Rabu, 21 September 2022

TOBAT



Dalam sebuah grup Facebook yang saya ikuti, terkadang ada anggota grup yang mengajukan pertanyaan, dengan harapan agar anggota grup lainnya dapat menanggapi; bahkan si penanya bersyukur jika ada di antara mereka dapat memberikan jawaban yang tepat. Ini dia pertanyaan yang diajukan oleh seorang anggota dalam grup Buddhisme, Konghucu, dan Taoisme. "Saya telah berbuat kesalahan yang serius. Bagaimana caranya saya dapat bertobat, dengan membuat pengakuan di tempat ibadah, di hadapan rokhaniwan yang bertugas di sana?"

 

Di bawah postingan itu sudah muncul beberapa tanggapan dan jawaban dari beberapa anggota grup yang lain. Ada seseorang yang menjawab: "Hal itu tidak perlu dilakukan." Yang lain menanggapi: "Boleh dilakukan di depan patung Buddha atau rupang Dewa, namun cukup diutarakan dalam hati saja." Ada juga yang mengutarakan pendapatnya: "Tradisi itu hanya ada di lingkup agama tetangga. Tapi membuat pengakuan dosa tidak lazim dilakukan di lingkungan kepercayaan kita."

 

Sebelum kita membicarakan 'tobat' ini lebih jauh, kita telisik dulu apa makna di balik kata ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 'tobat' berarti (1) sadar dan menyesal akan dosa (yakni atas perbuatan yang salah dan jahat) serta berniat memperbaiki perbuatan dan tingkah laku itu; (2) kembali kepada agama atau ajaran yang benar. Kata 'tobat' sendiri berasal dari bahasa Arab taubat, yang berakar dari kata ta-ba yang bermakna 'kembali' atau 'pulang'. Dalam bahasa Inggris tobat dinamakan repent. Jadi pertobatan adalah tindakan meninjau kembali perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukannya, diikuti penyesalan-penyesalan terhadap kesalahan atau penyimpangan itu, disertai komitmen untuk memperbaikinya di masa depan,

 

Salah satu contoh pertobatan yang paling terkenal bisa pembaca lihat pada sebuah buku yang berjudul Confessiones (artinya 'Pengakuan'), sebuah otobiografi yang ditulis oleh Santo Agustinus dari Hippo. Buku ini aslinya dalam bahasa Latin, dan ditulis pada kurun waktu antara tahun 397 sampai 400 M. Isinya menceritakan masa muda Santo Agustinus yang penuh dosa, lalu pertobatannya menjadi seorang Kristen. Otobiografi ini belakangan menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Nasrani dan pula diakui sebagai satu sastra dunia. Jadi Anda pembaca yang berminat atas karya sastra ini bisa mencarinya di internet dalam terjemahan bahasa Inggrisnya: The Confessions of St. Augustine).

 

Pengakuan atas segala khilaf dan kesalahan yang telah diperbuat oleh seseorang, yang disusul oleh tekad untuk menghindarinya di masa depan, memang tidak dilakukan atau dipertunjukkan dalam ritual-ibadah Buddhisme, Ruisme, dan Taoisme. Namun bukan berarti tidak ada pertobatan dalam ketiga ajaran tersebut. Kisah tentang perjalanan hidup seorang umat awam yang awalnya diisi dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, yang kemudian diakuinya sebagai kesalahan atau ketidakpatutan, lalu ada niat dan upaya yang keras untuk memperbaikinya; bisa kita simak dan pelajari dari kepustakaan ajaran-ajaran tersebut. Berikut ini penulis pilih satu kisah nyata yang berasal dari Buddhisme Theravada.

 

Kejadian ini terjadi ketika Buddha kita masih hidup, yakni pada tahun kedua-puluh setelah pencerahannya. Saat itu Sang Guru sedang bermukim di Sāvatthī, seorang penjahat telah muncul dalam wilayah kekuasaan Raja Pasenadi dari Kosala. Penjahat itu memiliki julukan 'Angulimāla', yang bermakna 'Si Kalung-Jari'. Dia adalah seorang pembunuh, dengan tangan yang berlumuran darah, penebar kekerasan dan teror, serta beringas terhadap semua makhluk. Desa-desa, kota-kota, dan beberapa wilayah, telah dihancurkan olehnya. Dia membunuh orang dengan membabi-buta, dan alih-alih merampas harta benda korbannya, dia hanya mengambil jari-telunjuk orang yang diincarnya untuk kemudian dijadikan kalung yang akan dikenakannya di lehernya.

 

Siang itu setelah menyantap makan siangnya Yang Terberkahi setelah mengenakan jubah luarnya dan membawa mangkuk-sedekahnya, pergi ke jalan tempat Angulimāla berada. Para penggembala, petani, dan orang-orang yang berlalu lalang melihat Yang Terberkahi melintas, mereka memberitahukannya, "jangan mengambil jalan ini, bhikkhu. Di sebelah sana ada penjahat yang bernama Angulimāla. Rombongan orang berjumlah sepuluh, dua-puluh, tiga-puluh, bahkan hingga empat-puluh orang pun masih jatuh ke tangan Angulimāla. Walaupun diperingatkan, Yang Terberkahi tetap berlalu dengan berdiam diri. Setelah maju melangkah untuk kedua kalinya kejadiannya berulang, dan Sang Guru tetap melanjutkan perjalanannya. Demikian juga kejadiannya berulang hingga ketiga kalinya.

 

Melihat ada seorang petapa datang dari kejauhan, sang penjahat berpikir, "sungguh mengherankan. Orang-orang bahkan dalam kelompok empat-puluh pun masih tidak bisa lolos dari tanganku. Namun sekarang rahib itu datang sendirian tanpa ada orang yang mendampinginya. Mungkin sudah nasibnya, hidup petapa itu akan berakhir hari ini. Mengapa aku tidak merenggut nyawa si rahib malang ini?"

 

Sambil memegang pedang dan tamengnya serta merentangkan busur panah dan menyiapkan sarung anak panahnya, Angulimāla mengejar Yang Terberkahi. Kemudian Sang Guru menyalurkan kemampuan adibiasa-nya sedemikian, sehingga walaupun Angulimāla berlari sekencang apa pun, dia tidak dapat mengejar orang yang diincarnya. Padahal Sang Guru berjalan dengan melangkah seperti biasa. Angulimāla pun berpikir, "sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya. Atau aku bisa mengejar kuda, kereta, atau rusa, dan aku bisa menyusulnya. Tetapi sekarang meskipun aku berlari secepat yang aku bisa, aku tidak mampu mendekati si rahib yang berjalan dengan melangkah seperti biasa."

 

Angulimāla pun berhenti dan berteriak kepada Yang Terberkahi: "Berhenti, Rahib! Berhenti, Rahib!" Sang Guru menjawab: "Aku telah berhenti, Angulimāla. Engkau juga berhentilah." Sang pembunuh kejam kebingungan, lalu dia bertanya, "bagaimana jadinya engkau telah berhenti, dan aku justru belum?" Sang Guru menjawab, "Angulimāla, aku telah berhenti untuk selamanya. Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk hidup. Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala yang hidup. Itulah mengapa aku telah berhenti, dan engkau belum."

 

Angulimāla pun sadar, Sang Guru jauh-jauh datang ke rimba belantara itu guna menyelamatkannya. Pikirnya: "Oh, telah begitu lama, kutunggu seorang bijaksana yang dapat kumuliakan. Sesungguhnya sejak lama aku ingin melepaskan segala kejahatan ini." Setelah memutuskan apa yang akan diperbuatnya ke depan, sang penjahat keji itu pun mengambil pedang dan senjata lainnya. Lalu dia melemparkannya ke celah jurang yang dalam. Sekarang sang penjahat tertunduk dan bersimpuh-sujud di kaki Yang Terberkahi. Selanjutnya dia memohon untuk ditahbiskan sebagai siswanya. "Marilah, bhikkhu," jawab Yang Terberkahi: "Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna. Jalani kehidupan suci hingga berakhirnya penderitaan secara tuntas."

 

Penulis tidak ingin berpanjang-panjang meneruskan kisah Angulimāla selanjutnya setelah menjalani hidup kebhikkhuan, hingga akhirnya dia mencapai tingkat kesucian tertinggi. Kisah ini menggambarkan bagaimana seorang penjahat dan teroris yang bengis, kemudian berbalik seratus-delapan-puluh derajat, dengan bertobat secara total setelah menjadi murid Buddha. Kisah hidupnya menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan memperlihatkan kehebatan Sang Buddha sebagai seorang guru.

 

Tekad Angulimāla untuk meninggalkan cara hidupnya yang lama, yang menuju kepada kesesatan dan kehancuran, tentu tidak sama dengan pertobatan yang dijalankan oleh orang kebanyakan. Kita sering mendengar cerita di masyarakat, bagaimana seorang mantan narapidana setelah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, lalu berkeinginan untuk bertobat. Namun banyak di antara mereka yang cuma berjanji, yang dengan berlalunya waktu lupa akan ikrar yang pernah dia ucapkan, kemudian mengulangi kembali kesalahan yang diperbuatnya pada masa kehidupannya yang lalu. Kasus serupa itu banyak terjadi dalam penyalahgunaan psikotropika. Setelah tertangkap basah dan dihukum bui, sang narapidana bahkan bersumpah tidak akan menyentuh barang haram itu lagi. Bilangnya dia telah insyaf dan bertobat, tetapi memang lidah tak bertulang. Selang beberapa lama kemudian dia mulai ketagihan lagi mengkonsumsi narkotika. Jadi apa pantas orang seperti ini dikatakan telah bertobat?

 

Meskipun pertobatan dalam agama yang berasal dari India dan Tiongkok tidak ditekankan dalam ritual keagamaan, tetapi dalam lingkup terbatas pertobatan itu tetap dilakukan. Seperti pepatah yang menyebutkan: to err is human atau "berbuat salah itu manusiawi", selama orang itu belum mencapai pencerahan, dia akan tetap terbelenggu oleh kekotoran batin. Di negara-negara yang penduduknya menganut Buddhisme Theravada, komunitas bhikkhu-nya pada saat bulan purnama di bulan Ashvin, mengadakan perayaan sebagai peringatan berakhirnya masa Vassa yang telah berlangsung selama tiga bulan. Pada kesempatan itu yang dinamakan sebagai Pavāranā, setiap bhikkhu harus hadir menghadap Sangha, dengan kewajiban mengakui penyimpangan dan kesalahannya yang telah dilakukannya selama tiga bulan masa Vassa.

 

Dalam Buddhisme Mahāyāna, salah satu syair pertobatan yang paling umum digunakan untuk refleksi adalah Syair Pertobatan Samantabhadra yang diambil dari Bab 40 Sutra Hiasan Bunga atau 華嚴經 (Huá yán jīng), yang merupakan bagian dari Avataṃsaka Sūtra. Isi dari (Chàn huǐ) atau 'Pertobatan' itu diungkapkan dalam puisi berikut ini:

 

(Wǎng xī suǒ zào zhū è yè),

Semua karma buruk yang telah kulakukan sejak dulu kala,

: (Jiē yóu wú shǐ tān chēn chī);

Yang berasal dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan) yang tak-berawal;

(Cóng shēn yǔ yì zhī suǒ sheng),

Yang tersalurkan lewat tubuh-jasmani, ucapan, dan pikiran,

( qiè zuì zhàng jiē chàn huǐ).

Atas semua tindakan buruk ini, aku menyatakan penyesalan dan bertobat.

 

Di samping menyadari, menyesal, dan bertobat, seyogianya diikuti tekad kuat untuk memperbaiki diri sendiri. Dalam khazanah ajaran Taoisme, dikenal ajaran Xiū Dào (修道). Xiū () dalam kamus bahasa Mandarin bermakna memperbaiki atau merevisi diri – secara fisik, mental, dan karakter – menuju Dào (Sang Jalan), sehingga tercapai keselarasan yang abadi-sempurna. Xiū dào bukanlah upaya tunggal, melainkan proses perbaikan terus menerus; proses menyucikan batin dari kurang-bersih menjadi bersih, atau usaha yang berkelanjutan membuang kejahatan dan penyimpangan, sekaligus kembali ke Jalan yang benar.

 

Begitu pentingnya Dào atau Sang Jalan ini, seperti diutarakan pada butir 8 Kitab Tài shàng gǎn yīng piān ( ) yang berbunyi: "  (Shì dào zé jìn), 退 (Fēidào zé tuì)", yang artinya: "Jika itu adalah Dào, masukilah. Jika itu bukan Dào, tinggalkanlah." Nasihat itu mengajarkan bahwa untuk merevisi diri harus berpedoman pada ajaran Dào. Walaupun sesungguhnya kita tahu bahwa :

 

(Zhīdào yì), 信 道 难 (Xìndào nán)

Mengenal Dào itu gampang, tetapi percaya kepada Dào itu sulit.

知 道 易 (Zhīdào yì), 行 道 更 难 (Xíngdào gèng nán)!

Giliran sudah percaya Dào, tetapi melaksanakan Dào ternyata lebih susah lagi!

 

Namun kita harus tetap teguh dalam keyakinan bahwa seseorang kalau ingin hidup sejahtera, panjang umur, dan selamat dari segala marabahaya, maka harus selalu berpedoman pada kalimat:

(Yī ‘dào’ ér xíng);

Selalu melakukan perbuatan sesuai dengan Sang Jalan

(Duàn è xiàng shàn).

Selalu menjauhi kejahatan dan senantiasa berusaha menggapai kebajikan.

 

Harus bisa berkeyakinan sampai:

(Níng shǒu shàn ér sǐ);

Lebih baik mati gara-gara mempertahankan kebajikan,

(Bù wéi è ér sheng).

Daripada hidup dengan berbuat kejahatan.

 

Kutipan-kutipan terakhir itu sebenarnya ingin menegaskan bahwa xiū dào atau merevisi diri adalah pertobatan yang sesungguhnya, yang lebih sesuai diikuti oleh orang-orang yang mengikuti kepercayaan dari India dan Tiongkok, atau agama dan kepercayaan dari Timur.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220921


Minggu, 11 September 2022

DUNIA BAWAH




Setiap bulan ketujuh menurut Kalender Tionghoa kita diingatkan untuk melakukan persembahyangan kepada sanak saudara kita yang telah meninggal dan juga kepada arwah-arwah yang terlantar. Dengan berpegang pada tradisi dan keyakinan tersebut, kita berasumsi bahwa mereka yang telah mendahului kita, akan tetap hidup walaupun darah dan daging mereka telah terurai atau sudah menjadi abu. Kita yakin jiwa atau aliran-kesadaran atau apa pun sebutannya, akan terus hidup dengan masih memiliki identitas yang mereka bawa dari kehidupan di dunia ini. Lalu kemana mereka yang kita kasihi ini pergi?

 

Untuk mengetahui kemana almarhum atau almarhumah itu pergi, kita mendapatkan jawabannya dari agama-agama yang banyak dianut oleh penduduk dunia ini. Menurut kepercayaan dan tradisi Ibrahim, orang mati pergi ke alam keberadaan tertentu setelah kematiannya; sebagaimana ditentukan oleh Tuhan, atau penilaian ilahi lainnya, berdasarkan tindakan atau kepercayaan mereka selama hidup. Sebaliknya, dalam agama-agama yang berasal dari India, orang yang mati ini akan mengalami reinkarnasi atau tumimbal-lahir yang berkelanjutan. Kelahiran-kembali yang baru ini ditentukan secara langsung oleh tindakan individu tersebut di kehidupan yang sebelumnya. Jika individu tersebut berupaya keras untuk tidak terlahir-kembali, ia telah mengenyam kebebasan yang dinamakan mencapai moksa atau nirvāna.

 

Lalu apa nama kehidupan setelah kematian atau dunia yang akan datang itu? Lazimnya orang menyebutnya sebagai akhirat, alam baka, alam kematian, alam kubur, atau peristirahatan yang abadi. Dalam bahasa Inggris dinamakan sebagai afterlife, life after death, atau hereafter. Pengetahuan perihal adanya kelanjutan kehidupan setelah kematian, selain berasal dari ajaran agama, juga berasal dari esoterikisme dan metafisika. Esoterikisme tidak lain pemikiran filsafat mengenai evolusi manusia dan makhluk hidup lainnya.

 

Dalam Agama Orang Tionghoa akhirat dinamakan juga Dunia Bawah. Dunia Bawah lekat dengan makna "tersembunyi", "terpencil", dan dipenuhi dengan "kegelapan". Dunia Bawah atau dalam istilah Inggris-nya Underworld atau Netherworld  terletak di bawah permukaan bumi, di Wilayah Kegelapan, juga dikenal sebagai Dìyù atau  地狱 (harfiah berarti "Daerah Gelap"). Dìyù ini juga memiliki sebuah ibukota atau kotaraja yang bernama Yōudū atau 幽都(harfiah bermakna "kotaraja gelap"), yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Bagaimana wujud atau penampakan Yōudū ini? Yōudū digambarkan layaknya mirip dengan kotaraja Tiongkok zaman dahulu, seperti Chang'an (sekarang dinamakan Xi'an), lengkap dengan tembok kota, istana, gedung pengadilan, dan pemukiman penduduknya; hanya saja suasananya lebih gelap. Meskipun keadaan dan suasananya suram, mau tidak mau sebagian besar orang yang hidup di dunia ini akan menuju ke tempat ini jika mereka mati kelak. Hanya ada segelintir orang yang bisa menghindarinya, yakni mereka yang tidak akan mengalami kelahiran-kembali atau yang telah keluar dari roda-reinkarnasi.

 

Seperti juga lazim terjadi pada suatu daerah, pasti ada pemimpin dan penguasa yang bertakhta di sana. Penguasa utama wilayah ini adalah Yánluó Wáng (閻羅王) atau Dewa Yama. Nama Yánluó adalah transliterasi singkat bahasa Mandarin dari istilah Sanskerta Yamarāja. Menurut legenda, ia sering disamakan dengan Dewa Yama dalam agama Buddha, namun sebenarnya Yánluó Wáng memiliki kisah tersendiri dan telah sekian lama dipuja di Tiongkok Kuno. Di zaman dahulu maupun masa kini, Yán biasanya digambarkan sebagai pria bertubuh besar dengan wajah merah cemberut, mata melotot, dan janggut panjang. Dia mengenakan jubah tradisional berwarna gelap dan topi hakim atau mahkota yang bertuliskan aksara "raja" (). Sebagai penghormatan kepada Yán, gambarnya dilukis pada mata uang Dunia Bawah, yang mana biasanya uang itu dibakar setelah kita selesai melakukan persembahyangan.

 

Sekarang muncul pertanyaan, mengapa harus ada Dìyù? Menurut gagasan yang berkembang dari Taoisme, Buddhisme, dan agama tradisional masyarakat Tiongkok, Dìyù adalah api penyucian yang berfungsi untuk menghukum dan memperbarui roh dalam persiapan untuk reinkarnasi ke tataran alam manusia atau alam yang lebih tinggi lagi. Api penyucian atau Purgatory juga dikenal dalam tulisan para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Heraclides. Dalam kepercayaan agama orang Tionghoa dan Buddhisme-Tiongkok, kita dapat membantu mempercepat proses pada sanak famili yang sedang berada dalam api penyucian ini, dengan melakukan upacara kurban berupa pemberian sesembahan atas nama mendiang yang sedang menderita kesusahan di sana.

 

Dengan begitu dalam Dunia Bawah pasti ada seleksi untuk menentukan siapa yang harus menjalani hukuman di api penyucian, dan berapa lama proses itu akan berlangsung. Di sana yang terpenting adalah Pengadilan yang terbagi menjadi sepuluh dan api penyucian yang lazim disebut Neraka. Neraka sendiri ada delapan-belas macam. Konsep delapan-belas neraka dimulai pada masa dinasti Tang. Naskah Sutra Buddhis tentang "Pertanyaan tentang Neraka" menyebutkan ada 134 alam neraka, tetapi kemudian disederhanakan menjadi 18 tingkat. Dengan mandat Kaisar Langit maka Penguasa Dìyù dipegang oleh Yánluó Wáng, yang mana ia sendiri merangkap sebagai Raja Neraka yang ke-5.

 

Berikut nama sepuluh Raja Kematian diberikan di sini beserta padanan konsep tingkat-tingkat Neraka menurut Buddhisme, mulai dari yang pertama : (1) Raja Qin'guang, Jiang : Kehidupan dan kematian serta nasib umat manusia; (2) Raja Chujiang, Li : Sañjīva, Arbuda; (3) Raja Songdi, Yu : Kālasūtra, Nirarbuda; (4) Raja Wuguan, Lü : Saṃghāta, Aṭaṭa; (5) Raja Yanluo, Bao : Raurava, Hahava; (6) Raja Biancheng, Bi : Mahāraurava, Huhuva, dan Kota Arwah-arwah yang Tak-Berdosa; (7)  Raja Taishan, Dong : Tapana, Utpala; (8) Raja Dushi, Huang : Pratāpana, Padma; (9) Raja Pingdeng, Lu : Avīci, Mahāpadma; (10) Raja Zhuanlun, Xue : Mengirim jiwa-jiwa mereka untuk ber-reinkarnasi.

 

Agar pengadilan di Dunia Bawah bisa berlangsung dengan lancar, para Raja Kematian dibantu pula oleh sejumlah bawahannya. Sepasang makhluk yang dinamakan Hēibái Wúcháng atau 黑白无常, atau Hak Bak Mo Seong, yang secara harfiah bermakna "Ketidakkekalan Hitam dan Putih", adalah dua Dewa dalam agama rakyat Tiongkok yang bertugas mengawal arwah orang mati ke Dunia Bawah. Seperti namanya, mereka masing-masing berpakaian putih dan hitam. Sosok yang berpakaian putih bernama "Penjaga Kefanaan Putih" atau dalam bahasa Hokian dinamakan Tua Ya Pek. Ia digambarkan memiliki tubuh yang jangkung dan kurus, sering tersenyum lebar, disertai mata melotot, dan lidah merah panjang yang sedang terjulur keluar. Pada topinya tertulis: "Menjadi kaya setelah bertemu denganku," "Menuai keberuntungan setelah bertemu denganku," dan "Kamu harus pergi sekarang." Sedangkan pasangannya yang berpakaian hitam dikenal sebagai "Penjaga Kefanaan Hitam" disebut pula Di Ya Pek, divisualisasikan sebagai sosok yang yang pendek dan gemuk. Ia memiliki wajah yang hitam dan galak serta mempunyai aura yang menakutkan. Di topinya terdapat tulisan: "Kematian akan menghampiri siapa pun yang menemuimu," "Perdamaian untuk seluruh dunia," dan "Akan menangkapmu sekarang." Untuk memudahkan tugasnya Tua Ya Pek membawa borgol dan Di Ya Pek dilengkapi dengan rantai besi.

 

Selain Hēibái Wúcháng, ada pula penjaga Dunia Bawah yang dinamakan Pengawal Berkepala-Banteng (Niútóu atau ) dan Pengawal Berwajah-Kuda (Mǎmiàn atau ). Seperti yang ditunjukkan oleh namanya, keduanya memiliki tubuh seperti manusia, hanya saja kepala dan wajah mereka yang mirip dengan banteng dan kuda. Dalam kasus-kasus tertentu merekalah yang menjemput orang yang sudah mendekati ajalnya, lalu mendekati orang yang dituju, menepuk dadanya, dan membawa arwahnya ke Dunia Bawah. Selain mempunyai tugas mengawal arwah orang mati, baik itu menuju pengadilan akhirat maupun mengantar orang kembali untuk ber-reinkarnasi, keduanya juga bertugas sebagai kurir para Raja Neraka.

 

Seperti yang disebutkan di atas orang yang telah mati di dunia ini arwahnya tidak dibiarkan terlunta-lunta. Segera setelah kehidupannya berakhir dia akan segera dibawa ke Dunia Bawah oleh pengawal raja neraka. Selanjutnya dia akan dihadapkan pada raja neraka, dan diminta untuk mempertanggungjawabkan atas segala yang telah dibuatnya selama hidupnya di dunia ini. Inilah yang dinamakan pengadilan akhirat. Arwah tersebut dihadapkan pada Raja Neraka. Raja merangkap sebagai Hakim Neraka digambarkan sedang memegang kuas di tangan kanannya dan sebuah buku catatan di tangan kirinya. Tidak seperti sistem peradilan yang dianut di Indonesia yang memerlukan jaksa penuntut, pada pengadilan Dunia Bawah jaksa itu tidak diperlukan. Di dalam buku itu sudah tercatat nama setiap jiwa dan tanggal kematian orang tersebut.

 

Pengadilan itu berjalan lazimnya seperti yang terjadi di dunia manusia. Pria atau wanita yang berjasa akan diberi imbalan kehidupan yang baik di masa depan, atau bahkan dikembalikan ke dalam kehidupan mereka sebelumnya. Laki-laki atau perempuan yang melakukan perbuatan tercela akan dihukum dengan siksaan pada 18 neraka yang terdapat di Dunia Bawah. Orang-orang yang bersalah akan merasakan sakit dan penderitaan di berbagai neraka, sama seperti manusia hidup ketika mereka mengalami siksaan di dunia ini. Penulis menghindari untuk menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di Neraka, karena apa yang digambarkan di sana cukup menyeramkan. Tentu menjadi tanda tanya berapa lama orang yang bersalah akan mendekam di neraka Dunia Bawah itu. Jangka waktu yang dihabiskan seseorang di Dìyù bisa lama bisa juga sebentar – itu tergantung pada beratnya perbuatan jahat yang dilakukannya di kehidupan yang sebelumnya.

 

Arwah orang saleh dan banyak melakukan perbuatan bajik, setelah menghadapi pengadilan akhirat, akan ber-reinkarnasi ke alam manusia kembali atau ke alam dewa. Demikian pula dengan arwah orang jahat yang telah menyelesaikan masa hukuman mereka, bersiap-siap untuk menuju tahap selanjutnya. Mereka akan menghadap Raja Neraka yang ke-10 atau Raja Xue Zhuanlun. Buddhisme Theravada memiliki keyakinan bahwa tumimbal-lahir berlangsung seketika, yakni makhluk hidup akan langsung dilahirkan-kembali menjadi makhluk lain (kecuali mereka yang telah parinibbāna). Namun tidak demikian halnya dengan pandangan agama orang Tionghoa: semua orang mati akan pergi dulu ke Dunia Bawah sebelum dilahirkan-kembali.

 

Demikianlah menurut Mitologi Tiongkok, ada Dewi Mèng Pó atau 孟婆 (secara harfiah "Nyonya Meng"), yang bertugas di Dìyù, menjelang para arwah memasuki Pengadilan ke-10. Nyonya Meng yang juga dijuluki Dewi Pelupa, selalu menyajikan sup di Jembatan Kelupaan atau Jembatan Nai He (奈何桥). Dengan menyantap sup ajaib ini akan menghapus ingatan arwah-arwah yang melintasi jembatan, sehingga mereka dapat ber-reinkarnasi ke kehidupan berikutnya tanpa beban. Setelah mereka meminum ramuan itu mereka akan mengalami amnesia instan dan permanen, yang membuat semua ingatan tentang kehidupan lalu atau memori siksaan di neraka menjadi lenyap.

 

Konon demi mencapai tujuan ini, Nyonya Meng mengumpulkan tumbuhan dari berbagai kolam dan sungai duniawi untuk membuat Teh Lima Rasa Pelupa atau Mi-hun-t'ang. Setelah dibersihkan melalui api-penyucian dari segala kesalahan yang diperbuatnya, arwah-arwah dikirim melalui Raja Neraka ke-10. Para pengawal Dunia Bawah yakni para Hēibái Wúcháng, Niútóu, dan Mǎmiàn, ditugaskan kembali untuk mengantar para arwah untuk dilahirkan kembali dalam inkarnasi duniawi atau kedewaan yang baru, sesuai dengan karma yang diperbuat dalam kehidupan mereka sebelumnya. Dan siklus itu pun berulang kembali.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210825

 


PERAYAAN PANEN RAYA


 


"Sampurasun wilujeng rancag tina acara Seren Taun ... " (Selamat datang di acara Seren Taun ...). Demikianlah sambutan pembawa acara pada sebuah hajatan besar di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, beberapa tahun silam, jauh sebelum pandemi meluluhlantakkan negeri ini. Seren Taun adalah sebuah perayaan, satu ritual tahunan penting, yang diadakan oleh warga Kesatuan Adat Kasepuhan Ciptagelar di lembah pegunungan Halimun. Perayaan Seren Taun berasal dari zaman Kerajaan Pajajaran, yang tercatat menyelenggarakan acara serupa pada tahun 1368 M. Acara keagamaan seperti ini kembali digelar secara besar-besaran pada awal tahun 2000-an, setelah absen 36 tahun sejak tahun 1970.

 

Seren Taun digelar selama beberapa hari, siang dan malam, dimulai sejak tanggal 18 Rayagung hingga puncaknya pada tanggal 22 bulan terakhir sistem penanggalan Sunda. Kala ini berlangsung di musim kemarau antara Agustus akhir sampai awal Oktober. Bukti keseriusan panitia pada perhelatan akbar tahunan ini ditandai dengan mulai bersoleknya Dusun Ciptagelar dengan hiasan janur dan umbul-umbul, serta pameran hasil kerajinan masyarakat setempat. Tamu yang datang setiap tahunnya pada lima hari perayaan ini mencapai ribuan orang, bahkan pernah mencapai sekitar 15 ribu orang. Mereka bukan saja berasal dari Kabupaten Sukabumi, tetapi juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada pengunjung dari mancanegara. Penyelenggara paling tidak sudah menyediakan dua ekor kerbau, satu drum minyak sayur, beberapa karung gula, dan tidak terhitung jumlah ayam hidup, kelapa, gula merah, kopi, sayur mayur, dan buah-buahan. Semua yang hadir pada perayaan itu bebas makan dan minum aneka hidangan yang disediakan secara gratis. Adalah pantang bagi tuan rumah jika membiarkan para tamu sampai kelaparan. Hebatnya, seluruh keperluan upacara disiapkan secara swadaya dari hasil mengumpulkan iuran kolektif dari warga.

 

Pagelaran hajatan itu dipusatkan di seputar alun-alun Kasepuhan, dengan Imah Gede sebagai gedung berkumpulnya para tetua adat. Bukan saja ritual adat yang diselenggarakan di tempat itu, panggung pertunjukan wayang golek pun digelar di dekatnya. Di sisi lainnya lantunan lagu populer penyanyi pongdut (jaipong-dangdut), hampir tak putus semalam suntuk, menemani warga yang berkerumun sambil berjoget mengusir hawa dingin pegunungan yang menggigit.

 

Masyarakat Ciptagelar secara turun-temurun memegang teguh budaya agraris, dengan tanaman padi mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat. Segala aktivitas yang penting disesuaikan dengan ritme kalender siklus padi. Misalnya ada upacara Ngaseuk yakni membuat lubang di sawah untuk memasukkan benih. Selanjutnya ada Sapang Jadian Pare, yang dilangsungkan seminggu setelah Ngaseuk, yakni melakukan persembahyangan meminta restu kepada Bumi untuk ditanami. Kemudian ada Pare Nyiram, bertepatan saat tanaman padi mengeluarkan bunga, dilakukan upacara agar padi tumbuh tanpa gangguan hama. Masih ada beberapa upacara lagi, dan siklus ini usai saat puncak perayaan Seren Taun, dengan ritual Ngadieukeun, yaitu menaruh padi ke dalam Leuit atau Lumbung. Tidak seperti pertanian intensifikasi, setelah panen raya sawah diistirahatkan sampai musim tanam berikutnya, sehingga serbuan hama bisa dihindari. Dan dengan hasil padi yang melimpah, beras yang diperoleh cukup untuk mereka makan sendiri, serta tidak lagi diperlukan jual-beli padi.


Hari masih pagi saat puncak acara akan berlangsung hari itu. Bunyi rentetan petasan terdengar bersahutan dari alun-alun tanda dimulainya perayaan Seren Taun. Di tengah alun-alun sepuluh orang wanita berkebaya hitam terlihat memukul-mukul lesung dengan alu menciptakan bunyi-bunyian berirama. Ribuan warga dan tamu memadati pinggir alun-alun, seolah tak sabar ingin menyaksikan kemeriahan festival tahunan itu. Sementara itu rombongan debus, baris kolot, dayang-dayang, dan perkusi dogdog lonjor mengiringi barisan rengkong yang memikul padi berjalan menyusuri pesawahan. Mereka menuju lumbung padi milik Kasepuhan, yang bernama "Leuit Si Jimat", yang terletak di alun-alun. Prosesi yang meriah ini diiringi pembacaan mantra melalui pantun seloka, sebagai ungkapan syukur atas restu karuhun (yakni leluhur) dan alam semesta, yang telah memberikan berkah yang berlimpah kepada masyarakat Ciptagelar.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, padi adalah sumber daya alam yang paling berharga. Dalam kepercayaan Sunda Kuno yang dilandasi ajaran Hindu, penting bagi kita untuk menempatkan keberadaan padi dalam konsep kosmos. Sebagai sumber daya kehidupan, padi dipersonifikasikan sebagai sesosok Dewi, yang menjelma menjadi Nyi Pohaci Sanghyang Asri (dalam tradisi Jawa dia dinamakan "Dewi Sri"). Dia adalah Dewi Padi dan Kesuburan serta diwujudkan sebagai Pare Ambu (Padi Ibu). Pasangannya adalah Kuwera, Dewa Kemakmuran dan digambarkan sebagai Pare Abah (Padi Ayah). Dalam perayaan Seren Taun dilantunkan kidung nyanyian yang tidak lain sebuah undangan, agar Nyi Pohaci Sanghyang Asri turun ke bumi, untuk memberkati bulir padi yang sedang dipanen dan merestui kumpulan bibit padi yang akan ditanam pada tahun mendatang.

 

Perayaan panen raya, seperti yang digelar secara besar-besaran oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, adalah contoh yang paling dekat yang bisa kita saksikan dari sekian banyak festival panen yang terjadi di seantero dunia. Seiring dengan makin berkurangnya pengaruh budaya agraris dalam masyarakat modern, banyak tradisi perayaan panen yang telah punah tergilas oleh pragmatisme mekanisasi pertanian. Festival panen umumnya menampilkan pesta, yang dihadiri keluarga maupun publik, dengan makanan yang diambil dari tanaman yang matang sekitar waktu panen. Makan, bersenang-senang, kontes, pawai kendaraan berhias hasil bumi, serta pagelaran musik dan tarian, adalah fitur umum dari festival panen di seluruh dunia.

 

"Panen" berasal dari kata Inggris-Kuno hærfest yang berarti "musim gugur", yakni periode antara Agustus hingga November. "Panen" juga berarti kegiatan menuai, mengumpulkan, serta menyimpan biji-bijian dan produk tumbuhan lainnya selama musim gugur. Masa ini adalah waktu yang paling menentukan dalam kehidupan masyarakat agraris di negeri empat  musim, ketika kesuksesan adalah masalah hidup atau mati yang sesungguhnya. Panen yang sukses akan memastikan bahwa seluruh komunitas dapat diberi makan yang cukup sepanjang bulan-bulan musim dingin, yang tidak memungkinkan orang untuk berkegiatan cocok-tanam. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa musim gugur juga merupakan waktu yang diliputi oleh kuatnya kepercayaan takhyul. Panen berhasil akan banyak perayaan, sebaliknya jika gagal muncul kekhawatiran mereka tidak  berhasil menyenangkan kekuatan supranatural yang selama ini melindungi mereka.

 

Kebudayaan zaman kuno memberi tempat yang terhormat dalam merayakan festival panen. Bersyukur atas karunia itu, mereka biasanya mempersembahkan upeti kepada dewi dan dewa mereka dalam bentuk buah, biji-bijian, atau daging yang pertama kali dipanen. Sebuah pesta sering diadakan untuk merayakannya, dengan seluruh komunitas diundang untuk berpartisipasi. Bangsa Romawi mengadakan pesta untuk menghormati Ceres, Dewi Sereal. Orang Yunani memberi penghormatan kepada Dewi Demeter. Dan orang Mesir Kuno mendirikan patung Min, Dewa Tumbuh-tumbuhan dan Kesuburan, di ladang yang dipanen. Penting bagi orang-orang ini untuk berterima kasih kepada Dewi atau Dewa atas kemurahan hati mereka, karena menggelontorkan panen yang melimpah, serta memberkati kembali kegiatan bercocok-tanam di tahun mendatang.

 

Perayaan panen di Asia Timur termasuk Festival Pertengahan Musim Gugur, salah satu pesta panen yang paling tersebar luas di dunia. Peringatan ini diadakan pada tanggal 15 bulan 8 kalender lunar, dan puncak perayaan bertepatan dengan munculnya bulan purnama di malam hari. Dalam kalender Gregorian festival musim panen ini jatuh mulai pertengahan September hingga awal Oktober. Festival ini dirayakan terutama oleh orang-orang Tionghoa dan Vietnam, namun festival serupa seperti Chuseok diadakan di Korea dan Tsukimi dilangsungkan di Jepang. Masyarakat Tiongkok telah merayakan festival panen sejak zaman Dinasti Shang (± 1600 - 1046 SM), meskipun peringatan ini mulai dipopulerkan pada awal pemerintahan Dinasti Tang (618–907 M). Legenda menceritakan bagaimana Kaisar Xuanzong dari Tang Agung mulai mengadakan perayaan formal di istananya setelah menjelajahi Istana Bulan.

 

Berbicara mengenai bulan tentu kita masih ingat kisah-kisah tentang kue bulan yang berasal dari legenda yang berbeda-beda. Kue yang dibuat dengan kulit luar yang keras dari bahan tepung, kemudian diisikan ke dalamnya pasta bijih teratai atau pasta kacang merah memang berbentuk bundar, sengaja dibuat untuk keperluan sembahyang festival panen. Pada malam terang bulan itu orang mempersembahkan kue itu ke hadapan altar nenek moyang dan para dewata. Dalam budaya Tionghoa, bentuk bulat sang rembulan melambangkan kelengkapan dan reuni. Dengan demikian, berbagi dan makan kue bulan bundar di antara anggota keluarga selama minggu-festival itu menandakan kelengkapan dan kesatuan keluarga. Bagian penting dari merayakan pesta panen ini adalah dengan membawa lentera yang terang benderang, lentera yang menyala di menara, atau lentera langit yang terbang mengambang di angkasa. Secara tradisional, lentera telah digunakan untuk melambangkan kesuburan, dan berfungsi terutama sebagai dekorasi dan mainan.

 

Pesta Panen pertama di Dunia Baru atau di Benua Amerika, tercatat dalam sejarah diadakan pada tahun 1621. Peristiwa itu dikenal sebagai hari Thanksgiving pertama, dan menjadi cikal bakal perayaan festival panen di Amerika Serikat, yang sekarang diperingati di seluruh negeri dan resmi dinyatakan sebagai hari libur. Alkisah pada bulan November tahun itu sekelompok orang yang merupakan penjelajah dari Dunia Lama atau Eropa, merayakan pesta panen jagung pertama selama tiga hari. Peristiwa itu terjadi menjelang musim dingin yang ganas, dan mereka berhasil bertahan hidup setelah mendapatkan bantuan dari salah satu suku Indian, penduduk asli Benua Amerika. Sekarang masih menjadi kontroversi sejarah, seperti apakah pelaksanaan festival panen yang pertama itu. Kini penduduk Amerika merayakan Thanksgiving dengan menghidangkan daging kalkun (sejenis unggas besar), kentang tumbuk, saus cranberry, dan pai-labu.

 

Pada zaman kita perayaan pesta panen telah kehilangan esensi makna yang sesungguhnya. Pada zaman dahulu festival panen memiliki nilai-nilai keagamaan atau spiritual, dengan ritual inti berupa persembahan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para Dewi / Dewa atau Sang Maha Pencipta, atas karunia dan berkah yang telah diberikan. Di banyak rumah tangga Amerika, perayaan Thanksgiving hanya diartikan sebagai hari libur dan menyantap kalkun. Di kalangan orang Tionghoa festival pertengahan musim gugur hanya diartikan sebagai ritual makan kue-bulan dan pesta makan. Seyogianya peringatan festival panen di masa kini bertumpu pada semangat bersyukur dan berbagi hasil panen dengan seluruh komunitas. Dan bahkan lebih penting lagi berbagi kepada mereka yang membutuhkan, tetap menjadi tema sentral perayaan kontemporer.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211020


Rabu, 07 September 2022

HUANGDI



Tulisan kita kali ini menyoroti zaman yang mungkin tidak mudah terbayangkan oleh kita, yakni kita akan menuju ke masa tiga milenium sebelum Masehi. Perjalanan kita akan menelusuri peradaban Tiongkok Kuno, yang juga telah dicoba untuk diteliti oleh para ahli arkeologi.

 

Tiga milenium atau tiga ribu tahun sebelum Masehi, artinya lima ribu tahun yang lampau, seperti apa keadaan nenek moyang kita pada zaman itu? Kala itu ditandai dengan perubahan dari Zaman Batu-Tua (Paleotikum) ke Zaman Batu-Muda (Neolitikum), yaitu periode prasejarah ketika umat manusia berada dalam masa transisi dari kelompok pemburu-pengumpul kecil yang nomaden, menuju ke pemukiman pertanian dan membentuk peradaban yang lebih maju. Berlangsung sekitar 2,5 juta tahun, Zaman Batu-Tua berakhir sekitar 5.000 tahun yang lalu ketika manusia di Timur Dekat memasuki Zaman Batu-Baru. Serta dalam selang waktu yang tidak berbeda jauh, manusia di berbagai belahan bumi memasuki Zaman Neolitikum.

 

Manusia purba hidupnya dihabiskan sebagai pemburu-pengumpul, yakni mereka menggantungkan pencahariannya dengan berburu hewan dan menangkap ikan, juga mengumpulkan umbi-umbian, buah-buahan, sayuran liar, dan hasil hutan lainnya. Revolusi Neolitik atau Revolusi Hijau dimulai sekitar tahun 10.000 seb.M. di Fertile Crescent, wilayah berbentuk bumerang di Timur Tengah, tempat manusia pertama kali bertani. Revolusi ini juga menandai transisi dalam sejarah manusia dari kelompok pemburu-pengumpul yang kecil dan nomaden ke pemukiman pertanian dan peradaban awal yang lebih tinggi. Tak lama setelah itu, manusia Zaman Batu-Lama di belahan dunia lain juga mulai mempraktikkan pertanian. Peradaban dan kota tumbuh dari inovasi Revolusi Neolitik. Manusia purba melakukan pekerjaan bercocok tanam secara tidak sengaja. Untaian gandum liar, misalnya, jatuh ke tanah dan pecah ketika bijih-bijihnya sudah matang. Bulir-bulir gandum itu kemudian dikumpulkan dan setelah diolah dan dipanggang, bisa dikonsumsi menjadi roti sederhana. Buah-buahan yang mereka makan bijinya dibuang ke sekeliling pemukiman mereka, lalu tumbuh menjadi pohon besar, dan akhirnya bisa menghasilkan buah sejenis yang tinggal mereka petik. Demikian pula halnya dengan sayuran liar dan umbi-umbian, ternyata bisa dibudidayakan di dekat tempat tinggal mereka.

 

Ternak pertama dijinakkan dari hewan yang diburu manusia Neolitik untuk diambil dagingnya. Babi domestik dibiakkan dari babi hutan, sedangkan kambing berasal dari Ibex persia. Hewan ternak pertama juga termasuk domba dan lembu, berasal dari Mesopotamia antara 10.000 dan 13.000 tahun yang lalu. Kerbau dan yak didomestikasi di Tiongkok, India, dan Tibet. Dengan adanya hewan peliharaan yang bertenaga kuat, memungkinkan mereka dimanfaatkan untuk mengolah tanah, sementara susu dan daging mereka menambah variasi makanan manusia. Setelah itu hewan liar lainnya, seperti kuda, keledai, dan unta berhasil dijinakkan – sekitar tahun 4.000 seb.M. – saat manusia mengembangkannya untuk mengangkut barang, melakukan perjalanan jauh, dan memulai aktivitas perdagangan. Adanya binatang peliharaan juga membawa dampak negatif yakni menyebarkan penyakit menular, seperti cacar, influenza, dan campak; yang menyebar dari hewan ke manusia.

 

Selain manusia mulai membudidayakan tanaman dan membiakkan hewan untuk makanan, mereka juga membentuk pemukiman permanen. Dengan demikian gaya hidup nomaden pun semakin berkurang. Orang-orang pun mulai hidup bersama dalam komunitas. Dari segi alat yang diciptakan, manusia purba yang dulunya hanya bisa membuat perkakas dari batu, tulang, atau kayu; sekarang manusia neolitik mampu mengolah logam untuk dijadikan alat kerja, berbagai bejana, dan senjata. Mulanya manusia neolitik menambang tembaga, kemudian mereka mengenal perunggu yakni campuran logam tembaga dan timah, dan akhirnya besi. Selain mampu memanfaatkan logam, mereka sejak dulu juga pandai mengolah tanah liat untuk dijadikan tembikar.

 

Di Tiongkok Kuno zaman neolitikum itu ditandai dengan munculnya Empat Shì (四氏, Sì Shì), yang turut serta menciptakan dunia yang beradab ini. Keempat anggota tersebut adalah Yǒucháo-shì (有巢氏), Suìrén-shì (燧人氏), Fúxī-shì (伏羲氏), dan Shénnóng-shì (神農氏). Daftar ini kadang-kadang meluas ke satu anggota lagi menjadi Nǚwā-shì (女媧氏), membuat Lima Shì (五氏, Wǔ Shì). Shì () di sini berarti klen, atau keluarga (marga), atau suku. Dikisahkan Suìrén mengajarkan orang untuk menggesek-gesekkan kayu, sehingga terpercik loncatan bunga api, yang selanjutnya dapat membuat api. Dengan adanya api orang dapat membuat penerangan di malam hari dan mampu pula mengusir binatang buas. Yǒucháo mengajarkan orang untuk membangun rumah dari kayu, sehingga orang bisa meninggalkan goa atau naungan alami lainnya. Setelah jumlah orang bertambah, Shénnóng mencoba memperkenalkan berbagai jenis rumput, untuk menemukan tanaman yang cocok dalam memenuhi pangan masyarakat.

 

Tiongkok Kuno zaman neolitikum dalam buku-buku sejarah diberi periodisasi mulai dari 3162 seb.M. hingga 2070 seb.M. Tahun 2070 seb.M. menandai satu era yakni Dinasti Xià (夏朝, Xià Cháo), yang memerintah hingga 1600 seb.M. Zaman neolitikum diperintah oleh Tiga Maharaja dan Lima Kaisar. Zaman Tiga Maharaja mendahului Zaman Lima Kaisar.

 

Zaman Tiga Maharaja atau 三皇 (Sānhuáng, Ingg. Three Sovereigns), ditandai oleh tiga penguasa. Di sini pun ada enam sampai tujuh versi yang tidak sama, tergantung siapa penulis sejarahnya. Agar tidak membingungkan Anda para pembaca, penulis mengacu pada pendapat Sejarawan Agung dari masa Dinasti Han, yakni Sīmǎ Qiān (). Tiga Maharaja ini adalah 伏羲(Fúxī) atau 太昊 (Tàihào) sebagai Maharaja Surgawi atau 天皇 (Tiānhuáng). Kemudian 女媧 (Nǚwā) atau Maharaja Bumi atau 地皇 (Dehuáng). Dan yang terakhir adalah 神農 (Shénnóng) sebagai Maharaja Tai atau 泰皇 (Tàihuáng).

 

Zaman Lima Kaisar atau 五帝 (Wǔdì, Ingg. Five Emperors), ditandai oleh lima penguasa. Di sini pun ada lebih dari enam versi yang tidak sama, dan kembali penulis akan merujuk pada pendapat Sīmǎ Qiān. Lima kaisar ini adalah 黃帝 atau Huángdì, yang jika diterjemahkan dikenal sebagai Kaisar Kuning. Kemudian disusul berturut-turut oleh Kaisar Zhuānxū (顓頊), Kaisar Kù (), Kaisar Yáo (), dan Kaisar Shùn ().

 

Tiga Maharaja dikatakan orang sebagai dewa-raja atau setengah dewa, yang menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk meningkatkan kehidupan masyarakat; pula memberikan pengetahuan dan keterampilan penting kepada mereka. Lima Kaisar digambarkan sebagai orang bijak yang memiliki karakter moral yang tinggi. Mereka hidup sampai usia tua dan memerintah selama masa periode perdamaian yang panjang itu. Tiga Maharaja dianggap berasal dari berbagai identitas, seperti yang ditulis dalam naskah-naskah sejarah Tiongkok yang terkadang memiliki versi yang berbeda. Para penguasa ini dikatakan telah membantu rakyatnya, antara lain memperkenalkan penggunaan api, mengajarkan orang bagaimana membangun rumah, serta menciptakan tata cara bertani. Léi Zǔ (嫘祖), isteri Huángdì, berjasa sebagai orang yang pertama kali mengajarkan cara membudidayakan ulat sutera dan mewarnai pakaian. Penemuan obat-obatan, kalender, dan aksara Mandarin juga berasal dari Lima Kaisar. Setelah era mereka berakhir, Yǔ Agung (大禹, Dà Yǔ) mendirikan Dinasti Xià.

 

Selanjutnya perhatian kita akan lebih tertuju kepada Huángdì atau Kaisar Kuning. Menurut teori modern yang berakar pada akhir abad ke-19, Kaisar Kuning dianggap sebagai nenek moyang orang Huáxià atau 華夏. Makam Kaisar Kuning terletak di Provinsi Shaanxi, dan dipakai sebagai patokan karena adanya tradisi memperingati makam leluhur. Diceritakan bahwa ayah Huángdì adalah Shǎo Diǎn (少典) dan ibunya adalah Fù Bǎo (附寶). Kaisar Kuning memiliki empat isteri. Isteri pertamanya Léi Zǔ dari Xīlíng memberinya dua putera. Tiga isteri lainnya adalah istri keduanya Fēng Léi (), isteri ketiga Tóng Yú (彤魚) dan isteri keempat Mó Mǔ (嫫母). Kaisar memiliki total 25 putera, dengan 14 di antaranya memulai nama keluarga dan klen mereka sendiri. Yang tertua adalah Shǎo Hào (少昊), dan yang kedua adalah Chāng Yì (昌意), yang tinggal di tepi Sungai Yǎlóng (砻江, Yǎlóng Jiāng). Ketika Kaisar Kuning meninggal, dia digantikan oleh putera dari Chāng Yì, Zhuān Xū (顓頊). Zhuān Xū ini juga merupakan salah satu dari Lima Kaisar.

 

Dikisahkan pada saat Kaisar Kuning masih muda, dia dan Kaisar Yán atau Yándì (炎帝) adalah sama-sama pemimpin suku atau gabungan dua suku di dekat Sungai Kuning. Kaisar Yán berasal dari daerah yang berbeda di sekitar Sungai Jiang, yang oleh sebuah karya geografis yang disebut Shuijingzhu diidentifikasi sebagai sungai di dekat Qishan di tanah air Zhou. Kedua kaisar hidup di masa peperangan. Pada saat itu Kaisar Yán terbukti tidak mampu mengendalikan kekacauan di wilayah kekuasaannya. Lalu berkat bantuan Kaisar Kuning yang turut mengangkat senjata, keduanya berhasil menunjukkan dominansinya atas berbagai faksi yang bertikai. Belakangan Kaisar Kuning menjadi penguasa tunggal atas wilayah itu. Kaisar Kuning diyakini hidup selama lebih dari seratus tahun, sebelum akhirnya wafat. Dua makam kemudian dibangun di dalam Mausoleum Kaisar Kuning di Shaanxi, di samping yang lainnya di Henan, Hebei, dan Gansu.

 

Kaisar Kuning menurut beberapa sumber kuno dianggap menjadi teladan kebijaksanaan, dan kebetulan dia hidup dalam zaman keemasan. Dia dikatakan telah memimpikan sebuah kerajaan yang ideal, yang penduduknya hidup tenang dan hidup selaras dengan hukum alam, serta memiliki kebajikan yang luar biasa seperti yang dianut oleh paham Taoisme Purba. Saat terbangun dari mimpinya, Sang Kaisar berusaha menanamkan kebajikan ini di kerajaannya sendiri, untuk memastikan ketertiban dan kemakmuran di antara penduduknya.

 

Begitu berkharismanya sosok Kaisar Kuning ini, sehingga orang Tionghoa modern menyebut diri mereka sebagai 'Keturunan Yán dan Kaisar Kuning'. Jika Anda membaca kisah Kaisar Kuning ini dalam kepustakaan Tiongkok, susah sekali mendapatkan cerita kehidupan Huángdì sebagai manusia. Banyak cerita yang mengaitkan bahwa Kaisar Kuning adalah sesosok dewa (shén) dalam Agama Orang Tionghoa. Misalnya dalam naskah Dinasti Hàn, Kaisar Kuning juga disebut sebagai 'Dewa Kuning' (黃神 Huángshén). Catatan tertentu menafsirkannya sebagai inkarnasi dari 'Dewa Kuning dari Biduk Utara' (黄神北斗, Huángshén Běidǒu).

 

Mungkin sebagian dari Pembaca bertanya mengapa Huángdì dinamakan Kaisar Kuning? Huángdì menaklukkan wilayah yang luas di sepanjang Sungai Kuning atau 黄河 (Huánghé). Kata sifat 'kuning' menggambarkan warna abadi air berlumpur di hilir sungai, yang muncul dari tanah (loess) yang terbawa ke hilir. Warna kuning dan posisi sentralnya di Tiongkok dikaitkan dengan arah mata angin tradisional. Karena sukunya menghormati kebajikan bumi, dia diberi gelar 'Kaisar Kuning', mengikuti warna kuning-bumi, simbol pertanian. Kemudian dia menyatukan tiga suku besar di daerah Sungai Kuning dan Sungai Yangtze dan menjadi pemimpin semua suku di Dataran Tengah.

 

Kaisar Kuning 'berasal dari esensi Dewa Kuning'. Sebagai dewa kosmologis, Kaisar Kuning dikenal sebagai 'Kaisar Agung dari Puncak Tengah' atau 中岳大帝 (Zhōngyuè Dàdì). Huángdì dimasukkan ke dalam lingkup kosmologikal dari Lima Fase , yang mana warna kuning mewakili bumi, naga, dan bagian tengah. Hubungan warna-warna dengan berbagai dinasti disebutkan dalam Lüshi Chunqiu (Ensiklopedi Tiongkok kuno, akhir abad ketiga seb.M.), dengan masa kekuasaan Huangdi dianggap diatur oleh bumi. Menurut ajaran Nabi Kǒng Zǐ, Xiāntiān wǔdì 先天五帝 (Lima Kaisar Bawaan),susunan selengkapnya adalah sebagai berikut: Qīngdì 青帝 atau Kaisar Hijau yang berkuasa di Timur; Chìdì 赤帝 atau Kaisar Merah yang berkuasa di Selatan; Báidì 白帝 atau Kaisar Putih di Barat; Hēidì 黑帝 atau Kaisar Hitam di Utara; dan Huángdì 黄帝 atau Kaisar Kuning di Tengah. Pandangan kosmologis yang serupa, kita temukan pula dalam konsep 'Lima Dhyani Buddha' atau 'Lima Tathāgata' (五方佛, Wǔfāng Fú, Ingg. Buddha of the Five Directions), yang juga diyakini oleh penganut mazhab Mahayana dan Tantrayana.

 

Sepanjang sejarah, beberapa penguasa dan dinasti mengklaim (atau diklaim) sebagai keturunan Kaisar Kuning. Sīmǎ Qiān menampilkan Huángdì sebagai nenek moyang dari dua penguasa legendaris Yáo dan Shùn, serta menelusuri berbagai garis keturunan dari Huángdì hingga pendiri Dinasti Xià, Shāng, dan Zhōu. Dia mengklaim bahwa Liú Bāng, kaisar pertama Dinasti Hàn, adalah keturunan Huángdì. Selanjutnya jauh beberapa abad kemudian, sebagian besar keluarga bangsawan Tionghoa juga mengklaim bahwa mereka masih merupakan keturunan dari Huángdì. Kepercayaan seperti ini sudah mapan terjadi di Zaman Táng dan Sòng, ketika ratusan klen mengklaim bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Huángdì. Pendukung teori ini memakai alasan yang diutarakan oleh Sīmǎ Qiān, bahwa 25 putera Huángdì diberi 14 nama keluarga atau marga yang berbeda, dan bahwa nama keluarga ini telah terdiversifikasi menjadi semua nama keluarga Tionghoa. Bahkan banyak orang Tionghoa perantauan di manca negara juga menganggap diri mereka sebagai keturunan langsung dari Kaisar Kuning.

 

Begitu besar pengaruh Huángdì dalam Kebudayaan Tionghoa, yang juga turut memperkuat nasionalisme bangsa Tiongkok. Sebagai penutup penulis perlu menyebutkan, bahwa era Huángdì dijadikan sebagai acuan kalender Tiongkok; yang menandakan sebegitu tuanya peradaban Tiongkok itu, yang lahir sejak fajar purbakala hingga zaman kita ini. Setiap melewati Tahun Baru Imlek, tahun penanggalan Tionghoa bertambah satu. Pada Tahun Baru Imlek 2022 ini tahun Tionghoa sudah menunjuk pada Tahun 2573 Kongzili atau 4721 Huángdì. Angka 2573 ini dihitung sejak era Kǒng Zǐ, dan 4721 dihitung dari masa hidup Huángdì. Pemerintahan tradisional Huángdì berlangsung dari 2698 - 2598 seb.M., dan saat Huángdì naik tahta itu dihitung sebagai awal Kalender Tionghoa, yang mana kalender tersebut masih kita pakai sampai sekarang.

                                                      

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220906