(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Dalam tulisan yang lalu telah
diceritakan bagaimana agama Konghucu di Indonesia sempat tidak diakui
keberadaannya, yakni selama rezim Orde Baru berkuasa. Atas jasa Gus Dur,
presiden RI keempat, barulah umat Konghucu memperoleh kebebasan menganut
agamanya kembali. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, Tahun Baru
Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Pengakuan agama Konghucu sebagai
agama oleh negara, yang sejajar dengan lima agama besar lainnya adalah sebuah
keniscayaan, karena di Tiongkok Daratan sendiri ajaran Konghucu atau Rú
Jiào dikategorikan sebagai satu aliran
filsafat.
Seperti yang dipaparkan oleh penulis,
bahkan orang yang mengaku beragama Konghucu, tidak mengetahui agamanya dengan
benar. Seperti jika kita meninjau tempat umat bersembahyang, masih ada yang
beranggapan bahwa kelenteng adalah rumah ibadah agama Konghucu. Padahal kuil
atau kelenteng itu bisa saja merupakan kuil Buddhis, atau kuil Taois, atau kuil
campuran. Nyatanya kebanyakan kuil di Indonesia adalah kuil campuran, yang
dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Ketidakpahaman umat Konghucu terhadap
ajaran agamanya itu, telah dikritik oleh Kwee Tek Hoay hampir seratus tahun
yang lalu, dengan menyebutkan bahwa mayoritas pemeluk agama hanya berkutat
menjalani ritual keagamaan belaka. Oleh MATAKIN telah ditetapkan bahwa rumah
ibadah umat Konghucu adalah kǒng miào dan lǐ táng.
Pada bagian kedua ini penulis akan
menceritakan sejarah singkat perkembangan ajaran Konghucu atau sejarah Sekolah
Ruisme, agar para pembaca bisa memahami atau bahkan memperdalam sendiri ajaran
yang sesungguhnya dari Kǒng Zǐ. Selama hidupnya beliau dikenal sebagai 'guru dari tiga ribu
murid dan tujuh puluh dua orang bijak'. Mungkin ini adalah warisan yang paling berharga yang
ditinggalkan oleh Sang Guru Agung bangsa Tionghoa. Dengan begitu banyak siswa yang dicetak oleh Sang Guru,
murid-muridnya kemudian menyebarkan etika, ritual, dan berbagai pengetahuan yang dikenal pada zaman itu. Saat berusia 68 tahun Kǒng
Zǐ pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan
pengembaraan panjangnya. Pada tahun 483 seb.M. Kǒng Lǐ, putera semata
wayangnya, meninggal dunia. Lalu dua tahun berikutnya
siswa favoritnya, Yán Huí, wafat pada usia yang relatif muda. Sang Guru sendiri
menyusul dua tahun kemudian, pada tahun 479 seb.M. Orang yang bertugas
mewariskan ajarannya jatuh pada diri Kǒng Jí (孔伋), yang
merupakan putera dari Kǒng Lǐ. Anda yang berminat mengetahui riwayat hidup Kǒng Zǐ bisa
melihat artikel penulis sebelumnya, yang berjudul Kǒng Zǐ dan Ruisme.
Beberapa generasi setelah wafatnya Kǒng
Zǐ, lahirlah seorang pemikir besar yang kelak dikenal sebagai Mencius (372-289
seb.M.). Nama lahirnya adalah Mèng Kē (孟軻), dan belakangan dia dipanggil sebagai Mèng Zǐ (孟子) atau
Bēng-chú (Hokkian), yang artinya adalah 'Guru
Mèng'. Mèng Zǐ adalah seorang filsuf Konfusius Tiongkok yang sering digambarkan
sebagai 'Orang Bijak kedua' atau Yà Shèng (亞聖), yakni orang
kedua setelah Kǒng Zǐ sendiri. Dia adalah bagian dari generasi keempat murid
Kǒng Zǐ. Mencius mewarisi ideologi Ruisme dan mengembangkannya lebih jauh.
Hidup selama periode Negara-negara Berperang, dia dikatakan telah menghabiskan
sebagian besar hidupnya berkeliling negara bagian untuk menawarkan nasihat
kepada penguasa yang berbeda. Percakapan dengan para penguasa ini menjadi dasar
dari Mencius, yang nantinya akan dikanonisasi sebagai karya klasik Sekolah Ruisme.
Salah satu prinsip utama dari Mèng Zǐ adalah keyakinan bahwa sifat
manusia adalah baik. Dia sering melakukan pembicaraan dengan para Raja atau
penguasa pada masa itu, untuk meyakinkan mereka agar menjadi
pemimpin yang benar dan bermoral. Pada gilirannya, negara dengan kebijakan yang adil dan
manusiawi akan berkembang secara alami. Warga negara, dengan kebebasan dari
aturan yang baik, kemudian akan mengalokasikan waktu mereka untuk
merawat isteri, saudara
laki-laki, orang tua, dan anak-anak mereka. Rakyat juga harus dibimbing dengan pendidikan dan ritus-ritus yang tepat, sehingga secara alami mereka akan menjadi warga negara yang lebih baik.
Selang satu generasi kemudian lahir seorang pemikir besar lainnya,
yang bernama Xún Kuàng (荀況; diperkirakan hidup antara 310 - 238 seb.M.). Dia lebih dikenal sebagai Xún
Zǐ (荀子), yang berarti: 'Guru Xún'. Bedanya dengan Mèng Zǐ, dia adalah seorang
filsuf yang hidup pada akhir periode masa Negara-Negara Berperang. Setelah pendahulunya Kǒng Zǐ dan
Mèng Zǐ, Xún Zǐ sering digolongkan sebagai filsuf besar Ruisme ketiga
zaman kuno. Pada masanya, Rú
Jiào telah banyak dikritik oleh para
pemikir Taois dan Mohist, dan Xún Zǐ secara tradisional dianggap sebagai tokoh
yang mempersatukan
tradisi-tradisi ini dengan pemikiran sebelumnya. Hasilnya adalah revisi Sekolah
Ruisme yang menyeluruh dan kohesif, yang
sangat penting bagi fondasi filsafat yang akan berkembang di Dinasti Han dan sepanjang sejarah Asia
Timur selanjutnya. Karya-karyanya disusun dalam Eponim Xún
Zǐ, dan bertahan dalam kondisi yang
sangat baik
dan orisinil.
Ajaran Xún Zǐ yang paling
terkenal dan paling banyak dikutip adalah Bab 23, "Sifat Manusia itu Jahat". Watak
atau karakter manusia, yang
dikenal sebagai Xìng (性), adalah topik yang dikomentari oleh Kǒng Zǐ secara ambigu (atau mengandung kedwi-artian), menyisakan banyak ruang bagi para filsuf
selanjutnya untuk memperluasnya. Xún Zǐ percaya bahwa kecenderungan bawaan manusia
adalah jahat dan bahwa norma etika diciptakan untuk memperbaiki manusia. Oleh
karena itu, pandangannya memiliki rasa
yang lebih gelap dan lebih pesimistis dibandingkan dengan pendapat Kǒng Zǐ
maupun Mèng Zǐ, yang cenderung memandang
manusia memiliki bawaan yang
baik. Namun, seperti kebanyakan orang dari Sekolah Ruisme, dia percaya bahwa manusia dapat dimurnikan
melalui pendidikan dan ritual.
Menjelang akhir hidup Xún Zǐ,
periode Negara-negara Berperang mendekati akhir, dan dari tahun 247 hingga 221
seb.M., Qín Shǐ Huáng berkuasa menjadi kaisar pertama Tiongkok. Inilah masa
kelam bagi ajaran Ruisme dan juga aliran-aliran pemikiran lainnya yang
diberangus oleh sang penguasa. Bahkan banyak pemikir Ruisme yang dibunuh dan
kitab-kitab mereka dimusnahkan. Barulah pada masa pemerintahan Dinasti Hàn
ajaran Rú Jiào diterima dan mengalami masa keemasannya. Dalam mempelajari sejarah
Sekolah Ruisme, cendekiawan modern berfokus pada Kaisar Wǔ atau Hàn Wǔ Dì (漢武帝) yang memerintah dari tahun 141 hingga 87 seb.M. dan Dǒng
Zhòng Shū (董仲舒,179-104 seb.M.), karena keduanya telah
memberikan dasar ideologis dan sintesis Sekolah Ruisme.
Pada tahun 140 seb.M., Kaisar Wǔ melakukan pengamatan terhadap lebih dari seratus cendekiawan muda. Setelah direkomendasikan
oleh para pejabat, sebagian besar sarjana tersebut adalah rakyat jelata tanpa latar belakang
bangsawan. Peristiwa penting ini berdampak besar pada sejarah Tiongkok
selanjutnya, yang
menandai dimulainya secara resmi
pendirian ajaran Rú
Jiào sebagai doktrin resmi kekaisaran.
Ini terjadi karena seorang cendekiawan muda Konfusius, Dǒng
Zhòng Shū, dinilai telah menyerahkan esai
terbaik yang mana dia
menganjurkan pendirian akademi yang menitikberatkan pada ajaran
Kǒng Zǐ. Tidak jelas apakah Kaisar Wǔ, di usianya yang masih muda, benar-benar memutuskan
hal ini berdasarkan pertimbangan pribadi, atau apakah keputusan ini hasil
intrik sang perdana
menteri Wèi Wǎn (衛綰), yang juga
seorang pengikut Konfusianisme.
Namun, fakta bahwa beberapa cendekiawan muda lainnya yang mendapat nilai tinggi
dalam ujian (tetapi bukan Dǒng), yang kemudian
menjadi penasihat tepercaya Kaisar Wǔ, tampaknya menunjukkan bahwa Kaisar Wǔ sendiri setidaknya telah
memiliki inisiatif sendiri.
Dǒng
Zhòng Shū adalah seorang filsuf, politikus, dan penulis
Tiongkok pada masa Dinasti Hàn. Dia secara tradisional dikaitkan dengan promosi ajaran Rú Jiào sebagai ideologi resmi
negara kekaisaran Tiongkok. Kaisar Wǔ terkenal pula karena mengkanonisasi
pembelajaran Sekolah Ruisme sebagai ortodoksi negara, serta mengangkat Lima
Klasik ke status kanonik pada tahun 136 seb.M. Lima Klasik atau Wǔ Jīng (五經) terdiri
dari Shī Jīng (詩經) atau Kitab Ode atau Kitab Puisi, Shū Jīng (書經) atau Kitab Dokumen, Yì Jīng atau I
Ching atau Kitab Perubahan, Lǐ Jì (禮記) atau Kitab Ritus, dan Chūn Qiū (春秋) atau 'Musim Semi dan
Musim Gugur' atau Kronik
Sejarah Negeri Lu. Kaisar juga dikenal karena
mendirikan Akademi Kekaisaran pada tahun 124 seb.M., dengan menjadikan pembelajaran sebagai
jalan penting untuk penunjukan pejabat birokrat. Selain itu,
kebijaksanaan konvensional mengatakan bahwa Dǒng Zhòng Shū menyediakan landasan ideologis dasar bagi Dinasti Hàn dan dinasti Tiongkok berikutnya, dengan menggabungkan kosmologi
lima fase dengan etika Sekolah Ruisme dan keilmuan
klasik.
Sekarang
kita coba melihat apa dampak diresmikannya Sekolah Ruisme dalam sistem
kenegaraan di Tiongkok Kuno. Pejabat-cendekiawan,
juga dikenal sebagai sastrawan, atau sarjana-birokrat,
atau Shì-dàfū (士大夫), adalah pejabat pemerintah dan cendekiawan
bergengsi dalam masyarakat Tiongkok, dan selanjutnya membentuk kelas sosial yang berbeda.
Pejabat-cendekiawan adalah politisi dan pejabat pemerintah yang
ditunjuk oleh kaisar Tiongkok yang berkuasa, untuk menjalankan tugas politik sehari-hari,
mulai diberlakukan dari zaman
Dinasti Hàn hingga akhir Dinasti Qīng pada tahun 1912
(yakni dinasti kekaisaran terakhir di
Tiongkok).
Para
calon atau mereka yang sudah meraih tingkat
pendidikan berjenjang ini paling tidak terdiri dari tiga lapisan. Di Tiongkok
Kuno, sesorang yang telah lulus ujian masuk untuk menempuh pendidikan lanjutan
di perguruan tinggi dinamakan Shēng Yuán (生員) atau Xiù
Cái (秀才). Peringkat berikutnya
adalah orang-orang yang lulus ujian Xiāng Shì (鄉試), dan mereka dinamakan Jǔ Rén (舉人, harfiah: menyala,
atau 'orang yang direkomendasikan'). Xiāngshì juga dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai ujian provinsi. Itu adalah peringkat
yang lebih tinggi dari mereka yang hanya mencapai Shēng Yuán. Peringkat tertinggi adalah Jìn
Shì (進士), yakni gelar
tertinggi dan terakhir dalam ujian kekaisaran di Kekaisaran Tiongkok. Ujian
biasanya diselenggarakan di ibukota kekaisaran, di istana, dan juga disebut 'Ujian
Metropolitan'. Penerima terkadang disebut dalam sumber berbahasa Inggris
sebagai Imperial Scholars (Sarjana Kekaisaran, Ind.).
Ujian kekaisaran atau
Kē Jǔ (科舉, harfiah: 'rekomendasi subjek') adalah sistem ujian
pegawai negeri di Kekaisaran Tiongkok, yang diselenggarakan dengan tujuan memilih kandidat untuk birokrasi
negara. Konsep memilih birokrat berdasarkan prestasi dan
bukan berdasarkan kelahiran, dimulai sejak awal sejarah Tiongkok. Tetapi penerapan ujian tertulis sebagai alat seleksi dimulai
dengan sungguh-sungguh selama dinasti Suí yang berlanjut ke dinasti Táng. Sistem tersebut menjadi dominan selama
Dinasti Sòng dan bertahan selama hampir satu milenium hingga dihapuskannya menjelang
reformasi akhir Dinasti Qīng pada tahun 1905. Penerapan ujian tradisional kekaisaran masih diberlakukan untuk masuk ke dalam pelayanan sipil
Tiongkok kontemporer, baik di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) maupun di Republik Tiongkok.
Ujian tersebut berfungsi untuk
memastikan bahwa kandidat memiliki pengetahuan umum, kemudian menguji kefasihan
menulis dalam aksara Mandarin, penguasaan Lima Klasik, dan pengungkapan ucapan dalam gaya sastra,
yang harus ditampilkan oleh calon-calon pejabat negara. Penerapan kebiasaan ini
bertujuan menyatukan kekaisaran, dan cita-cita pencapaian berdasarkan prestasi,
memberi legitimasi pada pemerintahan kekaisaran. Untuk lulus ujian
peringkat tertinggi adalah sulit. Contohnya sepanjang pemerintahan Dinasti Táng, setiap tahun hanya sekitar satu hingga dua persen peserta tes yang
akan memperoleh gelar Jìn Shì dari total satu hingga dua ribu peserta tes.
Setelah dinasti Suí, para pejabat ini
sebagian besar berasal dari sarjana-bangsawan atau Shēn Shì (紳士) yang telah memperoleh gelar akademik (seperti Xiù Cái, Jǔ Rén, atau Jìn Shì) dengan lulus ujian kekaisaran. Pejabat-cendekiawan adalah kelas elit kekaisaran Tiongkok. Mereka berpendidikan tinggi, terutama dalam
sastra dan seni, termasuk kaligrafi dan naskah-naskah Konfusianisme. Mereka mendominasi administrasi
pemerintahan dan kehidupan lokal masyarakat Tiongkok hingga awal abad ke-20.
Setelah Anda para pembaca mengenal pejabat-cendekiawan atau dalam
literatur sering dinamakan 'Sarjana
Konfusian', kita akan melihat empat macam
profesi yang dijalani orang sejak zaman Tiongkok Kuno. Empat pekerjaan atau "empat kategori orang",
atau Shì Nóng Gōng Shāng (士农工商), Empat golongan ini terdiri dari Shì atau bangsawan-cendekiawan, Nóng atau petani, Gōng yakni pengrajin, dan Shāng atau pedagang. Keempat profesi tersebut tidak selalu diatur dalam urutan ini. Keempat
kategori tersebut bukanlah kelas sosial-ekonomi. Kekayaan dan
kedudukan tidak bersesuaian dengan
kategori-kategori ini, juga tidak didasarkan pada keturunan. Jelas
pembagian kategori orang ini tidak seperti sistem Kasta atau Varna yang
berlaku di India, yang ditetapkan berdasarkan keturunan. Jadi anak petani jika
dia mampu dan memiliki keterampilan, bisa diangkat menjadi pejabat-cendekiawan.
Ternyata
warisan dari Kǒng Zǐ
dan Sekolah Ruisme tidak hanya diterapkan di Tiongkok saja. Ajarannya termasuk
etika Rú Jiào, pandangan hidup, pemikiran
filsafat, sistem pendidikan, dan ujian negara diserap pula oleh negara-negara
di Asia Timur lainnya, seperti di Korea, Jepang, dan Vietnam, sampai sekarang. Contohnya
adalah Nguyễn Sinh Sắc, yang merupakan ayah dari Hồ Chí
Minh (negarawan dan presiden pertama Vietnam), yang ternyata bergelar Sarjana
Konfusian.
Selama Dinasti Sòng dan Míng, para
filsuf Sekolah Ruisme menggabungkan pemikiran Taois dan Buddhis untuk menghasilkan aliran Neo-Konfusianisme,
yang selanjutnya memperkaya sistem ideologi Sekolah Ruisme. Hal ini secara langsung meningkatkan
kemakmuran kelas pejabat-cendekiawan dan juga berkontribusi pada kode moral unik, yang
berdampak besar pada sastrawan Tiongkok generasi selanjutnya.
Apa itu Neo-Konfusianisme? Kita akan membahasnya dalam artikel mendatang.
Akhir abad ke-19 terjadi perubahan
besar bagi Kekaisaran Tiongkok untuk menata kembali hubungan luar negerinya,
ketika Imperialisme Eropa yang agresif berkembang di seluruh Asia. Selama era
yang penuh gejolak ini, Tiongkok berada dalam posisi yang tidak menguntungkan
dalam memasuki tatanan dunia baru. Untuk memperkuat negara dan mempertahankan
kemerdekaan nasional melawan kolonialis Eropa dan Jepang, golongan elit
Tiongkok secara aktif membuka diri terhadap pembelajaran Barat. Pada tahun
1905, ujian pegawai negeri berdasarkan tradisi Sekolah Ruisme akhirnya
dihapuskan. Selanjutnya memasuki zaman pergolakan yang memicu perang saudara
antara Rezim Nasionalis melawan pemberontak Komunis, pihak Komunis memfitnah
Konfusianisme sebagai penyebab keterbelakangan dan kehancuran Tiongkok. Selama
era Máo Zédōng (毛泽东), ajaran Rú Jiào terus digaungkan sebagai
penyebab stagnannya masyarakat Tiongkok, yang membuat negeri besar ini
terpuruk.
Máo Zédōng dengan pemerintahan
berdasarkan azas komunisme pun tidak berhasil menyejahterakan masyarakat
Tiongkok. Menjalankan program Lompatan Besar ke Depan (1958-1962) yang
terbukti gagal total; dan mengakibatkan 15 hingga 55 juta rakyat Tiongkok
menderita kelaparan hebat, serta sebagian dari mereka tewas. Ketika Komunisme
tidak lagi menjadi model yang memuaskan bagi Tiongkok, para politisi dan
intelektual mencari identitas dan model baru, yang dengannya mereka dapat membentuk
masa depan mereka. Akibatnya, meskipun dibuang pada awal abad ke-20 sebagai
penyebab kematian Tiongkok, Konfusianisme kembali dilirik sebagai model
ideologi Tiongkok Modern.
Pada 2013, Xí Jìnpíng
(习近平) menjadi ketua pertama dalam sejarah Partai Komunis
Tiongkok (CPC) yang mengunjungi Kuil Konfusius, yang terletak di Qūfù.
Di sana Xí berpidato tentang keunggulan Konfusianisme, dan pada bulan Januari
2017 untuk memberikan ekspresi konkret gagasan Xí, Kantor Umum di bawah Komite
Pusat CPC dan Dewan Negara bersama-sama mengeluarkan "Saran tentang
implementasi proyek untuk mempromosikan dan mengembangkan keunggulan budaya
tradisional Tiongkok." Proposal ini berisikan inisiatif pemerintah untuk mempromosikan
budaya Tionghoa dan Konfusianisme.
Demikianlah para pembaca, kita dapat
melihat pasang surut ajaran Sekolah Ruisme, sejak ajaran ini diperkenalkan oleh
Kǒng Zǐ lalu dilanjutkan oleh para pengikutnya. Jelas terlihat bahwa ajaran Rú
Jiào sudah mendarah daging bagi mereka yang pernah makan bangku sekolah di
Tiongkok, selama lebih dari dua ribu tahun. Meskipun tidak diajarkan sebagai
pelajaran agama, etika dan ketatanegaraan dalam Sekolah Ruisme lebih mirip
dengan mata pelajaran PMP atau Pendidikan Moral Pancasila di
sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Atas dasar itulah alasan mengapa ajaran
Kǒng Zǐ tidak dikategorikan sebagai agama yang diakui di Tiongkok Daratan.
Namun, walaupun demikian, etika Konfusian sudah melebur ke dalam tradisi dan
budaya Tionghoa itu sendiri.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/230712
Tidak ada komentar:
Posting Komentar