Kamis, 15 Juni 2023

KEHIDUPAN ORANG TIONGHOA TEMPO DULU DI NUSANTARA



Hingga saat ini masih sulit untuk memastikan sejak kapan orang Tionghoa dari Daratan Tiongkok bermigrasi ke Indonesia. Dugaan awal masuknya etnis Tionghoa di Nusantara diketahui berkat penemuan benda arkeologi. Dilansir dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik yang ditulis sejarawan Benny G Setiono, penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa Tiongkok antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat. Penemuan sejumlah benda arkeologi itu memperlihatkan bahwa besar kemungkinan terjadi lalu lintas pelayaran, yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Daratan Tiongkok dengan rakyat Nusantara. Catatan tertulis yang merupakan bukti sejarah paling tua berasal dari Fǎ Xiǎn (, 337 - 422), seorang biarawan sekaligus penjelajah yang dari tahun 399-414 melakukan perjalanan ke India dan Nusantara. Pengelana lainnya adalah Yì Jìng (義淨, 635 - 713, sering ditulis 'I Tsing'), yang pernah mengunjungi Kerajaan Sriwijaya di Sumatera pada tahun 671. Catatan dan penuturan dari Fǎ Xiǎn dan Yì Jìng inilah, yang menjadi satu-satunya sumber sejarah untuk mengetahui keadaan di Sumatera dan Jawa di masa lampau.

Menurut peneliti Nurni Wahyu Wuryandari, dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia di situs historia.id, memperkirakan, bahwa bangsa Tionghoa datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi pada masa Dinasti Táng. Sedangkan rute perjalanan ke Nusantara baru bisa dijabarkan secara lengkap dalam catatan sejarah Dinasti Sòng pada tahun 960, yang menyebutkan Jawa terletak di Samudera Selatan. Orang-orang Tionghoa yang pergi dari Daratan Tiongkok biasanya memiliki tujuan untuk berdagang, dan keterampilan dalam bidang perniagaan telah dikuasai oleh orang Tionghoa dengan baik sejak Zaman Kuno. Sejarah mencatat bahwa pada saat Kesultanan Banten sedang berjaya, Sultan Agung Tirtayasa (1631 – 1692) mengundang orang-orang Tionghoa untuk berniaga di kesultanannya. Cloude Guillot dalam bukunya Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menulis Kiai Ngabehi Cakradana sebagai arsitek pembangunan Abad ke-17. Awalnya, Cakradana yang bernama asli Tantseko adalah seorang pandai besi keturunan Tionghoa. Dia dekat dengan dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Menjadi orang kepercayaan urusan perdagangan maritim, Cakradana diangkat menjadi syahbandar Pacinaan pada 1671 di Banten. Pada masa itu dibangun tiga jalan yang dibangun cukup baik, dan pada masing-masing sisi ada 20 rumah bata dan toko untuk menampung orang Tionghoa. Pada dekade 1660 hingga 1670-an itulah Kesultanan Banten mengalami zaman keemasan. Salah satu bangunan peninggalan masa itu yang masih berdiri hingga kini adalah Vihara Avalokitesvara, yang dibangun di dekat Masjid Agung Banten.

Dalam melakukan perjalanan panjang dari negeri leluhur hingga mencapai berbagai pelabuhan di Nusantara, orang-orang Tionghoa umumnya berangkat bersama dengan kerabat atau kenalan sekampungnya, dan mereka terdiri dari para lelaki muda. Jarang sekali mereka membawa perempuan. Dari rombongan ini ada orang yang singgah di satu tempat, kemudian setelah urusan berdagang selesai, mereka menunggu kapal lain yang akan kembali ke Tiongkok. Namun ada juga orang yang memilih untuk menetap di negeri yang baru ini. Mereka yang menetap setelah sukses menafkahi dirinya sendiri, biasanya akan mencari pasangan hidup, dan mereka memilih perempuan bumiputera untuk dijadikan isteri. Anak-anak yang dilahirkan dari pasangan campuran ini dinamakan 'peranakan'. Kelak perempuan-peranakan ini setelah dewasa bisa memilih untuk menikahi lelaki sesama peranakan, atau lelaki muda yang berasal dari Tiongkok Daratan.

 

Mengapa orang Tionghoa yang mengembara ke berbagai negeri, atau kita sebut Tionghoa perantauan itu, bisa sukses di negeri yang sesungguhnya asing bagi mereka? Sering dikatakan orang bahwa mereka adalah orang yang rajin, gigih, dan ulet dalam bekerja. Mungkin ini sudah menjadi sifat bawaan orang Tionghoa sejak lahir. Pada waktu seorang Tionghoa mulai menjalankan bisnis, pantang bagi mereka untuk bersantai atau beristirahat sewaktu membuka usaha. Hari libur pun mereka akan tetap membuka toko. Dengan begitu pundi-pundi simpanan mereka akan bertambah dari waktu ke waktu. Selanjutnya kehidupan mereka sehari-hari amat sederhana, makan secukupnya serta mengenakan pakaian yang seadanya; dan jika ada kelebihan, uangnya akan dibelanjakan nanti. Jadi berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Pada waktu penulis masih kecil sering diceritakan oleh famili yang lebih tua, bahwa kebanyakan orang Tionghoa pada zaman itu lebih memilih makan bubur ketimbang makan nasi. Alasannya? Dengan jumlah takaran beras yang sama, akan didapat porsi makanan yang lebih banyak, dan berarti mampu memberi makan lebih banyak mulut. Maklum keluarga pada zaman itu memiliki anak yang banyak, tidak sama dengan generasi yang kemudian. Faktor lain mengapa etnis Tionghoa bisa sukses adalah, meskipun mereka memiliki cukup banyak uang, mereka menghindari untuk hidup mewah. Jadi berhemat sudah menjadi pedoman yang selalu harus dipegang.

 

Di atas sudah disebutkan bahwa keahlian perantauan Tionghoa ada di bidang perdagangan atau perniagaan. Namun janganlah Anda salah sangka. Banyak dari para perantau ini yang berasal dari kalangan petani, dan mereka ini ahli dalam bercocok tanam. Jan Hooyman dalam laporannya yang diterbitkan oleh Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Seni dan Pengetahuan Belanda) pada akhir abad ke-18 mencatat, bahwa setiap tahun sekitar 1.200 sampai 1.300 orang Tionghoa diangkut dalam jung-jung yang datang berdagang ke Batavia. Ketekunan dan keahlian mereka dalam bidang pengolahan tanah dimanfaatkan oleh Kongsi Dagang Hindia Timur atau yang lebih dikenal sebagai VOC (atau orang bumiputera menyebutnya 'Kumpeni'). Pada saat itu VOC belum menaklukkan seluruh tanah Jawa. Upaya itu dilakukan setelah tahun 1741 ketika Gubernur Jenderal Van Imhoff (8-Agu-1705 - 1-Nov-1750) menyerahkan pengolahan tanah kepada orang Tionghoa. Hasilnya sebagaimana dicatat oleh Hooyman, rumpun tebu dan kacang tanah bisa tumbuh subur di pinggiran Batavia. Melihat etos kerja mereka, Hooyman mengimbau kepada orang-orang Belanda agar dapat belajar dari orang Cina, bagaimana dengan ketekunan mereka tanaman budidaya itu bisa tumbuh dengan baik.

 

Orang-orang Tionghoa yang merantau ke Nusantara membawa keahlian pertanian mereka ke tempat tinggal mereka yang baru. Salah satu yang dibawa adalah tanaman dari negeri mereka, seperti kacang kedelai dan bawang putih. Belakangan di tanah Jawa kedua tanaman itu dibudidayakan, namun karena karena keduanya merupakan tanaman dari daerah beriklim sedang, hasilnya tidak memuaskan. Bawang putih lokal tidak sebesar aslinya yang berukuran besar, demikian juga dengan panen kedelai yang hasilnya tidak berlimpah-ruah dibandingkan jika ditanam di wilayah asalnya. Pada Prasasti Watukara yang bertarikh tahun Saka 824 (atau 902 M) disebutkan kata "tahu", yang kemungkinan berasal dari kata 豆腐 (Dòufu, atau Tau-hu dalam bahasa Hokkian), yang bermakna "kedelai fermentasi". Jadi tahu sudah dikenal oleh orang Jawa pada masa itu dan tanaman kedelai sudah mulai dibudidayakan oleh petani lokal. Dengan bermukimnya orang-orang Tionghoa, mereka juga memperkenalkan sayuran yang lazim ditanam di negeri mereka. Maka tidak heran jika di pasar-pasar rakyat di Nusantara mulai dijual kucai, lokio, lobak, caisim, kailan, lengkeng, leci hingga cincau. Demikian juga daun teh yang berasal dari Tiongkok, bisa ditanam di berbagai dataran tinggi di Jawa dan Sumatera, kemudian menjadi komoditi yang penting di masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

Di Jawa dan Sumatera para perantau Tionghoa juga mengajarkan keterampilan mereka dalam mengolah makanan. Pada saat itu dalam mengolah makanan mentah menjadi makanan matang, penduduk bumiputera hanya merebus dan memanggang (atau membakar). Merebus sudah biasa dilakukan karena beras harus dimasak dulu di dalam belanga, lalu dikukus dalam bejana tertutup. Memanggang atau membakar dilakukan untuk mengolah daging dan ikan. Orang Tionghoa mengajarkan penduduk lokal cara menggoreng (atau teknik deep fry) dengan menggunakan minyak, dan juga menumis yakni memasak secara cepat menggunakan sedikit minyak dan air. Selanjutnya kuliner Tionghoa banyak mempengaruhi masakan nusantara. Seperti kebiasaan orang Tiongkok yang tidak mau makan nasi dingin, dan untuk membangkitkan selera makan, mereka menggoreng nasi itu dengan sedikit bumbu dan disertai sayuran atau daging; maka jadilah nasi goreng. Juga makanan olahan seperti mie dan bakso, dibawa oleh perantau Tionghoa. Siapa nyana, sekarang nasi goreng, bakmi, dan bakso menjadi makanan yang populer dan disukai oleh masyarakat Indonesia.

 

Memasuki abad ke-20 masyarakat kelas menengah Tionghoa di Hindia Belanda telah banyak meninggalkan profesi bertani. Menurut Mackie dan Wang dalam Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, 1991, disebutkan bahwa dalam bidang perdagangan pada tahun 1930-an orang Tionghoa di Indonesia mendominasi perdagangan eceran, juga grosir serta ekspor-impor pada tingkat yang lebih rendah. Di sektor keuangan tingkat bawah mereka aktif dalam usaha peminjaman uang dan pegadaian. Di bidang manufaktur, pengusaha Tionghoa mendominasi usaha penggilingan beras, pengolahan hasil pangan, pabrik es, rokok kretek, batik, dan usaha tekstil. Di bidang jasa dan profesi golongan Tionghoa yang terpelajar mulai bekerja sebagai pengacara, dokter, dokter gigi, akuntan, serta guru dan dosen. Dengan keahlian dan pengalamannya, mereka juga menjadi pengusaha restoran, binatu, dan pangkas rambut. Sebagian lagi sukses sebagai wartawan, penulis, penyanyi, bintang film, dan olahragawan. Tenaga buruh kasar Tionghoa yang tadinya bekerja di sektor perkebunan dan pertambangan sedikit demi sedikit tergantikan oleh para pekerja dari Jawa.

 

Tentu timbul pertanyaan, apa yang membedakan etnis Tionghoa dengan bangsa-bangsa lain di dunia? Tentu saja ini berakar dari kebudayaan dan adat istiadat bangsa Tiongkok. Salah satu yang membedakan bangsa Tionghoa dengan bangsa-bangsa lain adalah pemujaan leluhur. Konon pemujaan ini sudah dilakukan oleh para kaisar zaman kuno. Mereka membangun kuil yang megah untuk menyimpan dan merawat abu leluhurnya. Abu yang dimaksud bukanlah berasal dari pembakaran jenazah leluhur yang bersangkutan, karena biasanya jenazah seorang kaisar dikuburkan. Abu ini berasal dari sisa-sisa pembakaran dupa yang ditampung dalam sebuah bokor dan ditaruh di hadapan papan arwah leluhur tersebut.

 

Pemujaan leluhur oleh orang Tionghoa dilakukan dengan menempatkan sebuah meja abu, yang ditempatkan di ruang depan atau ruang tengah di dalam rumahnya. Meja abu ini berupa sebuah meja panjang yang tinggi, diapit oleh dua buah meja yang lebih pendek, dan ketiga meja itu berwarna merah. Di atas meja panjang itu diletakkan tempat untuk menancapkan dupa yang disebut hiolou. Hiolou terbuat dari timah, berkaki empat, dan berkuping di kiri dan kanannya. Di bagian depannya terukir sebuah karakter Mandarin yang berbunyi (Xǐ) yang bermakna kebahagiaan. Di samping kiri dan kanan hiolou ini ditaruh dua buah pelita, dan di masa kini kedua pelita itu digantikan dengan lampu berwarna merah. Di ujung meja panjang itu terdapat sebuah kotak panjang yang berisi batang-dupa dan juga lilin-lilin berwarna merah. Dalam keluarga kaya meja abu ini pada hari-hari persembahyangan dihiasi dengan jambangan-jambangan berisikan bunga segar. Sedangkan pada orang yang kurang mampu mereka memperindah meja abu dengan bunga terbuat dari kertas, yang diganti setahun sekali menjelang hari Tahun Baru Imlek. Pada keluarga dari kalangan bawah meja abu yang mereka miliki pun sederhana dan biasanya terbuat dari satu meja saja. Inilah tempat orang Tionghoa memuja leluhurnya.

 

Setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek diadakan upacara sederhana. Mereka setidaknya menyiapkan air teh dan juga manisan atau permen, lalu mempersembahkan paling tidak satu cangkir teh di setiap papan arwah. Lilin-lilin merah dinyalakan, lalu kepala keluarga membakar batang-dupa sebanyak tiga buah dan bersujud di ambang pintu depan dengan menghadap ke luar. Selesai berdoa dan bersoja, yakni kedua telapak tangan dirangkapkan, diangkat setinggi dada, dan digerakkan naik turun. Penyembahan ini ditujukan kepada para dewata. Setelah selesai tiga batang-dupa itu ditancapkan di ambang pintu depan, dan pintu dibiarkan terbuka. Setelah itu barulah kepala keluarga membakar dua buah batang-dupa, berdoa dan bersujud di hadapan meja abu, dan diakhiri dengan bersoja dan menancapkan dupa tersebut di dalam hiolou. Setelah kepala keluarga melakukan ritual sederhana ini, kemudian persembahyangan dengan cara yang sama diikuti pula oleh anggota keluarga yang lain. Demikian selesailah sudah persujudan pada leluhur yang dilakukan dua kali dalam sebulan.

 

Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (terbitan 2013), terdapat dua anggapan mengenai pemujaan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Anggapan pertama memandang arwah manusia akan hidup terus. Dengan memujanya diharapkan arwah leluhur akan melindungi keturunannya dari malapetaka. Dari sini timbul keinginan untuk menjalin hubungan antara orang yang hidup dengan orang yang telah meninggal. Anggapan kedua, mereka melihat dalam pemujaan leluhur itu merupakan peringatan terhadap keberadaan almarhum atau almarhumah, ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya, yang telah memberikan hidup kepada mereka. Lebih lanjut, orang Tionghoa tidak berkaul atau memohon sesuatu kepada 'abu-leluhur'-nya, yang dipeliharanya di dalam rumah. Kebanyakan dari mereka hanya memohon restu dari leluhurnya untuk melancarkan tugasnya sehari-hari. Jika ingin berkaul orang Tionghoa biasanya akan pergi ke sebuah kuil.

 

Selain bersembahyang pada tanggal 1 dan 15, orang Tionghoa juga menganggap penting perayaan festival keagamaan, yang diadakan pada hari-hari tertentu. Sebagai penutup tulisan ini kami kutip persembahyangan bulan ketujuh, yang ditujukan untuk memberikan persembahan makanan kepada arwah keluarga yang terlahir-kembali di alam yang menyedihkan, dan juga kepada arwah-arwah terlantar. Penulis mengutipnya dari buku yang dikarang oleh Tjoa Tjoe Koan, yakni Hari Raja Orang Tjina, terbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht, 1887, halaman 74-76, berikut ini:

 

"Pada tanggal 15 Tjit Goèh (boelan ka-7) iaitoe akan hari mawlidnja (lahirnya) Tiong Goan Te Koan, membri ampoen pada sekalian manoesia dan njawa-njawa orang mati ampoenja dosa. Padri-padri dari agama Hoet Kau (Buddhisme) pada itoe hari sama bikin 'Phò Tò Hwee' iaitoe membri sedekah bagi sjetan-sjetan atau njawa-njawa orang mati, yang soedah terlentar atau jang tiada poenja toeroenan, supaja bisa lekas menitis djadi manusia lagi. Itoe sembahjangan djoega disebut aken namanja 'I lan Phoen Hwee', hal ikhwalnja begini: Seorang Hoet (Boeddha) tatkala dzaman dhoeloe kala bernama Bok Lian, betoelin tanggal 15 Tjit Goèh, dia dapat lihat mamanja jang soedah meninggal doenia bercampoer makan pada sjetan-sjetan jang lapar, maka Boeddha itu amat sedih dan ngeri dalam hatinja, maka pada tanggal 15 Tjit Goèh iapoen lantas bikin sedekah pakai sajoer-sajoeran dan boeah-boeah, tertaroeh di dalam paso (perkakas dari tanah), tersembahjangken pada sekalian dewa-dewa. Oleh lantaran itoe, baharoelah mamanja di acherat bisa dapet makan. Itoe 'I lan' ada bahasa dari agama Hoet (Boeddha) artinja: menoeloeng pada njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang (kepala ada di bawah kaki ada di atas) dan 'Phoen' artinja paso, iaitoe perkakas jang diperboeat dari pada tanah, mendjadi artinja perkakas boeat menoeloeng bagi njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang."

 

Lebih jauh Tjoa Tjoe Koan menjelaskan bagaiman melaksanakan ritual sembahyang arwah tersebut: "Di dalem boelan ka-7 ini (Tjit Goèh), bangsa kita di Soerakarta, samoea sama bikin sembahjang leloehoernja (orang toea-toeanja jang sudah meninggal doenia) jang orang namain sembahjang 'Tjit Goèh Poa' (pertengahan boelan ka-7). Itoe sembahjangan dibikin waktoe sore antara djam 3-4, ada di masing-masing medja aboe dari leloehoernja. Di medja teratoer: 1 pasang lilin merah terpasang api menjala; 3 piring isi ikan, babi, ajam dan bebek (itik) boelat jang sudah direbus; piring isi koewih Sioe Koe, Hoat Kwee, Bi Ko, dan boeah pisang; 12 ataoe 24 piring isi warna roepa koewih-koewih dan boeah-boeah; 12 ataoe 24 mangkok isi warna roepa ikan-ikan masakan; 1 piring kecil isi sirih dan roko; 1 tjenap isi manisan; 1 tjangkir teh; 1 glas arak; 1 mangkok isi nasi; 1 pasang soempit; 1 sendok. (teh, arak, nasi, soempit, dan sendok banjaknja menoeroet banjaknja leloehoer (nenek datoe) jang disembahjangin). Dan di hadepan medja itoe terhamparken (gelar) sabidang permadani. Sasoedahnja teratoer samoea dan lantas disembahjangken, bermoela anak lelaki jang soeloeng (pembarep), setelah sodjakan doepa (hio) lantas berloetoet dan gelas terisi arak, tertoeang di Bao Sé Poa atau di tanah, lantas terisi arak lagi tertaroeh di hadepan tempat aboe, setelah berloetoet 4 kali, lantas tjoetjoe-tjoetjoe dan lain-lain sanak soedara berganti sembahjang djuga pasir poetih dan alang-alang poetih. Djikaloe doepa jang terpasang di tempat aboe itoe soedah ampir abis, itoe sesadjen lantas dioendoerkan sementara itu bakar kertas Ko Tjoa, dan Gin Poh Ko Tjoa ada di djalan raja depan roemah, dengan ditjoerahin arak 3 koelilingan dan semangkok sajoer tertjampurin sedikit ikan dan koewih, tertaroeh dalam bakaran kertas itoe."

 

Perlu penulis garisbawahi, bahwa ritual sembahyang bulan ketujuh ini sekarang masih dilakukan di lingkungan keluarga Tionghoa. Tentu saja sudah dimodifikasi, disederhanakan, dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230614



Tidak ada komentar:

Posting Komentar