Kamis, 28 Desember 2023

GUNUNG MERU DAN AXIS MUNDI



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu telah diceritakan perihal Gunung Meru yang merupakan gunung sakral dalam Buddhisme. Kita telah membahas ukuran gunung, bentuk gunung, siapa itu para penghuninya, dan lingkungan sekelilingnya. Tetapi orang pun tetap penasaran, dimana letak gunung yang luar biasa ini. Beberapa peneliti menyamakan Gunung Meru atau Gunung Sumer dengan Dataran Tinggi Pamir di barat laut Kashmir. Surya Siddhanta, seorang astronom India Kuno, menyatakan bahwa Gunung Meru berada di pusat bumi atau Bhuva Madhya, Tanah Jambunad atau Jambudvipa. Dalam Narapatijayacharyasvarodaya, sebuah teks abad ke-9 yang berdasarkan pada teks Yamal Tantur yang sebagian besar tidak diterbitkan, disebutkan bahwa: "Sumeruḥ Prithvī-madhye shruyate drishyate na tu", artinya Sumeru dikatakan berada di pusat bumi, namun tidak terlihat disana. Beberapa versi kosmologi ditemukan dalam teks-teks Hindu yang ada, salah satunya juga menyebutkan bahwa Gunung Meru secara kosmologis dibatasi oleh Gunung Mandrachala di timur, Gunung Suparshva di barat, Gunung Kumuda di utara, dan Gunung Kailasa di selatan.

 

Mirip dengan pandangan Buddhis, Gunung Meru dalam tradisi Hindu digambarkan memiliki tinggi 84.000 yojana dan panjang sekitar 74.000 yojana. Matahari beserta seluruh planet di Tata Surya berputar mengelilingi Gunung Meru sebagai pusatnya. Masha Purana, Bhagvata Purana, dan naskah-naskah Hindu lainnya secara konsisten menempatkan Gunung Meru pada ketinggian 84.000 yojana. Banyak orang berpendapat pada zaman kuno bahwa Gunung Kailash diidentikkan sebagai Gunung Meru. Salah satu catatan Wisnu Purana tentang gunung ini menyebutkan, bahwa keempat sisinya terbuat dari kristal, rubi, emas, dan lapis-lazuli. Letaknya di tengah enam barisan pegunungan yang merupakan pilar dunia serta melambangkan bunga teratai.

 

Menurut kosmologi Jainisme, Gunung Meru berada di pusat dunia, dikelilingi oleh Jambudvipa. yang berbentuk lingkaran dengan diameter 100.000 yojana. Ada dua sistem matahari, bulan, dan bintang yang berputar mengelilingi Gunung Meru. Sementara satu sistem berfungsi, sistem lainnya bersiap-siap menggantikannya di belakang Gunung Meru. Semua Tīrthaṅkara dibawa ke puncak Meru oleh Dewa Indra tak lama setelah kelahiran mereka. Indra menidurkan ibu dari anak Tīrthaṅkara hingga tertidur lelap. Di sana dia dimandikan dan diurapi dengan ramuan yang berharga. Indra dan dewa-dewi lainnya turut merayakan kelahirannya. Siapa itu Indra dan Tīrthaṅkara? Indra adalah raja para dewa, dan dalam naskah Buddhis dinamakan Śakra atau Sakka. Sedangkan Tīrthaṅkara tidak lain pendiri Jainisme, dan dalam Kepustakaan Pāli dikenal dengan sebutan Nigantha Nātaputta

 

Gunung Meru juga disebutkan dalam naskah Tantu Pagelaran berbahasa Kawi, yang berasal dari era Majapahit dari abad ke-15. Dokumen ini menjelaskan mitos asal usul Pulau Jawa, dan peristiwa legendaris ketika sebagian Gunung Meru berpindah ke Jawa. Naskah ini menjelaskan bahwa Batara Guru atau Dewa Śiva memerintahkan Dewa Brahma dan Dewa Viṣṇu untuk memenuhi pulau Jawa dengan manusia. Namun Pulau Jawa saat itu terapung bebas di lautan, terus-menerus bergoyang dan terombang-ambing di atas air. Untuk menghentikan ketidakstabilan pulau tersebut, para dewa memutuskan untuk memakukannya ke bumi dengan cara menggusur sebagian mahamel Jambudvipa dan menempelkannya ke Pulau Jawa. Gunung yang dihasilkan adalah Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.

 

Beberapa sarjana telah mencoba untuk menemukan gunung tersebut sebagai gunung fisik. Seperti misalnya gunung yang tinggi jika dilihat dari fakta bahwa orang Yunani Kuno percaya bahwa gunung tertinggi di Yunani, yakni Gunung Olympus, adalah tempat bersemayamnya dewa-dewi Yunani. Ini sama dengan salah satu spekulasi yang menunjuk Gunung Pamir di Kashmir sebagai perwujudan dari Gunung Meru. Gunung Kūnlún (崑崙山, Kūn Lún Shān), adalah sebuah gunung mitologis yang penting dalam pengetahuan orang Tiongkok Kuno. Gunung Kūnlún mitologis ini sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan Pegunungan Kūnlún yang diketahui lokasinya secara geografis. Ada banyak cerita yang menyebutkan bahwasanya Gunung Kūnlún sebagai tempat tinggal para dewa dan dewi, beserta makhluk dan tanaman menakjubkan lainnya. Tradisi Buddha Jepang juga menyebutkan Gunung Meru dan memberikan peta dari abad ke-16 yang menempatkan gunung tersebut di suatu tempat di jajaran pegunungan Himalaya. Sarjana lain mendasarkan lokasinya pada referensi bahwa gunung tersebut semestinya terletak di pusat bumi, dan berspekulasi bahwa Gunung Meru mungkin ada di Kutub Utara. Menarik untuk disebutkan di sini bahwa pada peta Kutub Utara yang digambar oleh Flandria Gerardus Mercator, muncul empat benua yang dipisahkan oleh perairan dan terdapat gunung di antara keduanya, yang tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa wilayah tersebut dipetakan berdasarkan legenda. Penggambaran yang dilakukan oleh kartografer Mercator pada tahun 1569 adalah sebuah peta silindris, yang mungkin aneh dibandingkan dengan peta dunia yang kita kenal sekarang. Peta global north tampaknya membesar-besarkan ukuran bumi di sekitar kutub, dan mengecilkannya di daerah khatulistiwa.

 

Perlu para pembaca pahami bahwa dalam kosmologi India Kuno – termasuk kepercayaan dari Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme – bumi dan alam semesta dipercaya berbentuk datar, dengan Gunung Meru sebagai pusat segala sesuatu. Yang mengelilingi alam semesta ini adalah hamparan air yang sangat luas, dan yang mengelilingi air tersebut adalah hamparan angin yang sangat luas. Seperti halnya kitab suci banyak agama, kosmologi Buddhis mesti diartikan sebagai mitos atau alegori. Namun banyak generasi Buddhis awal memahami alam semesta menurut gambaran zaman itu, dan menganggap Gunung Meru ada secara fisik. Kemudian, pada abad ke-16, penjelajah Eropa yang memiliki pemahaman baru tentang alam semesta datang ke Asia; dan mereka menyatakan bahwa bumi itu bulat seperti sebuah bola dan melayang di angkasa. Kontroversi pun muncul.

 

Donald Lopez, seorang profesor studi Buddhisme dan agama Tibet di Universitas Michigan, menulis perihal benturan budaya ini dalam bukunya Buddhism and Science: A Guide for the Perplexed (terbitan University of Chicago Press, 2008). Umat ​​Buddha konservatif abad ke-16 menolak teori dunia bulat dan bersikeras bahwa bumi itu datar. Mereka percaya bahwa Buddha Gautama memiliki pengetahuan yang sempurna, dan jika Beliau percaya pada kosmos Gunung Meru, maka hal itu pasti benar. Keyakinan itu berlanjut hingga beberapa lama. Namun, beberapa sarjana memberikan argumen apa yang kita sebut interpretasi modernis tentang alam semesta Gunung Meru. Di antara mereka ada seorang sarjana Jepang bernama Tominaga Nakamoto (1715-1746). Nakamoto berpendapat bahwa ketika Buddha Gautama membahas Gunung Meru, dia hanya menggunakan pemahaman tentang kosmos berdasarkan keyakinan dan pengetahuan orang banyak pada zamannya. Sang Buddha tidak menciptakan ajaran perihal kosmos Gunung Meru. Kepercayaan tersebut juga bukan bagian integral dari ajarannya.

 

Akhirnya Dalai Lama ke-14 atau pemimpin spiritual Tibet saat ini, yang telah beberapa kali terbang keliling dunia, tampaknya telah mengakhiri kepercayaan akan bumi datar di kalangan orang Tibet yang masih berpendapat bahwa bumi itu tidak bulat. Beliau berkata, "Tujuan kedatangan seorang Buddha ke dunia ini bukanlah untuk mengukur berapa meter keliling bumi ini, dan juga menentukan jarak antara bumi dengan bulan, melainkan untuk mengajarkan Dharma. Dengan Dharma-nya, Buddha berupaya untuk meringankan penderitaan makhluk hidup, juga sekaligus untuk membebaskan mereka."

 

Jadi pengetahuan tentang Gunung Meru dan segala teori kosmologi yang ditulis dan diyakini oleh orang zaman kuno, semestinya kita pahami dengan didasarkan pada tingkat intelektual manusia zaman itu. Teori itu bukan tidak ada benarnya, namun harus dipandang dari segi mitologis. Gambaran adanya Pusat yang Sakral merupakan pengetahuan simbolik, bahkan sejak masa purbakala, ketika manusia telah mampu menggunakan kemampuan akal budinya. Pusat yang suci menunjukkan tempat yang transenden, lokasi mana dia memanifestasikan dirinya. Yang Sakral menguasai pusat itu, karena dia mewakili dari mana segala sesuatu itu bermula. Disebut Sakral karena Dia merupakan refleksi Yang Agung, yakni Deitas di dunia yang lain. Setiap peradaban sejak awal mula umat manusia, mempunyai konsepsinya sendiri tentang Yang Sakral, sebuah istilah Latin yang mengungkapkan 'apa yang menjadi milik sesuatu yang lain', yang dengan demikian berkaitan dengan suatu tatanan yang sangat masuk akal.

 

Sekarang kita bicara mengenai konsep axis mundi yang sebenarnya berkaitan dengan Gunung Meru yang telah kita bahas. Axis mundi dalam astronomi merupakan istilah dalam bahasa Latin untuk menunjukkan posisi poros Bumi di antara kutub-kutub langit. Dalam sistem koordinat geosentris, axis mundi atau poros jagat merupakan rotasi pada poros tertentu dari bola langit. Konsep axis mundi ini diperkenalkan oleh Mircea Eliade pada tahun 1950-an. Axis mundi juga terkait erat dengan konsep mitologis omfalos atau pusar-dunia atau pusar-kosmos.

 

Sepanjang sejarah, sebagian besar kebudayaan menggambarkan tanah air mereka sebagai "pusat dunia" karena merupakan pusat alam semesta yang mereka kenal. Misalnya, nama Tiongkok dari masa Kekaisaran Zhōu Barat disebut sebagai Zhōngguó (中国; 中國) atau "Kerajaan Tengah", yang berasal dari kata zhōng ("pusat") dan guó ("negara"). Mereka percaya bahwa negara atau kerajaan yang mereka diami berdiri di pusat dunia. Sekali lagi Yang Sakral memanifestasikan dirinya di Pusat atau di Tengah, dan segala sesuatunya memang berasal dari sana.

 

Di dalam pusat alam semesta yang diketahui ini, suatu tempat tertentu, sering kali berupa gunung atau tempat tinggi lainnya, di mana bumi dan langit berada paling dekat – mendapat status sebagai pusat dari pusat – sebagai axis mundi. Pegunungan tinggi biasanya dianggap suci oleh masyarakat yang tinggal di dekatnya. Gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji, telah lama dilambangkan sebagai poros dunia dalam budaya Jepang. Gunung Kūnlún memiliki peran serupa di Tiongkok. Kepercayaan suku Sioux menganggap Black Hills sebagai axis mundi. Gunung Kailash adalah tempat suci bagi beberapa agama di Tibet. Bagi penganut Taoisme, Kaisar Langit adalah penguasa tertinggi yang bertahta di Langit. Sedangkan gunung adalah tempat tertinggi di bumi. Jadi logis jika puncak gunung letaknya paling dekat dengan singgasana Kaisar Langit. Dengan demikian tinggal di gunung dan mempraktikkan Dào di sana merupakan pilihan yang bijaksana.

 

Konsep gunung suci juga turut dimasukkan ke dalam arsitektur candi Hindu kuno dengan kata Sanskerta Śikhara yang secara harfiah berarti 'gunung'. Contoh awal gaya ini dapat ditemukan di kuil Harshat Mata dan Harshnath abad ke-8 M di negara bagian Rajasthan, India barat. Konsep ini berlanjut di luar India, dengan menara Meru dipasang di rumah ibadah, seperti yang bisa kita saksikan pada pura-pura di Bali. Di antara candi Buddha, Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā adalah contoh paling awal, yang berasal dari abad ke-5 dan ke-6. Banyak kuil Buddhis lainnya juga mengadopsi bentuk ini, seperti Wat Arun di Thailand dan Pagoda Hsinbyume di Myanmar.

 

Dari konteks rumah ibadah yang dibangun oleh umat, menyiratkan pentingnya axis mundi dalam perancangan bangunan. Mengapa katedral dibangun menjulang tinggi ke atas? Mengapa menara masjid membumbung hingga ke angkasa? Mengapa pagoda dibuat bertingkat-tingkat, dengan berbagai tangga yang bermula dari dasar hingga puncaknya? Semua bangunan itu mengarah ke atas agar dekat dengan surga. Jadi axis mundi diperluas untuk merujuk pada konsep mitologis yang mewakili "hubungan antara Surga dan Bumi", atau "alam yang lebih tinggi dengan alam yang lebih rendah".

 

Karena axis mundi adalah gagasan yang menyatukan sejumlah gambaran konkret, tidak ada kontradiksi dalam menganggap banyak titik sebagai "pusat dunia". Simbol tersebut dapat beroperasi di beberapa lokasi sekaligus. Orang Yunani kuno menganggap beberapa situs sebagai tempat batu omphalos  atau pusar-bumi, dengan tetap mempertahankan kepercayaan pada pohon dunia kosmik dan Gunung Olympus sebagai tempat tinggal para dewa dan dewi. Yudaisme memiliki Gunung Sinai dan Gunung Zion, Kristen memiliki Bukit Zaitun dan Golgota, Islam memiliki Bukit Bait Suci (Dome of the Rock); serta Ka'bah yang dijadikan kiblat umat Islam, dan dianggap paling dekat jaraknya dari surga ke bumi.

 

Benda-benda yang ditambahkan oleh ahli mitologi perbandingan meliputi pula axis mundi pada tanaman, terutama pohon. Pohon menyediakan poros yang menyatukan tiga bidang: Kanopi pepohonan mencapai langit, batangnya bertemu dengan bumi, dan akarnya mencapai dunia bawah. Dalam beberapa budaya kepulauan Pasifik (termasuk Indonesia), pohon beringin yang termasuk dalam jenis Ara Suci, dipercaya merupakan tempat tinggal roh leluhur. Pohon Bodhi juga merupakan nama yang diberikan kepada petapa Gotama, Buddha historis, yang duduk pada malam dia mencapai pencerahan. Pohon Natal, yang asal usulnya dapat ditelusuri kembali ke kepercayaan Eropa pra-Kristen, melambangkan axis mundi. Pohon persik dan buahnya melambangkan keabadian, dan menjadi kesukaan para dewa dalam ajaran Taoisme.

 

Rumah juga berfungsi sebagai pusat dunia. Perapian berpartisipasi dalam simbolisme altar, dan taman pusat ikut serta dalam simbolisme surga purba. Dalam budaya Asia, rumah secara tradisional ditata dalam bentuk persegi panjang yang berorientasi pada empat titik mata angin. Rumah tradisional Asia Timur berorientasi ke langit melalui sistem Fengshui, yakni sebuah sistem geomansi seperti juga halnya untuk istana. Rumah-rumah tradisional Arab juga ditata berbentuk persegi yang mengelilingi air mancur pusat, yang membangkitkan ingatan kita pada surga taman purba. Masyarakat nomaden di Mongolia dan Amerika lebih sering tinggal dalam bangunan melingkar. Tiang tengah tenda masih berfungsi sebagai poros, tetapi referensi tetap ke empat titik kompas dihindari.

 

Wujud manusia dapat berfungsi sebagai poros dunia. Beberapa representasi Pohon Kehidupan yang lebih abstrak, seperti sistem Chakra yang diakui oleh agama Hindu dan Buddha, menyatu dengan konsep tubuh manusia sebagai pilar antara langit dan bumi. Disiplin seperti Yoga dan Tai Chi dimulai dari premis tubuh manusia sebagai axis mundiAstrologi dalam segala bentuknya mengasumsikan hubungan antara kesehatan dan urusan manusia serta orientasinya dengan benda-benda langit. Agama-agama dunia menganggap tubuh itu sendiri sebagai kuil dan doa, yang berfungsi sebagai tiang yang menyatukan bumi dengan surga. Gambar Renaisans yang dikenal sebagai Manusia Vitruvian, mewakili eksplorasi simbolis dan matematis dari bentuk manusia sebagai poros dunia.

 

Menurut Mircea Eliade, "Setiap Mikrokosmos dari wilayah yang dihuni, memiliki Pusat, artinya tempat yang paling suci di atas segalanya."

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231227

 


 

Rabu, 13 Desember 2023

GUNUNG MERU DAN AXIS MUNDI


 

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Perayaan keagamaan agung di wilayah kadipaten Śākya baru saja usai di sore hari itu. Perhelatan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam itu diikuti oleh para petinggi istana, dan semua yang ikut dalam upacara itu merasa kelelahan. Demikian pula halnya dengan sang permaisuri, Puteri Mahā Māyā, yang telah berangkat ke peraduannya sebelum sang surya tenggelam di ufuk barat. Di tengah malam Māyā yang sedang tidur dengan lelapnya, terbangun di kamar pribadinya. Dia menutupi mata dengan telapak tangannya karena muncul cahaya menyilaukan di dalam kamarnya. Empat sosok makhluk yang amat elok ke luar dari tiang cahaya itu dalam wujud empat gadis muda yang sedang tersenyum. Māyā duduk di peraduannya dan langsung mengenali keempatnya; mereka tidak lain para dewi, makhluk kahyangan.

 

Keempat dewi itu memberi isyarat agar Māyā mengikuti mereka. Sambil terus bertanya-tanya mengapa mereka memilih dirinya, Māyā pun turun dari tempat tidurnya yang mewah dan hangat serta dia mengikuti keempatnya. Sambil menoleh ke belakang, empat makhluk itu berjalan menembus partisi dan dinding-dinding istana, seakan-akan semua penghalang itu terbuat dari asap. Sama seperti para dewi, Māyā pun tidak merasakan tubuhnya terbentur oleh dinding sewaktu dia berjalan menembusnya. Setelah mereka keluar dari kompleks istana, dia merasa tubuhnya menjadi bertambah ringan, dan tampak dari pandangannya, kotaraja tempat tinggal keluarganya semakin kabur dan menghilang.

 

Mereka berlima bergerak semakin cepat menuju arah utara. Pegunungan Himalaya, yang mana Māyā sendiri menebak-nebak, ke tempat itulah para dewi akan membawanya. Itulah puncak-puncak tinggi yang biasanya tampak di kejauhan dari istananya, satu tempat yang tidak terbayangkan akan dapat dia kunjungi sekali seumur hidupnya. Sekarang kelimanya bukan saja melaju dengan cepat, melainkan tubuh mereka membumbung semakin tinggi ke angkasa. Mendekati punggung gunung yang berwarna abu kebiru-biruan, Māyā melihat sinar matahari yang memantul di salju. Dia menatapnya dengan takjub. Setelah melewati beberapa gunung terlihatlah sebuah danau yang dikelilingi oleh beberapa puncak bukit. Permukaan airnya berkilau tertimpa sinar sang surya.

 

Keempat dewi itu membawa Māyā ke satu tepian danau yang berbatu, yang mana mereka mendapatkan permukaan air di sana tenang dan bening bagaikan kaca. Para dewi membuka pakaiannya dan Māyā pun pasrah mengikuti kehendak mereka. Setelah melepaskan semuanya, mereka memakaikannya sebuah busana yang paling indah dan paling halus, yang pernah dia lihat dan kenakan selama ini. Mereka membimbing Māyā agar memasuki danau dan mereka memandikannya. Setelah tubuhnya benar-benar bersih, sambil tersenyum keempat tangan dewi itu menyentuh perut Māyā. Sentuhan tersebut terasa hangat dan begitu menggugahnya. Sekonyong-konyong Māyā diliputi oleh gairah yang meluap-luap. Pada saat yang kritis itu dia mendusin dari tidur nyenyaknya, dan tahu-tahu dia mendapati dirinya sedang berbaring di tempat tidurnya sendirian. Gairah yang tidak biasa itu masih menyelubungi sekujur tubuhnya, dan gelora itu tidak ingin pergi.

 

Dengan tergesa-gesa dan agak linglung, Māyā segera beranjak dari tempat tidurnya, dan dia pun berjingkat-jingkat menuju kamar suaminya. Dalam temaram cahaya pelita dilihatnya Śuddhodana sedang terbaring miring di tempat tidurnya. Setelah bertahun-tahun berputus asa menantikan kedatangan seorang putera, suaminya lebih sering tidur sendirian. Penguasa lain mungkin akan mencari beberapa selir, yang bisa memberikan keturunan; tetapi Śuddhodana tidak melakukan hal itu. Dia tetap teguh dan setia mendampinginya. "Malam ini akan berbeda dengan malam-malam panjang sebelumnya," kata Māyā kepada dirinya sendiri. "Aku telah diberkahi oleh dewata." Dengan perlahan-lahan karena tidak ingin suaminya terbangun, Māyā berbaring di samping suaminya. Dengan lembut dia membelai wajah suaminya sampai Śuddhodana terbangun.

 

Mata lelaki itu terbuka dan sambil mengantuk kedua tangannya menyentuh tubuh isterinya. Śuddhodana hendak mengajukan sebuah pertanyaan, tetapi Māyā meletakkan jari telunjuknya di depan bibir suaminya. Māyā tidak menjadi liar dan lupa diri karena gairahnya yang sedang menyala-nyala. Dia pun bukan budak dari nafsu raganya. Saat tubuh mereka berpagut, Māyā lebih menginginkan penyatuan ketimbang kenikmatan. Dia mendorong tubuh suaminya, dengan kata-kata yang tidak pernah terlontar dari mulutnya. "Jangan bercinta denganku seperti layaknya sepasang manusia, tetapi bercintalah denganku bagaikan dewa-dewi di kahyangan." Efeknya tak terbayangkan dan sangat dramatis. Dengan lembut Śuddhodana merengkuhnya.

 

Selama ini kegiatan bercinta keduanya hanyalah rutinitas yang itu-itu saja. Tetapi malam ini tidaklah demikian. Śuddhodana pun merasakan keyakinan yang besar seperti yang dirasakan Māyā. Begitu sang isteri siap, dia pun memutar pinggulnya dan bersatu dengan suaminya. Gairah luar biasa yang merasukinya semakin lama semakin memuncak. Napas mereka tercekat di kerongkongan. Selama beberapa saat Māyā memasuki dunia kenikmatan yang terasa abadi. Terengah-engah dia menyadari suaminya tengah memeluknya erat-erat, begitu lekatnya sehingga tubuh mereka berdua melebur menjadi satu. Mereka berciuman dan saling membelai, dengan rasa puas dan tuntas. Māyā seolah-olah merasakan dirinya membumbung ke tempat kediaman para dewi, yang sebelumnya pernah didatanginya. Ketika dia membuka matanya, dilihatnya satu makhluk asing sedang mengamatinya. Makhluk itu sangat besar dan berwarna seputih salju. Hewan itu ternyata seekor gajah. Makhluk itu menatapnya dengan kebijaksanaannya yang hangat, kemudian mengangkat belalainya sebagai tanda penghormatan. Sang gajah putih pun sedikit demi sedikit mengecilkan tubuhnya, kemudian dia memasuki bagian perut Māyā sebelah kanan dan dan di tempat itu pula dia lenyap seketika. Māyā tersadar dari tidurnya, ketika bumi di bawah istana bergetar keras, seakan-akan menyambut datangnya sang manusia agung ke dunia.

 

Kisah sang permaisuri Māyā yang dibawa oleh empat sosok dewi menuju pegunungan dan danau suci, merupakan penggalan cerita awal tentang proses kelahiran Sang Bodhisattva; yang telah dipercaya oleh keturunan kaum Śākya selama ribuan tahun. Kadipaten Śākya Kuno yang sekarang berada di wilayah Nepal berhadapan langsung pada bagian utaranya dengan Pegunungan Himalaya, bagian bumi yang paling tinggi dibandingkan gunung-gunung lainnya di planet yang kita tinggali. Pada masa itu puncak-puncak tertinggi pada pegunungan itu belum sanggup dieksplorasi oleh orang kebanyakan, dan apa yang ada di sana masih merupakan misteri. Namun diyakini di pegunungan tersebut juga tempat bermukim para dewata.

 

Orang India Kuno percaya bahwa Pegunungan Himalaya hanyalah sebagian wujud sesungguhnya dari lokasi kediaman para dewata. Mereka percaya bahwa Gunung Meru, gunung emas, adalah pusat alam semesta. Gunung Meru merupakan benda paling suci di alam semesta karena menyangga langit dan para dewa. Secara geografis, dikatakan berada di pusat alam semesta di perairan kehidupan, dikelilingi oleh tujuh lautan konsentris, yang masing-masing ukurannya mengecil dari pusatnya. Di sebelah selatannya terbentang Bhāratavarṣa, yang bermakna "Tanah Putra Bharata", atau Jambudvīpa, nama kuno untuk India. Sebagai poros dunia, Gunung Meru memanjang ke bawah tanah, ke alam bawah, lalu ke atas hingga ke langit.

 

Gunung Meru (मेरु, Sansk., Pāli), dikenal sebagai Gunung Sumeru (maknanya: Meru yang menakjubkan), Sineru, atau Mahāmeru, adalah gunung suci menurut kepercayaan Buddha, Hindu, dan Jainisme. Gunung Meru dianggap sebagai pusat semesta dari semua alam fisik, spiritual, dan metafisik. Gunung yang sama disebutkan pula dalam beberapa kitab suci agama bukan-India seperti Taoisme yang terpengaruh oleh masuknya agama Buddha di Tiongkok, dan diberi nama Xū Mí Shān (須彌山). Sampai saat ini belum ada identifikasi jelas Gunung Meru dikaitkan dengan lokasi geofisika tertentu. Dalam agama Jawa Kuno dikenal pula Gunung Semeru, yang belakangan bukan saja mengacu pada gunung mitologis, tetapi juga gunung fisik tertinggi (tinggi 3676 m, dari permukaan laut) di Pulau Jawa.

 

Menurut Abhidharmakośabhāṣyam, yakni tulisan filosofis karya Vasubandhu, Sumeru tingginya 80.000 yojana. Ukuran pasti dari satu yojana tidak diketahui secara pasti, namun beberapa catatan menyebutkan satu yojana sekitar 24.000 kaki atau atau kira-kira 4,5 mil. Namun catatan lain menyebutkannya sekitar 7 sampai 9 mil, atau maksimal 15 km. Jadi tinggi Sumeru sebesar 80 ribu yojana setara 1.200.000 km. Jelas besaran ini merupakan jarak yang fantastis bagi kita orang modern, karena jarak rata-rata bumi ke bulan "hanya" 384.400 km. Gunung ini pun masih turun ke bawah permukaan perairan sekitarnya hingga kedalaman 40.000 yojana, dan didirikan di atas lapisan dasar Bumi. Sumeru sering digunakan sebagai perumpamaan untuk ukuran dan stabilitas dalam teks Buddhis. Sumeru konon berbentuk seperti jam pasir, dengan bagian atas dan bawah berbentuk bujur sangkar atau lingkaran berukuran 80.000 yojana-persegi, namun menyempit di bagian tengahnya, yaitu pada ketinggian 40.000 yojana, menjadi hanya 20.000 yojana-persegi.

 

Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi merupakan surga atau devaloka Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang tertinggi yang bersentuhan fisik langsung dengan bumi. Empat-puluh-ribu yojana berikutnya di bawah langit ini terdiri dari jurang terjal, menyempit menyerupai gunung-terbalik hingga luasnya 20.000 yojana-persegi dengan ketinggian 40.000 yojana dihitung dari dasarnya. Dari titik ini Sumeru meluas lagi, turun menjadi empat tepian bertingkat, masing-masing lebih lebar dari yang di atasnya. Teras pertama merupakan Surga Empat Raja Agung dan terbagi menjadi empat bagian, menghadap utara, selatan, timur, dan barat. Setiap bagian diatur oleh salah satu dari Empat Raja Agung, yang menghadap ke luar menuju penjuru dunia yang diawasinya.

 

Jarak 40.000 yojana juga merupakan ketinggian matahari dan bulan mengelilingi Sumeru searah jarum jam. Rotasi ini menjelaskan perubahan siang dan malam. Ketika matahari berada di utara Sumeru, bayangan gunung menutupi benua Jambudvīpa, dan di sana berlangsung malam hari. Serta pada saat yang sama terjadi siang hari di benua utara seberang Uttarakuru, fajar di benua timur Pūrvavideha, dan senja di benua barat Aparagodānīya. Setengah hari kemudian, ketika sang surya telah bergerak ke selatan, terjadi siang hari di Jambudvīpa, senja di Pūrvavideha, fajar di Aparagodānīya, dan tengah malam di Uttarakuru. Tiga teras berikutnya yang menuruni lereng Sumeru masing-masing lebih panjang dan lebarnya dengan faktor dua. Mereka berisi pengikut Empat Raja Agung, yakni para nāga, yakṣa, gandharva, dan kumbhāṇḍa.

 

Menurut pandangan orang India Kuno, di sekeliling Gunung Meru terdapat tujuh rangkaian gunung berbentuk lingkaran, masing-masing setinggi setengah dari gunung sebelumnya, serta dipisahkan oleh lautan berbentuk lingkaran. Seluruh wilayah itu dikelilingi oleh lautan dunia dan akhirnya oleh deretan tebing besi terjal yang membentuk tembok dunia. Di lautan terluar terdapat empat benua besar, jaraknya terlalu jauh satu sama lain untuk navigasi manusia. Benua selatan disebut Jambudvīpa, Negeri Jambu, dan merupakan dunia yang dikenal oleh orang India secara keseluruhan, yakni tempat di mana semua drama, tragedi, dan aneka komedi kehidupan manusia berlangsung.

 

Di atas kita sudah membahas bahwa Puncak Sumeru seluas 80.000 yojana-persegi merupakan surga atau devaloka Trāyastriṃśa, yang merupakan bidang tertinggi. Jika kita memperluasnya lebih lanjut menuju luar angkasa, masih terdapat surga sensual yang bahkan lebih halus, tempat kediamam para dewa Yāma. Ada enam surga sensual, dua di Gunung Meru dan empat di angkasa di atasnya. Masing-masing langit di atas dua kali lebih jauh dari langit sebelumnya. Yang lebih tinggi lagi adalah alam para dewa-brahma, makhluk yang hidup sangat lama. Mereka mampu menyaksikan seluruh sistem dunia di bawah mereka datang dan pergi, atau tercipta dan akhirnya musnah. Para dewa-brahma sangat berbeda dengan para dewa dan dewi yang kita bicarakan sebelumnya, yakni para dewa-nafsu. Mereka sama sekali tidak tertarik pada dunia indra tetapi hidup dengan menikmati kebahagiaan meditatif. Para dewa-brahma mempunyai enam belas alam, masing-masing lebih halus dibandingkan alam di bawahnya, terbentang sangat jauh hingga angkasa. Sekali lagi, jarak di antara mereka bertambah dua kali lipat setiap kali mereka melangkah maju.

 

Di beberapa negara Buddhis, kepercayaan terhadap dewa-nafsu dan dewa-brahma masih sangat hidup dan baik, dan di beberapa daerah terpencil masih terdapat orang-orang yang masih mempercayai Gunung Meru beserta tatanan yang berada di dalamnya. Bagi manusia modern keberadaan Gunung Meru hanya dianggap sebagai gambaran mitologis tentang alam semesta, dan sudut pandang mereka ini akan kita bicarakan pada bagian kedua tulisan ini. Namun ketika membaca sutta-sutta atau naskah-naskah Buddhis Kuno, kita harus ingat bahwa nenek moyang Buddhis yang sedang berbicara kepada kita; dan mereka semua hidup pada pandangan dunia yang menganggap Gunung Meru dengan berbagai alamnya sebagai kebenaran mutlak.

 

Pada bagian awal tulisan ini penulis menggambarkan ketika Māyā sebagai sosok perempuan masih membutuhkan cinta kasih dan kenikmatan inderawi sebelum mendapatkan puteranya. Gambaran kosmologis pada tatanan Buddhis memberi tahu kita bahwa alam manusia adalah bagian dari kamavacara yang lebih luas, alam nafsu indera, yang juga mencakup empat alam rendah dan enam alam surga-indera. Makhluk pada tingkat keberadaan ini mengalami dunia melalui gerbang enam indera. Pintu-pintu indera ini adalah sumber kesenangan dan kesakitan, dan mereka mendominasi kesadaran satu makhluk. Namun kosmologi Buddhis juga memberi tahu kita bahwa tidak harus seperti ini; ada makhluk-makhluk di alam eksistensi lain yang menjalani kehidupan dalam kebahagiaan luhur tanpa ketertarikan apa pun pada objek-objek indra. Jika kita membayangkan perjalanan ke atas melintasi alam-alam surga, akan kita temukan terjadinya pelemahan nafsu indera secara bertahap, suatu evolusi ke arah bentuk-bentuk sensualitas yang semakin halus dan halus hingga pada tingkat lanjut akan mudah lenyap begitu saja.

 

Surga Tiga-Puluh-Tiga Dewa, Trāyastriṃśa, yang menempati puncak Gunung Meru dianggap sebagai lambang sensualisme duniawi dan mencakup semua jenis kenikmatan yang bisa kita dapatkan di sini: makanan, minuman, musik, dan tentu saja seksualitas. Komentar-komentar Pāli penuh dengan deskripsi-deskripsi yang penuh kegembiraan tentang kesenangan para dewa ini, bahkan termasuk paragraf-paragraf yang cukup erotis yang melukiskan keelokan tubuh gadis-gadis penari. Namun ketika kita naik terus menuju surga yang tersisa, segala sesuatu secara bertahap berubah menjadi bentuk kenikmatan indera yang lebih halus dan tidak terlalu bersifat fisik. Contoh paling jelas terdapat pada sebuah bagian dalam Abhidharmakosa, yang menggambarkan bagaimana para dewa dan dewi bercinta. Para dewa-dewi Trāyastriṃśa melakukannya seperti manusia, hanya saja dewa laki-laki tidak mengeluarkan air mani. Para dewa-dewi Yāma, satu tingkat alam yang lebih tinggi, berpelukan tetapi tidak ada penetrasi. Para dewa-dewi Tuṣita hanya berpegangan tangan. Para dewa-dewi surga Nirmāṇarati tidak bersentuhan sama sekali tetapi menemukan kenikmatan seksual hanya dengan tersenyum satu sama lain. Para dewa-dewi alam sensual tertinggi bahkan tidak melangkah sejauh itu, namun hanya saling bertatap mata. Jadi beda sekali konsep kenikmatan surga Buddhis ini jika dibandingkan dengan yang dibayangkan oleh kebanyakan orang awam di dunia ini. Kaum laki-laki biasanya mengidam-idamkan hubungan-seksual di surga nanti: bercumbu dan bercinta dengan banyak bidadari di alam surga, dengan imbalan memperoleh tingkat kenikmatan yang jauh lebih tinggi.

 

Sesuai dengan kosmologi Gunung Meru, segala kerumitan dan drama terjadi di kamavacara atau alam nafsu indra. Alam-alam kehidupan ini sangat luas dan sangat berbeda-beda, mulai dari alam Naraka atau Niraya, yang sering disebut "neraka", sampai pada alam kesengsaraan para Preta atau alam Hantu-kelaparan, hingga dunia binatang dan manusia yang penuh warna. Dunia indra mencakup semuanya: kesakitan, konflik, kesenangan, dan kasih sayang. Hal ini begitu jelas dan luar biasa dalam alam-alam tersebut, sehingga sulit membayangkan cara keberadaan di alam-alam luhur lainnya.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231213

 


Rabu, 29 November 2023

DIPA MA



Pada suatu kesempatan Sang Buddha menyebutkan nama-nama dari dua puluh satu siswa perumah-tangga terkemuka (upāsaka dan upāsaka) yang telah mencapai realisasi jalan (magga) dan buah (phala). Yang keempat dalam daftar ini kita temukan nama umat awam bernama Citta dari Macchikāsaṇḍa, dekat Sāvatthī (Aṅguttara Nikāya 6:120). Pada kesempatan lain Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: "Jika seorang ibu yang berbakti ingin memberi semangat kepada putera tunggal kesayangannya dengan cara yang benar, dia dapat mengatakan kepadanya: 'Cobalah menjadi seperti perumah-tangga Citta, sayangku, atau seperti perumah-tangga Hatthaka dari Ālavi.' Keduanya, Citta dan Hatthaka, adalah teladan dan standar pembimbing bagi umat awamku." Kini sudah lebih dari dua-ribu-lima-ratus tahun lewat sejak Sang Buddha mangkat, dan pertanyaan penting ini: Apakah ada seorang perumah-tangga yang bisa kita jadikan suri-tauladan di zaman ini?

 

Selama masa hidupnya yang bermula di permulaan abad kedua puluh hingga mendekati pergantian abad yang berikutnya, tokoh kita ini telah berhasil mengatasi tragedi-tragedi yang dialaminya dengan melakukan meditasi secara intens, lalu menjalani kehidupannya dengan tenang. Dia dikelilingi oleh keluarga-keluarga, para sahabat, dan siswa-siswanya. Dia menjadi tokoh penting dalam sejarah agama Buddha modern, dengan menjadikannya sebagai guru dan tauladan bagi masyarakat awam, yang mana mereka berupaya mencapai pencerahan sambil tetap menjalankan tanggung jawab keluarga. Kehidupannya merupakan sumber inspirasi besar bagi siswa-siswanya, banyak di antara mereka yang kemudian menyebarkan pesan dharma Buddhis versinya kepada orang lain.

 

Dipa Ma terlahir sebagai Nani Bala Barua pada tanggal 25 Maret 1911. Tempat kelahirannya adalah sebuah dusun kecil di Dataran Chittagong, dalam kawasan etno-linguistik Benggala di sebelah timur India, yang sejak tahun 1971 berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat Bangladesh. Chittagong sendiri letaknya dekat dengan perbatasan Burma (kemudian berganti nama menjadi Myanmar). Meskipun jumlah umat Buddha di Bangladesh hanya 0,61 persen dari populasi penduduk di negeri itu, keluarga Nani berasal dari sebuah klen yang silsilahnya bisa ditelusuri hingga zaman Buddha Gautama. Orang-orang di komunitasnya menjalankan ritual dan adat istiadat Buddhis, namun mereka tidak sampai mempraktikkan meditasi dalam setiap ritual keagamaan mereka. Urusan pengembangan batin, seperti meditasi, hanya menjadi tradisi para bhikkhu dan bhikkhuni di negeri tersebut.

 

Sejak usia dini Nani menunjukkan minat yang besar terhadap ritual dan praktik Buddha. Dia kerap membantu para bhikkhu di kuil setempat dan membuat patung Buddha. Alih-alih bermain dengan anak-anak sebayanya, dia banyak membaca dan belajar, dan sering kali mendiskusikan masalah keyakinan dan praktik Dhamma dengan ayahnya. Karena dia perempuan, nasibnya memang tidak berbeda jauh dengan anak-anak gadis seusianya, yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal di desanya. Anak perempuan begitu mencapai masa akil balig diharapkan menikah dini, dan dalam usia yang amat muda menurut ukuran zaman kita, mereka harus mulai melahirkan dan mengasuh bayi. Pernikahan ini biasanya diatur dan ditentukan oleh orang tua dari pasangan tersebut. Ketika Nani berumur dua-belas tahun, dia telah meninggalkan rumah dan dusunnya, dan dinikahkan dengan seorang insinyur muda. Suaminya telah berusia dua-puluh-lima tahun atau dua kali lipat umur Nani, bernama Rajani Ranjan Barua. Baru saja menjadi pengantin baru, Nani hanya bisa menangis ketika seminggu kemudian suaminya harus pergi meninggalkannya. Rajani harus bekerja di Rangoon, ibukota Burma (Rangoon kemudian berganti nama menjadi Yangon pada tahun 1989). Selama dua tahun dia tinggal bersama mertuanya, hingga akhirnya dia berangkat dengan perahu untuk bergabung dengan suaminya, di kota terbesar di negeri itu.

 

Segera setelah tiba di Rangoon, Nani melihat kehidupan di negeri Buddhis itu berbeda dengan dusun kelahirannya. Suasana kehidupan keagamaan di sana masih terasa, seperti zaman ketika Sang Guru Agung masih hidup. Nani melihat begitu banyak bhaddanta, ashin, dan sayadaw hilir mudik di jalan-jalan di kota Rangoon. Mereka dalam kesehariannya banyak menghabiskan waktu untuk bermeditasi secara khusyuk di dalam biara-biara. Meditasi bagi para biarawan bukanlah duduk bersila dengan mata dipejamkan selama 5 hingga 10 menit dalam suasana hening, seperti yang sering dilakukan oleh umat yang melakukan pujabakti di vihara. Mereka melakukannya dengan intens dalam waktu yang relatif panjang, dengan ditunjang oleh teori-teori yang bersumber dari kitab-kitab suci, dan biasanya selalu dipandu oleh seorang guru meditasi yang handal. Tanpa bimbingannya seorang meditator pemula bisa salah jalan. Nani yang sudah berumur empat-belas tahun meminta izin suaminya untuk belajar meditasi. Suaminya tidak menentang gagasan tersebut, namun dia dan isterinya masih berstatus perumah-tangga, yakni bukan biarawan. Secara tradisional, para perumah-tangga tidak melakukan praktik keagamaan yang sedemikian intensnya; sampai mereka telah memenuhi tanggung jawab khususnya, yaitu setelah mereka berhasil membesarkan anak-anak mereka. Karena itu Rajani menyuruh Nani untuk menunda belajar meditasi sampai dia dewasa.

 

Nani menemui kesulitan besar ketika mencoba memiliki anak. Sesungguhnya dalam usia yang begitu muda, seorang gadis seusai dia belum memiliki rahim yang cukup kuat. Namun masyarakat pada masa itu mengharapkan perempuan muda sudah pantas menjadi seorang ibu. Jika dia sampai tidak memilikinya, akan mendatangkan aib bagi keluarganya. Belakangan dia hamil juga, namun anaknya meninggal saat masih bayi. Anak kedua juga meninggal saat puteranya itu masih sangat kecil. Akhirnya, setelah menikah selama dua-puluh-tujuh tahun, Nani melahirkan seorang puteri dengan selamat. Nama puterinya adalah Dipa, yang dalam bahasa Bengali bermakna "Cahaya". Untuk selanjutnya Nani dipanggil dengan merujuk pada Dipa, yakni Dipa Ma yang artinya "ibu dari Dipa". Orang kemudian memanggil dan mengenangnya sebagai Sang Ibu Cahaya. Bersamaan dengan kelahiran puteri semata wayangnya, Dipa Ma dan suaminya juga mengadopsi adik laki-laki Dipa Ma, yang bernama Bijoy.

 

Segera setelah puterinya lahir, kesehatan Dipa Ma berangsur-angsur turun. Dia menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi yang kronis, dan selama beberapa tahun dia tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Suaminya sendiri yang kemudian merawatnya, namun suatu hari di tahun 1957, yakni ketika dia berumur lima-puluh-sembilan tahun, dia pulang kerja sambil mengeluh bahwa dia juga mengalami nyeri di bagian dadanya. Saat itulah terbukti bahwa mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Rajani yang menjadi andalan utama dalam keluarga itu, meninggal beberapa jam sesudahnya, karena dia terkena serangan jantung. Dipa Ma yang sudah tidak berdaya di tempat pembaringannya, langsung merasakan kegelapan dan kesedihan yang amat sangat. Dia pun merasa ajal akan segera menjemputnya. Namun dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup dalam mobilitasnya yang terbatas, adalah mengendalikan dirinya melalui meditasi. Dia mengatakan bahwa selama periode kesedihan dan kebingungan ini, dia bermimpi melihat Sang Buddha mendatanginya. Kemudian Sang Guru melantunkan syair berikut dari kitab suci Dhammapada:

 

"Piyato jāyatī soko,

piyato jāyatī bhayaṁ;

piyato vippamuttassa natthi soko,

kuto bhayaṁ?"

 

"Dari rasa cinta timbul kesedihan,

Dari rasa cinta timbul ketakutan;

Bagi orang yang bebas dari rasa cinta, tidak ada kesedihan,

Jadi bagaimana bisa muncul ketakutan?"

 

Dipa Ma lalu memutuskan untuk melakukan satu langkah penting dalam hidupnya. Dia menyerahkan harta benda dan pengasuhan puterinya kepada tetangga, dan dia sendiri mendaftarkan diri ke Pusat Meditasi Kamayut di Rangoon. Niatnya semula tidak lain menghabiskan sisa hidupnya di sana, namun kejadian berubah secara tak terduga. Pada hari pertamanya, dia berhasil masuk ke dalam konsentrasi meditasi yang mendalam. Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai dia menyadari bahwa dia tidak mampu menggerakkan kakinya, dan anehnya dia tidak merasakan sakit sama sekali. Akhirnya dia menyadari seekor anjing sedang menggigit kakinya, dan makhluk keparat itu tidak mau melepaskannya. Para bhikkhu segera mengusir anjing itu, dan mereka segera membawa Dipa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Setelah dia diberikan suntikan anti rabies, Dipa Ma dipersilahkan pulang ke rumah agar luka-lukanya segera pulih. Puterinya yang senang ibunya kembali, bersikeras agar ibunya tidak kembali ke pusat pelatihan tersebut. Dipa Ma kemudian memutuskan akan berlatih meditasi di rumah. Para pembaca hendaknya memahami bahwa Dipa Na ini seorang manusia yang luar biasa. Hanya dengan pelatihan mandiri, dia berhasil dalam sekejap untuk masuk ke dalam tingkat konsentrasi yang mendalam. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki kemampuan seperti itu. Sungguh dia seorang yang memiliki bakat untuk mencapai samadhi setinggi itu.

 

Selama beberapa tahun Dipa Ma bermeditasi di rumah. Seorang sahabatnya, Anagārika Shri Munindra (1915 - 14-Okt-2003), sering dipanggil Munindraji, yang merupakan pemuka agama Buddha di India, juga pengawas Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā dari tahun 1953 sampai 1957. Munindra, yang belakangan menjadi seorang guru meditasi vipassanā, kemudian mendorong Dipa Ma untuk berlatih di Pusat Meditasi Thathana Yeiktha di Burma, guna belajar di bawah bimbingan guru yang tersohor: Mahasi Sayadaw. Saat ini Dipa Ma berusia lima puluh tiga tahun dan sangat lemah, sehingga dia hampir tidak bisa menaiki tangga menuju pusat pelatihan. Setelah belajar sebentar, Dipa Ma mampu memasuki tahap konsentrasi yang mendalam dan sekarang terbukti meditasi pula yang berhasil mengubah kondisi hidupnya. Kondisi tubuhnya secara keseluruhan membaik. Tekanan darahnya pun turun, dan kelemahan di kakinya hilang perlahan-lahan. Alih-alih merasa berpenyakitan dan berduka, Dipa Ma mendapati dirinya terlahir kembali sebagai wanita yang sehat, bertenaga, dan bahagia.

 

Para kerabat dan sahabat tercengang-cengang melihat kondisi Dipa Ma sekarang, dari seorang perempuan setengah baya yang ringkih didera berbagai penyakit, sekarang bertransformasi menjadi sesosok wanita yang kuat. Beberapa dari mereka, termasuk puterinya sendiri dan saudara perempuan Dipa Ma, Hema, bergabung dengannya di pusat meditasi tersebut. Hema sendiri memiliki delapan anak dengan lima di antaranya masih tinggal di rumah. Selama hampir satu tahun, mereka semua mengikuti praktik meditasi secara intensif di pusat pelatihan tersebut. Mereka selalu menjaga keheningan, menghindari kontak mata dengan orang lain, tidur hanya empat jam setiap malam, dan berpantang makan setelah tengah hari. Meditasi yang diajarkan oleh Mahasi Sayadaw, biasanya dilakukan dengan pengamatan terhadap keluar-masuknya napas. Jadi pikiran kita tidak dibiarkan mengembara kemana-mana. Kita cukup mengamati napas yang masuk dan napas yang keluar setiap saat, dengan fokus pada gerakan yang terjadi di perut kita. Pengamatan terhadap gerakan perut yang naik dan turun, sebagai adanya aktivitas pernapasan, bisa diamati sepanjang hari. Lama kelamaan sang meditator menyadari kefanaan secara jelas. Kefanaan dan ketidakkekalan adalah salah satu metode Buddhis, yang dituntut agar setiap orang menyelidiki dirinya sendiri.

 

Namun pada tahun 1967, Pemerintah Burma memerintahkan semua orang asing untuk meninggalkan negaranya. Para bhikkhu di pusat pelatihan tersebut percaya bahwa Dipa Ma bisa saja tetap tinggal jika dia mau, namun dia memutuskan untuk pindah ke Calcutta (sekarang Kolkata, ibukota Benggala Barat), India. Dia percaya bahwa di Calcutta puterinya akan memiliki lebih banyak kesempatan melanjutkan pendidikannya. Dia dan Dipa pindah ke sana, dan mereka tinggal di sebuah ruangan kecil di atas sebuah bengkel mesin. Ruangan tersebut tidak dilengkapi oleh air keran, dan keduanya harus berbagi kamar mandi dengan keluarga lainnya. Mereka memasak di atas panggangan arang kecil di lantai. Dipa Ma sendiri tidur di atas kasur jerami tipis di atas lantai.

 

Kabar dengan cepat menyebar ke seluruh kota bahwa seorang guru meditasi berbakat telah tiba dari Burma. Tak lama kemudian orang-orang muncul di depan pintu rumah Dipa Ma untuk mendapatkan petunjuk. Dalam pikiran orang-orang yang akan berkunjung, guru meditasi adalah bhikkhu atau guru spiritual yang cukup umur, dan selalu laki-laki. Faktanya, penganut agama Buddha tradisional di sana percaya bahwa hanya laki-laki yang bisa mencapai pencerahan, seperti Buddha. Seorang wanita harus terlahir kembali sebagai pria di kehidupan mendatang agar bisa mencapai tataran serupa. Dipa Ma, bagaimana pun, mengajarkan meditasi kepada orang-orang yang berumah tangga, kebanyakan dari mereka adalah wanita; yang mencoba menyeimbangkan pekerjaan rumah tangga dengan keinginan untuk mendapatkan pencerahan spiritual. Beberapa pengikutnya menyebut Dipa Ma sebagai "Santo pelindung para perumah-tangga".

 

Karir panjang Dipa Ma dalam membimbing umat perumah-tangga telah dimulai di Burma. Salah satu siswa pertamanya, Malati, adalah seorang janda dan ibu tunggal yang mengasuh enam anak kecil. Dipa Ma merancang praktik yang dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti menghadirkan pikiran sepenuhnya, pada saat berlangsungnya sensasi bayi menyusu di dadanya. Seperti yang diharapkan Dipa Ma, dengan melatih kewaspadaan ketika dia menyusui bayinya, Malati mencapai pencerahan tingkat pertama. Mungkin ada pembaca yang seringkali mendengar istilah ini: mindfulness, yang maknanya adalah "kewaspadaan". Mindfulness membuat seseorang menyadari dan mendalami aktivitas yang sedang dilakukannya, serta menjadikan aktivitas tersebut sebagai kepuasan yang sedang dijalaninya.

 

Di Calcutta, Dipa Ma berulang kali menangani situasi yang serupa. Sudipti, seorang ibu rumah tangga yang cacat, berjuang merawat seorang anak laki-laki yang sakit jiwa. Dipa Ma mengajarinya latihan vipassanā, tetapi Sudipti bersikeras bahwa dia tidak punya waktu untuk mempraktikkan meditasi, karena dia mempunyai begitu banyak tanggung jawab untuk mencari nafkah dan mengurus keluarganya. Dipa Ma memberi tahu Sudipti bahwa ketika dia memikirkan tentang keluarga atau sedang mencari nafkah, dia bisa melakukannya dengan penuh perhatian. "Manusia tidak akan pernah menyelesaikan semua masalahnya," ajarnya. “Satu-satunya cara adalah dengan memberikan perhatian pada apa pun yang Anda alami. Dan jika Anda hanya bisa bermeditasi lima menit sehari, Anda wajib melaksanakannya."

 

Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya kepada Sudipti apakah dia boleh bermeditasi saat itu juga selama lima menit." Jadi saya duduk bersamanya selama lima menit," kenang Sudipti. "Kemudian dia memberi saya petunjuk meditasi, meskipun saya bilang saya tidak punya waktu. Entah bagaimana saya menemukan waktu lima menit sehari, dan saya mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi sangat terinspirasi. Saya dapat menemukan waktu yang lebih lama dan lebih lama untuk bermeditasi, dan tak lama kemudian saya bermeditasi berjam-jam sehari, hingga larut malam; terkadang sepanjang malam, setelah pekerjaan saya selesai. Saya menemukan energi dan waktu yang sebelumnya tidak saya sadari."

 

Siswa India lainnya, Dipak, ingat Dipa Ma menggodanya: "Oh, kamu datang dari kantor. Pikiranmu pasti sangat sibuk." Tapi kemudian dia dengan keras memerintahkannya untuk berubah pikiran. "Saya bilang padanya bahwa bekerja di bank itu banyak perhitungannya, dan pikiran saya selalu gelisah," kata Dipak. "Tidak mungkin untuk berlatih. Aku terlalu sibuk." Namun Dipa Ma tetap teguh, bersikeras bahwa, "Jika kamu sibuk, maka kesibukan adalah meditasi. Dan ketika kamu melakukan perhitungan, ketahuilah bahwa kamu sedang melakukan perhitungan. Meditasi selalu memungkinkan, kapan saja. Jika Anda terburu-buru ke kantor, maka Anda harus berhati-hati dalam keterburu-buruanmu."

 

Jenis meditasi yang diaplikasikan oleh Dipa Ma dinamakan vipassanā bhāvanā, atau meditasi "wawasan" atau "meditasi pandangan terang". Jenis meditasi ini dipraktikkan oleh Sang Buddha sendiri dan merupakan jenis pemusatan pikiran yang khas Buddhistik. Tujuan vipassanā adalah memusatkan kesadaran pada tubuh dan pengalaman indera. Beberapa praktisi memusatkan perhatian secara terpisah pada berbagai bagian tubuh mereka, melakukan apa yang kadang-kadang disebut "sapuan tubuh", berkonsentrasi secara bergantian pada jari kaki, telapak kaki, tungkai, dan seterusnya. Yang lain fokus pada pernapasan mereka. Dengan memusatkan perhatian pada ritme pernapasan, seseorang dikatakan mampu "mengeluarkan napas" pikiran-pikiran negatif dan "menghirup" kualitas-kualitas seperti toleransi dan kesabaran. Seseorang mungkin juga memvisualisasikan napasnya sebagai cahaya yang memancar dari tubuh, yang mampu menyebarkan kedamaian dan kebahagiaan.

 

Murid-murid Dipa Ma mengatakan bahwa mereka belajar bukan dari apa yang dia lakukan, tapi dari siapa dia. Jadi dalam berlatih meditasi, hubungan personal antara guru dan siswa adalah hal yang penting. Mereka mengklaim kehadirannya saja sudah cukup untuk meningkatkan rasa damai dan perhatian pada diri mereka. Dia adalah seorang guru yang banyak menuntut, bersikeras agar murid-muridnya tidak malas saat mereka berlatih meditasi, namun di balik semua itu dia juga sosok yang baik hati dan penuh kasih sayang. Dia akan menyapa murid-muridnya dengan memberkati mereka dan membelai rambut mereka, dan dia membagikan berkahnya kepada orang-orang, hewan, dan bahkan benda mati di jalan.

 

Pada tahun 1980-an Dipa Ma melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mengajarkan tekniknya di Insight Meditation Society di Massachusetts. Perkumpulan ini didirikan oleh tiga orang Barat, yakni Joseph Goldstein, Jack Kornfield, dan Sharon Salzberg. Ketiganya sering bepergian ke Calcutta untuk bertemu dan belajar dari Dipa Ma. Seperti dikutip Amy Schmidt dalam buku Dipa Ma: Kehidupan dan Warisan Seorang Guru Buddha, Goldstein berkata, "Mungkin ada beberapa saat dalam hidup kita ketika kita bertemu seseorang yang sangat tidak biasa sehingga dia mengubah cara hidup kita; dengan menjadi diri mereka sendiri. Dipa Ma adalah orang yang seperti itu ... Keheningan dan cintanya berbeda dari siapa pun yang pernah saya temui sebelumnya."

 

Dipa Ma meninggal pada tanggal 1 September 1989. Menurut seorang tetangga yang berada di sisinya pada saat kematiannya, di saat-saat terakhirnya dia melipat tangan dengan sikap anjali, lalu membungkuk di hadapan patung Buddha. Dia kemudian berhenti bernapas, meninggal dunia dengan tenang, sama seperti yang dia alami selama beberapa dekade terakhir dalam hidupnya. Ajarannya bertahan melalui upaya siswa-siswanya. Banyak di antaranya kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231129



Rabu, 15 November 2023

PEMANASAN GLOBAL DAN AJAKAN HIDUP MENURUT TAOISME



Kita orang awam pasti pernah mendengar bahwa pada tahun-tahun terakhir ini, ada perbincangan terjadinya pemanasan global di bumi tempat kita tinggal. Dalam artikel kali ini penulis mencoba menggambarkan apa itu pemanasan global dengan penjelasan yang mudah dicerna, dan lalu apa dampaknya terhadap kehidupan kita. Selanjutnya kita akan meninjau sebuah ajaran kuno yang masih relevan, guna merefleksikan diri, apakah kita ini sebagai manusia telah melakukan hal yang salah kepada alam.

 

Pemanasan global itu adalah fenomena nyata, karena terjadi kenaikan temperatur rata-rata pada atmosfer di atas daratan dan lautan, serta bertambahnya suhu air laut di seluruh dunia. Jadi terdapat kenaikan temperatur rata-rata di bumi kita ini selama seratus tahun terakhir ini, dibandingkan suhu bumi sebelumnya. Singkatnya daratan dan perairan lebih terasa hangat sekarang ini, dibandingkan dengan yang dialami oleh kakek-buyut kita yang hidup sekitar satu abad yang lalu. Kenaikan suhu rata-rata global menurut hitungan para ahli adalah 0,74 ± 0,18°C dalam seratus tahun terakhir. Mungkin Anda menganggap bahwa terjadi peningkatan paling banyak 1°C, dan ini bisa diabaikan. Tetapi angka plus 1°C itu berdampak besar terhadap kehidupan kita di bumi ini, dan penambahan sebesar itu tidak berlangsung secara linear, tetapi terjadi lonjakan besar secara global sejak pertengahan abad ke-20. Dan sekarang sudah diprediksi, jika laju pertumbuhan kenaikan suhu masih berlangsung seperti ini, di akhir abad ke-21 meningkatnya temperatur akan jauh melebihi 1°C. Apa penyebabnya? Kenaikan temperatur global bukan disebabkan oleh perilaku alam itu sendiri, tetapi hampir seluruhnya diakibatkan oleh intervensi manusia.

 

Demi mudahnya Anda para pembaca mencerna apa yang membuat terjadinya pemanasan global, penulis ingin kita menelusuri apa yang dialami oleh kakek buyut kita seratus tahun yang lalu. Kita anggap dia hidup sekitar tahun 1920-an. Kehidupan macam apa yang dapat kita saksikan di Pulau Jawa? Desa-desa memiliki sawah dan lahan pertanian dengan rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Jalan desa masih berupa jalan setapak yang berupa jalur bertanah merah. Orang bepergian dengan berjalan kaki, naik hewan tunggangan, atau memanfaatkan sebuah gerobak kayu. Tidak ada pabrik kecuali sebuah penggilingan padi, yang ditenagai oleh arus air deras atau dihela oleh kerbau. Hasil budidaya pertanian dan peternakan mereka sebagian diangkut ke kota kecil terdekat dengan bantuan gerobak bertenaga hewan. Kehidupan penduduk dusun amat bersahaja, dan gaya hidup mereka tidak berubah selama beberapa generasi.

 

Adalah lebih baik kehidupan di kota besar, seperti Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Jaringan kereta api telah dibangun sekitar tahun 1875 dan lima-puluh tahun kemudian telah terbentang jalan rel dan trem di Jawa dan Sumatera. Pembangunan jaringan kereta api ini bertujuan untuk mengangkut komoditi perkebunan, guna diekspor ke mancanegara. Keberadaan mobil bensin yang pertama tercatat tahun 1905 di Batavia, dan pada waktu itu jumlahnya di kota bisa dihitung dengan jari. Sekitar tahun 1920 jalanan kota masih dipenuhi oleh dokar, becak, sepeda, dan gerobak-kuda. Sepeda motor belum ada dan jumlah mobil pun hanya sedikit. Pembangkit listrik bertenaga uap yang pertama dibangun pada tahun 1897 di kawasan Gambir, Batavia; dan sebelumnya pembangkit listrik yang lebih kecil dipasang untuk mengoperasikan pabrik gula. Pada mulanya tenaga listrik yang dihasilkan dipakai di gedung-gedung pemerintahan dan perusahaan swasta, lalu selebihnya untuk keperluan rumah tangga. Bagi rakyat kebanyakan, listrik yang tersedia hanya dimanfaatkan untuk penerangan rumah di malam hari.

 

Jika kita membandingkan kehidupan manusia sekarang dengan yang terjadi seratus tahun yang lampau, maka jelas terlihat terjadi revolusi menuju kehidupan modern sejak tahun 1920-an, yang disusul dengan ledakan perkembangan teknologi yang dimulai di era 1950-an (saat Indonesia telah merdeka sepenuhnya dari kolonialisme). Berubahnya kehidupan manusia zaman itu sesungguhnya telah dipersiapkan lebih dari seratus tahun sebelumnya, dengan lahirnya Revolusi Industri. Dengan penemuan mesin uap lahirlah mesin-mesin modern yang bukan lagi digerakkan oleh tenaga manusia atau tenaga hewan, melainkan oleh tenaga uap. Sejak saat itu ekonomi dunia yang sebelumnya digerakkan oleh sektor pertanian perlahan-lahan mulai digantikan oleh sektor industri.

 

Mesin-mesin yang diperlukan untuk menggerakkan industri pada dasarnya diperlukan untuk (1) menggerakkan turbin yang dikopel oleh generator, sehingga bisa membangkitkan tenaga listrik, dan (2) menggerakkan motor bakar untuk menjalankan mesin kendaraan (termasuk kapal dan pesawat terbang). Kedua penggunaan industri itu tentu membutuhkan bahan bakar, yang berupa batubara, minyak bumi, dan gas alam. Batubara terbatas penggunaannya hanya untuk membangkitkan listrik tenaga uap.

 

Nah, pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam inilah yang kemudian meninggalkan residu berupa gas-gas yang mengotori atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) atau para ahli menyebutnya "meninggalkan jejak karbon". Tentu saja dari tiga jenis bahan bakar itu, yang meninggalkan jejak karbon paling buruk adalah batubara, kemudian minyak bumi, dan yang paling kecil itu gas alam. Pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam telah berlangsung secara masif selama seratus tahun terakhir ini, dengan laju eksponensial yang semakin lama semakin bertambah. Mengapa semakin bertambah? Karena populasi dunia pada 1920 sudah melewati 2 miliar orang, 3 miliar sebelum 1960, 4 miliar pada 1974, 5 miliar sebelum 1987, 6 miliar sebelum 1999, 7 miliar pada 2011, dan akan mencapai 8 miliar sebelum 2025. (Lihat: Ledakan Penduduk Dunia: Penyebab, Latar Belakang dan Proyeksi Masa Depan, dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles).

 

Sebagai akibatnya atmosfer bumi telah menampung gas-gas polutan selama seratus tahun terakhir ini dalam jumlah tak-terhingga, yang belum pernah terjadi selama sejarah peradaban manusia sebelumnya. Dengan adanya pemanasan global muncul akibat yang dulunya tak terpikirkan: perubahan iklim. Karena temperatur bumi naik, massa es yang ada di kutub akan semakin mencair, mengakibatkan muka air laut naik. Dampaknya garis pantai tergerus dan daerah pesisir mengalami banjir berkepanjangan, sehingga menjadi tidak layak huni lagi. Perubahan iklim membuat cuaca tahunan menjadi kacau, dengan makin seringnya terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, badai yang kekuatannya semakin merusak, dan pola curah hujan yang berubah-ubah. Selanjutnya karena cuaca semakin sulit diprediksi, pola tanam terganggu, punahnya berbagai jenis hewan, dan masuknya air laut sampai jauh ke daratan.

 

Dewasa ini para ilmuwan dan politisi bijak semakin khawatir, bahwa pemanasan global semakin sulit diatasi. Di lain pihak sumber energi yang tak-terbarukan, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam, pada suatu hari akan habis. Sumber energi terbarukan, seperti energi surya, tenaga angin, dan energi dari panas bumi, termasuk tenaga air, saat ini sedang digalakkan di mana pun di seluruh dunia. Namun pertanyaannya, apakah energi listrik yang dibangkitkan oleh energi yang terbarukan itu mencukupi, untuk menggantikan peran yang selama ini disumbangkan oleh energi yang tak-terbarukan?

 

Jika kita merefleksikan diri tentang apa yang telah diperbuat oleh umat manusia selama seratus tahun terakhir ini; kita akan melihat bahwa demi mendapatkan kesejahteraan dan kemudahan hidup, juga demi menopang populasi dunia yang semakin bertambah, manusia secara membabi buta telah mengeruk sumber energi tak-terbarukan secara serampangan. Makin banyak orang yang sadar bahwa telah terjadi kerusakan alam di sana-sini akibat kerakusan, pemaksaan, dan kecerobohan manusia. Manusia dengan congkaknya memeras alam habis-habisan dengan mengandalkan sains dan  teknologi, yang mana keterampilan itu diciptakan oleh akalbudinya.

 

Lǎo Zǐ (老子), seorang bijak dari zaman Tiongkok Kuno, pernah menyebut kebijaksanaan Wú Wèi (無爲), yang bermakna "tidak berbuat", atau "tidak mencampuri". Kerapkali anjuran itu disalahartikan agar manusianya menjadi orang pasifis, yang tidak berbuat apa pun terhadap alam, sehingga peradaban umat manusia kembali ke Zaman Batu. Tentu yang dimaksud dengan Wú Wèi oleh Lǎo Zǐ tidaklah seperti itu. Makna istilah ini lebih tepat ditafsirkan sebagai "tidak mendikte" atau "tidak memaksakan kehendak". Dengan begitu akan segera tampak relevansinya. Tidak mendikte atau mengeksploitasi secara berlebihan, baik terhadap alam maupun terhadap manusia, tentu bisa kita terima. Alam yang dieksploitasi berlebihan secara terus-menerus akan membawa dampak yang tidak terduga, yang pada gilirannya membuat keseimbangan akan terganggu. Setelah itu manusia dan makhluk hidup lainnya yang akan menanggung akibatnya, berupa banjir bandang, tanah longsor, dan angin puyuh.

 

Agaknya, di sinilah sinyalemen Taoisme benar, bahwa pengetahuan adalah budak dan sekaligus majikan bagi “keinginan”: pengetahuan terhadap rahasia alam mengakibatkan keinginan tiada henti bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Pada saat yang sama, keinginan untuk mengeksploitasi alam juga membutuhkan pengetahuan. Begitulah, pengetahuan dan keinginan berkelindan, dan berakibat pada kehancuran alam. Sampai di sini, sulit untuk menyangkal kebenaran dan futurisme yang dikumandangkan oleh Taoisme.

 

Apakah yang dimaksud dengan eksploitasi yang membabi buta? Misalnya orang melakukan penggundulan hutan secara semena-mena tanpa melakukan reboisasi, mengeduk hasil laut dengan memakai bom plastik, membuang sampah sembarangan ke sungai, membiarkan kemasan plastik terbuang begitu saja ke alam tanpa menyadari bahwa material tersebut butuh ribuan tahun untuk terurai, melakukan pencarian bahan mineral dan sesudahnya membiarkan galian tetap menganga sehingga timbul lubang-lubang besar, melakukan pembukaan hutan yang membuat musnahnya dan punahnya hewan-hewan endemik, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

 

Sekali lagi berkenaan dengan ajaran Wú Wèi itu, apakah dengan demikian orang lalu harus berpantang untuk mencari, mengusahakan, memiliki, dan memanfaatkan pengetahuan? Apakah dengan demikian orang harus surut ke belakang kembali ke zaman prasejarah? Agaknya impian Taoisme mengandaikan adanya sosok-sosok manusia yang benar-benar “natural”, manusia “lugu” yang benar-benar menjadi “anak alam”, yang menghormati dan mencintai alam sepenuhnya. Namun apakah impian semacam itu realistik di zaman kita ini?

 

Wú Wèi sebenarnya mau mengajak orang untuk bertindak dalam kapasitas yang normal. Kapasitas yang normal adalah membiarkan diri sebagai bagian dari gerak dinamika yang terjadi dalam alam. Dia secara maksimal berusaha mempercayakan diri pada dinamika alam. Agar bisa seirama dengan dinamika alam, manusia harus mengurangi keinginannya yang berlebihan, kemudian secara berhati-hati melakukan pelbagai upaya yang terukur untuk mengatur alam. Etika Wú Wèi sejatinya menekankan aspek kecukupan diri (self-sufficient), artinya orang sudah harus merasa puas jika kebutuhan dasarnya (basic needs) terpenuhi. Keinginan untuk memperkaya diri dan menikmati berbagai harta duniawi lainnya, ternyata tidak pernah bisa memuaskan dirinya.

 

Dalam ajaran Lǎo Zǐ, alam seharusnya mesti dilihat sebagai "ibu" yang hadir, mengandung, melahirkan, merawat, lalu membesarkan anak-anaknya, yakni kita-kita ini. Dào (道) sendiri berarti gerak alam. Alam bergerak secara spontan berdasarkan aturannya sendiri. Hal ini memberi gambaran bahwa Wú Wèi dilandasi pula dengan prinsip  (德) atau kebajikan. Alam sejatinya memiliki kepekaan atas segala rangsangan di sekitarnya. Pola hubungan manusia dan alam, dalam Dào harus dilandasi dengan harmoni.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya, bahwa dengan populasi manusia semakin lama semakin bertambah, lalu apakah bumi ini masih bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata: "The world has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed." ("Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak pernah mencukupi untuk mengabulkan keserakahan orang per orang").

 

Setelah kita memahami sepenuhnya apa itu pemanasan global dan perubahan iklim, kita perlu memiliki panduan teknis bagaiman kita sekalian bisa bersumbangsih, agar manusia secara kolektif bisa mengatasi masalah tersebut pada akhirnya. Kita akan mengulas isu tersebut pada artikel-artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231115