ritual agama Konghucu dilarang ditampilkan di depan publik. Mereka juga
dibatasi melakukan peribadatan, seperti melakukan perayaan Tahun Baru Imlek.
Bahkan di beberapa tempat umat Konghucu diminta untuk menutup tempat peribadahan
mereka.
Terlebih ketika
ditambah dengan keberadaan Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18
November 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat
Cina. Dalam bidang pendidikan siswa-siswi yang orang tuanya beragama Konghucu,
hanya diperbolehkan memilih lima agama yang diakui oleh Pemerintah. Akibat dari
tekanan ini banyak murid Konghucu yang berpindah agama. Tetapi tentunya
kasus-kasus pindah-agama, tidak bisa disalahkan sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan
rezim Orde Baru. Demikian juga pernikahan secara agama Konghucu dinyatakan
tidak sah di mata hukum; dengan demikian pasangan yang ingin kawin bisa memilih
dinikahkan menurut agama yang diakui oleh Pemerintah. Demikian paranoid-nya
Pemerintah pada waktu itu, sampai ada kebijakan aksara Mandarin tidak boleh
digunakan oleh warga Tionghoa. Semua nama toko, buku, dan naskah bertuliskan
huruf cina harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mau mendirikan rumah
ibadah baru atau sekedar renovasi saja? Ini pun langsung mendapat penolakan
dari instansi setempat. Bagaimana jika sampai ada yang melanggar
ketentuan-ketentuan tersebut? Siap-siap saja besoknya dia akan dipanggil ke
kantor polisi guna diinterogasi. Orang Tionghoa yang memiliki buku beraksara Mandarin,
untuk membacanya pun harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Ada kisah yang
menarik berkaitan dengan kebijakan pemerintah saat itu. Tersebutlah pasangan
Budi Wijaya (Po Bing Bo) dan Lany Guito (Gwie Ay Lan), yang telah melangsungkan
pernikahan secara agama Konghucu. Setelah mengantongi surat nikah dari Majelis
Agama Khonghucu Boen Bio, mereka berdua meminta kepada Kantor Catatan Sipil
(KCS) Surabaya untuk mencatatkan perkawinan mereka. KCS menolaknya dan lewat
berbagai upaya, usaha keduanya selalu kandas, dan disarankan untuk menikah
dengan memilih salah satu dari lima agama yang diakui saat itu. Tentu saja
keduanya tak menuruti saran tersebut. Mereka memilih tetap berumah tangga
hingga anak ketiga lahir pun, keduanya belum memiliki akta nikah dari kantor
catatan sipil. Pasangan Budi-Lany tak tinggal diam. Mereka banding ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), gagal; lalu ke Pengadilan Tinggi TUN
Surabaya pada tahun 1996. Saat itu usia Budi 32 dan Lany 24. Kali ini dalam
persidangan, keduanya didampingi oleh Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Umum
PBNU (Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Presiden RI keempat, 1999-2001). Namun
upaya hukum mereka tetap saja gagal. Perjuangan
tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika pada 19 Mei 1997 Budi Wijaya dan
istrinya melanjutkan perjuangan mereka dengan menggelar pertarungan babak
ketiga: mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Perjuangan mereka
tak sia-sia. MA menjatuhkan putusan yang memenangkan pasangan penganut
Khonghucu ini. MA dalam putusannya memerintahkan KCS untuk mencatat perkawinan
Budi Wijaya-Lany Guito sebagai perkawinan Khonghucu. Namun, penting untuk
dicatat di sini bahwa putusan MA ini dijatuhkan pada tahun 2000, yang merupakan
era pasca-Soeharto, atau tepatnya dua tahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Memang
sungguh mengagumkan perjuangan kedua
insan Konghucu yang militan ini.
Dan kita pun sudah mengetahui bahwa tidak lama setelah Gus Dur
diangkat menjadi Presiden RI, beliau mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 era Soeharto. Dengan Keppres Nomor 6/2000, Gus Dur mengembalikan hak-hak
yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa yang direnggut oleh rezim Orde Baru,
yang berkuasa selama 32 tahun. Sehingga, tak heran jika kalangan etnis Tionghoa
selalu mengenang sosok Gus Dur pada
setiap perayaan keagamaan mereka. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai
Bapak Tionghoa Indonesia. Adapun penetapan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai
hari libur nasional baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Adalah menarik untuk melihat apa yang dinamakan sebagai agama Konghucu ini di
tempat asal kelahirannya, yakni di Tiongkok Daratan. Republik Rakyat Tiongkok
pada tahun 2023 ini memiliki lebih dari 1,4 milyar orang. Menurut Wikipedia,
73.56% penduduk Tiongkok tidak beragama; 15,87% beragama Buddha terutama mazhab
Mahāyāna (dan ada sebagian lagi mazhab Tantrayana); 7,6% menganut Taoisme,
Sekte Rakyat, dan organisasi keagamaan lainnya; 2,53% penganut Nasrani (Kristen
dan Katolik); dan 1,7% Islam. Para cendekiawan menyatakan bahwa di Tiongkok
tidak ada batasan yang jelas antara agama-agama, khususnya Buddha, Tao dan
praktik agama asli populer lokal. Ajaran Konghucu dikenal sebagai filsafat dan
tidak lazim dimasukkan dalam praktik keagamaan. Bahkan keberadaan agama dalam
pengertian rakyat Tiongkok sekarang berbeda sekali dengan pemahaman agama di
Indonesia. Bercermin dari keadaan yang terjadi di Tiongkok sendiri, dengan
kenyataan yang terjadi sekarang; bahwa Konghucu disetarakan dengan lima agama
besar yang diakui di Indonesia, maka kita harus menerima bahwa adanya agama
Konghucu di Indonesia adalah satu keniscayaan.
Jika kita adakan
satu survei bagaimana pendapat masyarakat Indonesia tentang agama Konghucu yang
mereka kenal, maka mungkin kita akan mendapatkan jawaban seperti ini: "Umat Konghucu itu memiliki meja peribadatan di dalam rumah
sendiri. Dalam bersembahyang mereka menggunakan batang-dupa yang dibakar
bersama lilin merah, disertai dengan barang sesembahan yang berupa makanan dan
minuman, dan diakhiri dengan pembakaran kertas-uang. Jika dua penganut Konghucu
bertemu, mereka akan memberi salam dengan bersoja yakni telapak tangan
kiri menyelimuti telapak tangan kanan sambil dikepalkan, lalu digerakkan
naik-turun; berbeda dengan cara Hindu atau Buddha yang ber-anjali, yakni
menangkupkan kedua tangan sejajar di depan dada. Kesenian umat Konghucu adalah atraksi
barongsai dan tarian naga. Pada Lebaran-cina orang tua terbiasa memberikan angpao
kepada anak atau cucunya, mengenakan pakaian serba merah, dan memasang petasan
(kecuali pada zaman sekarang, karena membakar petasan itu dilarang). Umat
Konghucu biasanya bersembahyang ke kuil, yang biasanya di dalamnya banyak
ditemukan toapekong, dan arsitektur kuil itu mewakili bangunan rumah
tradisional Tiongkok. Di kuil yang dinamakan 'kelenteng', mereka membakar batang-dupa
dalam jumlah banyak dan lilin merah yang berukuran besar, dan karena asap yang
begitu pekat, terus terang kita tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Penganut
Konghucu bersembahyang pada toapekong, dengan harapan permintaan mereka
dapat dikabulkan. Mereka mementingkan bersembahyang kepada orang tua dan
leluhur yang telah meninggal, bahkan sebagian perayaan keagamaan mereka
ditujukan untuk memuliakan nenek moyangnya."
Jawaban itu diberikan oleh orang luar yang beragama lain, yang
hanya mengetahui agama Konghucu sepintas saja. Namun Anda jangan kaget, bahwa
ternyata sebagian umat Konghucu yang penulis minta pendapatnya pun memiliki
persepsi seperti itu. Penulis akan mencoba membahas kekeliruan pemahaman
tersebut. Sebagai contohnya kita lihat dulu posisi 'kelenteng',
yang dikatakan sebagai rumah ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu. Padahal,
ini jelas tidak tepat. Seperti pendapat yang mengatakan bahwa penganut Konghucu
pergi ke kelenteng dan berdoa di hadapan toapekong atau dewa.
Sebetulnya dalam tradisi orang Tionghoa hanya dikenal tiga macam
kuil, yakni (1) kuil Buddhis, (2) kuil Taois, dan (3) kuil yang dibangun bukan
untuk memuja para dewa, melainkan untuk memperingati seseorang yang semasa
hidupnya telah banyak berjasa bagi orang banyak, dan menjadi panutan bagi
masyarakat. Khusus pada kuil golongan ketiga ini merupakan tempat yang
istimewa, yang tidak dikenal keberadaannya pada bangsa-bangsa lain. Kuil ini
merupakan wujud pengaguman dan penghargaan rakyat atas nilai kemanusian menurut
ukuran zaman itu.
Rumah
ibadah umat Konghucu yang utama adalah 孔廟 (kǒng miào), atau Kuil Konghucu, atau Confucius
Temple (Ingg.). Miào atau Bio (Hokkian) sering diterjemahkan sebagai 'kelenteng'. Kǒng miào memiliki ciri khas,
yakni di dalam bangunan ini hanya ada kim sin atau rupang Guru Kǒng. Di dalam altar utama kuil ini terdapat banyak tulisan yang
dikenal sebagai 神柱 (shén zhù) papan penghormatan Guru
Kǒng (孔子, Kǒng Zǐ) serta para siswanya yang terkenal. Bangunan kǒng miào yang tertua di Indonesia terdapat di kota Surabaya yang
dikenal dengan "Boen Bio" sedangkan di Jakarta kuil Konghucu terdapat
di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Boen Bio
sendiri bermakna "Kuil Kesusastraaan". Awalnya kuil ini bernama "Boen Thjiang Soe", yang
berdiri tahun 1883. Pada tahun 1903 Kang You Wei, seorang reformis dari Tiongkok,
berkunjung ke kuil ini dan dia mengusulkan agar kuil yang berada di
perkampungan ini diperluas dan dipindahkan ke pinggir jalan besar. Setelah
mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter-persegi dari majoor der Chinezen The Toan
Ing, maka pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi. Biayanya ditutup dari
derma serta sumbangan uang hasil denda yang diperoleh para saudagar Tionghoa
yang memenangkan perkara hukum di pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya
selesai tahun 1906 dan menjadi bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini.
Boen Bio yang megah, sekarang berlokasi di Jalan Kapasan 131, Surabaya, bisa
Anda kunjungi jika berkunjung ke ibukota Jawa Timur ini. Kuil ini penuh dengan
ornamen dan simbol-simbol keagamaan, dengan salah satu di antaranya adalah
Genta atau Lonceng dengan pemukul dari logam. Umat Konghucu mestinya tahu bahwa
木鐸 (mù duó,
atau Bok Tok, Hokkian) atau genta adalah
simbol agama Khonghucu yang ada di Indonesia. Kǒng Zǐ sendiri mendapat gelar "Tianzi Mu Duo",
yang berarti "Sang Genta
Rohani Tuhan".
Selain kǒng miào, umat Konghucu juga mengenal 禮堂 (lǐ táng);
arti harafiahnya: "Ruang
Ibadah"; Lǐtáng adalah nama tempat
ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia. Saat ini sudah ada
lebih dari 250 Lǐtáng yang tersebar di seluruh Indonesia yang berada di bawah
naungan Matakin atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (印尼孔教總會, Yìnní kǒng jiào zǒng huì). Umat
Khonghucu biasanya melakukan ibadah di Litang setiap tanggal 1 dan 15
penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan
hari lain, yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan setempat.
Upacara-upacara hari keagamaan lain seperti peringatan Hari Lahir Guru Kǒng (至聖誕, Zhì shèngdàn)
pada tanggal 27 bulan ke-8, Hari Wafat Guru Kǒng (至聖忌辰, Zhì shèng jìchén) pada tanggal
18 bulan ke-2, Hari Tangcik (冬至, Dōngzhì) atau
Genta Rohani pada tanggal 22 Desember, dan Tahun Baru Imlek (春節, Chūnjié) pada tanggal 1 bulan ke-1, biasanya dirayakan
di Lǐtáng oleh umat Konghucu.
Jadi ada perbedaan yang nyata antara kǒng miào
dan lǐtáng dengan kuil-kuil Buddhis dan Taois. Di Jakarta kuil Buddhis (Mahāyāna)
yang paling tua adalah Kuil Kim Tek Ie atau Jīn Dé Yuàn (金德院), yang
terletak di kawasan Glodok. Kuil ini didirikan pada tahun 1650 dan
dinamakan Kwan Im Teng. Mungkin karena terdengar asing, warga bumiputera
di Batavia mengucapkannya menjadi 'kelenteng', dan jadilah nama tersebut dipakai untuk menyebut rumah ibadah cina. Kuil
Kim Tek Ie awalnya adalah kuil Buddhis dengan altar utama Buddha Shakyamuni atau
释迦牟尼 (Shì jiā móu
ní), tetapi belakangan menghadirkan dewa-dewi lain. Sebutan lain adalah Ji
Lai Hud (Hokkian), yang merupakan terjemahan dari Tathāgata, yakni dari kata Rúlái
(如来). Mengapa
disebut demikian? Karena patung Buddha di rumah orang Tionghoa pada masa
itu dinamakan Ji Lai Hud. Di kuil Buddhis juga terdapat berbagai arca
Bodhisattva, dan yang paling banyak dipuja adalah sosok Guānyīn. Salah satu kuil yang usianya telah
melebihi satu abad adalah Kwan Im Tong Mangga Besar, yang didirikan pada 22
Juni 1916, dan sekarang masih banyak dikunjungi umat Buddha.
Kuil Taois yang berdiri sendiri atau tidak tercampur dengan
tradisi Buddhis dan Konghucu, misalnya Taokwan Tài Qīng Gōng (太清宫) yang beralamat di Jl. Dukuh Kupang Barat I, Surabaya. Di altar utama terdapat _kim sin_ Mahadewa
Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君),
dan masih ada dewa-dewi Tao yang lain seperti Dewa Hok Tek Ceng Sin atau Fú Dé Zhèng Shén (福德正神), Dewi Jiǔ Tiān Xuán Nǚ (九天玄女),
Dewa Èr Láng Shén (二郎神), dan lain-lain. Sekarang kuil-kuil Tionghoa
yang disebut kelenteng itu kebanyakan merupakan campuran dari berbagai tradisi,
dan mayoritas dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Tridharma sendiri menyebut
kuil-kuil tersebut sebagai "TITD", alias "Tempat Ibadah
Tridharma".
Selain kuil-kuil, yang menjadi rumah ibadah orang
Tionghoa, ada satu bangunan yang didirikan untuk melaksanakan ajaran dari Guru Kǒng, yakni
keberadaan rumah-rumah abu. Inilah satu bangunan yang digunakan untuk menaruh "papan arwah", yang karena satu atau lain hal,
keluarga yang bersangkutan tidak dapat memeliharanya. Kasus ini biasanya
terjadi pada orang yang merantau ke tempat yang jauh, dan dia kesulitan untuk
membawa serta papan arwah leluhurnya. Bisa jadi pula orang tersebut jatuh
miskin, sehingga dia tidak dapat merawat dan menyembahyanginya. Dalam kondisi
demikian, orang yang bermasalah ini dapat menaruh papan arwah orang tua dan
leluhurnya ke rumah abu, agar diurus oleh saudara mereka. Tentu saja syaratnya,
orang tersebut memiliki marga yang sama dengan pemilik rumah abu itu. Rumah abu
ini ukuran maupun bentuknya menyerupai sebuah kuil. Di Jakarta misalnya pada
abad yang lalu ada Rumah Abu Orang She Tan (atau Chén, 陳) yang berlokasi di Jl.
Blandongan Seberang. Dalam rumah abu ini leluhur orang marga Tan dari pihak
ayah, papan arwahnya disimpan di sana, dan orang memanggil mereka semua dengan
sebutan "Kongco". Di kota-kota besar di Indonesia masih bisa kita
temukan rumah abu marga Lao, marga Thio, marga Tjoa, dan lain-lain.
Sampai di sini mungkin Anda sekalian bisa memahami, bahwa rumah
ibadah orang Tionghoa ternyata cukup beragam, dan tidak semuanya bisa
dikategorikan sebagai tempat bersembahyangnya umat Konghucu. Masih diperlukan
studi lebih lanjut untuk menentukan, apa itu sebetulnya agama Konghucu, seperti
yang diwartakan oleh Guru Kǒng. Sebagai
penutup, penulis mengutip tulisan Kwee Tek Hoay (1886 - 1951) dalam artikelnya:
Penjiaran Agama atawa Pelajaran Batin,
berikut ini.
"Tentang philosofie dari Buddha dan Laotze
jang begitoe bagoes dan tinggi, ia orang blon perna bitjaraken, dan paling
banjak, kaloe diminta dengan sanget, ia orang adjarin pada orang-orang jang
pertjaja Taopekong, bagimana moesti berdowa atawa liamking, zonder ambil
poesing boeat terangin apa arti atawa maksuoednja itoe perkataan jang
dioetjapken, … Djadinja, sebagi poeset penjiaran Buddhisme dan Taoisme, itoe
klenteng-klenteng dengan iapoenja padri-padri ada sama djoega gagalnja seperti
Kong Kauw Hwee poenja toedjoean boeat kembangken Khong Kauw atau
Confucianisme.” (Moestika Dharma 4, Juli 1932, hal. 114).
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/230628
Tidak ada komentar:
Posting Komentar