Dalam sebuah grup Facebook yang saya
ikuti, terkadang ada anggota grup yang mengajukan pertanyaan, dengan harapan
agar anggota grup lainnya dapat menanggapi; bahkan si penanya bersyukur jika
ada di antara mereka dapat memberikan jawaban yang tepat. Ini dia pertanyaan
yang diajukan oleh seorang anggota dalam grup Buddhisme, Konghucu, dan Taoisme.
"Saya telah berbuat kesalahan yang serius. Bagaimana caranya saya dapat
bertobat, dengan membuat pengakuan di tempat ibadah, di hadapan rokhaniwan yang
bertugas di sana?"
Di bawah postingan itu sudah muncul beberapa
tanggapan dan jawaban dari beberapa anggota grup yang lain. Ada seseorang yang
menjawab: "Hal itu tidak perlu dilakukan." Yang lain menanggapi:
"Boleh dilakukan di depan patung Buddha atau rupang Dewa, namun cukup diutarakan dalam hati saja." Ada juga
yang mengutarakan pendapatnya: "Tradisi itu hanya ada di lingkup agama
tetangga. Tapi membuat pengakuan dosa tidak lazim dilakukan di lingkungan
kepercayaan kita."
Sebelum kita
membicarakan 'tobat' ini lebih jauh, kita telisik dulu apa makna di balik kata
ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 'tobat' berarti (1) sadar dan
menyesal akan dosa (yakni atas perbuatan yang salah dan jahat) serta berniat
memperbaiki perbuatan dan tingkah laku itu; (2) kembali kepada agama atau
ajaran yang benar. Kata 'tobat' sendiri berasal dari bahasa Arab taubat, yang berakar dari kata ta-ba yang bermakna 'kembali' atau
'pulang'. Dalam bahasa Inggris tobat dinamakan repent. Jadi pertobatan adalah tindakan meninjau kembali
perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukannya, diikuti penyesalan-penyesalan
terhadap kesalahan atau penyimpangan itu, disertai komitmen untuk
memperbaikinya di masa depan,
Salah satu
contoh pertobatan yang paling terkenal bisa pembaca lihat pada sebuah buku yang
berjudul Confessiones (artinya
'Pengakuan'), sebuah otobiografi yang ditulis oleh Santo Agustinus dari Hippo.
Buku ini aslinya dalam bahasa Latin, dan ditulis pada kurun waktu antara tahun
397 sampai 400 M. Isinya menceritakan masa muda Santo Agustinus yang penuh
dosa, lalu pertobatannya menjadi seorang Kristen. Otobiografi ini belakangan
menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Nasrani dan pula diakui sebagai satu
sastra dunia. Jadi Anda pembaca yang berminat atas karya sastra ini bisa
mencarinya di internet dalam terjemahan bahasa Inggrisnya: The Confessions of St. Augustine).
Pengakuan atas
segala khilaf dan kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang, yang disusul
oleh tekad untuk menghindarinya di masa depan, memang tidak dilakukan atau
dipertunjukkan dalam ritual-ibadah Buddhisme, Ruisme, dan Taoisme. Namun bukan
berarti tidak ada pertobatan dalam ketiga ajaran tersebut. Kisah tentang
perjalanan hidup seorang umat awam yang awalnya diisi dengan
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, yang kemudian diakuinya sebagai kesalahan
atau ketidakpatutan, lalu ada niat dan upaya yang keras untuk memperbaikinya;
bisa kita simak dan pelajari dari kepustakaan ajaran-ajaran tersebut. Berikut
ini penulis pilih satu kisah nyata yang berasal dari Buddhisme Theravada.
Kejadian ini
terjadi ketika Buddha kita masih hidup, yakni pada tahun kedua-puluh setelah
pencerahannya. Saat itu Sang Guru sedang bermukim di Sāvatthī, seorang
penjahat telah muncul dalam wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala.
Penjahat itu memiliki julukan 'Angulimāla', yang bermakna 'Si Kalung-Jari'. Dia adalah
seorang pembunuh, dengan tangan yang berlumuran darah, penebar kekerasan dan
teror, serta beringas terhadap semua makhluk. Desa-desa, kota-kota, dan
beberapa wilayah, telah dihancurkan olehnya. Dia membunuh orang dengan
membabi-buta, dan alih-alih merampas harta benda korbannya, dia hanya mengambil
jari-telunjuk orang yang diincarnya untuk kemudian dijadikan kalung yang akan
dikenakannya di lehernya.
Siang itu
setelah menyantap makan siangnya Yang Terberkahi setelah mengenakan jubah
luarnya dan membawa mangkuk-sedekahnya, pergi ke jalan tempat Angulimāla
berada. Para penggembala, petani, dan orang-orang yang berlalu lalang melihat
Yang Terberkahi melintas, mereka memberitahukannya, "jangan mengambil jalan
ini, bhikkhu. Di sebelah sana ada penjahat yang bernama Angulimāla. Rombongan
orang berjumlah sepuluh, dua-puluh, tiga-puluh, bahkan hingga empat-puluh orang
pun masih jatuh ke tangan Angulimāla. Walaupun diperingatkan, Yang Terberkahi
tetap berlalu dengan berdiam diri. Setelah maju melangkah untuk kedua kalinya
kejadiannya berulang, dan Sang Guru tetap melanjutkan perjalanannya. Demikian
juga kejadiannya berulang hingga ketiga kalinya.
Melihat ada
seorang petapa datang dari kejauhan, sang penjahat berpikir, "sungguh
mengherankan. Orang-orang bahkan dalam kelompok empat-puluh pun masih tidak
bisa lolos dari tanganku. Namun sekarang rahib itu datang sendirian tanpa ada
orang yang mendampinginya. Mungkin sudah nasibnya, hidup petapa itu akan
berakhir hari ini. Mengapa aku tidak merenggut nyawa si rahib malang ini?"
Sambil memegang
pedang dan tamengnya serta merentangkan busur panah dan menyiapkan sarung anak
panahnya, Angulimāla mengejar Yang Terberkahi. Kemudian Sang Guru menyalurkan
kemampuan adibiasa-nya sedemikian, sehingga walaupun Angulimāla berlari
sekencang apa pun, dia tidak dapat mengejar orang yang diincarnya. Padahal Sang
Guru berjalan dengan melangkah seperti biasa. Angulimāla pun berpikir,
"sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku mampu mengejar gajah yang tercepat
dan menangkapnya. Atau aku bisa mengejar kuda, kereta, atau rusa, dan aku bisa
menyusulnya. Tetapi sekarang meskipun aku berlari secepat yang aku bisa, aku
tidak mampu mendekati si rahib yang berjalan dengan melangkah seperti
biasa."
Angulimāla pun
berhenti dan berteriak kepada Yang Terberkahi: "Berhenti, Rahib! Berhenti,
Rahib!" Sang Guru menjawab: "Aku telah berhenti, Angulimāla. Engkau
juga berhentilah." Sang pembunuh kejam kebingungan, lalu dia bertanya,
"bagaimana jadinya engkau telah berhenti, dan aku justru belum?" Sang
Guru menjawab, "Angulimāla, aku telah berhenti untuk selamanya. Aku
menghindari kekerasan terhadap makhluk hidup. Tetapi engkau tidak memiliki
pengendalian terhadap segala yang hidup. Itulah mengapa aku telah berhenti, dan
engkau belum."
Angulimāla pun
sadar, Sang Guru jauh-jauh datang ke rimba belantara itu guna menyelamatkannya.
Pikirnya: "Oh, telah begitu lama, kutunggu seorang bijaksana yang dapat
kumuliakan. Sesungguhnya sejak lama aku ingin melepaskan segala kejahatan
ini." Setelah memutuskan apa yang akan diperbuatnya ke depan, sang
penjahat keji itu pun mengambil pedang dan senjata lainnya. Lalu dia
melemparkannya ke celah jurang yang dalam. Sekarang sang penjahat tertunduk dan
bersimpuh-sujud di kaki Yang Terberkahi. Selanjutnya dia memohon untuk
ditahbiskan sebagai siswanya. "Marilah, bhikkhu," jawab Yang
Terberkahi: "Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna. Jalani kehidupan
suci hingga berakhirnya penderitaan secara tuntas."
Penulis tidak
ingin berpanjang-panjang meneruskan kisah Angulimāla selanjutnya setelah
menjalani hidup kebhikkhuan, hingga akhirnya dia mencapai tingkat kesucian
tertinggi. Kisah ini menggambarkan bagaimana seorang penjahat dan teroris yang
bengis, kemudian berbalik seratus-delapan-puluh derajat, dengan bertobat secara
total setelah menjadi murid Buddha. Kisah hidupnya menjadi contoh terkemuka
dalam hal pertobatan dan memperlihatkan kehebatan Sang Buddha sebagai seorang
guru.
Tekad
Angulimāla untuk meninggalkan cara hidupnya yang lama, yang menuju kepada
kesesatan dan kehancuran, tentu tidak sama dengan pertobatan yang dijalankan
oleh orang kebanyakan. Kita sering mendengar cerita di masyarakat, bagaimana
seorang mantan narapidana setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan,
lalu berkeinginan untuk bertobat. Namun banyak di antara mereka yang cuma
berjanji, yang dengan berlalunya waktu lupa akan ikrar yang pernah dia ucapkan,
kemudian mengulangi kembali kesalahan yang diperbuatnya pada masa kehidupannya
yang lalu. Kasus serupa itu banyak terjadi dalam penyalahgunaan psikotropika.
Setelah tertangkap basah dan dihukum bui, sang narapidana bahkan bersumpah
tidak akan menyentuh barang haram itu lagi. Bilangnya dia telah insyaf dan
bertobat, tetapi memang lidah tak bertulang. Selang beberapa lama kemudian dia
mulai ketagihan lagi mengkonsumsi narkotika. Jadi apa pantas orang seperti ini
dikatakan telah bertobat?
Meskipun
pertobatan dalam agama yang berasal dari India dan Tiongkok tidak ditekankan
dalam ritual keagamaan, tetapi dalam lingkup terbatas pertobatan itu tetap
dilakukan. Seperti pepatah yang menyebutkan: to err is human atau "berbuat salah itu manusiawi",
selama orang itu belum mencapai pencerahan, dia akan tetap terbelenggu oleh
kekotoran batin. Di negara-negara yang penduduknya menganut Buddhisme
Theravada, komunitas bhikkhu-nya pada saat bulan purnama di bulan Ashvin, mengadakan perayaan sebagai
peringatan berakhirnya masa Vassa
yang telah berlangsung selama tiga bulan. Pada kesempatan itu yang dinamakan
sebagai Pavāranā, setiap bhikkhu
harus hadir menghadap Sangha, dengan kewajiban mengakui penyimpangan dan
kesalahannya yang telah dilakukannya selama tiga bulan masa Vassa.
Dalam
Buddhisme Mahāyāna, salah satu syair pertobatan yang paling umum
digunakan untuk refleksi adalah Syair Pertobatan Samantabhadra yang diambil
dari Bab 40 Sutra Hiasan Bunga atau 華嚴經 (Huá yán jīng), yang merupakan bagian
dari Avataṃsaka Sūtra. Isi dari 懺 悔 (Chàn huǐ) atau 'Pertobatan' itu diungkapkan dalam puisi berikut ini:
往 昔 所 造 诸 恶 業 (Wǎng xī suǒ zào zhū è yè),
Semua karma buruk yang telah kulakukan sejak dulu kala,
皆 由 無 始 贪 嗔 癡: (Jiē yóu wú shǐ tān chēn chī);
Yang berasal dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan) yang tak-berawal;
丛 身 语 意 之 所 生 (Cóng shēn yǔ yì zhī suǒ sheng),
Yang tersalurkan lewat tubuh-jasmani, ucapan, dan pikiran,
一 切 罪 障 皆 懺 悔 (Yī qiè zuì zhàng jiē chàn huǐ).
Atas semua tindakan buruk ini, aku menyatakan penyesalan dan bertobat.
Di samping menyadari,
menyesal, dan bertobat, seyogianya diikuti tekad kuat untuk memperbaiki diri
sendiri. Dalam khazanah ajaran Taoisme, dikenal ajaran Xiū Dào (修道). Xiū (修) dalam kamus bahasa Mandarin bermakna
memperbaiki atau merevisi diri – secara fisik, mental, dan karakter – menuju Dào (Sang Jalan), sehingga tercapai keselarasan
yang abadi-sempurna. Xiū dào bukanlah upaya
tunggal, melainkan proses perbaikan terus menerus; proses menyucikan batin dari
kurang-bersih menjadi bersih, atau usaha yang berkelanjutan membuang kejahatan
dan penyimpangan, sekaligus kembali ke Jalan yang benar.
Begitu
pentingnya Dào atau Sang Jalan ini, seperti diutarakan pada butir 8 Kitab Tài shàng gǎn
yīng piān (太 上 感 应 篇) yang berbunyi: " 是 道 则 进 (Shì dào zé
jìn), 非 道 则 退 (Fēidào zé tuì)", yang artinya:
"Jika itu adalah Dào, masukilah. Jika itu bukan Dào,
tinggalkanlah." Nasihat itu mengajarkan bahwa untuk merevisi diri harus
berpedoman pada ajaran Dào. Walaupun sesungguhnya kita tahu bahwa :
知 道 易 (Zhīdào yì), 信 道 难 (Xìndào nán)
Mengenal Dào itu gampang,
tetapi percaya kepada Dào itu sulit.
知 道 易 (Zhīdào yì), 行 道 更 难 (Xíngdào gèng nán)!
Giliran sudah
percaya Dào, tetapi melaksanakan Dào ternyata lebih susah lagi!
Namun kita
harus tetap teguh dalam keyakinan bahwa seseorang kalau ingin hidup sejahtera,
panjang umur, dan selamat dari segala marabahaya, maka harus selalu berpedoman
pada kalimat:
依 ‘道 而 行 (Yī ‘dào’ ér
xíng);
Selalu
melakukan perbuatan sesuai dengan Sang Jalan
断 恶 向 善 (Duàn è xiàng
shàn).
Selalu menjauhi
kejahatan dan senantiasa berusaha menggapai kebajikan.
Harus bisa
berkeyakinan sampai:
宁 守 善 而 死 (Níng shǒu shàn ér sǐ);
Lebih baik mati
gara-gara mempertahankan kebajikan,
不 为 恶 而 生 (Bù wéi è ér sheng).
Daripada hidup
dengan berbuat kejahatan.
Kutipan-kutipan
terakhir itu sebenarnya ingin menegaskan bahwa xiū dào atau merevisi diri adalah pertobatan
yang sesungguhnya, yang lebih sesuai diikuti oleh orang-orang yang mengikuti
kepercayaan dari India dan Tiongkok, atau agama dan kepercayaan dari Timur.
sdjn/dharmaprimapustaka/220921