Mengapa
orang Tionghoa yang mengembara ke berbagai negeri, atau kita sebut Tionghoa
perantauan itu, bisa sukses di negeri yang sesungguhnya asing bagi mereka? Sering
dikatakan orang bahwa mereka adalah orang yang rajin, gigih, dan ulet dalam
bekerja. Mungkin ini sudah menjadi sifat bawaan orang Tionghoa sejak lahir.
Pada waktu seorang Tionghoa mulai menjalankan bisnis, pantang bagi mereka untuk
bersantai atau beristirahat sewaktu membuka usaha. Hari libur pun mereka akan
tetap membuka toko. Dengan begitu pundi-pundi simpanan mereka akan bertambah
dari waktu ke waktu. Selanjutnya kehidupan mereka sehari-hari amat sederhana,
makan secukupnya serta mengenakan pakaian yang seadanya; dan jika ada kelebihan,
uangnya akan dibelanjakan nanti. Jadi berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke
tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Pada waktu penulis
masih kecil sering diceritakan oleh famili yang lebih tua, bahwa kebanyakan
orang Tionghoa pada zaman itu lebih memilih makan bubur ketimbang makan nasi.
Alasannya? Dengan jumlah takaran beras yang sama, akan didapat porsi makanan
yang lebih banyak, dan berarti mampu memberi makan lebih banyak mulut. Maklum
keluarga pada zaman itu memiliki anak yang banyak, tidak sama dengan generasi yang
kemudian. Faktor lain mengapa etnis Tionghoa bisa sukses adalah, meskipun
mereka memiliki cukup banyak uang, mereka menghindari untuk hidup mewah. Jadi
berhemat sudah menjadi pedoman yang selalu harus dipegang.
Di
atas sudah disebutkan bahwa keahlian perantauan Tionghoa ada di bidang
perdagangan atau perniagaan. Namun janganlah Anda salah sangka. Banyak dari
para perantau ini yang berasal dari kalangan petani, dan mereka ini ahli dalam
bercocok tanam. Jan Hooyman dalam laporannya yang diterbitkan oleh Kunsten
en Wetenschappen (Perhimpunan Seni dan Pengetahuan Belanda) pada akhir abad
ke-18 mencatat, bahwa setiap tahun sekitar 1.200 sampai 1.300 orang Tionghoa
diangkut dalam jung-jung yang datang berdagang ke Batavia. Ketekunan dan
keahlian mereka dalam bidang pengolahan tanah dimanfaatkan oleh Kongsi Dagang
Hindia Timur atau yang lebih dikenal sebagai VOC (atau orang bumiputera
menyebutnya 'Kumpeni'). Pada saat itu VOC belum menaklukkan
seluruh tanah Jawa. Upaya itu dilakukan setelah tahun 1741 ketika Gubernur
Jenderal Van Imhoff (8-Agu-1705 - 1-Nov-1750) menyerahkan pengolahan
tanah kepada orang Tionghoa. Hasilnya sebagaimana dicatat oleh Hooyman, rumpun
tebu dan kacang tanah bisa tumbuh subur di pinggiran Batavia. Melihat etos
kerja mereka, Hooyman mengimbau kepada orang-orang Belanda agar dapat belajar dari
orang Cina, bagaimana dengan ketekunan mereka tanaman budidaya itu bisa tumbuh
dengan baik.
Orang-orang
Tionghoa yang merantau ke Nusantara membawa keahlian pertanian mereka ke tempat
tinggal mereka yang baru. Salah satu yang dibawa adalah tanaman dari negeri
mereka, seperti kacang kedelai dan bawang putih. Belakangan di tanah Jawa kedua
tanaman itu dibudidayakan, namun karena karena keduanya merupakan tanaman dari
daerah beriklim sedang, hasilnya tidak memuaskan. Bawang putih lokal tidak
sebesar aslinya yang berukuran besar, demikian juga dengan panen kedelai yang hasilnya
tidak berlimpah-ruah dibandingkan jika ditanam di wilayah asalnya. Pada
Prasasti Watukara yang bertarikh tahun Saka 824 (atau 902 M) disebutkan
kata "tahu", yang
kemungkinan berasal dari kata 豆腐 (Dòufu, atau Tau-hu dalam bahasa Hokkian), yang
bermakna "kedelai fermentasi". Jadi tahu sudah dikenal oleh orang Jawa pada masa itu dan tanaman
kedelai sudah mulai dibudidayakan oleh petani lokal. Dengan bermukimnya
orang-orang Tionghoa, mereka juga memperkenalkan sayuran yang lazim ditanam di
negeri mereka. Maka tidak heran jika di pasar-pasar rakyat di Nusantara mulai dijual
kucai, lokio, lobak, caisim, kailan, lengkeng, leci hingga cincau.
Demikian juga daun teh yang berasal dari Tiongkok, bisa ditanam di berbagai
dataran tinggi di Jawa dan Sumatera, kemudian menjadi komoditi yang penting di masa
pemerintahan Hindia Belanda.
Di Jawa dan Sumatera para perantau Tionghoa juga mengajarkan keterampilan
mereka dalam mengolah makanan. Pada saat itu dalam mengolah makanan mentah
menjadi makanan matang, penduduk bumiputera hanya merebus dan memanggang (atau
membakar). Merebus sudah biasa dilakukan karena beras harus dimasak dulu di
dalam belanga, lalu dikukus dalam bejana tertutup. Memanggang atau membakar
dilakukan untuk mengolah daging dan ikan. Orang Tionghoa mengajarkan penduduk
lokal cara menggoreng (atau teknik deep fry) dengan menggunakan minyak,
dan juga menumis yakni memasak secara cepat menggunakan sedikit minyak dan air.
Selanjutnya kuliner Tionghoa banyak mempengaruhi masakan nusantara. Seperti
kebiasaan orang Tiongkok yang tidak mau makan nasi dingin, dan untuk
membangkitkan selera makan, mereka menggoreng nasi itu dengan sedikit bumbu dan
disertai sayuran atau daging; maka jadilah nasi goreng. Juga makanan olahan
seperti mie dan bakso, dibawa oleh perantau Tionghoa. Siapa nyana, sekarang
nasi goreng, bakmi, dan bakso menjadi makanan yang populer dan disukai oleh
masyarakat Indonesia.
Memasuki abad ke-20 masyarakat kelas menengah Tionghoa di Hindia Belanda
telah banyak meninggalkan profesi bertani. Menurut Mackie dan Wang dalam Perubahan
Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, 1991, disebutkan bahwa dalam bidang
perdagangan pada tahun 1930-an orang Tionghoa di Indonesia mendominasi
perdagangan eceran, juga grosir serta ekspor-impor pada tingkat yang lebih
rendah. Di sektor keuangan tingkat bawah mereka aktif dalam usaha peminjaman
uang dan pegadaian. Di bidang manufaktur, pengusaha Tionghoa mendominasi usaha
penggilingan beras, pengolahan hasil pangan, pabrik es, rokok kretek, batik,
dan usaha tekstil. Di bidang jasa dan profesi golongan Tionghoa yang terpelajar
mulai bekerja sebagai pengacara, dokter, dokter gigi, akuntan, serta guru dan dosen.
Dengan keahlian dan pengalamannya, mereka juga menjadi pengusaha restoran,
binatu, dan pangkas rambut. Sebagian lagi sukses sebagai wartawan, penulis,
penyanyi, bintang film, dan olahragawan. Tenaga buruh kasar Tionghoa yang
tadinya bekerja di sektor perkebunan dan pertambangan sedikit demi sedikit tergantikan
oleh para pekerja dari Jawa.
Tentu timbul pertanyaan, apa yang membedakan etnis Tionghoa dengan
bangsa-bangsa lain di dunia? Tentu saja ini berakar dari kebudayaan dan adat
istiadat bangsa Tiongkok. Salah satu yang membedakan bangsa Tionghoa dengan
bangsa-bangsa lain adalah pemujaan leluhur. Konon pemujaan ini sudah dilakukan
oleh para kaisar zaman kuno. Mereka membangun kuil yang megah untuk menyimpan
dan merawat abu leluhurnya. Abu yang dimaksud bukanlah berasal dari pembakaran
jenazah leluhur yang bersangkutan, karena biasanya jenazah seorang kaisar
dikuburkan. Abu ini berasal dari sisa-sisa pembakaran dupa yang ditampung dalam
sebuah bokor dan ditaruh di hadapan papan arwah leluhur tersebut.
Pemujaan leluhur oleh orang Tionghoa dilakukan dengan menempatkan sebuah meja
abu, yang ditempatkan di ruang depan atau ruang tengah di dalam rumahnya. Meja
abu ini berupa sebuah meja panjang yang tinggi, diapit oleh dua buah meja
yang lebih pendek, dan ketiga meja itu berwarna merah. Di atas meja panjang itu
diletakkan tempat untuk menancapkan dupa yang disebut hiolou. Hiolou
terbuat dari timah, berkaki empat, dan berkuping di kiri dan kanannya. Di
bagian depannya terukir sebuah karakter Mandarin yang berbunyi 喜 (Xǐ) yang bermakna kebahagiaan. Di
samping kiri dan kanan hiolou ini ditaruh dua buah pelita, dan di masa
kini kedua pelita itu digantikan dengan lampu berwarna merah. Di ujung meja
panjang itu terdapat sebuah kotak panjang yang berisi batang-dupa dan juga
lilin-lilin berwarna merah. Dalam keluarga kaya meja abu ini pada
hari-hari persembahyangan dihiasi dengan jambangan-jambangan berisikan bunga
segar. Sedangkan pada orang yang kurang mampu mereka memperindah meja abu
dengan bunga terbuat dari kertas, yang diganti setahun sekali menjelang hari
Tahun Baru Imlek. Pada keluarga dari kalangan bawah meja abu yang mereka
miliki pun sederhana dan biasanya terbuat dari satu meja saja. Inilah tempat
orang Tionghoa memuja leluhurnya.
Setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek diadakan upacara sederhana.
Mereka setidaknya menyiapkan air teh dan juga manisan atau permen, lalu
mempersembahkan paling tidak satu cangkir teh di setiap papan arwah.
Lilin-lilin merah dinyalakan, lalu kepala keluarga membakar batang-dupa
sebanyak tiga buah dan bersujud di ambang pintu depan dengan menghadap ke luar.
Selesai berdoa dan bersoja, yakni kedua telapak tangan dirangkapkan,
diangkat setinggi dada, dan digerakkan naik turun. Penyembahan ini ditujukan
kepada para dewata. Setelah selesai tiga batang-dupa itu ditancapkan di ambang
pintu depan, dan pintu dibiarkan terbuka. Setelah itu barulah kepala keluarga
membakar dua buah batang-dupa, berdoa dan bersujud di hadapan meja abu,
dan diakhiri dengan bersoja dan menancapkan dupa tersebut di dalam hiolou.
Setelah kepala keluarga melakukan ritual sederhana ini, kemudian
persembahyangan dengan cara yang sama diikuti pula oleh anggota keluarga yang
lain. Demikian selesailah sudah persujudan pada leluhur yang dilakukan dua kali
dalam sebulan.
Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang,
(terbitan 2013), terdapat dua anggapan mengenai pemujaan leluhur bagi
masyarakat Tionghoa. Anggapan pertama memandang arwah manusia akan hidup terus.
Dengan memujanya diharapkan arwah leluhur akan melindungi keturunannya dari
malapetaka. Dari sini timbul keinginan untuk menjalin hubungan antara orang
yang hidup dengan orang yang telah meninggal. Anggapan kedua, mereka melihat
dalam pemujaan leluhur itu merupakan peringatan terhadap keberadaan almarhum
atau almarhumah, ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya, yang telah
memberikan hidup kepada mereka. Lebih lanjut, orang Tionghoa tidak berkaul atau
memohon sesuatu kepada 'abu-leluhur'-nya, yang
dipeliharanya di dalam rumah. Kebanyakan dari mereka hanya memohon restu dari
leluhurnya untuk melancarkan tugasnya sehari-hari. Jika ingin berkaul orang
Tionghoa biasanya akan pergi ke sebuah kuil.
Selain bersembahyang pada tanggal 1 dan 15, orang Tionghoa juga menganggap
penting perayaan festival keagamaan, yang diadakan pada hari-hari tertentu.
Sebagai penutup tulisan ini kami kutip persembahyangan bulan ketujuh, yang
ditujukan untuk memberikan persembahan makanan kepada arwah keluarga yang
terlahir-kembali di alam yang menyedihkan, dan juga kepada arwah-arwah
terlantar. Penulis mengutipnya dari buku yang dikarang oleh Tjoa Tjoe
Koan, yakni Hari Raja Orang Tjina, terbitan Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen, Albrecht, 1887, halaman 74-76, berikut ini:
"Pada tanggal 15 Tjit Goèh (boelan
ka-7) iaitoe akan hari mawlidnja (lahirnya) Tiong Goan Te Koan, membri ampoen
pada sekalian manoesia dan njawa-njawa orang mati ampoenja dosa. Padri-padri
dari agama Hoet Kau (Buddhisme) pada itoe hari sama bikin 'Phò Tò Hwee' iaitoe membri sedekah bagi
sjetan-sjetan atau njawa-njawa orang mati, yang soedah terlentar atau jang
tiada poenja toeroenan, supaja bisa lekas menitis djadi manusia lagi. Itoe
sembahjangan djoega disebut aken namanja 'I lan Phoen Hwee', hal ikhwalnja begini: Seorang Hoet (Boeddha) tatkala
dzaman dhoeloe kala bernama Bok Lian, betoelin tanggal 15 Tjit Goèh, dia dapat
lihat mamanja jang soedah meninggal doenia bercampoer makan pada sjetan-sjetan
jang lapar, maka Boeddha itu amat sedih dan ngeri dalam hatinja, maka pada
tanggal 15 Tjit Goèh iapoen lantas bikin sedekah pakai sajoer-sajoeran dan
boeah-boeah, tertaroeh di dalam paso (perkakas dari tanah), tersembahjangken
pada sekalian dewa-dewa. Oleh lantaran itoe, baharoelah mamanja di acherat bisa
dapet makan. Itoe 'I
lan' ada bahasa dari agama Hoet (Boeddha)
artinja: menoeloeng pada njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang
(kepala ada di bawah kaki ada di atas) dan 'Phoen' artinja paso, iaitoe perkakas jang
diperboeat dari pada tanah, mendjadi artinja perkakas boeat menoeloeng bagi
njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang."
Lebih jauh Tjoa Tjoe Koan
menjelaskan bagaiman melaksanakan ritual sembahyang arwah tersebut: "Di dalem boelan ka-7 ini (Tjit
Goèh), bangsa kita di Soerakarta, samoea sama bikin sembahjang leloehoernja
(orang toea-toeanja jang sudah meninggal doenia) jang orang namain sembahjang 'Tjit Goèh Poa' (pertengahan boelan ka-7). Itoe
sembahjangan dibikin waktoe sore antara djam 3-4, ada di masing-masing medja
aboe dari leloehoernja. Di medja teratoer: 1 pasang lilin merah terpasang api
menjala; 3 piring isi ikan, babi, ajam dan bebek (itik) boelat jang sudah
direbus; piring isi koewih Sioe Koe, Hoat Kwee, Bi Ko, dan boeah pisang; 12
ataoe 24 piring isi warna roepa koewih-koewih dan boeah-boeah; 12 ataoe 24
mangkok isi warna roepa ikan-ikan masakan; 1 piring kecil isi sirih dan roko; 1
tjenap isi manisan; 1 tjangkir teh; 1 glas arak; 1 mangkok isi nasi; 1 pasang
soempit; 1 sendok. (teh, arak, nasi, soempit, dan sendok banjaknja menoeroet
banjaknja leloehoer (nenek datoe) jang disembahjangin). Dan di hadepan medja
itoe terhamparken (gelar) sabidang permadani. Sasoedahnja teratoer samoea dan
lantas disembahjangken, bermoela anak lelaki jang soeloeng (pembarep), setelah
sodjakan doepa (hio) lantas berloetoet dan gelas terisi arak, tertoeang di Bao
Sé Poa atau di tanah, lantas terisi arak lagi tertaroeh di hadepan tempat aboe,
setelah berloetoet 4 kali, lantas tjoetjoe-tjoetjoe dan lain-lain sanak soedara
berganti sembahjang djuga pasir poetih dan alang-alang poetih. Djikaloe doepa
jang terpasang di tempat aboe itoe soedah ampir abis, itoe sesadjen lantas
dioendoerkan sementara itu bakar kertas Ko Tjoa, dan Gin Poh Ko Tjoa ada di
djalan raja depan roemah, dengan ditjoerahin arak 3 koelilingan dan semangkok
sajoer tertjampurin sedikit ikan dan koewih, tertaroeh dalam bakaran kertas
itoe."
Perlu penulis
garisbawahi, bahwa ritual sembahyang bulan ketujuh ini sekarang masih dilakukan
di lingkungan keluarga Tionghoa. Tentu saja sudah dimodifikasi, disederhanakan,
dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
sdjn/dharmaprimapustaka/230614
Tidak ada komentar:
Posting Komentar