Kamis, 13 Juli 2023

AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam tulisan yang lalu telah diceritakan bagaimana agama Konghucu di Indonesia sempat tidak diakui keberadaannya, yakni selama rezim Orde Baru berkuasa. Atas jasa Gus Dur, presiden RI keempat, barulah umat Konghucu memperoleh kebebasan menganut agamanya kembali. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Pengakuan agama Konghucu sebagai agama oleh negara, yang sejajar dengan lima agama besar lainnya adalah sebuah keniscayaan, karena di Tiongkok Daratan sendiri ajaran Konghucu atau Rú Jiào dikategorikan sebagai satu aliran filsafat.

 

Seperti yang dipaparkan oleh penulis, bahkan orang yang mengaku beragama Konghucu, tidak mengetahui agamanya dengan benar. Seperti jika kita meninjau tempat umat bersembahyang, masih ada yang beranggapan bahwa kelenteng adalah rumah ibadah agama Konghucu. Padahal kuil atau kelenteng itu bisa saja merupakan kuil Buddhis, atau kuil Taois, atau kuil campuran. Nyatanya kebanyakan kuil di Indonesia adalah kuil campuran, yang dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Ketidakpahaman umat Konghucu terhadap ajaran agamanya itu, telah dikritik oleh Kwee Tek Hoay hampir seratus tahun yang lalu, dengan menyebutkan bahwa mayoritas pemeluk agama hanya berkutat menjalani ritual keagamaan belaka. Oleh MATAKIN telah ditetapkan bahwa rumah ibadah umat Konghucu adalah kǒng miào dan lǐ táng.

 

Pada bagian kedua ini penulis akan menceritakan sejarah singkat perkembangan ajaran Konghucu atau sejarah Sekolah Ruisme, agar para pembaca bisa memahami atau bahkan memperdalam sendiri ajaran yang sesungguhnya dari Kǒng Zǐ. Selama hidupnya beliau dikenal sebagai 'guru dari tiga ribu murid dan tujuh puluh dua orang bijak'. Mungkin ini adalah warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh Sang Guru Agung bangsa Tionghoa. Dengan begitu banyak siswa yang dicetak oleh Sang Guru, murid-muridnya kemudian menyebarkan etika, ritual, dan berbagai pengetahuan yang dikenal pada zaman itu. Saat berusia 68 tahun Kǒng Zǐ  pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan pengembaraan panjangnya. Pada tahun 483 seb.M. Kǒng Lǐ, putera semata wayangnya, meninggal dunia. Lalu dua tahun berikutnya siswa favoritnya, Yán Huí, wafat pada usia yang relatif muda. Sang Guru sendiri menyusul dua tahun kemudian, pada tahun 479 seb.M. Orang yang bertugas mewariskan ajarannya jatuh pada diri Kǒng Jí (孔伋), yang merupakan putera dari Kǒng Lǐ. Anda yang berminat mengetahui riwayat hidup Kǒng Zǐ bisa melihat artikel penulis sebelumnya, yang berjudul Kǒng Zǐ dan Ruisme.

 

Beberapa generasi setelah wafatnya Kǒng Zǐ, lahirlah seorang pemikir besar yang kelak dikenal sebagai Mencius (372-289 seb.M.). Nama lahirnya adalah Mèng Kē (孟軻), dan belakangan dia dipanggil sebagai Mèng Zǐ (孟子) atau Bēng-chú (Hokkian), yang artinya adalah 'Guru Mèng'. Mèng Zǐ adalah seorang filsuf Konfusius Tiongkok yang sering digambarkan sebagai 'Orang Bijak kedua' atau Yà Shèng (亞聖), yakni orang kedua setelah Kǒng Zǐ sendiri. Dia adalah bagian dari generasi keempat murid Kǒng Zǐ. Mencius mewarisi ideologi Ruisme dan mengembangkannya lebih jauh. Hidup selama periode Negara-negara Berperang, dia dikatakan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya berkeliling negara bagian untuk menawarkan nasihat kepada penguasa yang berbeda. Percakapan dengan para penguasa ini menjadi dasar dari Mencius, yang nantinya akan dikanonisasi sebagai karya klasik Sekolah Ruisme.

 

Salah satu prinsip utama dari Mèng Zǐ adalah keyakinan bahwa sifat manusia adalah baik. Dia sering melakukan pembicaraan dengan para Raja atau penguasa pada masa itu, untuk meyakinkan mereka agar menjadi pemimpin yang benar dan bermoral. Pada gilirannya, negara dengan kebijakan yang adil dan manusiawi akan berkembang secara alami. Warga negara, dengan kebebasan dari aturan yang baik, kemudian akan mengalokasikan waktu mereka untuk merawat isteri, saudara laki-laki, orang tua, dan anak-anak mereka. Rakyat juga harus dibimbing dengan pendidikan dan ritus-ritus yang tepat, sehingga secara alami mereka akan menjadi warga negara yang lebih baik.

 

Selang satu generasi kemudian lahir seorang pemikir besar lainnya, yang bernama Xún Kuàng (荀況; diperkirakanhidup antara 310 - 238 seb.M.). Dia lebih dikenal sebagai Xún Zǐ (荀子), yang berarti: 'Guru Xún'. Bedanya dengan Mèng Zǐ, dia adalah seorang filsuf yang hidup pada akhir periode masa Negara-Negara Berperang. Setelah pendahulunya Kǒng Zǐ dan Mèng Zǐ, Xún Zǐ sering digolongkan sebagai filsuf besar Ruisme ketiga zaman kuno. Pada masanya, Rú Jiào telah banyak dikritik oleh para pemikir Taois dan Mohist, dan Xún Zǐ secara tradisional dianggap sebagai tokoh yang mempersatukan tradisi-tradisi ini dengan pemikiran sebelumnya. Hasilnya adalah revisi Sekolah Ruisme yang menyeluruh dan kohesif, yang sangat penting bagi fondasi filsafat yang akan berkembang di Dinasti Han dan sepanjang sejarah Asia Timur selanjutnya. Karya-karyanya disusun dalam Eponim Xún Zǐ, dan bertahan dalam kondisi yang sangat baik dan orisinil.

 

Ajaran Xún Zǐ yang paling terkenal dan paling banyak dikutip adalah Bab 23, "Sifat Manusia itu Jahat". Watak atau karakter manusia, yang dikenal sebagai Xìng (), adalah topik yang dikomentari oleh Kǒng Zǐ secara ambigu (atau mengandung kedwi-artian), menyisakan banyak ruang bagi para filsuf selanjutnya untuk memperluasnya. Xún Zǐ percaya bahwa kecenderungan bawaan manusia adalah jahat dan bahwa norma etika diciptakan untuk memperbaiki manusia. Oleh karena itu, pandangannya memiliki rasa yang lebih gelap dan lebih pesimistis dibandingkan dengan pendapat Kǒng Zǐ maupun Mèng Zǐ, yang cenderung memandang manusia memiliki bawaan yang baik. Namun, seperti kebanyakan orang dari Sekolah Ruisme, dia percaya bahwa manusia dapat dimurnikan melalui pendidikan dan ritual.

 

Menjelang akhir hidup Xún , periode Negara-negara Berperang mendekati akhir, dan dari tahun 247 hingga 221 seb.M., Qín Shǐ Huáng berkuasa menjadi kaisar pertama Tiongkok. Inilah masa kelam bagi ajaran Ruisme dan juga aliran-aliran pemikiran lainnya yang diberangus oleh sang penguasa. Bahkan banyak pemikir Ruisme yang dibunuh dan kitab-kitab mereka dimusnahkan. Barulah pada masa pemerintahan Dinasti Hàn ajaran Rú Jiào diterima dan mengalami masa keemasannya. Dalam mempelajari sejarah Sekolah Ruisme, cendekiawan modern berfokus pada Kaisar Wǔ atau Hàn Wǔ Dì (漢武帝) yang memerintah dari tahun 141 hingga 87 seb.M. dan Dǒng Zhòng Shū (董仲舒,179-104 seb.M.), karena keduanya telah memberikan dasar ideologis dan sintesis Sekolah Ruisme.

 

Pada tahun 140 seb.M., Kaisar melakukan pengamatan terhadap lebih dari seratus cendekiawan muda. Setelah direkomendasikan oleh para pejabat, sebagian besar sarjana tersebut adalah rakyat jelata tanpa latar belakang bangsawan. Peristiwa penting ini berdampak besar pada sejarah Tiongkok selanjutnya, yang menandai dimulainya secara resmi pendirian ajaran Jiào sebagai doktrin resmi kekaisaran. Ini terjadi karena seorang cendekiawan muda Konfusius, Dǒng Zhòng Shū, dinilai telah menyerahkan esai terbaik yang mana dia menganjurkan pendirian akademi yang menitikberatkan pada ajaran Kǒng Zǐ. Tidak jelas apakah Kaisar , di usianya yang masih muda, benar-benar memutuskan hal ini berdasarkan pertimbangan pribadi, atau apakah keputusan ini hasil intrik sang perdana menteri Wèi Wǎn (衛綰), yang juga seorang pengikut Konfusianisme. Namun, fakta bahwa beberapa cendekiawan muda lainnya yang mendapat nilai tinggi dalam ujian (tetapi bukan Dǒng), yang kemudian menjadi penasihat tepercaya Kaisar Wǔ, tampaknya menunjukkan bahwa Kaisar sendiri setidaknya telah memiliki inisiatif sendiri.

 

Dǒng Zhòng Shū adalah seorang filsuf, politikus, dan penulis Tiongkok pada masa Dinasti Hàn. Dia secara tradisional dikaitkan dengan promosi ajaran Jiào sebagai ideologi resmi negara kekaisaran Tiongkok. Kaisar Wǔ terkenal pula karena mengkanonisasi pembelajaran Sekolah Ruisme sebagai ortodoksi negara, serta mengangkat Lima Klasik ke status kanonik pada tahun 136 seb.M. Lima Klasik atau Wǔ Jīng (五經) terdiri dari Shī Jīng (詩經) atau Kitab Ode atau Kitab Puisi, Shū Jīng (書經) atau Kitab Dokumen, Yì Jīng atau I Ching atau Kitab Perubahan, Lǐ Jì (禮記) atau Kitab Ritus, dan Chūn Q(春秋) atau 'Musim Semi dan Musim Gugur' atau Kronik Sejarah Negeri Lu. Kaisar juga dikenal karena mendirikan Akademi Kekaisaran pada tahun 124 seb.M., dengan menjadikan pembelajaran sebagai jalan penting untuk penunjukan pejabat birokrat. Selain itu, kebijaksanaan konvensional mengatakan bahwa Dǒng Zhòng Shū menyediakan landasan ideologis dasar bagi Dinasti Hàn dan dinasti Tiongkok berikutnya, dengan menggabungkan kosmologi lima fase dengan etika Sekolah Ruisme dan keilmuan klasik.

 

Sekarang kita coba melihat apa dampak diresmikannya Sekolah Ruisme dalam sistem kenegaraan di Tiongkok Kuno. Pejabat-cendekiawan, juga dikenal sebagai sastrawan, atau sarjana-birokrat, atau S-dàfū (士大夫), adalah pejabat pemerintah dan cendekiawan bergengsi dalam masyarakat Tiongkok, dan selanjutnya membentuk kelas sosial yang berbeda. Pejabat-cendekiawan adalah politisi dan pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh kaisar Tiongkok yang berkuasa, untuk menjalankan tugas politik sehari-hari, mulai diberlakukan dari zaman Dinasti Hàn hingga akhir Dinasti Qīng pada tahun 1912 (yakni dinasti kekaisaran terakhir di Tiongkok).

 

Para calon atau mereka yang sudah meraih tingkat pendidikan berjenjang ini paling tidak terdiri dari tiga lapisan. Di Tiongkok Kuno, sesorang yang telah lulus ujian masuk untuk menempuh pendidikan lanjutan di perguruan tinggi dinamakan Shēng Yuán (生員) atau Xiù Cái (秀才). Peringkat berikutnya adalah orang-orang yang lulus ujian Xiāng Shì (鄉試), dan mereka dinamakan Rén (舉人, harfiah: menyala, atau 'orang yang direkomendasikan'). Xiāngshì juga dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai ujian provinsi. Itu adalah peringkat yang lebih tinggi dari mereka yang hanya mencapai Shēng Yuán. Peringkat tertinggi adalah Jìn Shì (進士), yakni gelar tertinggi dan terakhir dalam ujian kekaisaran di Kekaisaran Tiongkok. Ujian biasanya diselenggarakan di ibukota kekaisaran, di istana, dan juga disebut 'Ujian Metropolitan'. Penerima terkadang disebut dalam sumber berbahasa Inggris sebagai Imperial Scholars (Sarjana Kekaisaran, Ind.).

 

Ujian kekaisaran atau Jǔ (科舉, harfiah: 'rekomendasi subjek') adalah sistem ujian pegawai negeri di Kekaisaran Tiongkok, yang diselenggarakan dengan tujuan memilih kandidat untuk birokrasi negara. Konsep memilih birokrat berdasarkan prestasi dan bukan berdasarkan kelahiran, dimulai sejak awal sejarah Tiongkok. Tetapi penerapan ujian tertulis sebagai alat seleksi dimulai dengan sungguh-sungguh selama dinasti Suí yang berlanjut ke dinasti Táng. Sistem tersebut menjadi dominan selama Dinasti Sòng dan bertahan selama hampir satu milenium hingga dihapuskannya menjelang reformasi akhir Dinasti Qīng pada tahun 1905. Penerapan ujian tradisional kekaisaran masih diberlakukan untuk masuk ke dalam pelayanan sipil Tiongkok kontemporer, baik di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) maupun di Republik Tiongkok.

 

Ujian tersebut berfungsi untuk memastikan bahwa kandidat memiliki pengetahuan umum, kemudian menguji kefasihan menulis dalam aksara Mandarin, penguasaan Lima Klasik, dan pengungkapan ucapan dalam gaya sastra, yang harus ditampilkan oleh calon-calon pejabat negara. Penerapan kebiasaan ini bertujuan menyatukan kekaisaran, dan cita-cita pencapaian berdasarkan prestasi, memberi legitimasi pada pemerintahan kekaisaran. Untuk lulus ujian peringkat tertinggi adalah sulit. Contohnya sepanjang pemerintahan Dinasti Táng, setiap tahun hanya sekitar satu hingga dua persen peserta tes yang akan memperoleh gelar Jìn Shì dari total satu hingga dua ribu peserta tes. Setelah dinasti Suí, para pejabat ini sebagian besar berasal dari sarjana-bangsawan atau Shēn S (紳士) yang telah memperoleh gelar akademik (seperti Xiù Cái, Jǔ Rén, atau Jìn Shì) dengan lulus ujian kekaisaran. Pejabat-cendekiawan adalah kelas elit kekaisaran Tiongkok. Mereka berpendidikan tinggi, terutama dalam sastra dan seni, termasuk kaligrafi dan naskah-naskah Konfusianisme. Mereka mendominasi administrasi pemerintahan dan kehidupan lokal masyarakat Tiongkok hingga awal abad ke-20.

 

Setelah Anda para pembaca mengenal pejabat-cendekiawan atau dalam literatur sering dinamakan 'Sarjana Konfusian', kita akan melihat empat macam profesi yang dijalani orang sejak zaman Tiongkok Kuno. Empat pekerjaan atau "empat kategori orang", atau Shì Nóng Gōng Shāng (士农工商), Empat golongan ini terdiri dari Shì atau bangsawan-cendekiawan, Nóng atau petani, Gōng yakni pengrajin, dan Shāng atau pedagang. Keempat profesi tersebut tidak selalu diatur dalam urutan ini. Keempat kategori tersebut bukanlah kelas sosial-ekonomi. Kekayaan dan kedudukan tidak bersesuaian dengan kategori-kategori ini, juga tidak didasarkan pada keturunan. Jelas pembagian kategori orang ini tidak seperti sistem Kasta atau Varna yang berlaku di India, yang ditetapkan berdasarkan keturunan. Jadi anak petani jika dia mampu dan memiliki keterampilan, bisa diangkat menjadi pejabat-cendekiawan.

 

Ternyata warisan dari Kǒng Zǐ dan Sekolah Ruisme tidak hanya diterapkan di Tiongkok saja. Ajarannya termasuk etika Jiào, pandangan hidup, pemikiran filsafat, sistem pendidikan, dan ujian negara diserap pula oleh negara-negara di Asia Timur lainnya, seperti di Korea, Jepang, dan Vietnam, sampai sekarang. Contohnya adalah Nguyễn Sinh Sắc, yang merupakan ayah dari Hồ Chí Minh (negarawan dan presiden pertama Vietnam), yang ternyata bergelar Sarjana Konfusian.

 

Selama Dinasti Sòng dan Míng, para filsuf Sekolah Ruisme menggabungkan pemikiran Taois dan Buddhis untuk menghasilkan aliran Neo-Konfusianisme, yang selanjutnya memperkaya sistem ideologi Sekolah Ruisme. Hal ini secara langsung meningkatkan kemakmuran kelas pejabat-cendekiawan dan juga berkontribusi pada kode moral unik, yang berdampak besar pada sastrawan Tiongkok generasi selanjutnya. Apa itu Neo-Konfusianisme? Kita akan membahasnya dalam artikel mendatang.

 

Akhir abad ke-19 terjadi perubahan besar bagi Kekaisaran Tiongkok untuk menata kembali hubungan luar negerinya, ketika Imperialisme Eropa yang agresif berkembang di seluruh Asia. Selama era yang penuh gejolak ini, Tiongkok berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam memasuki tatanan dunia baru. Untuk memperkuat negara dan mempertahankan kemerdekaan nasional melawan kolonialis Eropa dan Jepang, golongan elit Tiongkok secara aktif membuka diri terhadap pembelajaran Barat. Pada tahun 1905, ujian pegawai negeri berdasarkan tradisi Sekolah Ruisme akhirnya dihapuskan. Selanjutnya memasuki zaman pergolakan yang memicu perang saudara antara Rezim Nasionalis melawan pemberontak Komunis, pihak Komunis memfitnah Konfusianisme sebagai penyebab keterbelakangan dan kehancuran Tiongkok. Selama era Máo Zédōng (毛泽东), ajaran Rú Jiào terus digaungkan sebagai penyebab stagnannya masyarakat Tiongkok, yang membuat negeri besar ini terpuruk.

 

Máo Zédōng dengan pemerintahan berdasarkan azas komunisme pun tidak berhasil menyejahterakan masyarakat Tiongkok. Menjalankan program Lompatan Besar ke Depan (1958-1962) yang terbukti gagal total; dan mengakibatkan 15 hingga 55 juta rakyat Tiongkok menderita kelaparan hebat, serta sebagian dari mereka tewas. Ketika Komunisme tidak lagi menjadi model yang memuaskan bagi Tiongkok, para politisi dan intelektual mencari identitas dan model baru, yang dengannya mereka dapat membentuk masa depan mereka. Akibatnya, meskipun dibuang pada awal abad ke-20 sebagai penyebab kematian Tiongkok, Konfusianisme kembali dilirik sebagai model ideologi Tiongkok Modern.

 

Pada 2013, Xí Jìnpíng (习近平) menjadi ketua pertama dalam sejarah Partai Komunis Tiongkok (CPC) yang mengunjungi Kuil Konfusius, yang terletak di Qūfù. Di sana Xí berpidato tentang keunggulan Konfusianisme, dan pada bulan Januari 2017 untuk memberikan ekspresi konkret gagasan Xí, Kantor Umum di bawah Komite Pusat CPC dan Dewan Negara bersama-sama mengeluarkan "Saran tentang implementasi proyek untuk mempromosikan dan mengembangkan keunggulan budaya tradisional Tiongkok." Proposal ini berisikan inisiatif pemerintah untuk mempromosikan budaya Tionghoa dan Konfusianisme.

 

Demikianlah para pembaca, kita dapat melihat pasang surut ajaran Sekolah Ruisme, sejak ajaran ini diperkenalkan oleh Kǒng Zǐ lalu dilanjutkan oleh para pengikutnya. Jelas terlihat bahwa ajaran Rú Jiào sudah mendarah daging bagi mereka yang pernah makan bangku sekolah di Tiongkok, selama lebih dari dua ribu tahun. Meskipun tidak diajarkan sebagai pelajaran agama, etika dan ketatanegaraan dalam Sekolah Ruisme lebih mirip dengan mata pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Atas dasar itulah alasan mengapa ajaran Kǒng Zǐ tidak dikategorikan sebagai agama yang diakui di Tiongkok Daratan. Namun, walaupun demikian, etika Konfusian sudah melebur ke dalam tradisi dan budaya Tionghoa itu sendiri.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230712

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar